"Maaf, apa saya ganggu, Sus, Mbak Anye?" Tanpa kami sadari Dokter Megan sudah berdiri di ambang pintu bersama asisten yang terlihat tergopoh-gopoh mengikutinya di belakang, syukurlah, dari pengamatanku mereka baru sampai, berarti tidak mendengar masalah yang aku bahas dengan Mbak Mayang."Dok, sudah mau maghrib, ni," ucap asistennya pada dokter Megan yang terlihat sudah sangat buru-buru. Dari perkiraanku, dokter Megan sudah semena-mena dan memaksa asistennya untuk over time. Pasti. "Batu jam 5, Sus. Masih satu jam.""Rumah saya jauh.""Nanti saya antar.""Haaah ... benarkah, naik mobil sport?" "Hem."Mendengar perdebatan antara dokter dan asistennya itu maka aku dan Mbak Mayang menyempatkan kesempatan itu, dengan cepat kami menghapus air mata kami kemudian Mbak Mayang segera beranjak."Masih mau lanjut? Kalau lanjut saya akan kembali nanti.""Menurut Mbak, dia sedang bertanya atau menyindir? Atau menertawakan?" bisikku pada Mbak Mayang."Haih, Anye ngaco. Diem. Eh, Dok, silahkan
Tepat adzan Maghrib infus pun sudah bisa di lepas. Mbak Mayang memanggil petugas yang bertugas untuk membantu.Setelah infus dilepas, kami menyempatkan diri sebentar untuk melakukan ibadah maghrib lalu kami segera menuju ke bagian administrasi untuk menyelesaikan pembayaran.Namun, lagi-lagi langkah ini harus terhenti saat kulihat dokter Megan yang sudah tidak lagi mengenakan baju dinasnya, sedang bersenda gurau dan duduk dengan beberapa rekannya di seberang meja administrasi. Aku pun mendesah malas, rasanya masih kesal dengan apa yang dia katakan di dalam tadi. "Kenapa masih saja di sini? Bukan kah harusnya dia sudah pulang mengantar asistennya itu?" tanyaku dalam hati pada diri sendiri."Kenapa berhenti, Nye?" tanya Mbak Mayang begitu kaki ini berhenti."Nggak papa, Mbak." Aku pun bergegas menuju administrasi dan pura-pura tidak melihatnya."Malam, Mbak," sapa mbak Mayang pada petugas administrasi."Eh, Suster Mayang, ada apa?" tanyanya balik."Mau urus administrasi adik saya," jawa
POV Megantara"Nye, Anye. Masih saja ceroboh seperti itu," gumamku saat kulihat dari kaca spion Anyelir sedang berlari mengejar mobilku. Sengaja aku tak menggubris, aku tahu apa yang akan dia bahas, pasti masalah biaya rumah sakit. Karena aku sempat melihat mereka di bagian administrasi sebelum aku pergi dari sana tadi. Aku sengaja menunggu, untuk memastikan Anyelir sudah bisa pulang dengan selamat.Anyelir, hari ini aku dibuat sibuk dan senam jantung olehnya. Melihat demonstrasi mahasiswa yang ada di depan gedung rumah sakit membuatku harus memutar balik mobil memasuki gang dan masuk lewat gerbang belakang, karena aku sudah sangat terlambat. Ya, aku harus mengantar mama ke bandara terlebih dahulu sebelum aku berangkat kerja pagi ini.Setelah kuparkir mobil di belakang rumah sakit, aku bergegas menuju gedung. Namun, ada yang menyita perhatianku saat aku berjalan cepat menuju gedung melewati halaman belakang yang cukup luas dan penuh rumput itu, yang kulihat adalah seseorang sedang t
Di dalam taksi aku terus mencoba untuk menghubungi dokter Megan, namun sampai aku turun dari taksi dan masuk ke dalam kamar pun ia tak menjawab. Sedang sibuk atau memang sengaja tak mau mengangkat? Entahlah.Akhirnya aku memutuskan untuk mengirim pesan. Sudah tak sabar rasanya menunggu dokter Megan menerima teleponku.Tok, tok, tok. Pintu diketuk saat aku hendak mengetik pesan untuk dokter Megan. Aku tahu, itu pasti Ibu karena sejak aku tiba ia tak terlihat. Biasanya memang di jam segini, ibu pergi ke mushola komplek dan setelah isya baru kembali.Kuurungkan niat untuk berkirim pesan dan menoleh ke arah Ibu yang terlihat sudah membuka pintu."Bu," sapaku, kuulurkan tangan menyambut orang tercintaku itu agar segera duduk di sebelahku, tepatnya di bibir ranjang tempatku sekarang tengah duduk.Ibu pun tersenyum menatapku kemudian menghela napas dan duduk di sebelahku. "Kenapa nggak bilang sama ibu kalau kamu di infus?" tanyanya begitu duduk.Degh! Kenapa ibu bisa tahu? Apa Mbak Mayang yan
