Dinda memainkan ponselnya, membuka aplikasi sosial media miliknya, instagram.
Dinda tersenyum ketika melihat fotonya dengan Alisya, Dalvin dan Dirinya. Mereka bertiga memang sudah sahabatan semenjak duduk di bangku SMP, Alisya yang tomboy, Dalvin yang pintar walau nakal, dan Dinda yang tidak terlalu banyak bicara.Dulu ketika masih sekolah, mereka hampir setiap hari menghabiskan waktu bersama, tidak pernah ada kata bosen mengganggu pikiran mereka. Tetapi, mereka terpaksa harus berpisah, ketika Dalvin memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Australia, jarak yang sangat jauh. Hingga, tiga tahun yang lalu Dinda mendapat kabar kalau Dalvin balik lagi, dan menjalin hubungan yang cukup serius dengan Alisya.
Dinda tersenyum, ia sungguh tidak menyangka kedua sahabatnya ini bejodoh, ia ikut bahagia melihat mereka berdua akan segera melaksanakan pertunangan. Tetapi ia juga bingung, bagaimana caranya ia membucarakan hal ini kepada Ardzan, sedangkan Ardzan pasti memilih untuk liburan ketimbang datang ke acara pernikahan Alisya dan Dalvin.
Dinda mencoba menghubungi Ardzan, tetapi Ardzan tidak mengangkatnya padahal nomornya handphonenya Aktif, Dinda mencoba kembali menelphone Arddzan, tetapi kali ini telphonenya malah di rijek oleh Ardzan.
Sebenarnya Ardzan sedang apa, segitu sibuknya sampai tidak ada waktu untuk mengangkat panggilan dari Dinda.
Dinda menaruh ponselnya di atas meja, lalu ia kembali rebahan di kasur, namun saat ia mau memejamkan kedua matanya, ponselnya tiba-tiba bergetar, dengan cepat Dinda meraih ponselnya, ternyata Ardzan menelphonenya balik.
Sambil mengembangkan senyumnya Dinda mengangkan panggilan dari Ardzan.
"GANGGU TAU GAK! MAU APA SIH LO TELPHONE GUE! KALAU GAK ADA YANG PENTING MENDING TUNDA OMONGAN LO BESOK PAGI! GUE LAGI SIBUK, GAK USAH HUBUNGIN GUE LAGI!" bentak Ardzan dari sebrang sana.
Dinda diam, ia sudah tidak kaget melihat respon Ardzan seperti ini, bahkan dengan seenaknya Adrzan mematikan telphonenya, padahal Dinda belum berbicara sama sekali.
Dinda menghembuskan nafasnya dengan pelan, ia menarik selimutnya, lalu mencoba memejamkan matanya, hingga ia benar-benar terlelap.
****
Ardzan kembali menaruh ponselnya disaku celananya, sial Dinda selalu saja membuatnya marah, mengganggunya. Tidak tau apa Ardzan tengah sibuk dinner dengan Vionita, dengan wajah yang terlihat badmood Ardzan kembali mengunyah makanannya.
"Kenapa Mas?" Tanya Vionita.
Ardzan melirik Vionita, "Tiba-tiba gak mood."
"Dinda lagi?" Tanya Vionita.
Ardzan mengangguk dengan malas.
Vionita tersenyum, ia memegang kedua tangan Ardzan, "Kan ada aku Mas."
Ardzan ikut tersenyum, "Terimakasih Vi, kamu memang beda dengan Dinda."
"Pastinya, aku akan buktikan sama kamu kalau aku jauh lebih baik dari Dinda, Mas."
"Gak usah ngebuktiin, tanpa kamu ngebuktiin, sudah jelas kamu itu jauh lebih baik dari Dinda," ujar Ardzan.
Vionita kembali mengukir senyuman di kedua sudut bibirnya, ia percaya sebentar lagi Ardzan akan menjadi milik Vionita seutuhnya.
"Kamu jadi libutan sama Dinda?" Tanya Vionita.
"Jadi, aku sudah pesan tiket dan hotel serta keperluan disana," jawab Ardzan.
Vionita diam, padahal ia berharap ia yang diajak Ardzan liburan ke pulau Bali.
Ardzan menggenggam kedua tangan milik Vionita, "Aku gak akan lama, aku cuma seminggu disana."
"Janji?"
Ardzan mengangguk, "Aku janji, kamu tau sendiri aku gak bisa sehari aja gak ketemu sama kamu."
"Kalau gak ketemu sama Dinda?"
