Hari ini Dinda berangkat lebih pagi ke kantor, karena ia ingin segera menyelesaikan pembicaraannya dengan Ardzan.
Setelah sampai di kantor, Dinda langsung masuk ke ruangan Ardzan. Ardzan tidak terlalu menyukai yang namanya ramai, itu sebabya ruangan Ardzan hanya berwarna putih, di tambah tidak ada pajangan apapun di ruangan ini, hanya terlihat satu foto kebersamaannya Dinda dan Ardzan yang terpajang di meja kerja Ardzan.
Dinda duduk di sofa yang sengaja kantor sediakan untuk klien yang sedang meeting atau berbicara khusus dengan Ardzan, sambil menunggu Ardzan datang Dinda memainkan ponselnya membuka beberapa koleksi foto kebersamaannya dengan Ardzan, tetapi itu foto lama bahkan sangat lama. Karena satu tahun ini mereka tidak pernah foto berdua, bukan karena mereka terlalu sibuk dengan dunia kerja, tetapi karena Ardzan yang menolaknya.
Pintu ruangan Ardzan terbuka, sekretaris Ardzan memasuki ruangan Ardzan sambil tersenyum melihat ke arah Dinda.
Vionita selaku sekretarisnya Ardzan, telah menaruh berkas-berkas untuk kepentingan meeting siang nanti, bersama klien dengan tingkat pengaruh terbesar bagi perusahaan Ardzan.
"Mba Dinda udah lama?" Tanya Vionita.
"Engga baru kok, Din." Jawab Dinda.
"Kalau mba Dinda butuh atau ada apa-apa langsung hubungin saya saja ya," kata Vionita.
Dinda mengangguk, "Tentu, Vi."
"Yasudah saya permisi ya Mba, masih banyak yang harus saya kerjakan."
"Oke Vi," Kata Dinda.
Vionita tersenyum, "Terimakasih bu."
Hampir satu jam Dinda menunggu Ardzan, tetapi pria itu belum juga datang ke kantor. Tetapi apakah Dinda lupa? Ardzan memang selalu begini, datang seeanaknya ke kantor, bebas mau melakukan apapun, karena Ardzan adalah anak pemilik dari perusahaan besas ini.
Pintu ruangan Ardzan kembalu terbuka, kali ini yang masuk ke dalam ruangan memang Ardzan.
Ardzan menaikan satu alisnya, menatap Dinda dengan keheranan, pasalnya Dinda jarang sekali menemuinya sepagi ini.
"Ada apa?" Tanya Ardzan.
"Aku mau ngomong," jawab Dinda.
"Soal?" Tanya Ardzan lagi.
"Liburan kita bulan depan."
"Kenapa? Lo gamau ke Bali? Lo mau kemana? Lombok? Labuan bajo? Raja Ampat? Singapure? Eropa?" Tanya Ardzan bertubi-tubi.
Dinda menarik nafas panjangnya lalu menghembuskannya perlahan, Dinda harus siap menerima squensinya jika nanti Ardzan tiba-tiba marah terhadapnya.
"Aku mau kita tunda liburannya," kata Dinda to fhe point.
Ardzan membulatkan matanya, manatap Dinda dengan taptapan menyeramkan, serta dengan perlahan mendekat ke arah Dinda.
"APA YANG LEBIH PENTING DARI GUE?!" Bentak Ardzan
"Engga gitu Zan..." lirih Dinda.
"APAAA!"
"Alisya sama Dalvin mau nikah," ucap Dinda pelan.
Ardzan mengerutkan kedus alisnya, "TERUS APA HUBUNGANNYA SAMA GUE?!"
"Alisya sahaba aku Zan..."
"Peduli apa gue kalau dia sahabat lo?!"
"Zan.." lirih Dinda.
"SEKALI LIBURAN YA LIBURAN!" Bentak Ardzan lagi.
"Please Zan.."
Ardzan menggebrak meja yang ada di depannya dengan sangat keras, "GUE BILANG ENGGA YA ENGGA! KALAU LO MAKSA MAU DATENG KE NIKAHAN ALISYA, LO TAHU SENDIRI AKIBATNYA APA!" ancam Ardzan, karena Ardzan punya rahasia tentang Dinda.
"Tapi, Zan-"
'Plak'
Ardzan menampar Dinda, "BERANI LO NGELAWAN GUE?!"
