Home / Romansa / NODA / 5. Terluka lagi

Share

5. Terluka lagi

Author: Novita Sadewa
last update Last Updated: 2022-08-31 13:06:54

5. Terluka lagi

Selepas Mas Bian pergi, aku segera mengemasi semua barang-barangku dan memasukkannya ke dalam koper. Sebisa mungkin aku memasukkan semuanya, terutama barang yang penting. Karena aku sudah memutuskan untuk tidak lagi menginjakkan kakiku di rumah ini meski hanya untuk mengambil barang.

Setelah semua beres aku segera memesan taksi, jadwal periksa kehamilan adalah jam 10. Kali ini aku memilih untuk tidak mengingatkan Mas Bian. Sudah waktunya aku belajar untuk mandiri karena setelah ini aku akan mengurus segala sesuatunya sendiri, bukan?

Dari hasil pemerikasaan hari ini, dokter mengatakan bayiku sehat dan baik. Hanya saja tekanan darahku agak tinggi, dokter menyarankan agar aku tidak stress dan terlalu banyak pikiran. Dokter juga menanyakan di mana Mas Bian, tumben tidak ikut, padahal seharusnya dia ikut, agar bisa membantuku menurunkan tensi dan menjaga agar sang Ibu tetap dalam kondisi stabil.

Ya, itu pandangan dokter, dokter tidak tahu bahwa justru suamiku sendirilah yang membuat tensiku naik.

Aku segera pulang setelah obat selesai kutebus.

Pak Tarjo sudah menunggu di depan teras begitu aku datang. Astaga, aku bahkan lupa ada janji dengannya.

"Pak Tarjo, maaf. Anye lupa. Sudah dari tadi?"

"Nggak papa, Neng. Baru aja sampe."

"Syukurlah, mari masuk," ajakku membuka pintu.

Pak Tarjo adalah sopir toko kue Ibu, beliau sudah bekerja dengan Ibu sangat lama. Kami sudah menganggapnya seperti keluarga.

"Pak, kita tunggu Mas Bian dulu, nanti kalau Mas Bian kemalaman, Anye berangkat sama bapak," terangku begitu Pak Tarjo masuk dan duduk.

"Siap, Neng."

Kusiapkan teh dan sedikit kudapan yang kebetulan aku membuatnya tadi pagi. Setelahnya, aku menyuruh Pak Tarjo untuk beristirahat.

Kami menunggu hingga adzan maghrib berkumandang. Namun tak kudengar suara mobil Mas Bian datang. Aku pun mencoba untuk menghubungi. Ya, meski sudah bisa ditebak Mas Bian sedang bersama Luna karena mereka sudah mengadakan janji semalam. Namun, aku sudah berjanji juga, akan menunggunya, jadi tak ada salahnya menghubungi dari pada dia marah.

"Halo." Benar saja, bukan suara Mas Bian yang aku dengar melainkan suara Luna yang lemah gemulai, dengan beraninya dia mengangkat telepon dariku. Apa dia sengaja menunjukkan bahwa posisinya lebih tinggi dariku? Sabarlah Luna, sebentar lagi kau akan mendapatkan suamiku sepenuhnya.

"Di mana, Mas Bian?"

"Mas Bian masih di kamar mandi." Hatiku berdenyut sakit mendengar jawaban dari Luna, pikiranku kembali berkelana. Apa mereka sedang ada di ... ah, sudah bukan urusanku.

"Kalau ada yang penting kamu bisa bicara denganku, nanti akan aku sampaikan," sambung Luna seakan-akan dia adalah istri Mas Bian yang berhak tau segalanya.

"Ya sudah, Lun, maaf mengganggu," tutupku.

Aku menghela napas, sebisa mungkin menahan untuk tidak lagi mengeluarkan air mata. Semua sudah cukup, keputusanku sudah final dan tepat.

