Home / Romansa / NODA / 4. Pulang

Share

4. Pulang

Author: Novita Sadewa
last update Last Updated: 2022-08-31 13:06:16

4. Pulang.

Bisa aku rasakan, Mas Bian datang dan duduk di sisi sebelahku. "Nye ... apa kamu sudah tidur?" tanyanya lembut, mengusap rambut dan pundakku pun lembut. Aku bergeming, sebisa mungkin menahan kemarahan yang sudah memenuhi dada agar tidak keluar karena bisa saja menimbulkan luka baru.

"Mas tau kamu belum tidur, Nye. Maafkan mas, mas terpaksa melakukannya."

"Apa karena Mas sudah meniduri Luna?" celetukku tanpa sadar.

"Anyelir! Demi Allah, mas tidak segila itu. Mas masih waras dan tau dosa."

"Apa berselingkuh itu bukan dosa?"

"Maaf, Nye. Maaf. Mas sudah berusaha sekuat tenaga mengabaikan rasa itu, tapi mas selalu gagal." Bisa dibayangkan bagaimana rasanya hati ini saat suami sendiri mencintai wanita lain dengan begitu hebatnya? Seolah anak panah menancap tepat di jantungku saat Mas Bian mengatakan tak bisa menahan rasa cintanya pada Luna.

Aku beranjak duduk, dengan sigap Mas Bian membantuku.

"Apa karena aku kurang cantik, pendidikanku putus di tengah jalan? Bukan wanita karier seperti Luna?" Kuberanikan diri untuk bertanya sedemikian rupa. Agar semua jelas.

"Nggak, Nye. Kamu dan Luna punya kelebihan masing-masing. Kamu cantik, sangat cantik. Bahkan, jika laki-laki lain melihatmu pasti akan menyukainya."

"Lalu, Mas?"

Hening.

"Mas mau kamu, tapi mas juga mau Luna."

"Dan Mas lebih memilih Luna karena di hati mas hanya ada Luna. Bahkan saat mas bersamaku, hanya bayangan Luna lah yang ada di benakmu, Mas. Dalam tidurmu pun kamu memanggil namanya dengan mesra. Aku tau, tapi aku memilih diam karena aku tau Mas hanya memenuhi janji pada Ayah," kataku dengan amarah yang meluap-luap.

"Nye, Demi Allah. Mas tidak pernah punya niat meninggalkanmu setelah menikah, Mas memantapkan hati untuk tetap bersamamu. Mas tulus, karena Mas juga sayang sama kamu, meski akhirnya seperti ini," ucapnya meraih tanganku lalu menggenggamnya dengan erat. Aku tersenyum kecut, ya mana mungkin dia sadar sudah memanggil nama Luna dalam tidurnya.

Aku menghela napas, sebisa mungkin aku bersabar. Untuk apa berdebat jika keputusannya sudah bulat dan tidak bisa lagi di ganggu gugat? Perpisahan akan tetap terjadi, perdebatan hanya sebuah ajang untuk meluapkan emosi saja.

"Besok Pak Tarjo akan menjemputku, kebetulan Pak Tarjo kirim pesanan kue di dekat sini."

Mas Bian menoleh ke arahku, menatapku marah. "Kan, mas sudah bilang, kamu akan tetap di sini sampai anak ini lahir?!"

"Aku bisa gila kalau terus-terusan ada di sini, Mas! Melihat suamiku yang terus bermain gila dengan wanita lain."

"Mas janji nggak akan membawa Luna kemari lagi. Tadi cuma urusan kerjaan, Nye. Ada berkas yang harus Mas tanda tangani."

"Keputusanku sudah bulat, sama seperti keputusanmu. Mas berhak mengambil keputusan, begitu juga dengan aku."

Mas Bian menghembuskan napas berat. "Mas antar."

"Kalau Pak Tarjo harus pulang dan Mas belum datang, Anye akan berangkat dengan Pak Tarjo," putusku.

"Mas usahakan pulang lebih cepat."

***

Mataku terbuka bersamaan dengan berkumandangnya adzan subuh. Aku memindahkan tangan Mas Bian yang masih melingkar di pinggang dan kakinya yang mengapit kakiku. Aku baru ingat bahwa aku tertidur saat Mas Bian mengusap perutku, karena hari ini kami akan tinggal sendiri-sendiri maka aku membiarkan saja Mas Bian mengusap perutku sampai aku tertidur.

Setelah melakukan sholat subuh barulah aku membangunkannya. Dan lalu aku ke dapur menyiapkan sarapan.

