Share

Chapter 5: Dimensi berbeda

Beberapa hari kemudian, ada teman datang ke rumah.

Dia datang, menawari ku pekerjaan.

Akan tetapi, kerjanya lumayan jauh.

Lebih tepatnya, di ibukota.

Setelah 6 bulan berlalu, aku pun pulang ke kampung halaman.

Tetapi saat sampai di rumah, Jamilah tak membukakan pintu.

Padahal sudah beberapa kali ku ketuk.

Karena lelah sehabis menempuh perjalanan jauh, aku pergi ke belakang rumah.

Aku memilih ke dibelakang rumah, karena ada ranjang yang terbuat dari bambu.

Aku pun merebahkan badan disitu, untuk menghilangkan lelah.

Tas yang aku bawa, ku letakkan pada bagian kepala sebagai ganjalan.

Anginnya begitu sejuk, membuat pandangan kian meredup.

Aku memejamkan mata dan tak sadar, aku pun tertidur.

Dalam mimpi, aku berada di tempat P.

Dalam posisi duduk seperti waktu itu.

Lalu aku berdiri dan melangkahkan kaki mendekati ruangan yang waktu itu tak boleh aku masuki. Ruangan yang hanya di masuki oleh kak Warkam dan mbah Raksa.

Tak seperti waktu itu yang hanya mengintip dari jendela kaca dan melihat dari sela tirai yang terbuka.

Karena kali ini, aku masuk ke ruangan tersebut.

Betapa kaget dan terkejutnya aku, kala masuk ke ruangan itu dan mendapati kak Warkam yang terikat rantai.

"Tulung ...! Tulung ...!" (Tolong ...! Tolong ...!) ucapnya sambil menangis.

Anehnya bukan hanya kak Warkam saja. Aku juga melihat bu Ijah terikat rantai seperti kak Warkam.

Pandanganku tak lepas sampai disitu, karena aku pun melihat banyak orang lain yang bernasib sama dengan mereka dan tempat ini terlihat begitu luas, hingga bisa menampung ratusan, bahkan ribuan orang dengan kondisi terikat dan badan yang terluka.

Erangan dan tangisan meminta tolong, begitu memekahkan telinga.

Tak lama, semua terlihat begitu gelap.

"Hh ... Hh ...."

Aku terbangun dengan nafas terngah, seperti seseorang habis berlari jauh.

Keringat pun bercucuran, padahal angin dari pesawahan lumayan kencang.

Aku langsung duduk dan kembali melamun sambil mengeluhkan keanehan demi keanehan yang datang akhir-akhir ini, "Duh, Gusti! Apa maning kih?" (Ya, Tuhan! Apa lagi nih?) tanyaku dalam hati.

"Assalamualaikum ...." terdengar suara seseorang mengucapkan salam, membuyarkan lamunan.

"Walaikumsalam ...." jawabku, "Eh, ustaz Amir! Duduk!" timpaku menawarkan beliau tuk duduk.

"Dari mana?" tanyaku.

"Habis dari rumah pak Sarip! Anaknya meninggal," jawab ustaz Amir.

"Pak Sarip? siapa dia?" tanyaku bingung.

"Pak Sarip ... Yang mengelola kebun milik kakakmu!" jelasnya.

Aku tertunduk dan hanya bisa diam.

Ustaz Amir pun, melanjutkan ucapannya,

"Hari ini anaknya meninggal dan aku memilih pulang lewat jalan pinggir sawah, tuk menghindari teriknya matahari dan enaknya lewat sini tuh, anginnya lumayan sejuk," jelas ustaz,

"Sampai disini, malah melihat seseorang tengah tiduran dengan nikmatnya dan ternyata itu kamu!" lanjutnya sambil tersenyum.

"Oh iya, mau tanya," ucapku.

"Tanya apa?" tanyanya balik.

"Jadi begini, aku tuh bermimpi dan mimpinya lumayan aneh!

Aku melihat kak Warkam, bu Ijah dan masih banyak orang lain terikat disuatu tempat, seakan menjadi tahanan." jelasku.

"Kamu lihat anak perempuan dalam mimpi itu? Yang sekarang ada disebelah kananmu?" tanya ustaz Amir sambil menunjuk kearah sebelah kananku, "Anak itu yang menunjukannya lewat alam mimpi!" lanjut ustaz menjelaskan.

Aku diam, tak bisa menjawab.