Akhirnya aku pun keluar, kubawa koper yang sudah aku siapkan sebelumnya dan kuajak Pak Tarjo untuk segera berangkat. Rasanya sudah tak tahan lagi jika harus menunggu Mas Bian yang tengah berbahagia dengan pujaan hatinya. Tak mau lagi terlihat bodoh, aku pun memutuskan untuk pergi bersama Pak Tarjo. Aku pergi membawa serpihan hati yang sudah tak lagi utuh akibat sebuah pengkhianatan.

Kami berangkat sekitar pukul 7 malam, di dalam mobil aku hanya memikirkan bagaimana kehidupanku setelah ini? Apa aku akan menjadi beban Ibu? Tetangga juga pasti akan semakin menggunjingkan aku setelah ini.

Jarak rumahku dan Ibu tidak terlalu jauh, hanya butuh waktu satu jam, kami pun sampai di depan rumah yang di depannya bertuliskan Toko Kue Basah Lestari.

Aku pun turun dengan Pak Tarjo yang membawa koper mengikutiku. Tampak Ibu sudah menunggu di teras belakang. Ya, halaman yang kami miliki di gunakan untuk memperbesar bangunan toko kue.

"Assalamualaikum, Bu." Kuraih dan kukecup punggung tangan Ibu.

"Waalaikumsalam." Ibu memelukku, sangat hangat rasanya pelukan ini.

"Masuk, Nye," seru Ibu setelah menyuruh Pak Tarjo menaruh koper di kamarku.

"Sudah pamit sama Bian?" tanya Ibu begitu aku masuk.

"Mas Bian sudah Anye hubungi, Bu. Tapi sepertinya masih sibuk."

"Coba hubungi lagi."

"Iya, Bu, nanti Anye akan menghubungi. Anye ke kamar dulu." Hatiku masih basah, tak mau menampakkan kesedihan di hadapan Ibu. Ibu mengangguk aku pun pergi ke kamar.

Aku menyempatkan diri untuk mengirim pesan pada Mas Bian sebelum mandi dan mengganti baju seperti apa yang Ibu perintahkan. Bagiku menjalankan perintah Ibu adalah yang utama.

Tak berselang lama setelah aku mandi pintu pun diketuk, Ibu masuk membawa kue lemper kegemaranku. "Kalau nggak makan nasi, makan kue ini, Nye," perintah Ibu meletakkan sepiring kue lemper di nakas kemudian duduk di tepi ranjang.

"Duduk, Nye. Ibu mau bicara," kata Ibu seraya menepuk sisi sebelahnya. Aku pun mengikuti.

"Kamu nggak kabur dari rumah kan, Nye?" tanya Ibu begitu aku mendudukkan diri di sebelahnya.

"Ibu bicara apa? Tentu tidak, aku sudah pamit dan bicara pada Mas Bian."

"Bian menghubungi Ibu, kalian bertengkar lagi? Kenapa ponsel kamu tidak bisa dihubungi? Nye, kalaupun harus berpisah, akan lebih baik berpisah secara baik-baik. "Aku memang sengaja mematikan ponsel setelah mengirim pesan pada Mas Bian, tapi rupanya Mas Bian menghubungi Ibu.

Kuletakkan kepalaku di pangkuan Ibu, tempat paling nyaman selama ini ya ... di sini dan seperti ini.

"Anye hanya lelah saja, Bu. Anye tidak ingin berdebat, Anye ingin istirahat, sendiri."

"Nye, istirahat memang harus dilakukan saat kita lelah. Tapi kemarahan hanya akan membuat semua runyam, kamu sedang hamil, lebih baik berpasrah, Nduk," ucap Ibu mengusap lembut kepalaku.

"Bu, apa Anye tidak pantas untuk dicintai, Bu? Apa karena Anyelir tidak berharga dan kotor sehingga dengan mudah suami Anyelir meninggalkan Anyelir?"

"Sama sekali nggak, Nye. Mungkin Gusti Allah masih menguji kesabaranmu. Mungkin Bian bukan yang terbaik."

