**Aku langsung berteriak melihat suamiku, berpelukan dengan wanita lain di hadapanku.Sedang Arya dan wanita yang ada di dalam pelukannya langsung saling melepaskan dan si wanita membalikan badan, buru-buru mengambil jaket dan menutupi wajahnya. "Siapa itu, Mas?" tanyaku mendekat, degupan jantungku meningkat dan ada sesuatu yang membuatku seolah tak rela suami di sentuh lain wanita."Pergilah dulu, aku akan coba menenangkan Ariska," ujarnya pada wanita yang masih menutup wajahnya itu."Kamu siapa? Dengan caramu menutup wajah seperti ini aku makin berasumsi yang salah tentang kalian?" ucapku pada wanita itu dia tak peduli padaku, malah segera ingin menjauh.Dadaku berdebar melihat adegan itu, cara Mas Arya menyentuh bahu si wanita amat mesra dan bermakna dalam. Dan aku menyaksikan seolah terhimpit sesak dan kalap, aku ingin sekali marah, namun tak punya alasan sebelum mendapatkan kesimpulan paling kuat untuk meluapkan emosi."Tunggu dulu, aku sedang bertanya padamu!" Aku mengejarnya
Malam ini kami tidur di ranjang yang sama, namun suami tercinta yang dulu tak pernah melepaskan pelukannya, kini terlelap membelakangi istrinya. Kubalikkan badan, setelah beberapa saat menatap punggungnya, dan air mataku tumpah begitu saja di permukaan sarung bantal bermotif bunga.Perasaan ini nelangsa karena tak pernah diperlakukan demikian acuh oleh dia, sedih merasa kehilangan separuh jiwa karena kebungkamannya."Mas Arya ...." Dia membungkam.Aku ingin membalikkan badan, memeluknya dan berharap dia mengampuniku dan kembali membawaku ke hangat dadanya, di mana aku selalu berlabuh tiap malam di sana. Tapi, sayang, dia beku.Keesokan paginya, aku terbangun sambil meraba tempat tidur, namun tak kutemukan seorang pun di sampingku. Sambil bangkit, kucoba mengumpulkan kesadaran dan membuka tirai jendela, terlihat Mas Arya sedang menyiram rumput dan halaman depan rumah kami.Ponselnya berdenting lagi, terlihat sedang di isi daya dengan sambungan listrik. Ingin sekali kubuka ponsel itu
Sesaat aku langsung tertegun, kaget, tidak tahu harus mengatakan apa dan bagaimana. Sahabatku bicara tapi, seolah posisi kami bergantian kini aku yang hanya terdiam Ndan memperhatikan topi yang tergantung di dinding kamarnya."Uhm, Ariska, kamu lagi apa?""I-ini topi kamu?" tanyaku dengan suara tercekat."Actually, itu ... hanya ...."Dia tertawa gugup sambil menggaruk tengkuknya, dan di saat bersamaan, seorang wanita masuk ke apartemen Bella dan langsung menyapa."Bell, lo lagi ngapaain, gue mau ambil topi gue," ujar wanita itu santai dan langsung merangsek ke kamar Bella."Oh, silakan, sorry gue balikinnya lama," balas Bella sambil tertawa.Sesaat aku sempat berfikir .. ya, seseorang bisa menebak kalau aku mengasumsikan apa setelah melihat layar ponsel Mas Arya.Namun kehadiran wanita yang masuk baru saja membuatku bingung dan tidak tahu harus menuduh siapa."Dia siapa Bella?""Dia Irene, tetangga apartemenku, dia bekerja sebagai fotografer di sweetMemo studio, yang bersebrangan de