"Ma, Pa, kok sudah rapi?" tanyaku saat kulihat Mama dan Papa keluar dari kamar dengan penampilan yang sudah rapi, membawa serta tasnya.

"Iya, Nye. Mama mau pulang. Mama malas bertemu Bian. Mama capek."

"Sarapan dulu, Ma. Anye sudah siapkan."

"Mama sarapan di rumah saja."

"Kenapa nggak bareng, Mas Bian?"

"Mama malas, Nye. Sudah pesan taksi."

"Oh."

"Nye, dengar Mama. Meski Bian sudah lalai dan ingkar. Mama dan Papa tidak akan ingkar, Nye. Kamu dan anak ini tetaplah menantu dan cucu kami. Ingat, Nye," ucap Mama dengan kedua tangan yang memegang pundakku.

Aku tersenyum mendengar betapa baiknya Mama Lisa padaku. "Iya, Ma."

"Bilang sama Mama dan Papa kalau ada apa-apa ya, Nye," sambungnya.

Aku mengangguk, Mama memeluk.

"Maafkan Papa ya, Nye. Papa sudah berusaha."

"Iya, Pa. Anye tau."

"Ya sudah. Mama sama Papa pamit."

Kuantar kepergian Mama dan Papa mertua hingga mereka masuk ke dalam taksi. Kemudian kulambaikan tangan begitu taksi berjalan.

Aku kembali masuk ke dalam rumah setelah taksi tak lagi terlihat.

Bersamaan dengan itu kulihat Mas Bian keluar dari kamar dengan penampilan yang sudah rapi.

"Sarapan, Mas," ajakku.

"Dari mana, Nye?"

"Nganter Mama sama Papa," jawabku berjalan menuju meja makan.

"Loh, nggak bareng Mas berangkat? Mas kira sarapan dulu," ucapnya mengikutiku menuju meja makan.

"Mau naik taksi saja katanya," jawabku, tak mungkin mengatakan bahwa mereka malas melihat Mas Bian, yang ada akan membuka pertengkaran lagi.

Kuambil nasi goreng dan telur ke dalam piring Mas Bian. Kemudian kuberikan segelas teh hangat seperti biasa.

"Makasih, Nye." Mas Bian pun segera memasukkan sendok demi sendok nasi goreng ke dalam mulutnya hingga piring itu kosong.

"Nye, kamu nggak sarapan?" tanya Mas Bian saat aku hendak membawa piring bekas makannya ke dapur.

"Nanti saja, setelah berkemas," jawabku.

"Nye, apa benar-benar sudah tidak bisa ditunda?" Mas Bian memegang lenganku, menahanku pergi untuk pergi ke dapur.

"Apa keputusan Mas benar-benar sudah tidak bisa diubah?" jawabku tanpa menatapnya. Mas Bian diam.

"Ya, kalau Mas tanya kepergianku apa tidak bisa ditunda maka jawabannya sama dengan jawaban Mas atas pertanyaanku itu. Tidak, kan?!" tegasku. Aku pun berlalu menuju dapur setelah pegangan tangan Mas Bian melemah. Segera aku membersihkan semua barang yang kugunakan untuk memasak.

Aku masak banyak hari ini. Setidaknya untuk makan malam, Mas Bian tak perlu beli. Entah, bodoh atau terlalu cinta. Sudah sesakit ini masih saja memikirkannya.

"Maafkan Mas, Nye." Mas Bian mengikutiku sampai ke dapur memelukku dari belakang tiba-tiba. Entah, sudah berapa kali kata maaf itu terucap dari bibirnya. Kata maaf yang tidak mampu mengubah segalanya.

Aku menengadah agar air mataku tidak tumpah. "Aku ikhlas, Mas. Jangan membuatku berubah pikiran dengan sikap Mas yang seperti ini." Kulepaskan tangan yang melingkar di perut buncit ini kemudian berbalik, niat hati ingin meninggalkan dapur agar tidak ada lagi perang batin namun Mas Bian menahanku, merengkuh tubuhku dan membawanya dalam dekapan.

"Mas, lepaskan, ingat, sebentar lagi kita bukan lagi suami istri. Jangan seperti ini." Dengan sekuat tenaga aku mencoba lepas dari pelukannya. Namun, ia justru semakin mempererat.

"Sebentar ... saja, Nye. Biar seperti ini," pintanya. Jujur, aku pun merindukan pelukan hangat suamiku. Pelukan tulus sebelum Luna datang dan memporak porandakan semuanya.

"Mas, sayang sama kamu, Nye."