Ardzan terdiam, terkadang ia bingung sendiri sama hatinya. Tetapi yang pasti, saat ini kalau Ardzan bertemu dengan Dinda pasti bawaannya Ardzan selalu ingin bertengkar terus dengannya.
"Aku gapeduli aku gak ketemu sehari, dua hari bahkan setahunpun sama dia," jawab Ardzan.
Vionita mengembangkan senyumnya, "Really?"
Ardzan kembali mengangguk, "Tentunya, karena kamu jauh lebih penting dihidup aku, Vi."
Mereka berdua saling memandang, pandanhan Vionita tak pernah ber-alih dari Ardzan, begitupun dengan Ardzan yang terus memandang indah kecantikan Vionita.
Memang kalau dibanding dengan Dinda, bentuk fisik Vionita masih kalah jauh dengan Dinda, Body milik Dinda jauh lebih sempurna, berat badan yang ideal 50 Kg serta tingi badan yang idel juga 165 cm. Sedangkan Vionita, terlihat lebih pendek dari Dinda dan tubuhnya juga sangat kurus. Tetapi bukannya standar cantiknya perempuan indonesia itu, berkulit putih dan kurus? Sama halnya dengan Vionita.
Setelah acara makan malam selesai, Ardzan mengantarkan Vionita pulang ke rumahnya.
Diperjalanan Vionita terus menyandarkan kepalanya dibahu Ardzan, sambil terlelap tidur. Sedangkan pikiran Ardzan lagi memikirkan Dinda, ia harus cepat-cepat memberi pelajaran kepada Dinda karena sudah berani-beraninya menganggu Ardzan dengan menelphone Ardzan berulang-ulang.
Setelah sampai di depan rumah Vionita, dengan pelan Ardzan membangunkan Vionita yang sedang tertidur pulas.
"Vio, udah sampai," kata Ardzan.
Vionita membuka kedua matanya perlahan.
"Ini di rumah aku?" Tanya Vionita yang nyawanya belum terkumpul semua.
Ardzan terkekeh, "Rumah siapa lagi kalau bukan ruma kamu, Vi?"
Vionita menatap Ardzan, "Kenapa sih cepet banget? Aku masih pengen berduan sama kamu."
Ardzan mengelus rambut Vionita dengan lembut, "Besok kita jalan lagi."
"Serius?" Tanya Viona terlihat sekali ia sangat bahagia mendengarnya.
Ardzan mengangguk, "Iya."
Vionita memeluk Ardzan, "Makasih ya, selalu nurutin apa mau aku."
Ardzan mengecup puncak kepala Vionta, "Itu tugas aku."
Ardzan juga membalas pelukan Vionita, tangannya sambil mengelus rambut Vionita kembali denga sangat lembut.
Bersambung...
Dinda dan Dalvin mengelilingi beberapa tempat yang menjual koleksi barang-barang untuk oleh-oleh dari bali, Dalvin paham Dinda pasti mengajaknya hanya ingin meminta saran barang apa saja yang cocok untuk Ardzan.“Vin, kayaknya Ardan suka kemeja pantai deh. Katanya kemaren dia gak bawa sama sekali, mau beli juga belum sempat. Ada sih satu di kasih pihak hotel, tap ikan sudah pernah dia pakai. Kamu tahu sendiri kan Ardzan orangnya bagaimana? Barang sekali pakai buang,” ujar Dinda sambil memegang kemeja pantai berwarna biru muda.“Kayaknya Ardzan lebih suka warna formal deh, hitam atau putih,” usul Dalvin.“Kamu tahu dari mana?” tanya Dinda bingung.“Ngapain kamu ajak aku kesini?” tanya balik Dalvin.“Buat minta saran.”“Nah, itu kamu tahu.” Dalvin terkekeh, “Aku emang gak terlalu dekat sama Ardzan bahkan gak deket, tapi pertama kali aku lihat dia, aku udah nebak kala
