“Puspita!” Pram menghampiri dengan langkah lebar, panik melihat tangan istrinya berlumuran darah. Orang-orang di sekitarnya memberi ruang ketika Pram berlutut, memeriksa luka di telapak tangan Puspita. Wajahnya memucat, cemas bercampur ngeri.Prabu, yang baru saja turun dari panggung, juga segera menghampiri. “Ada apa ini?!” tanyanya, suaranya penuh otoritas tetapi menyiratkan kekhawatiran yang mendalam.Pram menoleh ke Prabu dengan tatapan panik. “Istriku terluka, tangannya terkena pecahan kaca,” jawabnya terbata-bata.Prabu langsung memberi instruksi. “Bawa istri Anda ke ruangan khusus, cepat. Saya punya tim medis yang siap menangani.”Pram mengangguk tanpa ragu. Dia membantu Puspita berdiri dengan hati-hati, tetapi Puspita meringis. Luka di tangannya mulai mengeluarkan darah lebih banyak, membuatnya lemas. Tanpa banyak bicara, Pram mengangkat tubuh Puspita dalam pelukannya dan berjalan mengikuti arahan Prabu.Di sepanjang perjalanan menuju ruangan khusus itu, Puspita mencoba berbic
Malam itu, Puspita tidak bisa memejamkan mata. Wajah Tika terus membayang dalam benaknya. Perasaan janggal yang mengganggu hatinya semakin menguat, membuatnya gelisah di tempat tidur. Ia yakin perempuan yang dilihatnya di pesta tadi adalah Tika, sepupunya yang dulu sangat dekat dengannya. Tapi penyangkalan dari perempuan itu benar-benar menusuk hati. Seolah ia sok akrab hanya karena Tika sekarang cucu keluarga kaya.Pram, yang juga belum tidur, sangat mengerti apa yang dirasakan istrinya. Ia beringsut mendekati Puspita yang berbaring menyamping, membelakanginya. Tangannya perlahan menyusup di antara pinggang dan tangan sang istri. Lalu memeluknya lembut. Mencium dan menghirup dalam-dalam tengkuknya yang menguarkan aroma mawar yang lembut. Berharap bisa menenangkan wanita yang tampak rapuh itu.“Kamu masih memikirkan dia, Sayang?” tanyanya lembut.Puspita mengangguk pelan. “Aku tidak mengerti, Mas. Itu jelas Tika. Tapi dia tidak mengenaliku. Apa aku terlihat seperti penjilat yang sok a
“Untuk apa dia di sini?” Pram bertanya dengan nada tegas, menatap ayahnya tajam, setelah beberapa saat ia hanya mematung dalam ketidakpercayaan.Arya mengangkat alis. “Imel adalah pendampingku sekarang. Tentu saja dia berhak tahu tentang semua ini.”“Ini urusan keluarga, bukan orang luar,” balas Pram dengan suara tinggi. Ia selalu tidak bisa mengontrol diri jika sudah berhadapan dengan ayahnya.“Hati-hati bicara, Nak!” Arya memperingatkan dengan nada tajam. “Aku masih ayahmu. Aku berhak menentukan apa pun atas keluarga ini.”Pram berdiri dari duduknya. Matanya memicing tajam.“Berhak apa?” Pram mengangkat tangannya. “Pak Arya bahkan tidak lagi peduli bagaimana kondisi anak. Sekarang aku tanya, apa Pak Arya pernah menanyakan kabar Sakti? Menanyakan perkembangan psikisnya? Tidak sama sekali!”“Itu karena kamu membawa Sakti pergi, Pram! Seharusnya kamu tidak membawanya pergi dari rumah!”“Lalu, aku harus membiarkan adikku sendiri di rumah yang kepala keluarganya saja tidak peduli padanya
