Pagi tadi Fajar tampak mengemudikan mobilnya dengan kecepatan lebih tinggi dari biasanya. Ia sudah janji untuk menjemput Naura pagi ini seperti biasa. Gara-gara semalam mereka terlalu lelah memadu kasih, tapi ini sungguh nikmat.Fajar yang sudah tiba di depan rumah Naura pun menunggu di luar rumah sesuai instruksi dari Naura. Sejenak ia melirik arloji di tangannya, Fajar sudah terlambat lima menit, dan dia tidak ingin membuat Naura menunggu.Fajar merogoh saku dan mengambil telepon genggam, berniat untuk menelepon Naura. Namun baru saja memberi kabar, perempuan pujaannya sudah berjalan ke arahnya. Wajah Naura terlihat lelah dan mengantuk, tapi masih saja menawan."Kamu udah siap, Sayang?” sapa Fajar sambil memandangi Naura.Naura pun menjawab, “Maaf ya, aku bikn kamu nunggu lama. Ayok kita berangkat sekarang aja sebelum terlambat!"Fajar menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa. Aku nggak menunggu lama. Sampai kapanpun aku selalu siap menunggumu."Fajar membuka pintu penumpang mobilnya
Radit melangkah tenang sambil berjalan di area mall. Baru saja bertemu dengan salah satu official mall untuk membahas kerjasama. Sejak perpisahannya dengan Naura, ia memang lebih serius unutk bekerja. Seperti sekarang ini, ia berencana membuka cabang restorannya di dalam mall. Entah ini hal yang baik atau tidak, semenjak perpisahan itu rejeki Radit semakin lancar. Restorannya semakin lama semakin ramai, apakah ini sebuah akibat atau berkah dia sendiri tidak tahu. Yang jelas apa yang ia dapatkan hari ini patut disyukuri. Namun sesuatu yang tak terduga merubah moodnya kali ini. Saat ia melewati toko perhiasan, tanpa sengaja ia bertemu dengan Naura yang sedang dirangkul mesra oleh kekasihnya. “Mereka begitu mesra sekali. Dulu akulah yang selalu memeluk pinggangnya dengan erat,” gumam Radit. Tak bisa dipungkiri kalau perasaannya kacau melihat apa yang ada di hadapannya. Radit berhenti sejenak dan memperhatikan sosok mereka yang begitu mesra, tawa dan senyum Naura masih sama menarikny
Mila mendatangi sosok Radit yang sedang duduk termenung di teras. Wanita muda ini membawakan kopi hitam dan singkong goreng untuknya."Silakan Pak," kata Mila kemudian meletakkan di meja teras.Radit yang sedang duduk termenung pun menoleh ke arah Mila yang tiba-tiba datang dan sedikit terkejut."Kamu buat ini?" tanya Radit."Iya, Pak, dimakan ya!"Radit mengangguk, kemudian kembali merenung. Mengingat apa yang terjadi belakangan ini.Meskipun sebenarnya ia sudah melepaskan Naura, tapi sepertinya masih belum bisa melupakan wanita yang pernah berbagi cinta dengannya. Wajar saja, hubungan yang mereka bina sudah berlangsung sangat lama.Ia hanya tak mengira kalau pernikahannya kalah oleh sebuah pengkhianatan. Namun Radit tak bisa sepenuhnya menyalahkan Naura. Sebagai suami ia sudah gagal dalam mendidik dan membahagiakan sang istri.Kondisi mani encer yang dialaminya membuat Radit merasa rendah diri. Bahkan ia merasa takut untuk berumah tangga lagi. Takut tak bisa membahagiakan pasangannya
“Ini saja Bu yang mau dibeli?” tanya Mila sambil memperhatikan catatan yang diberikan oleh Bu Wuri. Barusan ibunya Radit mengatakan pada Mila kalau hari ini adalah ulang tahun Radit, dan beliau bermaksud untuk membuat masakan kesuakaan Radit.“Iya itu aja, ini uangnya buat belanja dan ongkos kamu. Pasarnya lumayan jauh, kamu naik becak atau ojek pangkalan aja, manggilnya dari depan gang situ!” ucap Bu Wuri sambil menyerahkan tiga lembar uang seratus ribu dan dua lembar 20 puluh ribuan.“Iya Bu, saya berangkat dulu. Assalamualaikum,” pamitnya kemudian berjalan menuju pangkalan ojek.“Perlu ditunggu nggak Neng?” sapa tukang ojek pada Mila begitu ia turun dan menyerahkan uang pada laki-laki itu.Mila menggeleng, “Nggak usah, nanti saya biar panggil dari sini saja.” Beruntung Mila mendapatkan tukang ojek paruh baya sehingga sikapnya masih lebih sopan dan profesional, tidak mencuri-curi pandang ke arahnya sama sekali.Mila menatap lurus ke depan dan mencoba untuk membelah kerumunan yang pe
