4. Pulang.
Bisa aku rasakan, Mas Bian datang dan duduk di sisi sebelahku. "Nye ... apa kamu sudah tidur?" tanyanya lembut, mengusap rambut dan pundakku pun lembut. Aku bergeming, sebisa mungkin menahan kemarahan yang sudah memenuhi dada agar tidak keluar karena bisa saja menimbulkan luka baru."Mas tau kamu belum tidur, Nye. Maafkan mas, mas terpaksa melakukannya.""Apa karena Mas sudah meniduri Luna?" celetukku tanpa sadar."Anyelir! Demi Allah, mas tidak segila itu. Mas masih waras dan tau dosa.""Apa berselingkuh itu bukan dosa?""Maaf, Nye. Maaf. Mas sudah berusaha sekuat tenaga mengabaikan rasa itu, tapi mas selalu gagal." Bisa dibayangkan bagaimana rasanya hati ini saat suami sendiri mencintai wanita lain dengan begitu hebatnya? Seolah anak panah menancap tepat di jantungku saat Mas Bian mengatakan tak bisa menahan rasa cintanya pada Luna.Aku beranjak duduk, dengan sigap Mas Bian membantuku."Apa karena aku kurang cantik, pendidikanku putus di tengah jalan? Bukan wanita karier seperti Luna?" Kuberanikan diri untuk bertanya sedemikian rupa. Agar semua jelas."Nggak, Nye. Kamu dan Luna punya kelebihan masing-masing. Kamu cantik, sangat cantik. Bahkan, jika laki-laki lain melihatmu pasti akan menyukainya.""Lalu, Mas?"Hening."Mas mau kamu, tapi mas juga mau Luna.""Dan Mas lebih memilih Luna karena di hati mas hanya ada Luna. Bahkan saat mas bersamaku, hanya bayangan Luna lah yang ada di benakmu, Mas. Dalam tidurmu pun kamu memanggil namanya dengan mesra. Aku tau, tapi aku memilih diam karena aku tau Mas hanya memenuhi janji pada Ayah," kataku dengan amarah yang meluap-luap."Nye, Demi Allah. Mas tidak pernah punya niat meninggalkanmu setelah menikah, Mas memantapkan hati untuk tetap bersamamu. Mas tulus, karena Mas juga sayang sama kamu, meski akhirnya seperti ini," ucapnya meraih tanganku lalu menggenggamnya dengan erat. Aku tersenyum kecut, ya mana mungkin dia sadar sudah memanggil nama Luna dalam tidurnya.Aku menghela napas, sebisa mungkin aku bersabar. Untuk apa berdebat jika keputusannya sudah bulat dan tidak bisa lagi di ganggu gugat? Perpisahan akan tetap terjadi, perdebatan hanya sebuah ajang untuk meluapkan emosi saja."Besok Pak Tarjo akan menjemputku, kebetulan Pak Tarjo kirim pesanan kue di dekat sini."Mas Bian menoleh ke arahku, menatapku marah. "Kan, mas sudah bilang, kamu akan tetap di sini sampai anak ini lahir?!""Aku bisa gila kalau terus-terusan ada di sini, Mas! Melihat suamiku yang terus bermain gila dengan wanita lain.""Mas janji nggak akan membawa Luna kemari lagi. Tadi cuma urusan kerjaan, Nye. Ada berkas yang harus Mas tanda tangani.""Keputusanku sudah bulat, sama seperti keputusanmu. Mas berhak mengambil keputusan, begitu juga dengan aku."Mas Bian menghembuskan napas berat. "Mas antar.""Kalau Pak Tarjo harus pulang dan Mas belum datang, Anye akan berangkat dengan Pak Tarjo," putusku."Mas usahakan pulang lebih cepat."