"Apa ada yang lebih baik darinya?"

"Ada, pasti ada. Ibu yakin suatu saat kamu akan menemukan kebahagiaan. Yang baik menurut kamu belum tentu terbaik menurut Allah. Allah paling tahu, Nduk. Serahkan semua padaNya."

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Agustin Mahfud
Cerita Lana dan Gendhis apa gk dilanjut kak?
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • NODA   197. Ending

    Besoknya mereka benar-benar kembali ke Bali tentu saja rumah kembali sepi. Sebelum pergi, mereka mempersiapkan seorang asisten rumah tangga baru dari agensi resmi untuk membantu Anyelir mengurus rumah dan Nizam. Malam harinya, aku memenuhi janji. Datang ke tempat yang sudah Anyelir beritahu sore tadi. Sepulang dari rumah sakit, aku meluncur ke sana karena Anyelir sudah menunggu katanya. Aku senang, sedikit demi sedikit dia mulai kembali mengenal dunia luar. Tidak lagi acuh dan enggan. Bahkan malam ini begitu mengejutkan. Dia sendiri yang menginginkan untuk makan di luar. Sungguh mencengangkan dan juga di luar dugaan.Setelah mobil terparkir di halaman restoran. Aku bergegas masuk, kucari keberadaan Anyelir dan kutemukan dia di meja paling ujung dekat jendela. Kulangkahkan kaki mendekatinya. Dia menoleh ke arahku dan berdebar lah jantungku saat melihat wajah dengan polesan yang membuatnya tampak begitu berbeda, sangat cantik. Penampilannya semakin sempurna dengan balutan gamis indah

  • NODA   196. 1 Bab menuju Ending

    POV Megantara[Bang, aku baik-baik saja. Aku akan mengantar Renata ke Bali. Thanks atas kesempatan dan aku tahu semua adalah siasatmu.]Kusunggingkan senyum setelah membaca pesan dari Denis yang entah sudah berapa hari menghilang dan sempat membuat kami sekeluarga kelimpungan. Sengaja, aku tidak ikut menemuinya, memberi waktu untuknya agar bisa bersama Renata yang entah kenapa tidak pernah bisa melihat cinta yang begitu besar dari Denis untuknya sejak dulu sampai sekarang, sedangkan Denis yang malang justru memilih diam dan tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaan.Aku tahu, meski telah bersama Tita, Denis belum sepenuhnya melupakan Renata. Keputusannya yang tiba-tiba, degan mudah menerima Tita tanpa pikir panjang pun aku yakin hanya karena pada saat itu dia sedang putus asa. Awalanya aku mengira dia juga sudah mati rasa. Tapi, ketika kami kembali dipertemukan di tempat yang sama, aku menangkap tatapannya pada Renata tidak berubah, tetap sama, penuh cinta. Namun, aku juga tah

  • NODA   195. Mengagumi atau mencintai 2

    Tepuk tangan menyambut begitu kami turun. "Hebat, Mas, keren," ucap mereka yang ada di lokasi pada Denis."Sip," kata Denis menunjukkan jari jempol.Keren? Apa yang keren? Menurutku justru sangat menyedihkan, tak ada teriak kebahagiaan yang harusnya aku lakukan di atas sana apa lagi perasaan bebas seperti elang, melainkan beban berat menghimpit dadaku karena sikap Denis yang terkesan acuh dan berubah, tenggelam memikirkan Tita.Aku bergegas meninggalkan mereka yang masih terlihat sibuk dengan parasut dan sabuk pengaman. Hari sudah mulai petang, sudah saatnya untuk pulang. Hari ini sudah cukup untuk menjadi kenangan."Ren, mau ke mana?" Denis berlari mengikuti langkahku."Pulang, kamu bilang kan setelah terbang cepetan pulang. Lagi pula tiket penerbanganku ke New York tinggal beberapa hari lagi, aku harus ke Bali dulu, ketemu mama sama papa. Setidaknya aku sudah memastikan kalau kamu baik-baik saja, masih sehat," jawabku melanjutkan langkah. Namun, langkahku harus terhenti karena tan

  • NODA   194. Mengagumi atau mencintai?