Mas Arya mengajakku tidur, direbahkannya aku pada lengannya dan kami tidur dalam posisi berpelukan. Hatiku terasa gerimis oleh sikap suami yang kembali manis. Sebenarnya jika ditinjau dari bahagianya rumah tangga kami, seharusnya aku tak perlu curiga begitu jauh pada Mas Arya. Cukup percaya bahwa dia akan menjaga hatiku dan memelihara kesucian ikatan yah sudah ia kukuhkan di hadapan Allah.Aku harusnya jadi wanita yang paling bahagia, suamiku tampan, gajinya besar, rumah kami juga mewah danntak kurang satu apapun. Njn sejak nomor asing itu masuk ke ponselnya dan melihat gelagat dia yang makin hari makin tertutup, kurasa memang ada yang tidak beres di sini.**Adzan subuh berkumandang dan aku langsung bangkit untuk membersihkan badan dan menghamparkan sejadah pentas melangitkan doa agar terangkat semua beban dan praduga.Harapan yang kuuntai dari butiran tasbih yang bergulir adalah, semoga rumah tangga kami langgeng selamanya, semoga rumah ini adalah Jannah untuk kami berdua dan c
Mereka langsung terkejut dan salah tingkah, di wanita mundur sambil mengusap bibirnya sementara Mas Arya langsung mendekat."Ariska, ngapain kamu di sini?" tanya Mas Arya yang masih tak sanggup menyembunyikan keterkejutan."Ngeliat kamu yang lagi pacaran dengan sahabatku," jawabku dingin. Aku maju dan mendekat dengan tatapan tajam pada mereka berdua "Kita gak pacaran? Ini hanya...." Mas Arya berusaha melindungi Bella di belakang punggungnya."Perselingkuhan kan ya?"tanyaku sinis dengan suara lantang."Bukan ... Ini bisa dijelaskan," ujar Mas Arya sambil menarik lenganku."Jangan mendekat kamu, Mas!" Aku berusaha menjauh darinya."... kamu juga Bella, aku gak nyangka ya, kamu setega ini dengan sahabat sendiri?!"Wanita itu bersembunyi sambil memeluk pinggang Mas Arya, melihat kemesraan mereka hatiku makin panas rasanya, terlebih ketika Mas Arya juga membalas sentuhan wanita itu dengan genggaman pasti.Apa yang harus aku ucapkan untuk menggambarkan bagaimana sakitnya perasaanku saat i
Sebenarnya aku ingin sekali menghajar Bella namun karena Mas Arya melindunginya, aku tak bisa berbuat banyak. Kuseret langkah meninggalkan lorong apartemen itu sambil mengusap air mata. Lututku lunglai dan tak bisa kubayangkan lagi betapa sudah berkeping kepingnya perasaan ini.Aku tidak menyangka dan kejutan yang ada di depan mata membuatku amat merasa, uka yang begitu buruknya.Kukendarai motor kembali ke rumah dengan hati remuk redam, jiwaku teriris dan luka di dalamnya berdarah tak karuan bentuknya. Aku sampai menghentikan motor dan turun untuk menangis di pinggir jalan. Sengaja kupilih tempat yang cukup gelap dan sepi agar bisa meluahkan sakit hati. Aku menangis meraung sejadi-jadinya, dan membungkuk dindekat drainase.Selagi tenggelam dalam kesedihan itu, seorang pria mendekat, pria yang memakai baju olah raga dan helm sepeda. Ia parkirkan sepeda di atas trotoar lalu mendekat padaku."Ada apa menangis Mbak? Tempat gelap seperti ini tidak aman untuk menangis sendiri," ujarnya sa
"Izinkan aku nikah sama Mas Arya," ucapnya meluncur begitu saja.Mendengar itu rasa-rasanya cangkir kopi yang kugenggam akan pecah karena kerasnya tekanan tangan menahan emosi. Ya Allah, ya Rabbi bisa-bisanya wanita yang kemarin bertengkar denganku datang ke rumah, duduk di kursi taman belakang dan meminta suamiku."Apa?" tanyaku pelan, setengah tak percaya."Aku sudah bicarakan ini dengan Ibu mertuamu, dan dia bersedia mengizinkan Mas Arya poligami," jawabnya. " ... tinggal keputusan dari kamu aja.""Aku gak percaya Ibu mertua melakukan itu," jawabku tertawa getir."Aku berani mengajakmu untuk membuktikan kata calon mertuaku, kau yang akan malu mendengar ungkapan setujunya nanti. Ayo pergi jika kau ingin menambah luka hati," jawabnya pelan namun menusuk jantung."Haruskah kamu menambah garam di atas luka yang ada?" Sisi lemahku muncul begitu saja."Kenyataan harus kau hadapi, sedang aku juga tak mau rugi. Mas Arya sudah menganggapku sebagai istri dan ibunya setuju aku jadi pendampin