Dinda terlelap dalam tidurnya, tetapi tiba-tiba sebuah tangan melingkar di pinggangnya, Dinda membuka matanya. Ia tersenyum mendapati Ardzan yang tertidur pulas disampingnya. Mungkin, Ardzan seharian cape, jadi membuatnya belum bangun tidur pagi ini.Dinda menatap lekat kedua mata Ardzan, dengan pelan Dinda mengelus wajah Ardzan.“Zan, bahkan perasaan aku masih sama… aku tidak bisa membincimu, sekalipun perlakuan kamu terhadapku menyakiti aku…” ucap Dinda dengan pelan.Dinda melingkarkan tangannya kepada Ardzan, lalu Kembali menutup matanya. Membiarkan perasaanya tenggelam, terlelap dalam tidurnya.Namun, baru saja Dinda menjelajahi alam mimpinya, Ardzan membangunkannya dengan kasar. Ardzan melempar tubuh Dinda ke lantai, hingga membuat Dinda terbangun.“BANGUN JUGA LO YA?!” Bentak Ardzan.“Sakit zan,” Dinda bangun dan menyamakan tingginya dengan Ardzan.Ardzan menatap Dinda dengan tat
Ardzan tak pernah melepas rangkulanya terhadap Dinda, bahkan sampai masuk ke dalam restoran. Sedangkan Dalvin yang menatap mereka berdua hanya menelan salivanya. Shit! Ini bukan rencana Dalvin, kenapa Ardzan harus ikut?“Itu Lovely sama Angkasa,” ujar Dinda Ketika melihat Lovely dan Angkasa.Lovely, Ardzan dan Dalvin langsung menghampiri mereka berdua.“Apa kabar bro?” tanya Angkasa kepada Ardzan.“Saya baik,” ucap Ardzan dengan wajah datarnya.“Cuma lo ya yang dari dulu nyaingi wajah datar gue,” ujar Angkasa sambil terkekeh.Pasalnya Angkasa dan Ardzan waktu jaman sekolah disebutnya batu es, bedanya Angkasa lebih liar, ia punya geng yang terkenal seantero penjuru sekolah. Sedangkan Ardzan, diem yang emang benar-benar diam, atau kata anak jaman sekarang itu kurang gaul.Ardzan tersenyum tipis, “Anda lebih menang dari saya Kas.”“Lo juga masih kaku dan baku,&rdquo
Ardzan masuk ke dalam kamar hotelnya, ia tidak sendiri. Tetapi Bersama dengan Vionita, sekretarisnya di kantor. Dengan masih menggunakan piyamanya Dinda menghampiri Ardzan, Dinda terkejut melihat Ardzan merangkul Vionita dalam keadaan mabuk. Tidak, Vionita sama sekali tidak mabuk, tetapi Ardzanlah yang sepertinya dalam keadaan mabuk berat.“Ardzan kenapa, Vi?” tanya Dinda yang panik melihat kondisi Ardzan.“Dia terlalu banyak minum tadi di Bar,” ujar Vionita.Dinda mengambil tangan Ardzan, tetapi Ardzan malah menepisnya. Bahkan Ardzan mendorong tubuh Dinda hingga Dinda terpental ke lantai. Kekuatan Ardzan sepertinya tidak akan hilang walaupun ia dalam kondisi setengah sadar seperti ini, buktinya ya seperti ini.“Bia aku aja,” kata Vionita.Vionita membawa Ardzan ke kamarnya, sedangkan Dinda mengikutinya dibelakang. Dinda mulai membuka satu persatu pakaian Ardzan, mengganti pakaiannya Ardzan, Dinda mencoba untuk t
Dinda membuka laptopnya, melihat beberapa koleksi foto kebersamaannya dengan Ardzan waktu awal-awal mereka menjalin hubungan, dulu Ardzan tak pernah sekalipun menyentuhnya, tetapi Dinda juga bingung sampai saat ini, kenapa Ardzan bisa semudah itu berubah? Tapi, baik Ardzan yng dulu ataupun Ardzan yang sekarang, Ardzan tetap kekasihnya. Suara bel terdengar dari arah luar pintu, Dinda langsung membukakan pintu, siapa tau Ardzan Kembali dan meminta maaf atas perlakuannya, ternyata yang datang bukan Ardzan, melainkan Dalvin. “Wajah kamu kenapa memar? kamu abis di tampar sama siapa?” tanya Dalvin bertubi-tibi, membuat Dinda bingung harus menjawab apa. Dinda berfikir sejenak, “Aku tadi jatoh, muka aku kena deh biru.” “Yakin jatoh?” tanya Dalvin, ia seperti kurang percaya akan jawaban Dinda. Dinda mengangguk, “Iya, Dalvin.” “Mangkanya hati-hati, ambilin Kompresan air anget, kalau gak dikompres lebam di wajah kamu gak akan ilang.” Dalvin langs