Memang terasa begitu aneh bagiku, karena merasa ada seseorang disamping kanan.

Namun, aku tak bisa melihatnya.

Aku bingung! Karena setelah obrolan tersebut, kita berdua memilih diam.

Jadi, aku mencoba menerka, untuk mengisi obrolan lagi.

"Siska?" tangaku.

"Tuh tahu," jawab ustaz Amir tersenyum.

"Sebenarnya dia siapa? Apakah jahat?" tanyaku dengan nada sedikit berbisik.

"Dari sewaktu Suci kecil, mahluk ini sudah mengikutinya! Tenang saja, aman kok! Dia bukanlah mahluk yang jahat!" jelas ustaz Amir.

"Oh, gitu ya? Memang si, selama ini dia sudah menjaga Suci dan pernah menolong kami juga di waktu itu," ucapku.

"Menolong?" tanya ustaz Amir, "Oh iya memang benar! Kalau waktu itu kamu menerima tawarannya, mungkin yang jadi tumbal bukanlah anaknya pak Sarip. Tapi anakmu!" jelas ustaz Amir, membuatku terdiam untuk sesaat.

Anehnya, ustaz Amir seakan tahu semuanya.

Walau dia tak menyebutkan nama mbak Raeni, tetapi aku tahu apa yang dia maksud.

Merasa tak enak dengan pembicaraan ini, aku mengalihkan pembicaraan ke hal lain.

Tepatnya, kearah mimpi aneh itu.

"Oh iya, maksud dari mimpiku itu apa, ya?" tanyaku.

"Nanti juga tahu!" jawab ustaz tersenyum, "Kenapa dari tadi diluar saja? Apa keluargamu belum kembali?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

"Memangnya keluargaku tak ada di rumah? Pantas saja, aku ketuk pintu beberapa kali tak ada yang buka," ucapku.

"Kamu tak tahu kalau kakak iparmu mau melahirkan?" tanya ustaz.

"Tak tahu! Kan aku baru pulang," jawabku.

"Oh iya, lupa! Hehe ...." ucap ustaz tertawa kecil.

Kita mengobrol cukup lama dan tak terasa, azan ashar mulai di kumandangkan.

Ustaz Amir langsung berdiri dari tempat duduknya dan mengajakku pergi salat ke mushola.

Kita pergi ke musalah tuk melaksanakan salat ashar.

Sebenarnya masih banyak hal yang ingin aku tanyakan, akan tetapi disepanjang jalan menuju musalah, aku lebih memilih diam.

"Ko baelah, tes sembahyang ashar?!" (Nanti sajalah, habis salat ashar?!) pikirku.

Salat pun usai dilaksanakan, namun ustaz Amir belum keluar musalah, karena masih terus berzikir seorang diri.

Jadi aku memilih duduk didepan musalah, sambil menunggu dia selesai.

Tak lama, pak marbot Kirun pun ikut duduk disebelahku.

Pak Kirun ini, usianya sekitar 70 tahunan.

Walau pun sudah tua, pak Kirun adalah sosok yang ramah dan suka bercanda.

Hampir setengah jam berlalu, namun ustaz Amir tak kunjung keluar dari musalah.

Walau lama menunggu, aku tak merasa bosan. Karena mengobrol dengan pak Kirun.

"Run! Naripah wis tua bae kuh, masih tetap ayu ya?" (Run! Naripah kan sudah tua, tapi masih tetap cantik ya?) tanya pak Kirun membuka obrolan ngaconya.

"Wis pak! Lamar bae! Deweke kuh, seneng ning wong tua sing laka untune," (Sudah pak! Lamar saja! Beliau kan, suka dengan orang tua yang tak bergigi,) candaku.

"Wah, bagen laka untue gah, goyangane masih yahut, coy ...!" (Lah, walau tak ada gigi, goyangannya masih yahut, coy ...!) selanya dan kita pun tertawa.

Lebih dari setengah jam, ustaz Amir pun keluar dari musalah.

Dan menemui kita.

"Aduh, kayaknya ada yang sedang ngobrolin janda?" tanya ustaz Amir.

Pak Kirun langsung bangkit dari tempat duduknya, lalu pergi ke belakang untuk menganbil alat bersih-bersih dan mulai membersihkan bagian dalam musalah.

"Masih disini? Kenapa tak langsung pulang? Kali saja, keluargamu sudah ada di rumah," ucap ustaz.