Aku sudah sangat lelah menangis hingga jatuh tak sadarkan diri di pelukan suami. Keesokan hari kubuka mata dengan lemah, berharap bahwa kejadian kemarin hanya mimpi yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Membayangkan aku akan membagi suami dengan Bella membuatku ingin menghentikan waktu sampai di sini saja, aku ingin diam di titik ini dan tidak ingin melangkahkan kaki maju ke depan dan tersakiti.“Kamu udah bangun , Sayang?” Tanya Mas Arya yang datang dan berlutut di depanku, menatap matanya yang selalu mengisyaratkan cinta dan melelehkan hati, air mata ini kembali tumpah begitu saja.“Aku berharap tidak akan pernah bangun lagi dari tempat ini, Mas, aku terlalu pengecut untuk menerima kenyataan pahit.”“Aku tahu, ini kesalahan terbesarku yang terlalu terjebak hawa napsu, aku lupa mencemaskan perasaanmu, hingga aku terseret jauh.” Ia mendesah sambil mengusap wajahnya, lantas menggenggam tanganku dengan penuh cinta.“Semalam Bella menginap di sini untuk merawatmu, ia baru pulang pagi
Mengetahui kenyataan bahwa pria ini adalah sosok yang penting, aku merasa takut untuk dekat dengannya, khawatir pada sikap lembut yang akan membuatku terbawa perasaan hingga merasa nyaman, lalu pada akhirnya perasanku dikecewakan, ya, aku merasa harus menjaga jarak saat ini juga."Maaf, aku tak bisa lama-lama, aku harus pulang," ucapku menjauh dari ruangan itu."Lho bukannya kita baru sampai?""Maaf, aku tak bisa lama di sini, aku merasa tidak sehat," jawabku membuka pintu, namun gerakan pemuda itu juga tak kalah sigapnya.Dia menahan tanganku yang memegang lengan pintu lalu menatapkpu dengan tatapan lembut, lalu mengarahkan punggung tangannya di keningku untuk memeriksa bahwa aku sakit atau tidak."Tapi, suhu tubuhmu normal, kau kenapa?""Aku hanya merasa tidak nyaman, aku pulang ya," ucapku menjauh dengan langkah cepat.Roni mengejarku sampai ke pintu lift, namun segera kupencet tombol ketika aku telah berhasil masuk ke dalamnya, sehingga ia tak bisa menyusul masuk ke dalam lift.Ke
Pemuda itu pergi, meninggalkan aku dan Irene dengan sejuta kegamangan yang sulit kami pahami. Entah kenapa meski kusebut ia malaikat penyelamat, tapi aku juga penasaran, tertarik kepada latar belakang dan alasan kenapa dia mau melakukan ini untukku."Masak, baru kenal mau nikahin Mbak, kan aneh?""Mungkin itu hanya cara dia untuk menenangkan kita, tidak mungkin juga ada orang yang ujug-ujug datang lalu menikahi tanpa mengenal atau menjajaki.""Tapi bisa saja dia sudah lama melihat Mbak dan menaksir, dan di saat dia sudah mendapatkan kesempatan, dia lalu menunjukkan dirinya.""Ah, analisamu terlalu jauh, dia hanya kebetulan bertemu dengan kedua kali dan mungkin merasa kasihan."Airin yang daritadi berguling di tempat tidur langsung bangkit dan mendekat padaku lalu menyentuh bahuku."Bagaimana kalau ungkapan dia tentang rencana ingin menikahi Mbak, ternyata sungguh dilakukannya?""Yah, aku bukan anak kecil yang mau saja diarahkan ke mana kehendak orang lain. Aku juga berpikir Irene,"