"Kapan Ibu bertemu dokter Megan?""Tadi ... pagi-pagi sekali dia datang mengambil pesanan kue, Nye. Bahkan dia masuk ke sini.""Hah? Kemana?" tanyaku memperjelas."Kamar kamu ini.""Loh, loh, loh. Ngapain?" tanyaku kaget bukan kepalang."Tadi ada sedikit drama. Jadi, pelanggan kue ibu hamil besar eh mau lahiran. Ya kali, Nye periksa kayak gitu di toko. Malu. Ibu bawa aja ke kamar kamu. Kan yang paling deket dari luar memang kamarmu," terang Ibu, seketika aku teringat akan sesuatu lalu kuedarkan pandangan, di ranjang selimut masih berantakan, baju dan beberapa jilbab yang aku letakkan asal karena terburu-buru berangkat ke rumah sakit semalam pun masih terlihat berceceran di kursi meja rias. Bahkan, aku belum memasukkan pakaian dalam kotorku ke keranjang. Sontak wajahku rasanya memanas dan dadaku berdebar hebat."Kenapa, Nye?""Bu, harusnya jangan dikasih masuk ke orang kalau kondisi kamar saja seperti itu," kataku menunjuk pada sisi sebelah kanan yaitu meja rias. Aku pun membuang napas
"Bu, Anye mau keluar sebentar. Ada perlu," ucapku pada Ibu yang sedang menakar bahan untuk kue setelah aku sudah rapi dan siap untuk menemui dokter Megan di tempat yang sudah aku kirim semalam."Mau ke mana pagi-pagi sekali?" Tanya Ibu mendekati."Ketemu dokter Megan, Bu. Mau mengembalikan biaya perawatan. Anye nggak mau jika harus berhutang pada orang lain," terangku."Oh, kalau gitu Ibu titip untuk Dokter Megan ya, Nye." Ibu bergegas mengambil kotak kue dan dimasukkannya berbagai macam kue di sana."Apa dia pesan kue, Bu?" tanyaku."Nye ... Nye. Apa harus Ibu ajari cara berterimakasih yang baik itu seperti apa?" sindirnya."Ah, Ibu.""Bilang terimakasih tak terhingga dari ibu, karena sudah menolong putri ibu yang sangat berharga," ucap Ibu menyerahkan kotak itu padaku. Seorang Ibu akan tetap menganggap anaknya sebagai ratu yang berharga, meskipun dia tau sejatinya tak ada lagi harga dari seorang Anyelir. "Nye, kamu dengar ibu, kan?" tanyanya lagi padaku yang masih termenung seraya
POV Megantara[Kalau ingin berterimakasih dan tidak berhutang budi. Cukup dengan jaga diri dan kondisi. Karena reputasi saya lebih penting dari uang Anda.]Send."Dan kamu, Nye ... kamu yang paling penting. Kesehatan dan keselamatan kamu lebih penting dari apapun," lirihku di dalam mobil setelah pesan kukirim. Mungkin apa yang aku kirim terkesan jahat dan menyakitkan. Namun sejatinya sebaliknya, dia lebih dari apapun dan tak bisa jika hanya dibandingkan dengan reputasi.Melihat Anyelir selalu menundukkan wajahnya di hadapanku di cafe tadi, membuatku merasa jika lebih cepat pergi dari sana akan lebih baik. Ya, wanita memang diharuskan menundukkan wajahnya pada pria yang bukan mahram dan Anyelir adalah salah satunya. Ia adalah wanita yang sangat menjaga kehormatannya.Tak ada balasan dari pesan yang aku kirim. Mungkin dia sedang kesal atau amarah atas kata-kataku. Tapi akan lebih baik seperti itu. Lebih baik membenci daripada harus baik dan akan bisa saja akan terus memupuk rasa yang s
18. Rasa ingin tahu MegantaraSetelah perbincangan mengenai gagal nikah, kami tak lantas membuka kembali omongan melainkan saling diam. Aku fokus pada jalanan dan Anyelir melihat ke arah luar. "Suami mbak kerja? Ini akhir pekan. Kenapa nggak mengantar?" Dengan sangat berat aku pun menumpahkan apa yang mengganjal di dalam sana meski sebenarnya sakit. Tapi harus ditahan.Ia menoleh sekilas kemudian mengangguk samar. "Kerja di mana? Sepertinya sangat sibuk? Sampai weekend pun harus kerja?" Ia mengambil napas lalu menghembuskannya perlahan. "Travel Agent," jawabnya singkat, menoleh pun sekilas lalu kembali memandang ke arah luar jendela.Entah, apa aku sangat menakutkan? Sampai memandang saja dia enggan. Bukankah aku ini tampan? Kata Mama dan mereka yang melihat. Hatiku hanya bisa mendesah pasrah meski seharusnya aku senang Anyelir bisa menjaga pandangan dari lelaki yang bukan mahram, namun tak bisa dipungkiri hatiku seakan tercubit jika itu juga dilakukan padaku dan dia melakukannya u