***Mataku terbuka bersamaan dengan berkumandangnya adzan subuh. Aku memindahkan tangan Mas Bian yang masih melingkar di pinggang dan kakinya yang mengapit kakiku. Aku baru ingat bahwa aku tertidur saat Mas Bian mengusap perutku, karena hari ini kami akan tinggal sendiri-sendiri maka aku membiarkan saja Mas Bian mengusap perutku sampai aku tertidur.Setelah melakukan sholat subuh barulah aku membangunkannya. Dan lalu aku ke dapur menyiapkan sarapan."Ma, Pa, kok sudah rapi?" tanyaku saat kulihat Mama dan Papa keluar dari kamar dengan penampilan yang sudah rapi, membawa serta tasnya."Iya, Nye. Mama mau pulang. Mama malas bertemu Bian. Mama capek.""Sarapan dulu, Ma. Anye sudah siapkan.""Mama sarapan di rumah saja.""Kenapa nggak bareng, Mas Bian?""Mama malas, Nye. Sudah pesan taksi.""Oh.""Nye, dengar Mama. Meski Bian sudah lalai dan ingkar. Mama dan Papa tidak akan ingkar, Nye. Kamu dan anak ini tetaplah menantu dan cucu kami. Ingat, Nye," ucap Mama dengan kedua tangan yang memegang pundakku.Aku tersenyum mendengar betapa baiknya Mama Lisa padaku. "Iya, Ma.""Bilang sama Mama dan Papa kalau ada apa-apa ya, Nye," sambungnya.Aku mengangguk, Mama memeluk."Maafkan Papa ya, Nye. Papa sudah berusaha.""Iya, Pa. Anye tau.""Ya sudah. Mama sama Papa pamit."Kuantar kepergian Mama dan Papa mertua hingga mereka masuk ke dalam taksi. Kemudian kulambaikan tangan begitu taksi berjalan.Aku kembali masuk ke dalam rumah setelah taksi tak lagi terlihat.Bersamaan dengan itu kulihat Mas Bian keluar dari kamar dengan penampilan yang sudah rapi."Sarapan, Mas," ajakku."Dari mana, Nye?""Nganter Mama sama Papa," jawabku berjalan menuju meja makan."Loh, nggak bareng Mas berangkat? Mas kira sarapan dulu," ucapnya mengikutiku menuju meja makan."Mau naik taksi saja katanya," jawabku, tak mungkin mengatakan bahwa mereka malas melihat Mas Bian, yang ada akan membuka pertengkaran lagi.Kuambil nasi goreng dan telur ke dalam piring Mas Bian. Kemudian kuberikan segelas teh hangat seperti biasa."Makasih, Nye." Mas Bian pun segera memasukkan sendok demi sendok nasi goreng ke dalam mulutnya hingga piring itu kosong."Nye, kamu nggak sarapan?" tanya Mas Bian saat aku hendak membawa piring bekas makannya ke dapur."Nanti saja, setelah berkemas," jawabku."Nye, apa benar-benar sudah tidak bisa ditunda?" Mas Bian memegang lenganku, menahanku pergi untuk pergi ke dapur."Apa keputusan Mas benar-benar sudah tidak bisa diubah?" jawabku tanpa menatapnya. Mas Bian diam."Ya, kalau Mas tanya kepergianku apa tidak bisa ditunda maka jawabannya sama dengan jawaban Mas atas pertanyaanku itu. Tidak, kan?!" tegasku. Aku pun berlalu menuju dapur setelah pegangan tangan Mas Bian melemah. Segera aku membersihkan semua barang yang kugunakan untuk memasak.Aku masak banyak hari ini. Setidaknya untuk makan malam, Mas Bian tak perlu beli. Entah, bodoh atau terlalu cinta. Sudah sesakit ini masih saja memikirkannya."Maafkan Mas, Nye." Mas Bian mengikutiku sampai ke dapur memelukku dari belakang tiba-tiba. Entah, sudah berapa kali kata maaf itu terucap dari bibirnya. Kata maaf yang tidak mampu mengubah segalanya.Aku menengadah agar air mataku tidak tumpah. "Aku ikhlas, Mas. Jangan membuatku berubah pikiran dengan sikap Mas yang seperti ini." Kulepaskan tangan yang melingkar di perut buncit ini kemudian berbalik, niat hati ingin meninggalkan dapur agar tidak ada lagi perang batin namun Mas Bian menahanku, merengkuh tubuhku dan membawanya dalam dekapan."Mas, lepaskan, ingat, sebentar lagi kita