Setelah pekerjaan hari ini telah selesai, Dinda memutuskan untuk segera bergegas pergi dari kantor agar bisa pulang lebih awal.
Di tempat Parkir terlihat Ardzan tengah beridiri di depan mobil mersi putih miliknya, Ardzan melipat tangannya di dada, wajahnya yang sangat tampan serta gayanya yang cool membuat Ardzan diperhatikan oleh karyawannya yang berada disekitaranya.
Dinda menghampiri Ardzan, "Kamu gak pulang duluan?"
"Masuk," Ardzan berlalu dari hadapan Dinda, ia masuk ke dalam mobilnya.
Sesuai perintah Ardzan, Dinda masuk ke dalam mobil Ardzan.
"Kenapa?" Tanya Dinda pelan.
Ardzan memukul kemudinya dengan kasar, "Lo tahu gak sih gue nungguin lo berapa lama?!"
Dinda menggeleng, karena jujur Dinda tidak mengetahui kalau Ardzan menunggunya pulang.
Ardzan menatap Dinda dengan tatapan yang sangat tajam, matanya seperti akan keluar.
"SATU JAM GUE NUNGGUIN LO!" bentak Ardzan, dengan deru nafas yang terengah-engah.
"Maaf, tadi aku banyak kerjaan. Kamu tau sendiri, gimana kerjaan aku."
"Alesan!" Umpat Ardzan.
"Maaf Zan," lirih Dinda.
"Bisa gak sih lo, sehari aja gak bikin gue naik darah?!" Tanya Ardzan dengan nada yang sangat tinggi.
"Zan, udah jangan marah-marah, kamu gak cape?" Tanya Dinda pelan.
Ardzan diam.
Ardzan langsung menyalakan mobilnya, dan menjalankannya dengan kecepan yang sangat tinggi.
Dinda panik, ia memegang pergelangan tangan Ardzan yang lagi menyetir. Namun, Ardzan langsung menepis tangan Dinda dengan kasar.
"Diem Lo!" Bentak Ardzan.
"Zan, aku takut udah zan..." rintih Dinda.
"Lebih takutan mati lo, ketimbang takut sama gue?!"
Ardzan semakin menaikan kecepatannya, untung saja jalanan sepi, jadi tidak terjadi apa-apa sama mereka berdua.
Karena Ardzan membawa mobil dengan kecepatan diatas rata-rata, mereka sampai di rumah Dinda dengan cepat.
"Kamu mau masuk dulu?" Tanya Dinda, ketika mereka berdua sudah turun dari mobil.
"Engga," jawab Ardzan.
"Yaudah kamu hati-hati ya pulangnya." Dinda tersenyum.
Ardzan tidak membalas senyuman Dinda, ia langsung kembali masuk ke dalam mobilnya.
Dinda hanya bisa tersenyum, sambil menatap mobil Ardzan yang semakin lama semakin menghilang dari pandangannya.
****
Ardzan menaiki anak tangga rumahnya, rasanya hari ini badannya terasa sakit semua, padahal di kantor Ardzan tidak melakukan aktifitas apa-apa, ia hanya memainkan ponselnya seharian, sisanya ia gunakan untuk tidur.
Ardzan memasuki kamarnya, ia melihat beberapa koleksi foto di dindingya, banyak sekali fotonya dengan Dinda, lebih tepatnya banyak foto Dinda yang sedang sendiri.
Ardzan mengambil salah satu foto Dinda, ia tersenyum sambil memandang foto Dinda. Ardzan ingat sekali sewaktu SMA sampai ia memasuki perguruan tinggi, ia selalu mengejar-ngejar Dinda, Namun tidak pernah ada balasan dari Dinda.
Sekarang Ardzan menang, ia mendapatkan Dinda, mendapatkan semuanya yang ada pada Dinda, bahkan Dinda segitu pasrahnya diperlakukan tidak baik oleh Ardzan.
Ardzan kembali menaruh foto Dinda di dinding kamarnya, kemudian ia menjatuhkan badannya di atas kasur.
Baru saja Ardzan ingin memejamkan matanya, ponselnya tiba-tiba berdering, ternyata seseorang mengiriminya pesan singkat.
Tertera nama Vionita dilayar ponselnya.
Vionita
Mas Jadi, gak kita Dinner malam ini.