Dinda memegang bekas tamparan Ardzan dengan kedua tangannya, Dinda mencoba untuk tidak menangis dan merintih kesakitan.
"Kenapa Diem? Mau nangis lo? Dasar cengeng!" Kata Ardzan.
Dinda menundukan kepalanya.
Ardzan menarik rahang Dinda dengan kasar, "Sekali lagi lo lawan perintah gue? Abis lo sama gue!" Ardzan tersenyum dengan licik.
Dinda diam.
Ardzan melepas cengkramannya, "SEKARANG MENDINGAN LO KELUAR DARI RUANGAN GUE!" bentak Ardzan tepat di telinga Dinda.
Dengan masih memegang pipinya, Dinda keluar dari ruangan Ardzan, Air matanya menetes dan mengalir dengan sangat deras.
Mungkin untuk dilukai seperti ini, Dinda telah terbiasa. Terkadang Dinda bingung, apakah menyayangi seseorang dengan sepenuh hati, harus menahan kesakitan seperi ini? Tapi setidaknya, hati Dinda sudah terlatih dengan sikap dan semua perlakuan Ardzan kepadanya, kalau bisa bertahan lama kenapa gak dilakuin? Dinda yakin Ardzan secara perlahan Ardzan pasti akan kembali seperti dahulu.
Iya, dulu saat Ardzan memperlakukan Dinda dengan sangat istimewa, seolah Dinda lah satu-satunya prioritas Ardzan, bahkan waktu dulu Ardzan tidak pernah berani menyentuh sedikitpun tubuh Dinda, terkadang Dinda juga suka bingung dari mana sikap keras Ardzan berasal sekarang.
"Lo kenapa lagi Din?" Tanya Alisya.
Alisya saat ini berada diruangan Dinda, karena tadinya ada hal yang ingin dibicarakan oleh Alisya, tetapi melihat Dinda dengan keadaan nangis seperti ini, Alisya mengurungkan niatnya.
Dinda menggeleng, ia menseka air matanya yang membasahi kedua pipinya, "Gue gapapa."
"Lo gak bisa bohongin gue, Din."
Dinda tersenyum, "Gue beneran gapapa."
"Kalau lo gamau cerita sekarang gapapa, tapi kalau lo udah baik-baik aja, please cerita sama gue," kata Alisya.
Dinda mengangguk, ia memeluk Alisya, "Makasih ya Lis, lo selalu ada buat gue."
Alisya membalas pelukan Dinda, "Lo sahabat gue Din, sahabat Dalvin juga, mana mungkin gue diam aja liat lo terluka kayak gini."
Dinda kembali menghapus air matanya, ia tidak boleh seperti ini terus, ia harus kuat, karena dibalik kejadian ini masih ada yang membutuhkan Dinda, ia harus bisa lebih dari sabar menghadapi Ardzan.
"Btw, gimana persiapan pertunangan lo sama Dalvin?" Tanya Dinda, mengalihkan pembicaraan.
Alisya tersenyum lebar, "Alhamdulillah, sudah hampir 90%, tinggal nunggu keluar Dalvin ke rumah."
"Gue ikut bahagia ya, Lis." Dinda tersenyum.
"Eh, tapi lo jadi hadir kan? Awas aja kalau lo gak dateng, marah besar gue sama lo!"
Dinda diam.
Harus dari mana Dinda menjelaskan perihal ia yang tidak diijinkan untuk hadir dipernikahan Alisya oleh Ardzan, sungguh Dinda tidak ingin mengecewakan sahabatnya ini.
"Gue gak bisa dateng Lis," kata Dinda pelan, sebenernya ia tidak enak hati berbicara seperti ini dengan Alisya.
Alisya terlihat kaget, "Lo gak lagi becanda kan?"
"Maafin gue Lis," Dinda terlihat sekali wajahnya yang sangat merasa bersalah terhadap Alisya.
"Karena Ardzan?" Tanya Alisya.
"Gue sama Ardzan ada projek besar di kantor, kalau gue gak kesana perusahaan terancam gagal tender dan rugi besar," jawab Dinda.
Dinda terpaksa berbohong, ia hanya tidak ingin Alisya semakin membeci Ardzan karena melarangnya datang ke pernikahan Alisya hanya karena liburan.