Dinda duduk di pinggir pantai yang berada tidak jauh dari hotelnya, Dinda menikmati dinginnya pantai, bersamaan dengan hembusan angin pagi yang membuat sekujur tubuhnya merasa kedinginan sedikit. Dalvin yang sedari tadi memperhatikan Dinda dari jauh, ia mendekati Dinda, melepas jaketnya dan menaruhnya di Pundak Dinda, lalu Dalvin duduk disebelah Dinda. “Katanya mau meeting?” tanya Dinda, dengan wajah yang melihat lurus ke depan. “Gak sepagi ini juga Dinda,” jawab Dalvin. Dinda terkekeh, “Siapa tahu gitu, kamu kan orangnya kerajinan.” “Tergantung, kalau kamu ikut aku pasti dateng paling awal.” “Loh, kok aku?” tanya Dinda bingung. Dalvin tertawa, “Kalau aku sama kamu kan kenal udah lama jadi gak boring aja gitu, kalau sama Ardzan kan lihat aja kaku banget dia.” “Ardzan gak kaku, mungkin belum akrab kali,” Dinda tersenyum. “Tapi, bukannya dari SMA dia gak banyak omong ya?” tanya Dalvin memastikan. Dinda men
Ardzan dan Dinda tiba di hotel bintang tujuh, hotel paling terkenal di Bali dengan segala fasilitasnya yang sangat mewah. Iya, mereka saat ini sudah berada di pulau Bali, dan itu artinya liburan keduanya telah dimulai.“Kamar gue yang ini, 102.” Ardzan menunjuk pintu kamarnya, “Dan kamar lo, yang itu.”Dinda mengangguk, “Iya, Zan.”“Lo gak boleh masuk ke kamar gue, tapi gue boleh masuk semau gue ke kamar lo,” jelas Ardzan.Tentu saja Dinda membulatkan matanya, karena itu tidak adil baginya.“Gak bisa gitu dong Zan,” kata Dinda membela dirinya sendiri.“Kalau lo bisa bayar sendiri, silahkan! Tapi, selagi masih gue yang bayarin, gue berhak ngelakuin apa aja yang gue suka!” ujar Ardzan, sambil tersenyum sinis, lalu masuk ke dalam kamarnya.Sedangkan Dinda hanya diam mematung, Dinda bingung kalau begini caranya Ardzan tandanya memanfaatkan keadaan, tetapi ia yakin Ard
Dinda mencintai Ardzan tanpa syarat, Dinda rela menunggu sangat lama, karena ia yakin suatu saat nanti es batu yang ada pada diri Ardzan akan mencair, sikap dingin dan kasarnya akan berubah sejalan dengan waktu, Walaupun Dinda harus bersabar tanpa batas, itu gak masalah bagi Dinda.Dinda tersenyum melihat ke arah Ardzan yang sibuk menyetir, karena hari ini mereka akan ke bandara, untuk pergi ke Bali. Iya, sekarang waktunya liburan untuk mereka berdua, Dinda berharap dengan mereka liburan berdua, akan membuat keadaan menjadi lebih baik.“Kenapa lo liatin gue terus?” tanya Ardzan yang sebenarnya dari tadi paham akan Dinda yang terus memperhatikannya.Dinda menggelengkan kepalanya, “Engga, aku Cuma lihat pemandangannya aja.”Ardzan menaikan satu alisnya, “Pemandangan apaan? Gue tahu gue ganteng!”Dinda tertawa pelan.“Kenapa ngetawain?” tanya Ardzan dengan wajah yang terlihat serius.&ldquo
Dinda terbangun dari tidurnya, Dinda tersenyum menatap wajah papanya, ia selalu Damai saat bersama papanya, “Pa, Dinda pamit dulu.. Dinda janji, Dinda akan sering temui papa.. maaf ya kalau kemaren Dinda jarang kesini, Dinda terlalu sibuk sama kerjaan Dinda sampai Dinda gak ada waktu buat jengukin papa, maaf pa..”Dinda menyelimuti tubuh papanya, merapihkan tempat tidur papanya, Dinda melebarkan senyumnya, matanya tak lepas memandang papanya, “Cepet sembuh ya pa..”Dinda melangkahkan kakiya, menutup pintu kamar rawat inap papanya, dan berjalan meninggalkan rumah sakit itu. Dinda menyalakan ponselnya, karena dari semalam ia sengaja mematikan ponselnya, lagi pula tiak ada yang menunggunya untuk memberi kabar.Namun, baru saja Dinda membuka ponselnya, terlihat dari layar 1000+ pesan masuk dan 1000+ panggilan tak terjawab menghiasi layar ponsel milik Dinda itu.Dinda membuka isi pesannya, sudah ia tebak Ardzan pasti akan memakinya kare