Dia memelukku, berkali kali mencium bahuku mengatakan kalimat 'maaf. Berulang ulang tanpa henti."Apakah sungguh hamil, sungguh kau hamil?" Pria itu terlihat menangis namun juga dia tersenyum bahagia. Aku berusaha melepas pelukannya dan menepisnya mundur dariku."Siapa yang mengatakan itu, itu tidak benar, aku tidak hamil, aku mandul," jawabku dengan tatapan nanar."Jangan berbohong," ujarnya meraih jemariku."Ini kenyataan, aku tidak mengandung!" jelasku tegas."Teman kamu sudah memberi tahuku," ungkap Mas Arya berusaha memeluk lagi.Tiba-tiba dari balik pintu, Irene muncul dan menatapku dengan Iba sekaligus memberi isyarat minta maaf."Irene apa maksudmu?""Mbak, katakan aja yang sebenarnya, mbakngak bisa begini, tersiksa sendiri," ujar Irene pelan."Ya, ampun, aku baik baik aja, aku gak hamil! Jangan beritahu apa apa lagi, dia bukan suamiku lagi, aku tidak punya hubungan apa apa dengannya," jawabku."Mas Arya .. Mbak Bella dan ibunya Mas datang kemari dan mengintimidasi Mbak Risk
"Sungguhkah kau pernah melihat saya?" Pertanyaan itu hanya pertanyaan pura-pura saja, karena aku tidak tahu harus menjawab apa. "Iya, Mbaknya lupa, kenalkan saya Bima, Mbaknya namanya, siapa?" "Saya Ariska." "Kalau mau, saya berniat mengantarkan Mbak Ariska pulang, karena hari mulai mendung dan khawatir jam operasional bis kota sudah berakhir," ucapnya. Kupikir benar saja omongannya, waktu memang sudah menunjukkan pukul 5 sore dan itu artinya aku tidak perlu mengharapkan bis lagi. "Saya akan menumpang taksi online saja," ucapku pelan. "Hmm, kenapa harus membayar kalo ada yang gratis, saya bukan orang jahat kok, kalo misalnya Mbak Ariska ragu, mbak bisa duduk di belakang," jawabnya. Aku sesaat ragu, namun kembali pria itu meyakinkanku. "Ayo, hari sudah mulai hujan," ajaknya sembari menunjuk rintik-rintik hujan yang mulai berjatuhan. "Baiklah jika kau memaksa, tapi izinkan saya membayarnya," jawabku pelan. "Ya, terserah Mbak saja," jawab Pria itu yang kemudian mmbangkit, menyer
Setelah jam kerja berakhir, aku menaiki taksi menuju komplek rumah Mas Arya yang merupakan rumahku dulu.Kuhentukan taksi dan menyuruhnya menunggu, lalu menelpon Mas Arya dan memintanya menurunkan perhiasanku."Kamu ambil sendiri aja, aku lagi sakit, pusing," ucapnya."Aku udah bilang, aku enggan ketemu Bella," jawabku."Bella gak ada, aku sendirian di rumah.""Apa mungkin setelah pernikahan kalian wanita itu tidak tinggal di rumah?""Dia memang tinggal di rumah dan sedang keluar bersama Mama," jawab Mas Arya dengan datar."Oh ya ...." Nada bicaraku tercekat karena tadinya ingin menanyakan dimana wanita itu tidur, apakah dia tidur juga di ranjang yang sama dengan panjang yang pernah kami pakai atau di tempat lain? Tapi, satu saja aku sudah tahu jawabannya."Aku akan masuk ke dalam dan segera pergi," jawabku, mematikan ponsel lalu masuk ke dalam.Ketika pintu terbuka Mas Arya yang baru turun dari lantai 2 langsung berpapasan denganku. Tatapan mata kami beradu dan aku langsung membuang
Mobil ambulans mendengungkan sirine yang tak kalah kalapnya dengan perasaanku sekarang, sakit diperut, luka di hati, tubuh yang lemah, semua adalah paduan sempurna yang akan membunuhku, lalu aku sadar bahwa semuanya sudah terlambat untuk diperbaiki. Akhirnya diri ini jatuh dalam kesendirian, dan habis sudah.Kubuka mata perlahan, mencoba memindai dan menyesuaikan pandangan mata terhadap cahaya ruang rawat yang terang.Pakaianku susah diganti dengan baju rumah sakit, di tangan tertancap selang infus. Aku berusaha ingin bangkit namun kepalaku pusing, mendadak berputar dan tidak ada yang bisa kulakukan selain pasrah diranjang.*Matahari beranjak naik, meninggi menimbulkan kesilauan yang memantul dari balik jendela kaca, aku terbangun.Ketika kubuka mata, seorang perawat sedang memeriksa selang infus dan menggantinya dengan botol baru."Suster apa saya boleh pulang hari ini?""Oh, maaf Bu, belum boleh karena kondisi ibu dan calon bayi Ibu sedang lemah.""Apa yang terjadi pada saya?""Ane