Seketika suasana yang ricuh pun berubah hening saat mendengar seseorang meminta mereka berhenti. Tentu saja semuanya ingin tahu siapa yang berani menghentikan kesenangan mereaka saat ini.Mila masih saja duduk di posisinya, ia seperti membeku dan air mata mengalir di wajahnya. Sekarang ia pun terkejut saat melihat kehadiran Pak Radit yang tiba-tiba datang seperti sorang ksatria yang mengenakan pakaian zirah. Bibirnya pun bergetar mengucapkan nama Radit, dan ini membuatnya tahu kalau saat ini hanya Pak Radit saja yang peduli kepadanya.“Ada apa ini?” tanya Radit tiba-tiba sambil melangkah mendekati Mila. Namun tak seorang pun bersedia untuk menjawab. Sampai akhirnya Jihan pun mulai angkat suara, “Oh jadi ini laki-laki yang kamu rebut dari istrinya. Wah hebat banget kamu Mila, sampai bikin laki-laki ini datang menyusul kamu!” seru Jihan, dan saat itulah kerumunan mulai terprovokasi dan nyaris untuk membuat keributan.“Ini laki-laki yang tidak bisa setia pada istri!”“Eh kamu malah senan
Jihan dan Ismi duduk di atas motor bebeknya, mereka berdua tampak kesal kali ini gara-gara kejadian barusan. “Coba aja nggak ada laki-laki itu, udah aku pites si Mila,” omel Jihan sambil memukul setang motornya.Ismi yang ada di belakangnya pun tak kalah kesal, “Aku heran itu anak kenapa sih selalu saja selamat. Dia itu belagu banget tahu nggak, bisa-bisanya merebut perhatian para customer dan juga pak Bos. Mentang-mentang cantik, putih mulus gampang banget cari muka!”Jihan menoleh ke arah temannya dan berkata, “Kecantikannya dijadiin kedok, sikapnya aja sok polos padahal sebenarnya dia itu brengsek. Kita nggak bisa tinggal diam, dia harus tahu pernah berurusan dengan siapa sekarang.”Sesaat kemudian Jihan dan Ismi sama-sama saling pandang, seperti menemukan sebuah ide secara tiba-tiba. “Kita harus mengikuti mereka supaya tahu dimana Mila tinggal!” mereka berdua mengatakan hal itu secara bersamaan.Tanpa menunggu lama, keduanya pun langsung mengambil helm dan memasangnya. Baru saja m
Wanita paruh baya itu menerima kiriman surat untuk Naura siang tadi. Logo pengadilan agama terpampang jelas dan juga nama putrinya. Tanpa ragu, Wanita itu pun langsung membuka amplop, tak peduli kalau surat itu bukanlah untuknya.Alangkah terkejutnya wanita ini saat mendapati putusan perceraian putrinya secara vertex. Wajah wanita bertubuh tambun itu pun mulai memerah, tak terima anaknya diperlakukan secara tidak adil."Awas kamu Radit!" batinnya sambil melemparkan surat putusan perceraian untuk putrinya. Kemudian menunggu sampai Naura pulang ke rumah dan membahas rencana selanjutnya.Suaminya, Pak Rustam muncul dari depan rumah, setelah asyik mengurus tanaman hias di halamannya. Kegiatan yang biasa dilakukan oleh para pensiunan.Mendapati wanita yang telah dinikahi selama puluhan tahun tengah bermuram durja, beliau pun datang mendekat. Sudah pasti, ingin memberikan dukungan ataupun menjadi teman bicara."Kenapa Ma, kok kelihatan sedih begitu?" tanyanya sambil mengambil tempat di sisi
Bayi Kinanthi tak henti-hentinya menangis. Membuat sang Ibu tampak panik, sampai-sampai tak ada kesempatan baginya untuk mengerjakan tugas menemani Bu Wuri."Sayang, kenapa sayang, Bunda nggak akan pergi lagi kok," bisiknya sambil mengayun-ayunkan bayi mungilnya dalam gendongan.Bu Wuri yang mendengar tangisan si kecil pun mengetuk kamar yang ditempati Mila. Kamar yang memang disiapkan untuk tamu yang menginap."Kinan nangis terus to Nduk*?" tanya Bu Wuri setelah membuka pintu kamar Mila."Iya ini Bu, nggak tahu kenapa kok nangis terus, padahal bajunya sudah saya ganti, sudah saya kasih susu tapi kok masih nangis," jawab Mila masih menggendong bayinya."Sini coba sama Ibu," jawab Bu Wuri kemudian menggendong Kinanthi.Bayi itu masih terus menangis, kemudian wanita lansia itu meminta Mila mengambil termometer untuk memeriksa suhu tubuh Kinanthi. Segera saja wanita itu membaringkan Kinanthi di atas ranjang, meraba dahinya dan meletakkan termometer dalam ketiak. Membiarkan pengukur suh