Ruangan itu mendadak hening mencekam setelah suara pukulan keras terdengar. Semua orang bahkan menahan napas. Pram memegang pipinya yang memerah, matanya tetap tajam menatap Arya.Sementara Arya menatap tangannya yang bergetar. Tangan yang baru saja meninggalkan jejak. Bukan hanya di kulit wajah Pram, tetapi juga di hati anak-anaknya.Semua orang membeku, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Semua berlangsung begitu cepat.Imel memegang lengan Arya, berusaha menenangkannya, namun pria itu malah menghempaskan tangan wanita itu dengan kasar.“Apa ini, Pak Arya?” tanya Pram akhirnya dengan suara berat dan bergetar. “Apa ini wujud kasih sayang seorang ayah?” sindirnya.Arya memejamkan matanya sebentar. Lehernya terlihat bergerak berat, tanda ia menelan ludah dengan susah payah.“Maaf, Pram. Tapi kamu keterlaluan,” ujar Arya kemudian dengan suara melemah. “Ayah tahu kamu mencintai ibumu, tapi aku juga ayahmu, bukan? Aku berhak mendapat penghormatan darimu.”Giliran Pram yang me
“Cukup! Jika Anda tidak mampu mengontrol emosi, saya akan meminta Anda meninggalkan ruangan ini, Pak Arya!” Suara Chandra akhirnya menggelegar memenuhi ruangan saat Arya semakin brutal. Pria itu bahkan menyingkirkan tubuh ringkih Sakti karena menghalanginya.Arya menatap Chandra dengan tatapan yang nyaris meledak. “Kau pikir siapa dirimu, hah?! Berani menyuruhku keluar?!”“Sebagai pengacara yang ditunjuk oleh almarhumah Hasna Subrata, saya punya hak penuh untuk memastikan pelaksanaan wasiat ini berlangsung tanpa hambatan. Jadi, tolong, Pak Arya, kendalikan diri Anda, atau saya akan memanggil pihak keamanan.”Arya mendengus dengan wajah merah padam, tetapi ia menahan diri untuk tidak melangkah lebih jauh meski dadanya masih turun naik, pertanda emosinya masih meluap.“Sekali lagi, kalau Anda tidak kooperatif, saya akan panggil petugas, Pak Arya!” Ucapan Chandra lebih seperti ancaman. Pria paruh baya itu sengaja berdiri menghalangi tubuh Pram dan Sakti.Arya masih mengendalikan dirinya.
Pram mengembuskan napasnya, lalu menahan tangan Puspita yang masih mengoleskan salep.“Tidak bisa begitu, Sayang. Itu wasiat Ibu, dan Ibu tidak akan membuat keputusan seperti itu tanpa alasan.”“Tapi bagaimana kalau Tuan Arya terus mempermasalahkan warisan itu?”Pram meneguk ludahnya dulu. “Kalau itu pasti. Kita tahu Ayahku seperti apa. Dia bahkan sudah sesumbar tidak akan menerima begitu saja wasiat ini.”“Mas ….” Puspita menggenggam tangan suaminya. Tatapannya penuh kekhawatiran. “Aku takut, Mas ….” Genggamannya semakin menguat.“Takut apa?” Mata Pram memicing.“Aku takut terjadi sesuatu yang buruk sama kamu.”Kedua sudut bibir Pram tertarik ke samping. Ia mengerti Puspita sangat mengkhawatirkannya.“Sayang, jangan berpikir terlalu jauh. Semua akan baik-baik saja. Hanya saja, mungkin sejak saat ini kamu dan kita semuanya harus lebih waspada dalam segala sesuatunya. Kamu tidak boleh keluar rumah tanpa pengawalan, ya. Dan terutama jangan ke mana pun tanpa seizinku. Lalu jika di tempat
“Kalau Mas bilang sangat beruntung, kamu percaya tidak?” tanya Pram lembut. Matanya yang sedikit bengkak menatap penuh cinta.Tatapan yang tidak pernah terbayang di benak Puspita akan ia dapatkan dari pria itu, mengingat dulu begitu dingin dan penuh kebencian.“Beruntung apanya, Mas? Aku sama sekali tidak memiliki kelebihan dibandingkan Bu Soraya. Semua yang aku miliki tidak lebih baik dari istri pertamamu.”“Siapa bilang?”“Itu benar, kan?”“Salah.”“Salahnya di mana?”“Kita urai satu-satu, ya. Kamu lebih muda dari Soraya.”“Itu bukan kelebihan.”“Kamu muda tapi pikiranmu dewasa. Kamu bisa mengurus anak padahal belum menjadi ibu. Kamu bisa berperan menjadi ibu padahal belum pernah melahirkan. Bagi Mas, itu suatu kelebihan.”Pram menjeda kalimatnya, memberikan waktu untuk Puspita mencerna ucapannya.“Yang kedua, kamu bisa bersabar berbulan-bulan dengan tetap mengurus Mas dan Prily, padahal tidak pernah diperlakukan layaknya seorang istri. Tidak akan banyak wanita seperti itu, Sayang.”