"Serius itu alasannya?" Tanya Alisya lagi.
Dinda mengangguk, "Maaf ya Lis, gue emang sahabat yang jahat, gak berguna, tega gak hadir dipernikahan sahabatnya sendiri."
Alisya tersenyum, "Gapapa Din, gue tahu kerjaan ini penting banget buat lo, buat hidup lo dan keluarga lo kedepannya, kalau kayak gini mah gue juga dukung lo."
Sungguh Dinda tidak enak hati membohongi Alisya, tetapi mau bagaimana lagi? Ia tidak menentang perintah Ardzan.
"Terus kabarin gue ya nanti pas lagi acara," kata Dinda.
"Pasti, lo juga hubungi gue ya. Kabarin gue kalau Ardzan ngapa-ngapain lo lagi."
Dinda terkekeh, "Siap Lis."
Dinda sangat beruntung punya sahabat seperti Alisya, yang selalu mengerti dirinya, selalu membelanya dan selalu ada untuknya. Dinda tidak bisa membayangkan jika nanti Dinda ikut Dalvin tinggal bersama Dalvin dan tidak lagi bekerja di kantor ini, pasti Dinda merasa kesepian, karena tidak ada lagi teman curhat dan teman pergibahan.
Bersambung...
Dinda dan Dalvin mengelilingi beberapa tempat yang menjual koleksi barang-barang untuk oleh-oleh dari bali, Dalvin paham Dinda pasti mengajaknya hanya ingin meminta saran barang apa saja yang cocok untuk Ardzan.“Vin, kayaknya Ardan suka kemeja pantai deh. Katanya kemaren dia gak bawa sama sekali, mau beli juga belum sempat. Ada sih satu di kasih pihak hotel, tap ikan sudah pernah dia pakai. Kamu tahu sendiri kan Ardzan orangnya bagaimana? Barang sekali pakai buang,” ujar Dinda sambil memegang kemeja pantai berwarna biru muda.“Kayaknya Ardzan lebih suka warna formal deh, hitam atau putih,” usul Dalvin.“Kamu tahu dari mana?” tanya Dinda bingung.“Ngapain kamu ajak aku kesini?” tanya balik Dalvin.“Buat minta saran.”“Nah, itu kamu tahu.” Dalvin terkekeh, “Aku emang gak terlalu dekat sama Ardzan bahkan gak deket, tapi pertama kali aku lihat dia, aku udah nebak kala
Dinda terlelap dalam tidurnya, tetapi tiba-tiba sebuah tangan melingkar di pinggangnya, Dinda membuka matanya. Ia tersenyum mendapati Ardzan yang tertidur pulas disampingnya. Mungkin, Ardzan seharian cape, jadi membuatnya belum bangun tidur pagi ini.Dinda menatap lekat kedua mata Ardzan, dengan pelan Dinda mengelus wajah Ardzan.“Zan, bahkan perasaan aku masih sama… aku tidak bisa membincimu, sekalipun perlakuan kamu terhadapku menyakiti aku…” ucap Dinda dengan pelan.Dinda melingkarkan tangannya kepada Ardzan, lalu Kembali menutup matanya. Membiarkan perasaanya tenggelam, terlelap dalam tidurnya.Namun, baru saja Dinda menjelajahi alam mimpinya, Ardzan membangunkannya dengan kasar. Ardzan melempar tubuh Dinda ke lantai, hingga membuat Dinda terbangun.“BANGUN JUGA LO YA?!” Bentak Ardzan.“Sakit zan,” Dinda bangun dan menyamakan tingginya dengan Ardzan.Ardzan menatap Dinda dengan tat
Ardzan tak pernah melepas rangkulanya terhadap Dinda, bahkan sampai masuk ke dalam restoran. Sedangkan Dalvin yang menatap mereka berdua hanya menelan salivanya. Shit! Ini bukan rencana Dalvin, kenapa Ardzan harus ikut?“Itu Lovely sama Angkasa,” ujar Dinda Ketika melihat Lovely dan Angkasa.Lovely, Ardzan dan Dalvin langsung menghampiri mereka berdua.“Apa kabar bro?” tanya Angkasa kepada Ardzan.“Saya baik,” ucap Ardzan dengan wajah datarnya.“Cuma lo ya yang dari dulu nyaingi wajah datar gue,” ujar Angkasa sambil terkekeh.Pasalnya Angkasa dan Ardzan waktu jaman sekolah disebutnya batu es, bedanya Angkasa lebih liar, ia punya geng yang terkenal seantero penjuru sekolah. Sedangkan Ardzan, diem yang emang benar-benar diam, atau kata anak jaman sekarang itu kurang gaul.Ardzan tersenyum tipis, “Anda lebih menang dari saya Kas.”“Lo juga masih kaku dan baku,&rdquo
