Mereka menoleh cepat ke arahku. "Anyelir ...." Lirih, namun masih bisa kudengar suara itu keluar dari bibir Dokter Megan yang menatapku entah.Aku pun berjalan mendekati Nizam yang masih terbaring, lemas seperti tak ada daya. Mereka tampak memberi jalan. Kulihat infus sudah terpasang. Namun, Nizam masih tertidur pulas. Menangis pun tidak. Membuatku semakin was-was."Apa anak saya pingsan? Kenapa dipasang infus yang sudah pasti sakit sekali masih tidak bangun?" tanyaku sambil terus menyeka air mata yang keluar terus dari sudut mata ini tanpa jeda."Tenang, Bu, tadi bangun, kok, nangis sebentar. Sudah ditenangkan sama dokter Megan," terangnya, aku menoleh sekilas pada dokter Megan yang tersenyum samar di sebelahku. Kami memang dekat di dunia maya, namun saat bertemu, entah, canggung itu masih begitu kentara. Membatasi hubungan pertemanan yang terjalin hanya lewat WA."Terima kasih," ucapku menundukkan wajah. Ia mengangguk pelan."Sekarang kita bisa bawa ke kamar, Bu," ujar petugas yang
Setelah meletakkan tas di atas nakas. Ia meraih Nizam dari tanganku. Aku pun memberikan. Sudah buntu rasanya membuatnya tenang."Sssttt ...." Dia mulai menenangkan kemudian duduk memangku seraya menepuk bagian dada pelan. Setelahnya terdengar deheman dari penghuni sebelah."Nggak enak sama tetangga sebelah kalau terus nangis," keluhku setengah berbisik."Iya, tau.""Kenapa nggak ambil VIP biar bisa istirahat?" sambungnya."Penuh, baru ada yang kosong besok katanya.""Sudah pesan?" "Sudah.""Ini kenapa lampunya mati? Nyalain, tambah sumpek," perintahnya."Ssttt ... mungkin mereka biasa tidur dengan lampu mati, kita pendatang, jangan arogan," bisikku meletakkan jari telunjuk di bibir."Kenapa dia diam?" Kutonggokkan kepalaku ke arah Nizam yang terlihat tenang di pangkuan dokter Megan."Kamu salah gendongnya, nggak nyaman, di rumah siapa yang biasa gendong?""Saya lah.""Bohong."Aku menelan ludah. "Ya, Ibu." Aku pun mengaku. Aku hanya menggendong saat memberi Asi. Selebihnya, saat Ni
POV Megantara[ Assalamualaikum, Bu Lestari. Saya mau mengabarkan bahwa, Nizam terkena radang. Harus dirawat. Tadi Anyelir membawanya ke rumah sakit. Ibu tidak usah khawatir, saya menemani Anyelir, mereka baik-baik saja. Megantara ]Send.Kupandangi wajah yang sudah berbulan-bulan aku tak melihatnya. Selama itu pula tak jarang aku mampir ke toko kue miliknya hanya untuk sekedar ingin melihat wajahnya walau hanya sekilas saja, menyapa, kemudian berharap mereka mempersilahkan mampir sebentar. Namun nihil, sejak kelahiran Nizam aku tak pernah melihat lagi Bu Lestari di toko kue, apa lagi Anyelir. Mungkin mereka sibuk mengurus Nizam di rumah yang ada di belakang toko itu. Tak mungkin juga datang bertamu secara langsung tanpa ada keperluan penting. Alhasil, aku hanya pulang dengan tangan kosong, hanya membawa kotak kue dengan berbagai isi di dalamnya dan kadang aku berikan pada pemulung yang aku temui di jalan pulang. Bukan tidak
POV AnyelirAku duduk di meja kantin sambil memainkan ponsel untuk mengusir kebosanan, saat harus menunggu nasi goreng pesanan selesai dibuat. Membuka media sosial dan berakhir pada WA karena ada pesan masuk dari dosen pembimbing yang mengabarkan bahwa bimbingan libur hari ini. Alhamdulillah. Setelahnya, seperti biasa, tangan ini mulai ingin tahu dan memeriksa status WA, tanpa sengaja aku melewati sebuah status yang menyita perhatian. Aku pun mengembalikannya kemudian membacanya sejenak.*Mencintai dalam diam memang terlihat menyedihkan, namun akan lebih menyedihkan jika tak pernah mengungkapkan tapi sudah kehilangan.*"Mengantara?!" lirihku. Status yang diunggah oleh dokter Megan itu menunjukan waktu yang sama, waktu setelah kami berbincang saat ia seolah sedang mengungkapkan perasaan. Apa itu tandanya dia serius, tapi kenapa di mataku dia selalu terlihat main-main?Aku yang tidak peka atau memang dia hanya main-main? Entah.Aku segara pergi setelah nasi goreng pesanan sudah jadi, ten