Sayang? Dia mungkin sayang padaku, tapi dia cinta pada Luna. Sayang hanyalah sebuah bagian kecil dari cinta. Sedangkan cinta tetaplah segalanya.

"Maafkan, Mas, Mas sudah lalai, curang, dan ingkar." Mas Bian tergugu di pundakku. Terlihat begitu jelas kebimbangan dan penyesalan itu. Aku tahu hatinya bimbang antara cinta dan janji.

"Mas, sudah. Jangan memikirkan janjimu pada Ayah, pikirkan kebahagiaanmu saja. Kalau aku sudah pergi, insyaallah semua akan lebih baik." Kuurai pelukan itu, akhirnya Mas Bian mau melepaskan pelukannya.

"Mungkin dari awal sudah salah, kamu melakukan demi tanggung jawab dan kesembuhan Papa. Kamu hebat bisa bertahan sampai detik ini. Berusaha mempertahankan janji dan tanggung jawabmu padaku dan anakku." Kuhapus air mata yang tak henti-hentinya jatuh dari laki-laki yang terlihat kuat namun kali ini terlihat begitu rapuh.

"Pergilah, Mas, sudah siang. Nanti telat."

Kuraih dan kukecup punggung tangannya, agar semua tidak semakin berlarut dan membuatku kembali ragu dengan keputusanku untuk pergi.

Ia pun pergi, tak lupa pula mengecup keningku seperti biasa yang ia lakukan sebelum berangkat kerja. "Mas akan pulang cepat dan mengantarmu," ucapnya, aku mengangguk saja. Jujur, aku tak berharap dan tak yakin Mas Bian bisa menepati janjinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • NODA   197. Ending

    Besoknya mereka benar-benar kembali ke Bali tentu saja rumah kembali sepi. Sebelum pergi, mereka mempersiapkan seorang asisten rumah tangga baru dari agensi resmi untuk membantu Anyelir mengurus rumah dan Nizam. Malam harinya, aku memenuhi janji. Datang ke tempat yang sudah Anyelir beritahu sore tadi. Sepulang dari rumah sakit, aku meluncur ke sana karena Anyelir sudah menunggu katanya. Aku senang, sedikit demi sedikit dia mulai kembali mengenal dunia luar. Tidak lagi acuh dan enggan. Bahkan malam ini begitu mengejutkan. Dia sendiri yang menginginkan untuk makan di luar. Sungguh mencengangkan dan juga di luar dugaan.Setelah mobil terparkir di halaman restoran. Aku bergegas masuk, kucari keberadaan Anyelir dan kutemukan dia di meja paling ujung dekat jendela. Kulangkahkan kaki mendekatinya. Dia menoleh ke arahku dan berdebar lah jantungku saat melihat wajah dengan polesan yang membuatnya tampak begitu berbeda, sangat cantik. Penampilannya semakin sempurna dengan balutan gamis indah

  • NODA   196. 1 Bab menuju Ending

    POV Megantara[Bang, aku baik-baik saja. Aku akan mengantar Renata ke Bali. Thanks atas kesempatan dan aku tahu semua adalah siasatmu.]Kusunggingkan senyum setelah membaca pesan dari Denis yang entah sudah berapa hari menghilang dan sempat membuat kami sekeluarga kelimpungan. Sengaja, aku tidak ikut menemuinya, memberi waktu untuknya agar bisa bersama Renata yang entah kenapa tidak pernah bisa melihat cinta yang begitu besar dari Denis untuknya sejak dulu sampai sekarang, sedangkan Denis yang malang justru memilih diam dan tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaan.Aku tahu, meski telah bersama Tita, Denis belum sepenuhnya melupakan Renata. Keputusannya yang tiba-tiba, degan mudah menerima Tita tanpa pikir panjang pun aku yakin hanya karena pada saat itu dia sedang putus asa. Awalanya aku mengira dia juga sudah mati rasa. Tapi, ketika kami kembali dipertemukan di tempat yang sama, aku menangkap tatapannya pada Renata tidak berubah, tetap sama, penuh cinta. Namun, aku juga tah