bukan lagi suami istri. Jangan seperti ini." Dengan sekuat tenaga aku mencoba lepas dari pelukannya. Namun, ia justru semakin mempererat."Sebentar ... saja, Nye. Biar seperti ini," pintanya. Jujur, aku pun merindukan pelukan hangat suamiku. Pelukan tulus sebelum Luna datang dan memporak porandakan semuanya."Mas, sayang sama kamu, Nye."Sayang? Dia mungkin sayang padaku, tapi dia cinta pada Luna. Sayang hanyalah sebuah bagian kecil dari cinta. Sedangkan cinta tetaplah segalanya."Maafkan, Mas, Mas sudah lalai, curang, dan ingkar." Mas Bian tergugu di pundakku. Terlihat begitu jelas kebimbangan dan penyesalan itu. Aku tahu hatinya bimbang antara cinta dan janji."Mas, sudah. Jangan memikirkan janjimu pada Ayah, pikirkan kebahagiaanmu saja. Kalau aku sudah pergi, insyaallah semua akan lebih baik." Kuurai pelukan itu, akhirnya Mas Bian mau melepaskan pelukannya."Mungkin dari awal sudah salah, kamu melakukan demi tanggung jawab dan kesembuhan Papa. Kamu hebat bisa bertahan sampai detik ini. Berusaha mempertahankan janji dan tanggung jawabmu padaku dan anakku." Kuhapus air mata yang tak henti-hentinya jatuh dari laki-laki yang terlihat kuat namun kali ini terlihat begitu rapuh."Pergilah, Mas, sudah siang. Nanti telat."Kuraih dan kukecup punggung tangannya, agar semua tidak semakin berlarut dan membuatku kembali ragu dengan keputusanku untuk pergi.Ia pun pergi, tak lupa pula mengecup keningku seperti biasa yang ia lakukan sebelum berangkat kerja. "Mas akan pulang cepat dan mengantarmu," ucapnya, aku mengangguk saja. Jujur, aku tak berharap dan tak yakin Mas Bian bisa menepati janjinya.5. Terluka lagiSelepas Mas Bian pergi, aku segera mengemasi semua barang-barangku dan memasukkannya ke dalam koper. Sebisa mungkin aku memasukkan semuanya, terutama barang yang penting. Karena aku sudah memutuskan untuk tidak lagi menginjakkan kakiku di rumah ini meski hanya untuk mengambil barang. Setelah semua beres aku segera memesan taksi, jadwal periksa kehamilan adalah jam 10. Kali ini aku memilih untuk tidak mengingatkan Mas Bian. Sudah waktunya aku belajar untuk mandiri karena setelah ini aku akan mengurus segala sesuatunya sendiri, bukan?Dari hasil pemerikasaan hari ini, dokter mengatakan bayiku sehat dan baik. Hanya saja tekanan darahku agak tinggi, dokter menyarankan agar aku tidak stress dan terlalu banyak pikiran. Dokter juga menanyakan di mana Mas Bian, tumben tidak ikut, padahal seharusnya dia ikut, agar bisa membantuku menurunkan tensi dan menjaga agar sang Ibu tetap dalam kondisi stabil. Ya, itu pandangan dokter, dokter tidak tahu bahwa justru suamiku sendirilah
POV Bian[ Mas, aku sudah berangkat bersama Pak Tarjo. Tidak perlu khawatir, aku sudah sampai. Makanan tinggal dipanaskan saja, sudah aku siapkan di lemari dapur. Tadi aku sudah periksa kehamilan dan semua baik. Tak perlu khawatir. Dan tak perlu menyempatkan diri atau terburu-buru jika memang masih sibuk dengan Luna. Aku sudah sampai dengan selamat.]"Tadi Anyelir menghubungiku, Lun?" tanyaku pada Luna setelah aku membuka pesan dari Anyelir dan memeriksa daftar panggilan masuk. Ada nama Anyelir di sana."Iya, Mas. Kamu masih di kamar mandi tadi. Aku mengangkatnya dan aku menyuruhnya meninggalkan pesan kalau ada yang penting." Astaga, pasti Anyelir berpikir yang tidak-tidak. Dia pasti marah karena sampai jam segini aku belum juga pulang. Aku bahkan lupa kalau ada jadwal periksa yang sebelumnya satu bulan sekali sekarang menjadi dua minggu sekali dan dia tidak memberi tahuku lagi. Fatal, hari ini aku melakukan kesalahan yang sangat besar."Aku pulang dulu, Lun.""Loh, Mas kan sudah jan