Ardzan masuk ke dalam kamar hotelnya, ia tidak sendiri. Tetapi Bersama dengan Vionita, sekretarisnya di kantor. Dengan masih menggunakan piyamanya Dinda menghampiri Ardzan, Dinda terkejut melihat Ardzan merangkul Vionita dalam keadaan mabuk. Tidak, Vionita sama sekali tidak mabuk, tetapi Ardzanlah yang sepertinya dalam keadaan mabuk berat.“Ardzan kenapa, Vi?” tanya Dinda yang panik melihat kondisi Ardzan.“Dia terlalu banyak minum tadi di Bar,” ujar Vionita.Dinda mengambil tangan Ardzan, tetapi Ardzan malah menepisnya. Bahkan Ardzan mendorong tubuh Dinda hingga Dinda terpental ke lantai. Kekuatan Ardzan sepertinya tidak akan hilang walaupun ia dalam kondisi setengah sadar seperti ini, buktinya ya seperti ini.“Bia aku aja,” kata Vionita.Vionita membawa Ardzan ke kamarnya, sedangkan Dinda mengikutinya dibelakang. Dinda mulai membuka satu persatu pakaian Ardzan, mengganti pakaiannya Ardzan, Dinda mencoba untuk t
Dinda membuka laptopnya, melihat beberapa koleksi foto kebersamaannya dengan Ardzan waktu awal-awal mereka menjalin hubungan, dulu Ardzan tak pernah sekalipun menyentuhnya, tetapi Dinda juga bingung sampai saat ini, kenapa Ardzan bisa semudah itu berubah? Tapi, baik Ardzan yng dulu ataupun Ardzan yang sekarang, Ardzan tetap kekasihnya. Suara bel terdengar dari arah luar pintu, Dinda langsung membukakan pintu, siapa tau Ardzan Kembali dan meminta maaf atas perlakuannya, ternyata yang datang bukan Ardzan, melainkan Dalvin. “Wajah kamu kenapa memar? kamu abis di tampar sama siapa?” tanya Dalvin bertubi-tibi, membuat Dinda bingung harus menjawab apa. Dinda berfikir sejenak, “Aku tadi jatoh, muka aku kena deh biru.” “Yakin jatoh?” tanya Dalvin, ia seperti kurang percaya akan jawaban Dinda. Dinda mengangguk, “Iya, Dalvin.” “Mangkanya hati-hati, ambilin Kompresan air anget, kalau gak dikompres lebam di wajah kamu gak akan ilang.” Dalvin langs
Dinda duduk di pinggir pantai yang berada tidak jauh dari hotelnya, Dinda menikmati dinginnya pantai, bersamaan dengan hembusan angin pagi yang membuat sekujur tubuhnya merasa kedinginan sedikit. Dalvin yang sedari tadi memperhatikan Dinda dari jauh, ia mendekati Dinda, melepas jaketnya dan menaruhnya di Pundak Dinda, lalu Dalvin duduk disebelah Dinda. “Katanya mau meeting?” tanya Dinda, dengan wajah yang melihat lurus ke depan. “Gak sepagi ini juga Dinda,” jawab Dalvin. Dinda terkekeh, “Siapa tahu gitu, kamu kan orangnya kerajinan.” “Tergantung, kalau kamu ikut aku pasti dateng paling awal.” “Loh, kok aku?” tanya Dinda bingung. Dalvin tertawa, “Kalau aku sama kamu kan kenal udah lama jadi gak boring aja gitu, kalau sama Ardzan kan lihat aja kaku banget dia.” “Ardzan gak kaku, mungkin belum akrab kali,” Dinda tersenyum. “Tapi, bukannya dari SMA dia gak banyak omong ya?” tanya Dalvin memastikan. Dinda men