    POV RenataSudah hampir satu minggu aku mencarinya dan baru bisa menemukannya di sini, tempat yang sam sekali tidak ada dalam pemikiran kami sebelumnya. Sebuah tempat yang lumayan jauh dari keramaian. Entah, sudah berapa tempat di Jakarta hingga Bandung yang aku, Megantara, dan Om Hakam datangi hanya untuk menemukan pria yang saat ini sedang berada di atas sana, menikmati alam merayakan kebebasan atau mungkin juga sedang menghibur diri. Kami menemukan keberadaannya dari unggahan Instagram yang dia unggah, yang memperlihatkan pemandangan perbukitan dengan caption-nya 'Bebas'. Kemudian kami mencari tahu detail dari gambar tersebut. Di sinilah aku, di gunung Banyak kota Batu Malang. Megantara tidak ikut hari ini karena istrinya sedang kurang enak badan. Tapi dia tetap mau aku menemui Denis. Ya, kami bertiga memang sangat dekat, dia sangat khawatir dengan adiknya mungkin. Sehingga memaksaku untuk datang ke tempat yang menurutku lumayan jauh.Aku tahu ini tidak mudah. Kehilangan dua h

  • NODA   193. Menikmati karma

    POV BiantaraDengan berakhirnya sidang berarti kewajibanku pun telah berakhir. Aku bisa lebih tenang sekarang, karena Megantara selamat dari ancaman atas tuduhan pencemaran nama baik termasuk aku, karena pada kenyataanya aku juga lah yang melaporkan atas tindakan penculikan Anyelir, sebab, pada saat itu Megantara tidak ada di tempat, jadi jikalau Megantara masuk penjara aku pun sama.Hari ini akta ceraiku dengan Luna sudah dikirim melalui kuasa hukum yang aku tunjuk. Semua sudah berakhir, tak ada lagi yang tersisa. Kami benar-benar sudah berakhir dan ini aku nikmati sebagai bentuk dari segala karma atas perbuatan dan status yang sempat aku sematkan pada wanita yang tanpa aku sadari mampu membuat hatiku berdenyut sakit setiap melihatnya bersama laki-laki lain. Wanita yang membuat hatiku teriris setiap melihatnya menangis. Aku telah menjanda kan Anyelir dan sekarang aku didudakan oleh Luna. Apa lagi kalau bukan karma yang dibayar tunai?Kuketuk pintu bercat putih setelah penjaga memberi

  • NODA   192. Permintaan Maaf

    Pintu kamar ditutup dengan kasar menimbulkan debar di dalam dada karena keterkejutan. Aku memutar badan sambil mengusap dada pelan, setelah sebelumnya melangkah masuk kamar terlebih dahulu. Kemudian memutar bola mata mencari jawaban apa yang terjadi pada wanita yang saat ini menatap nyalang ke arahku. Kuangkat dagu seraya menyipitkan mata bertanya. "Kenapa?""Kenapa? Tadi kamu bilang apa? Mas Bian kucing? Kalau Mas Bian kucing terus kamu apa? Buaya?" tanyanya sambil marah-marah."Buaya? Buaya apa, sih?!" Aku balik bertanya karena merasa kurang begitu paham. Bukan kurang tapi memang tidak paham."Kalau bukan buaya apa namanya lelaki yang suka deketin wanita lain begitu ada kesempatan? Nggak mau rugi," ucapnya penuh penekanan."Apa sih, Anye? Kamu kalau Biantara ngomong langsung aja masuk otak kiri nggak keluar-keluar, klop banget.""Mau balik melempar kesalahan, ni, romannya," sindirnya."Enggak, orang aku ngga deketin ngapain? Jangan cemburu gitu, ah," candaku."Bukan cemburu, tapi m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status