Setelah hampir satu jam perjalanan, aku pun meminggirkan mobil di depan toko kue Ibu. Tepat pukul 10 malam aku sampai. Kulihat lampu rumah masih menyala tertanda mereka masih belum tidur.Kuketuk pintu perlahan, semoga ada yang berkenan untuk membuka. Aku cukup tahu diri dengan kesalahanku, kalaupun mereka tidak mau membuka aku memaklumi dan aku akan menunggu di teras atau mobil sampai besok pagi ada yang keluar.Kuketuk kembali setelah beberapa saat kulihat dari kaca jendela, Ibu keluar dari kamar Anyelir. Kamar Anyelir menghadap ke arah jendela depa, sehingga aku bisa melihat dengan jelas karen gorden juga belum ditutup. Ibu pun menoleh ke arahku dan berjalan membuka pintu."Assalamualaikum," sapaku begitu Ibu membuka pintu kemudian kuraih dan kukecup punggung tangannya."Waalaikumsalam, Nak Bian, mari masuk," jawabnya tersenyum ramah. Bu Lestari namanya, wanita paruh baya yang berparas cantik dan teduh itu menyambutku hangat setelah sedemikian rupa aku menyakiti putri semata waya
POV AnyelirSebuah tangan kokoh memeluk tubuhku saat aku terbangun di sepertiga malam. Dari aroma parfum yang bercampur dengan keringat, aku tahu benar siapa yang sedang memelukku. Aku menoleh sebentar, Mas Bian masih dengan kemeja kerjanya sedang terlelap di belakangku, sejak kapan dia ada di sini? Dan untuk apa? Rasanya aku sudah lelah dengan peperangan, berperang dengan hati lebih melelahkan dibanding perang antar fisik.Kupindahkan tangan yang sebentar lagi juga akan memeluk wanita lain di setiap malamnya itu. Kemudian kuambil air wudhu sebelum kubentangkan sajadah. Melakukan sholat malam agar hati lebih ikhlas menerima segala yang akan terjadi setelah ini. Tanganku menengadah setelah sholat kujalankan. Berdoa, semoga aku bisa ikhlas dan kuat menerima semua yang sudah ditetapkan. Jika Mas Bian memang bukan jodohku maka ajari aku untuk ikhlas, namun jika memang dia Engkau ciptakan untukku maka permudah kami untuk bersatu kembali meski hati sudah tak lagi utuh, aku akan mencoba men
"Apa maksudmu, Nye?""Mas, kalau kamu ingin aku dan anak ini selamat. Pergilah!" ancamku, sudah cukup aku gila melihat kegilaan mereka. Sudah waktunya aku tegas pada diri sendiri. Aku harus kuat dan aku harus tetap tegar demi Ibu juga demi anak ini."Biantara!" Teriakan Mas Arya memekakkan telinga, ia datang dari rumah yang tidak jauh dari rumahku bersama Mbak Mayang. Terlihat jelas dadanya naik turun dengan mata membulat sempurna dan rahang mengeras. "Mana janjimu, apa yang kamu lakukan setelah apa yang kamu dapatkan, Bian?!" Mas Arya mencengkeram kerah baju Mas Bian, mendorong mundur Mas Bian hingga tubuhnya membentur mobil."Ya, maaf, aku tau aku salah.""Aku memberikan adikku padamu, untuk kau bahagiakan bukan kau campakkan. Kalau seperti ini akan lebih baik jika Anyelir tidak usah menikah!" Bugh! Pukulan tajam pun mendarat di pipi Mas Bian hingga ujung bibirnya terluka dan mengeluarkan sedikit darah. Sontak aku dan Mbak Mayang pun berteriak. "Mas Arya, cukup. Sudah, Mas, sud