"Jadi sebenarnya begini! Aku masih disini, karena mau bertanya perihal mimpi itu! Apalagi ustaz enggan tuk bercerita, jadi aku semakin penasaran!" jelasku.

"Bukannya tak mau memberitahukan. Tapi, kamu bisa marah kalau ku jelaskan," balas ustaz.

"Insya Allah, tidak!" ucapku meyakinkan.

Setelah mengatakan hal tersebut, ustaz pun memulai menceritakan semua hal yang dia ketahui.

Akhirnya aku pun tahu maksud dari semua ini.

Dan mengapa kak Warkam melanggar pantangan dengan membawa anggota keluarga ke tempat tersebut.

Mungkin kak Warkam tahu, kalau dia takkan bisa kembali.

Tetapi mengapa dia melakukan hal tersebut, kalau tahu ujung-ujungnya dia akan tersiksa?

Dan sedari awal aku tak sadar, kalau yang pulang bersamaku, bukanlah kak Warkam.

Setelah mengetahui semu kebenaran tersebut, aku pun pamit dan langsung pulang.

Karena ku pikir, mungkin keluargaku sudah ada di rumah.

"Sira kuh, sing awit cilik baka ngomong sing beli-beli! Kaen kuh ponakane sira! Malah di omong babi!" (Kamu tuh, dari kecill kalau ngomong yang tidak-tidak! Dia itu sepupu mu! Malah dibilang babi!) terdengar teriakan dari dalam rumah.

"Assalamualaikum ...." ucapku.

"Walaikumsalam ...." jawab Jamilah.

"Ribut apa si? Kenangpa Suci disewoti?" (Ribut apa si? Kenapa Suci dimarahi?) tanyaku sambil menarik tangan Suci dan memeluk tubuhnya.

"Anake sampean wirang-wirang aken! Wis weruh lagi ning rumah sakit, ngomong padu ceplok bae! Wirang, mas! Akeh uwong ...! Salahe sampean sing wis manjaaken!" (Anakmu memalukan! Sudah tahu di rumah sakit, tapi asal ngomong saja! Malu, mas! Banyak orang ...! Salahmu yang selalu memanjakan!) cetus Jamilah.

Aku tak mendengarkan apa yang Jamilah katakan.

Dengan segera aku membawa Suci ke kamar.

Suci yang menangis begitu hebat, aku coba tenangkan dia.

Tak lupa, tas yang aku bawa, langsung ku lempar keatas ranjang.

"Ana apa si, Ci?" (Ada apa si, Ci?) tanyaku.

"Be-bedul! Dedek bayie bedul, dudu menusa, Yah! Tapi bedul," (Ba-babi! Dedek bayinya babi, bukan manusia, Yah! Tapi babi,) jelas Suci dengan suara sedikit terisak, "Oh iya, Yah! Siska wis gawa Ayah dolan?" (Oh iya, Yah! Siska sudah bawa Ayah main?) timpa suci dengan pertanyaan.

"Dolan?" (Main?) tanyaku bingung.

"Iya, dolan! Siska gah pernah ngejak Suci ketemu mamang! Melas aken, Yah! Mang Warkam ditaleni rante," (Iya, main! Siska juga pernah mengajak Suci ketemu Om! Kasian, Yah! Om Warkam diikat rantai,) jelas Suci.

"Oh iya, bener! Ayah get ndeleng." (Oh iya, benar! Ayah juga melihat.) jawabku bingung.

"Jadi, apa sing ustaz cerita aken kuh bener!" (Jadi, apa yang ustaz ceritakan memang benar!) ucapku dalam hati, sambil mengingat apa yang ustaz ucapkan.

Waktu masih di musalah, sebelum aku pulang ke rumah.

Ustaz menjelaskan,

"Sebenarnya itu bukanlah mimpi, tapi sukmamu dibawa sama Siska ketempat itu, untuk menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi! Kakakmu pelaku pesugihan, sama dengan bu Ijah dan orang-orang lain yang kamu lihat disitu," jelas ustaz.

"Kalau benar kak Warkam ada disitu? Lantas yang ada disini siapa?" tanyaku.

"Itu bukanlah kakakmu, tapi Jin yang menyerupai dirinya. Memang beda tempat beda pula perjanjiannya," jelasnya lagi.

Bersambung ... .

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status