Dengan keranjang bunga di tangan, Puspita berjalan di samping suaminya. Pakaian serba hitam, masker hampir menutupi sebagian wajah, sebelah tangannya menggamit lengan suaminya. Mereka berjalan menyusuri gang kecil berumput di mana kanan dan kirinya berbaris rapi kotak-kotak persegi panjang berukuran sama, di mana bagian ujungnya terdapat batu nisan bertuliskan nama seseorang.Mereka terus berjalan menuju tempat peristirahatan terakhir Soraya. Ini kali pertama Puspita diajak ke sana setelah permintaannya.Dulu, saat pemakaman kakak madunya itu, ia tidak ikut karena harus menjaga Prily di rumah. Pram melarangnya ikut karena tidak mau Prily dibawa ke sana.Hari-hari setelah kepergian Soraya pun ia tidak bisa berkunjung ke sana, karena Prily tidak bisa terlepas. Ia bukan tidak tahu jika Pram hampir setiap hari datang ke sana. Duka yang teramat dalam karena kepergian istri pertamanya itu, membuat Pram seperti tidak rela Soraya meninggalkannya.Tentu saja Puspita tahu itu, dan ia tidak bisa
Langkah Prabu menyusuri lorong apartemen dengan cepat. Hari ini ia memutuskan pulang lebih awal. Ia tak bisa berkonsentrasi di kantor. Ucapan Pram yang terdengar ringan siang tadi terus menggema di kepalanya."Kau zalim, Bang... Andini tak layak diperlakukan seperti itu..."Prabu menghela napas panjang. Ia ingin menepis suara itu, tapi semakin ditepis, justru makin menusuk.Ia membuka pintu rumah dengan tergesa. Jas masih melekat di tubuhnya, dasi longgar, dan wajah kusut penuh cemas. Ini mungkin berlebihan, tapi entah kenapa kata-kata Pram sangat mengganggunya. Perasaan bersalah menyeruak, dan ia sangat takut. Takut Andini kecewa hingga akhirnya pergi."Andini?" panggilnya saat masuk ke ruang tengah. Matanya celingukan mencari keberadaan siapa pun.Tak ada jawaban. Rumah terlalu sunyi."Chiara? Nak, kamu di mana?"Tak ada sahutan. Jangankan sambutan hangat Chiara seperti biasa ketika ia pulang, atau aroma masakan yang menguar dari dapur—mungkin karena ia pulang terlalu awal. Rumah be
Meeting siang itu akhirnya selesai setelah lebih dari satu jam diskusi yang cukup padat. Para peserta mulai beranjak dari kursi masing-masing—beberapa langsung sibuk dengan ponsel, sementara yang lain merapikan dokumen dan bersiap kembali ke meja kerja. Ruangan mulai lengang, hanya tersisa percakapan kecil dan suara langkah kaki.Pram yang sedari tadi tampak sibuk mencatat selama meeting, akhirnya menoleh ke samping—tempat Prabu duduk sepanjang pertemuan dengan senyum yang tidak biasa.Pram mengernyit pelan. Sebenarnya sejak awal meeting dimulai, ia sudah menyadari ada yang berbeda dari wajah Prabu hari ini. Tidak ada kerutan di dahi, tidak ada gumaman kesal seperti kemarin. Justru sebaliknya—mata Prabu tampak berbinar, dan sesekali ia bahkan terlihat menahan tawa kecil ketika mendengar beberapa presentasi. Pram mengamati, mencoba meraba apakah Prabu sedang menyembunyikan sesuatu.Setelah peserta meeting lain pergi satu per satu, Pram mendekat dan menyenggol lengan Prabu dengan pelan.