Sudah satu bulan lebih sejak kepergian Mas Bian bersama Lun a pagi itu, sejak itu juga aku mengganti nomor ponsel. Aku memantapkan hati untuk menutup diri dari Mas Bian. Kadang Mas Bian masih menghubungi lewat ponsel Ibu. Namun, aku meminta Ibu untuk bicara saja, asal jangan denganku.Mas Bian belum kesini setelah kepergiannya. Mungkin wanita itu sudah menguasainya sekarang. Aku juga tau dari sosial media bahwa Luna sudah menyiapkan pernikahannya dengan Mas Bian sedemikian rupa, bahkan persidangan pun baru berjalan meski aku tidak datang, tapi Luna sudah kegirangan."Selamat pagi, Cantik," sapa Mbak Mayang yang sudah siap dengan seragam serba putihnya. Ya, Mbak Mayang adalah seorang perawat di sebuah rumah sakit terbesar di daerah kami. Senang melihatnya. Hebat, sedang aku? Lulus saja tidak."Pagi anaknya Bude Menik.""Nye, ikut Mbak, yuk.""Kemana?" "Ke tempat kerja, Mbak. Ada dokter kandungan baru. Masih muda, gantengnya ... Subhanallah. Dijamin betah kalau konsultasi." Aku terseny
"Halah, kebetulan aja. Dokter anak tunggal, nggak mungkin kayak di sinetron yang ternyata saudara dari Biantara. Mereka jauh lah, setia sama peselingkuh mah kelasnya beda." Mbak Mayang memang suka ceplas ceplos kalau bicara, terutama kalau sudah menyangkut Mas Bian. Kebenciannya sudah sampai ke ubun-ubun. Mungkin dia tidak enak karena bagaimanapun juga yang membawa dan memperkenalkan Mas Bian adalah Mas Arya, suaminya. Meski aku dan Ibu tidak mempermasalahkan, tapi Mbak Mayang dan Mas Arya masih saja tidak enak dan kerap meminta maaf pada kami."Anyelir Prabandari Nugroho." Namaku dipanggil oleh petugas setelah belum lama aku mendudukkan diri di kursi tunggu."Lah, Mbak, Mbak main belakang ya? Kasihan lo yang lain," protesku pada Mbak Mayang."Nggak, Nye, Mbak ambil nomor, Mbak minta tolong temen Mbak. Ayo buruan. Mbak sudah nggak sabar ingin tahu keadaanmu yang sudah telat kontrol."Mbak Mayang dengan tak sabarnya masuk ke dalam ruangan seolah dia lah yang hamil."Pagi, Dok," sapa M
"Loh, nggak bisa gitu dong, Dok. Kita maunya sama dokter," protes Mbak Mayang tak terima."Oke, tunggu. Saya segera kembali." Dokter Megan terlihat sangat tergesa keluar dari ruangan, mungkin sudah tak tahan lagi menahan, pantas saja dari tadi berkeringat. "Kenapa coba Dokter Megan? Aneh, nggak biasanya seperti itu?" tanya Mbak Mayang."Kebelet kali, Mbak, udah tunggu aja," jawabku, Mbak Mayang pun mencebikkan bibirnya bingung.Lama kami menunggu, akhirnya Dokter Megan kembali dan mengulangi USG dari awal. Kali ini dia terlihat lebih tenang dan lembut."Bisa dilihat ya, jadi posisinya sudah mau masuk ke panggul, bayinya sehat, tinggal kondisi Ibunya saja yang menjadi PR. Kemungkinan besar anaknya laki-laki.""Apa ada yang mau ditanyakan?" "Kapan kira-kira saya melahirkan?""Sesuai USG tanggal 25 bulan Maret, 6 minggu dari sekarang. Namun, kelahiran bisa maju atau mundur dari tanggal prediksi, tidak pasti sama, ya, Mbak," terangnya.Usai USG, Dokter Megan menuliskan resep yang haru