Ardzan
Tentu saja, aku otw jemput kamu. Dandan yang cantik ya.
Viona
Oke Mas Ardzan, kecantikan aku sepenuhnya buat kamu, hati-hati yaa.
Ardzan tersenyum, lalu dengan segera ia melangkahkan kakinya ke kamar mandi.
Malam ini Ardzan ada janji dengan Vionita, Sekretarisnya di kantor. Mereka memang sangat dekat, bahkan kalau lagi jalan berdua diluar pasti tidak ada yang menyangka kalau mereka hanya sebatas atasan dan bawahan.
Vionita memang menyukai Ardzan dan Ardzan pun mengetahuinya, Ardzan melihat dari tingkah Vionita selama ini, itu sebabnya Ardzan memanfaatkan keadaan. Ardzan tidak selingkuh dengan Vionita, perempuan itu hanya selingan saja ketika ia lagi bosen dengan Dinda.
Dengan menggunakan Kemeja casual hitam miliknya, Ardzan terlihat lebih tampan, bagaimana tidak Ardzan ini tipekal orang yang rapi, sehingga semua yang ia gunakan pasti membuatnya terlihat gagah.
Dengan langkah santai Ardzan keluar dari rumahnya, ia masuk ke dalam mobilnya untuk menjemput Vionita.
Dinda dan Dalvin mengelilingi beberapa tempat yang menjual koleksi barang-barang untuk oleh-oleh dari bali, Dalvin paham Dinda pasti mengajaknya hanya ingin meminta saran barang apa saja yang cocok untuk Ardzan.“Vin, kayaknya Ardan suka kemeja pantai deh. Katanya kemaren dia gak bawa sama sekali, mau beli juga belum sempat. Ada sih satu di kasih pihak hotel, tap ikan sudah pernah dia pakai. Kamu tahu sendiri kan Ardzan orangnya bagaimana? Barang sekali pakai buang,” ujar Dinda sambil memegang kemeja pantai berwarna biru muda.“Kayaknya Ardzan lebih suka warna formal deh, hitam atau putih,” usul Dalvin.“Kamu tahu dari mana?” tanya Dinda bingung.“Ngapain kamu ajak aku kesini?” tanya balik Dalvin.“Buat minta saran.”“Nah, itu kamu tahu.” Dalvin terkekeh, “Aku emang gak terlalu dekat sama Ardzan bahkan gak deket, tapi pertama kali aku lihat dia, aku udah nebak kala
Dinda terlelap dalam tidurnya, tetapi tiba-tiba sebuah tangan melingkar di pinggangnya, Dinda membuka matanya. Ia tersenyum mendapati Ardzan yang tertidur pulas disampingnya. Mungkin, Ardzan seharian cape, jadi membuatnya belum bangun tidur pagi ini.Dinda menatap lekat kedua mata Ardzan, dengan pelan Dinda mengelus wajah Ardzan.“Zan, bahkan perasaan aku masih sama… aku tidak bisa membincimu, sekalipun perlakuan kamu terhadapku menyakiti aku…” ucap Dinda dengan pelan.Dinda melingkarkan tangannya kepada Ardzan, lalu Kembali menutup matanya. Membiarkan perasaanya tenggelam, terlelap dalam tidurnya.Namun, baru saja Dinda menjelajahi alam mimpinya, Ardzan membangunkannya dengan kasar. Ardzan melempar tubuh Dinda ke lantai, hingga membuat Dinda terbangun.“BANGUN JUGA LO YA?!” Bentak Ardzan.“Sakit zan,” Dinda bangun dan menyamakan tingginya dengan Ardzan.Ardzan menatap Dinda dengan tat
Ardzan tak pernah melepas rangkulanya terhadap Dinda, bahkan sampai masuk ke dalam restoran. Sedangkan Dalvin yang menatap mereka berdua hanya menelan salivanya. Shit! Ini bukan rencana Dalvin, kenapa Ardzan harus ikut?“Itu Lovely sama Angkasa,” ujar Dinda Ketika melihat Lovely dan Angkasa.Lovely, Ardzan dan Dalvin langsung menghampiri mereka berdua.“Apa kabar bro?” tanya Angkasa kepada Ardzan.“Saya baik,” ucap Ardzan dengan wajah datarnya.“Cuma lo ya yang dari dulu nyaingi wajah datar gue,” ujar Angkasa sambil terkekeh.Pasalnya Angkasa dan Ardzan waktu jaman sekolah disebutnya batu es, bedanya Angkasa lebih liar, ia punya geng yang terkenal seantero penjuru sekolah. Sedangkan Ardzan, diem yang emang benar-benar diam, atau kata anak jaman sekarang itu kurang gaul.Ardzan tersenyum tipis, “Anda lebih menang dari saya Kas.”“Lo juga masih kaku dan baku,&rdquo