Andini terbangun di malam yang sunyi. Hening yang menyelimuti kamar seolah menggema ke dalam dadanya. Lampu tidur berwarna kekuningan menyinari sebagian wajah Prabu yang tertidur pulas di sampingnya. Lelaki itu terlihat tenang, napasnya teratur, dan wajah tampannya … ah, wajah itu, begitu lekat dalam memorinya. Sudah berapa tahun ia bermimpi tentang lelaki ini?Namun, meski wajah itu membuat hatinya hangat, perasaan sesak justru merayap perlahan ke dadanya. Andini tak tahu harus merasa bahagia atau sedih. Ia menarik napas pelan, lalu memejamkan mata sejenak. Tapi, ketidaknyamanan di tubuhnya membuatnya tak bisa terus diam. Ada nyeri yang menusuk di pangkal pahanya, rasa sakit yang membuktikan bahwa malam itu benar-benar terjadi. Malam ketika ia menyerahkan segalanya.Perlahan, Andini beringsut hendak bangkit dari tempat tidur, berusaha tak membuat suara. Tapi saat ia baru saja mengangkat tubuhnya, suara berat itu terdengar lirih.“Mau ke mana?”Andini terhenti. Ia menoleh pelan. Prabu
Suhu ruangan perlahan memanas seiring serangan Prabu yang tak terbendung lagi. Bukan hanya di bibir Andini, kini ciumannya sudah beralih ke leher dan pundak sang istri yang sengaja ia buka. Logika Prabu tak lagi bekerja. Yang ia tahu, ia ingin memiliki Andini seutuhnya saat ini juga.Tubuh Andini menggelinjang. Tak tahan dengan semua sentuhan Prabu yang menciptakan sensasi asing di tubuhnya. Sensasi yang untuk pertama kalinya ia rasakan. Ternyata… indah dan memabukkan.Namun berbeda dengan Prabu yang logikanya sudah tak berfungsi, Andini masih berusaha untuk sadar dan tak larut terlalu jauh. Di antara serangan panas Prabu, ia berusaha menghentikannya. Kedua tangannya menahan dada Prabu, berusaha mendorongnya.“Mas... hentikan, tolong...” ucapnya lirih di antara napasnya yang tersengal. Entah berapa lama Prabu merampas hak bernapasnya.Namun Prabu tak menghentikan cumbuan itu. Ciumannya berpindah dari leher Andini ke pundak, lalu kembali ke bibir wanita yang telah sah menjadi istrinya,
“Andini, minggirlah,” ujar Prabu dengan suara berat.Andini tetap berdiri tegak di depan nakas, menutupi laci yang tadi nyaris terbuka. Napasnya masih memburu, keringat di pelipis belum juga mengering. Ia menggigit bibirnya, seolah berusaha menahan ketakutan yang mulai menguasai hatinya.“Mas, tolong… jangan buka laci ini,” ucap Andini pelan.“Mengapa?” Prabu melangkah satu langkah lebih dekat. “Apa yang kamu sembunyikan? Ponselmu, ‘kan?”Andini tak menjawab. Sorot matanya cemas, tubuhnya terlihat kaku. Prabu makin mencurigai sesuatu yang besar tengah ia tutupi.“Apa kamu … punya hubungan dengan seseorang? Sampai ponselmu begitu kamu lindungi seperti ini?” tuduh Prabu, nada suaranya menajam.Andini menegang. Matanya membulat. “Apa maksudmu, Mas?”Prabu memicingkan mata. “Jangan pura-pura tak paham. Kamu bersikap seolah ada rahasia besar di ponsel itu.”“Mas, jangan mengada-ada,” ujar Andini cepat.“Kalau begitu, tunjukkan saja. Biar aku lihat sendiri isinya. Selesai.” Kedua tangan Pra