  • NODA   195. Mengagumi atau mencintai 2

    Tepuk tangan menyambut begitu kami turun. "Hebat, Mas, keren," ucap mereka yang ada di lokasi pada Denis."Sip," kata Denis menunjukkan jari jempol.Keren? Apa yang keren? Menurutku justru sangat menyedihkan, tak ada teriak kebahagiaan yang harusnya aku lakukan di atas sana apa lagi perasaan bebas seperti elang, melainkan beban berat menghimpit dadaku karena sikap Denis yang terkesan acuh dan berubah, tenggelam memikirkan Tita.Aku bergegas meninggalkan mereka yang masih terlihat sibuk dengan parasut dan sabuk pengaman. Hari sudah mulai petang, sudah saatnya untuk pulang. Hari ini sudah cukup untuk menjadi kenangan."Ren, mau ke mana?" Denis berlari mengikuti langkahku."Pulang, kamu bilang kan setelah terbang cepetan pulang. Lagi pula tiket penerbanganku ke New York tinggal beberapa hari lagi, aku harus ke Bali dulu, ketemu mama sama papa. Setidaknya aku sudah memastikan kalau kamu baik-baik saja, masih sehat," jawabku melanjutkan langkah. Namun, langkahku harus terhenti karena tan

  • NODA   194. Mengagumi atau mencintai?

    POV RenataSudah hampir satu minggu aku mencarinya dan baru bisa menemukannya di sini, tempat yang sam sekali tidak ada dalam pemikiran kami sebelumnya. Sebuah tempat yang lumayan jauh dari keramaian. Entah, sudah berapa tempat di Jakarta hingga Bandung yang aku, Megantara, dan Om Hakam datangi hanya untuk menemukan pria yang saat ini sedang berada di atas sana, menikmati alam merayakan kebebasan atau mungkin juga sedang menghibur diri. Kami menemukan keberadaannya dari unggahan Instagram yang dia unggah, yang memperlihatkan pemandangan perbukitan dengan caption-nya 'Bebas'. Kemudian kami mencari tahu detail dari gambar tersebut. Di sinilah aku, di gunung Banyak kota Batu Malang. Megantara tidak ikut hari ini karena istrinya sedang kurang enak badan. Tapi dia tetap mau aku menemui Denis. Ya, kami bertiga memang sangat dekat, dia sangat khawatir dengan adiknya mungkin. Sehingga memaksaku untuk datang ke tempat yang menurutku lumayan jauh.Aku tahu ini tidak mudah. Kehilangan dua h

  • NODA   193. Menikmati karma

    POV BiantaraDengan berakhirnya sidang berarti kewajibanku pun telah berakhir. Aku bisa lebih tenang sekarang, karena Megantara selamat dari ancaman atas tuduhan pencemaran nama baik termasuk aku, karena pada kenyataanya aku juga lah yang melaporkan atas tindakan penculikan Anyelir, sebab, pada saat itu Megantara tidak ada di tempat, jadi jikalau Megantara masuk penjara aku pun sama.Hari ini akta ceraiku dengan Luna sudah dikirim melalui kuasa hukum yang aku tunjuk. Semua sudah berakhir, tak ada lagi yang tersisa. Kami benar-benar sudah berakhir dan ini aku nikmati sebagai bentuk dari segala karma atas perbuatan dan status yang sempat aku sematkan pada wanita yang tanpa aku sadari mampu membuat hatiku berdenyut sakit setiap melihatnya bersama laki-laki lain. Wanita yang membuat hatiku teriris setiap melihatnya menangis. Aku telah menjanda kan Anyelir dan sekarang aku didudakan oleh Luna. Apa lagi kalau bukan karma yang dibayar tunai?Kuketuk pintu bercat putih setelah penjaga memberi

  • NODA   192. Permintaan Maaf

    Pintu kamar ditutup dengan kasar menimbulkan debar di dalam dada karena keterkejutan. Aku memutar badan sambil mengusap dada pelan, setelah sebelumnya melangkah masuk kamar terlebih dahulu. Kemudian memutar bola mata mencari jawaban apa yang terjadi pada wanita yang saat ini menatap nyalang ke arahku. Kuangkat dagu seraya menyipitkan mata bertanya. "Kenapa?""Kenapa? Tadi kamu bilang apa? Mas Bian kucing? Kalau Mas Bian kucing terus kamu apa? Buaya?" tanyanya sambil marah-marah."Buaya? Buaya apa, sih?!" Aku balik bertanya karena merasa kurang begitu paham. Bukan kurang tapi memang tidak paham."Kalau bukan buaya apa namanya lelaki yang suka deketin wanita lain begitu ada kesempatan? Nggak mau rugi," ucapnya penuh penekanan."Apa sih, Anye? Kamu kalau Biantara ngomong langsung aja masuk otak kiri nggak keluar-keluar, klop banget.""Mau balik melempar kesalahan, ni, romannya," sindirnya."Enggak, orang aku ngga deketin ngapain? Jangan cemburu gitu, ah," candaku."Bukan cemburu, tapi m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status