Ardzan masuk ke dalam kamar hotelnya, ia tidak sendiri. Tetapi Bersama dengan Vionita, sekretarisnya di kantor. Dengan masih menggunakan piyamanya Dinda menghampiri Ardzan, Dinda terkejut melihat Ardzan merangkul Vionita dalam keadaan mabuk. Tidak, Vionita sama sekali tidak mabuk, tetapi Ardzanlah yang sepertinya dalam keadaan mabuk berat.“Ardzan kenapa, Vi?” tanya Dinda yang panik melihat kondisi Ardzan.“Dia terlalu banyak minum tadi di Bar,” ujar Vionita.Dinda mengambil tangan Ardzan, tetapi Ardzan malah menepisnya. Bahkan Ardzan mendorong tubuh Dinda hingga Dinda terpental ke lantai. Kekuatan Ardzan sepertinya tidak akan hilang walaupun ia dalam kondisi setengah sadar seperti ini, buktinya ya seperti ini.“Bia aku aja,” kata Vionita.Vionita membawa Ardzan ke kamarnya, sedangkan Dinda mengikutinya dibelakang. Dinda mulai membuka satu persatu pakaian Ardzan, mengganti pakaiannya Ardzan, Dinda mencoba untuk t
Dinda membuka laptopnya, melihat beberapa koleksi foto kebersamaannya dengan Ardzan waktu awal-awal mereka menjalin hubungan, dulu Ardzan tak pernah sekalipun menyentuhnya, tetapi Dinda juga bingung sampai saat ini, kenapa Ardzan bisa semudah itu berubah? Tapi, baik Ardzan yng dulu ataupun Ardzan yang sekarang, Ardzan tetap kekasihnya. Suara bel terdengar dari arah luar pintu, Dinda langsung membukakan pintu, siapa tau Ardzan Kembali dan meminta maaf atas perlakuannya, ternyata yang datang bukan Ardzan, melainkan Dalvin. “Wajah kamu kenapa memar? kamu abis di tampar sama siapa?” tanya Dalvin bertubi-tibi, membuat Dinda bingung harus menjawab apa. Dinda berfikir sejenak, “Aku tadi jatoh, muka aku kena deh biru.” “Yakin jatoh?” tanya Dalvin, ia seperti kurang percaya akan jawaban Dinda. Dinda mengangguk, “Iya, Dalvin.” “Mangkanya hati-hati, ambilin Kompresan air anget, kalau gak dikompres lebam di wajah kamu gak akan ilang.” Dalvin langs
Dinda duduk di pinggir pantai yang berada tidak jauh dari hotelnya, Dinda menikmati dinginnya pantai, bersamaan dengan hembusan angin pagi yang membuat sekujur tubuhnya merasa kedinginan sedikit. Dalvin yang sedari tadi memperhatikan Dinda dari jauh, ia mendekati Dinda, melepas jaketnya dan menaruhnya di Pundak Dinda, lalu Dalvin duduk disebelah Dinda. “Katanya mau meeting?” tanya Dinda, dengan wajah yang melihat lurus ke depan. “Gak sepagi ini juga Dinda,” jawab Dalvin. Dinda terkekeh, “Siapa tahu gitu, kamu kan orangnya kerajinan.” “Tergantung, kalau kamu ikut aku pasti dateng paling awal.” “Loh, kok aku?” tanya Dinda bingung. Dalvin tertawa, “Kalau aku sama kamu kan kenal udah lama jadi gak boring aja gitu, kalau sama Ardzan kan lihat aja kaku banget dia.” “Ardzan gak kaku, mungkin belum akrab kali,” Dinda tersenyum. “Tapi, bukannya dari SMA dia gak banyak omong ya?” tanya Dalvin memastikan. Dinda men