“Siapa yang ngirim pesan barusan?”Andini terperanjat. Ia berbalik cepat. Tangannya menyelipkan ponsel ke bawah bantal. Entah sejak kapan Prabu ikut terbangun dan kini menatapnya penuh selidik.“Tidak ada,” jawab Andini setelah bisa menguasai dirinya. Ia menganggap pesan yang masuk barusan tidak penting untuk diketahui Prabu. Buat apa? Ia sendiri tidak tahu siapa pengirim pesan itu.“Aku… cuma matikan alarm, Mas,” lanjutnya datar.“Jam berapa sekarang? Alarm buat apa?” Prabu tidak puas begitu saja.Andini terdiam sejenak, lalu perlahan menaruh ponsel ke laci nakas di samping tempat tidur.“Dulu aku sering mengetel alarm dini hari waktu kerja di lepas pantai. Lupa kalau belum aku setting ulang.” Dengan santainya Andini menjawab lagi. “Udah, kan? Sekarang tidur lagi.”Tanpa memberi kesempatan Prabu bertanya lagi, Andini kembali merebahkan diri. Punggungnya sengaja menghadap ke Prabu. Ia memejamkan mata.Prabu memandangi punggung Andini lama. Ada yang tak biasa. Cara Andini menjawab. Car
Malam ini, Prabu menatap langit-langit kamar. Lampu temaram membuat garis wajahnya tampak lebih dalam, tajam, dan penuh pikir. Andini baru saja naik ke ranjang setelah merapikan sesuatu di kamar mandi. Sepertinya setelah menginap di kediaman keluarga Bimantara semalam, pria itu tidak ragu lagi untuk tidur satu ranjang bersamanya. Padahal biasanya Prabu memilih tidur di sofa atau karpet demi kenyamanan Andini. Kecuali jika ia benar-benar lelah hingga tak sadar tertidur di ranjang. Atau yang paling masuk akal, ia sudah terlelap duluan sebelum Andini masuk kamar. Kini, Prabu masih terjaga, tapi ia sudah berada di atas kasur. Bahkan saat Andini naik ranjang pun, ia tetap di sana. Pria itu diam. Namun ketika Andini menarik selimut, suara beratnya memecah kesunyian malam. “Laki-laki tadi di kantor, siapa dia?” tanyanya tanpa menoleh ke arah Andini. Andini mengernyit. Ia duduk di ujung ranjang, memandangi wajah Prabu dari samping. “Yang mana?” “Yang memanggilmu dengan sebutan
Sementara wajah Pram seketika tegang. Kekakuan menyelimuti mereka, sebelum kekehan Pram terdengar lagi. Tangannya mencubit kecil hidung Puspita.“Jangan berani-berani. Dosen, mahasiswa, semua laki-laki, tetap laki-laki. Sekali kamu berpaling, aku culik kamu, bawa kabur, dan kunci di kamar tidak akan membukanya lagi.”Tawa Puspita makin riuh. Lega. Pram tidak salah paham tentang dosen muda. Tentang … Haidar.Setelah tawanya mereda, Puspita kembali bersandar di dada Pram, merasa damai. Ia bisa mendengar detak jantung suaminya yang stabil, menjadi irama tenang di telinganya.“Mas, menurutmu … bagaimana hubungan Bang Prabu dan Andini bisa harmonis seperti kita tidak?” Puspita mengalihkan obrolan.“Bisa, Sayang. Percayalah,” jawab Pram mantap. Ia mengelus punggung Puspita perlahan. “Mas bisa melihat ada benih cinta di mata mereka. Ada iri dan cemburu juga jika melihat kita mesra, kan?”“Kamu sengaja ya, Mas bikin mereka panas?” Puspita mengerucutkan bibir, setengah mencibir.“Ya tentu saja.
“Mas ….”Puspita melangkah ringan memasuki ruang kerja suaminya. Senyum manis mengembang di wajah cantiknya, memancarkan semangat yang sulit disembunyikan. Rok panjang berwarna pastel dan blus sederhana yang dikenakannya malah menonjolkan kecantikannya yang alami.Pram yang sedang membalikkan berkas-berkas di meja kerjanya, mengangkat wajah, matanya langsung berbinar melihat kedatangan istrinya. Ini memang bukan kali pertama Puspita datang ke sana tanpa memberi kabar dulu, namun, setiap kedatangan itu menjadi surprise untuknya. Di luar kejutan-kejutan lain yang selalu disiapkan istrinya itu.Kejutan-kejutan yang walaupun kecil dan sepele, tetapi sangat berarti hingga menciptakan keharmonisan dan kebahagiaan yang tiada tara bagi Pram.Pram tidak pernah menyangka pernikahannya akan sebahagia ini bersama istri mudanya itu. Istri muda yang benar-benar masih muda dan penuh energi untuk menularinya semangat menjalani hidup.Hidup memang penuh kejutan. Rasa benci yang begitu besar terhadap P