Setelah seminggu berlalu Aku sama sekali tidak tahu apa yang telah terjadi kepada Bella dan kandungannya, tidak ada kabar saama sekali, hanya Irene yang sesekali menelpon dan memberi tahu bahwa akhir akhir ini tugas kantornya sangat menumpuk dan cukup menyita waktu, aku bisa maklum, sehingga kukatakan padanya agar dia tak perlu terlalu mengkhawatirkanku.Ketukan di pintu ketika aku hendak berangkat kerja, mengangetkan sekali. Perlahan kubuka dan ibu mertua berdiri di sana.Aku enggan pengen sekali untuk berurusan dengan wanita ini karena dia pasti akan selalu menyudutkanku, namun tak sopan rasanya jika aku harus mengusirnya."Tidak perlu khawatir, aku datang untuk terakhir kalinya menjumpaimu," desisnya dengan tatapan mata kejam."A-ada apa, Bu?" Aku takut dan galau khawatir dia telah mengetahui kehamilanku dan berencana untuk merebut bayiku."Ini ambillah," ungkapnya sambil melempar kertas ke wajahku.Kupungut kertas-kertas yang jatuh dan entah kenapa dadaku semakin bergemuruh karen
"Tunggu, Ariska, Maaf, tadi aku hanya bertanya," ungkapnya menahan lenganku."Menuduh dalam pertanyaan, kan, Mas?""Mungkin pemilihan kata yang salah," ujarnya pelan."Mungkin iya, dan maaf aku terlanjur tersinggung, lepaskan lenganku," jawabku sembari menyapu air mata untuk terakhir kalinya.Aku naik ke lantai tiga, menutup pintu dan sekali lagi mengemas tangis yang masih tersisa. Irene yang melihatku datang dengan air mata, hanya menatap miris dan mendekat."Aku udah cegah, makanya mbak gak usah turun," ujarnya datang dan menepuk bahuku pelan."Aku hanya ...." Aku mendongak padanya dengan deraian air mata."Ya, aku paham, masih ada nilai kasih sayang yang tertinggal dalam hati Mbak terhadap Mbak Bella, tapi, kini semuanya udah beda," jawabnya lirih.Kutatap wajah Irene yang iba, uang yang sudah dipungut dan diletakkan di atas meja, juga sisa baju yang masih berserakan, hatiku makin tak karuan rasanya."Aku saat ini sungguh hancur, Rin, aku sedih, hanya butuh didengarkan dan dirangk
Seolah flashback pada kisah sinetron Rahasia Ilahi yang kerap kusaksikan di masa kecil, akhirnya manusia durhaka itu mendapatkan musibah setelah baru saja menyakiti perasaanku.Sekali lagi aku ingin mengkonfirmasi yang terjadi kepada pria itu dan bertanya padanya,"Hmm, apa Bapak yakin bahwa wanita berbaju merah yang baru turun dari flat saya adalah orangnya?""Iya, Bu. Wanita itu baru saja bertengkar dengan petugas keamanan lain karena ditegur sudah membuat keributan, dia berteriak dan langsung oleng terjatuh ke dalam selokan besar."Mendengar jawaban petugas keamanan itu, Irene langsung tertawa terbahak-bahak, dia terlihat buah sampai-sampai tidak mampu mengendalikan suara tawanya."Lalu bagaimana keadaannya sekarang?" "Pingsan di dalam kubangan comberan," jawabnya.Siapa yang tidak geli sekaligus miris mendengarnya, wanita yang baru saja angkuh dan mengacak-ngacak barang dagangan kami, tiba-tiba sudah dihinakan Allah dengan menjatuhkan dia dan menjadikan dia bahan tertawaan oran