Aku menghela napas kemudian membuka pintu kamar. Mbak Mayang dan Ibu menoleh ke arahku. "Ini sarapannya, Bu.""Mbakmu sudah bawa, Nye.""Ah, telat, tau gitu nggak perlu harus ketemu dokter Megan segala di kantin.""Kenapa emangnya?" tanya Mbak Mayang"Meresahkan.""Meresahkan gimana?""Lupakan."Setelah sarapan, sekitar pukul 10 perawat memberi tau untuk segera pindah ke kamar yang sudah aku pesan semalam.Kami pun segera membereskan barang. Ibu menggendong Nizam, aku mengekor membawa infusnya, sedangkan Mbak Mayang membawa barang. Untung dia datang, jadi tugas terasa lebih ringan.***Kamar VIP nomor 10 menjadi tempat kami menginap sekarang, Nizam sudah tidak begitu rewel semenjak Ibu datang. Tapi, masih ada yang mengganggu pikiran yaitu tentang ancaman dokter Megan. Jika dipikirkan masak-masak perkataannya memang ada benarnya, Ibu bisa kecapekan kalau terus ada di sini. Tapi kalau Ibu tak ada di sini? Aku takut Nizam akan rewel seperti semalam, apa aku bisa menenangkan? Ditemani
"Ada pasien darurat, maaf telat.""Memangnya saya tanya? Siapa yang menyuruh kesini pula?" ucapku tersenyum sinis. Percaya dirinya terlalu tinggi, menurutku. Dia pun mencebikkan bibir dan menganggukkan kepala, seolah tak peduli dengan jawabanku. Meremehkan. "Saya sendiri. Kan, saya sudah janji. Harus ditepati, dong. Ya kan, Nizam? Sudah nangis berapa kali sejak ditinggal Oma?" ucapnya pada Nizam namun, sindiran jelas padaku."Belum nangis, ni masih mau nangis karena ada monster di depan," sindirku balik. Ia mengulum bibirnya menahan senyum."Monster kok tampan. Super Hero, Mama salah sebut, ya?!" ucapnya pada Nizam lagi."Malam, mau ganti infus. Eh, ada Daddy," perawat datang dan terkejut melihat ada Dokter Megan di dalam. Daddy, sudah lama sekali tidak ke tempat ini, tapi mereka masih menggunakan nama itu."Om, Sus.""Oh, maaf. Sudah selesai. Saya permisi. Selamat malam, Dok," pamitnya menyapa dokter Megan."Ya."Entah, apa yang dipikirkan olehnya, setelah kepergian perawat itu mula
"Kenapa Nizamnya?" tanyanya begitu masuk."Mau tidur mungkin." "Sini, kasih ke saya," ucapnya mengulurkan kedua tangan."Nggak usah, saya sudah bisa," tolakku menjauhkan Nizam dari tangan Dokter Megan. Kadang, bukan hanya ketidak nyamanan saja yang membuat kita ingin pergi. Tapi kenyamanan pada orang yang salah mengharuskan kita untuk pergi, karena harus tahu diri. Dokter Megan. Aku tak ingin, baik Nizam ataupun aku merasakan nyaman dengannya karena itu kesalahan. Seperti kenyamanan pada Mas Bian yang berujung kecewa, aku tak mau terulang dan Nizam ikut merasakannya. Karena aku dan Nizam adalah sebuah noda, bisa mengotori apa saja yang kami pijaki. Sadar diri jauh lebih baik dari pada harga diri harus terpaksa dijatuhkan dan diinjak lagi jika semua tau siapa aku dan Nizam sesungguhnya. "Jangan keras kepala, kamu nggak bisa.""Saya Ibunya, bagaimana bisa dokter bilang saya nggak bisa mengurus anak sendiri?"Terlihat ia menarik napas panjang. "Keras kepala. oke. Silahkan." Akhirny
Goncangan pelan di pundak membuatku terbangun setelah hampir subuh baru bisa memejamkan mata. "Nye, bangun. Sudah pagi," katanya."Ibu?! Sudah datang?" lirihku begitu mataku terbuka sempurna. Melihat diri sendiri, bukankah aku semalam tidur di kursi, kenapa bangun di ranjang? Otakku kembali mengingat kejadian semalam karena kepala sungguh berat."Jam berapa kamu tengok? Turun, cuci muka sana, mandi," kata Ibu memberikan sebuah handuk padaku. Aku bergegas ke kamar mandi sembari mengedarkan pandangan mencari sosoknya, sosok yang menyatakan cinta tadi malam. "Bukan iba, tapi cinta saya terlalu besar. Saya cinta sama kamu, Anyelir. Hanya kamu. Sejak dulu, benar-benar sejak dulu," ucapnya semalam, sungguh-sungguh. Tak terlihat kaku atau main-main seperti biasa. Mata itu memancarkan harapan yang dalam, sangat dalam. Cinta, apa itu cinta? Dia menunjukkan sebuah galeri dalam ponsel semalam setelah aku sedikit lebih tenang, kamu duduk di sofa bersisian dan saling diam sebelum akhirnya dia