Share

4~NDS

Author: Kanietha
last update Last Updated: 2025-03-17 11:51:46

“Nada ...” Anggi mendorong tuas kursi rodanya mendekati Nada yang masih berdiri tegak di tempatnya. Wajah Nada sudah basah dengan air mata dan sesenggukan menahan tangis. “Mama minta maaf karena sudah merahasiakan semua ini sama kamu,” ucapnya sambil meraih dan menggenggam tangan putrinya.

Nada menatap mamanya tanpa bisa berkata-kata. Entah harus menyalahkan siapa, karena kedua orang tuanya ternyata punya andil dalam kejadian ini.

“Tapi kamu harus paham dengan kondisi Mama,” lanjut Anggi menunduk, menatap kedua kakinya yang tidak lagi berguna. “Dan papamu ... dia punya kebutuhan yang nggak bisa Mama beri.”

Air mata Nada kembali menitik, tetapi ia segera mengusapnya kasar. Sebenarnya, Nada belum terlalu dewasa untuk memikirkan masalah yang terjadi di dalam rumah tangga orang tuanya. Namun, setidaknya Nada bisa mengerti dengan kebutuhan yang dimaksud oleh Anggi.

“Jadi, Mama kenal dengan Dina?” tanya Nada menarik tangannya dari genggaman mamanya.

Anggi mengangguk pelan. Ada rasa kecewa ketika Nada melepas tangannya dan memilih menjauh. “Dina itu, dulunya kerja di perusahaan konsultan yang sering kerja sama dengan perusahaan papamu. Mereka kenal dari sana.”

Nada menarik napas panjang, berusaha melegakan sesak di dadanya, tetapi rasanya sia-sia. Rasa sesak itu masih saja menetap dan seolah menghimpit paru-parunya.

“Jadi, aku harus minta maaf dengan si Dina itu?” desis Nada mengepalkan kedua tangannya ketika mengingat tamparan wanita itu.

Anggi tidak bisa menjawab. Di satu sisi, sikap Nada memang salah. Namun, semua kesalahan Nada berakar dari Anggi dan Rizal. Lantas, di sisi lain Anggi juga tidak bisa terima dengan sikap Dina dan Rizal yang sudah menampar Nada.

“Aku mau ke kamar,” ucap Nada ketika tidak mendapatkan jawaban dari mamanya. “Dan perlu Mama tahu, kalau aku nggak mau minta maaf sama perempuan itu. Nggak, akan, pernah!”

~~~~~~~~~~~~~~

“Dipanggil ibu ke kamar, Mbak,” ujar Nining setelah Nada membuka pintu kamar. “Tapi, Mbak Nada di minta ganti baju, karena mau jalan katanya.”

Nada mengangguk. “Papa belum pulang juga, Bik?”

Nining menggeleng.

“Sama sekali?” tanya Nada lagi.

“Sama sekali, Mbak,” terang Nining. “Terakhir waktu malam minggu itu. Yang Bapak marah-marah.”

Nada menarik napas panjang dan kembali mengangguk. “Makasih.”

Setelah Nining berbalik pergi, Nada segera melakukan perintah mamanya. Ia mengganti pakaian, lalu pergi ke kamar Anggi yang berada di lantai bawah.

Sejak malam itu, hubungan Nada dan mamanya merenggang. Ia lebih memilih menghabiskan waktu di kamar dan enggan pergi ke bawah. Bahkan, ia meminta makanannya di antara ke kamar karena Nada masih ingin sendiri, untuk memikirkan hidupnya ke depan jika tidak meneruskan kuliah.

“Kita mau pergi ke mana?” tanya Nada setelah Anggi membukakan pintu kamar untuknya.

“Tutup pintunya dan kunci,” titah Anggi lalu menjalankan kursi rodanya menuju lemari pakaian.

Meskipun bingung, tetapi Nada tetap menuruti perintah mamanya. Ia mengunci pintu lalu duduk di sudut ranjang. Melihat mamanya mengambil beberapa barang dari dalam sana.

“Kita mau ke mana?” tanya Nada penasaran.

“Ke toko perhiasan,” ucap Anggi sambil memundurkan kursi rodanya lalu berbalik, menghampiri Nada dengan sebuah kotak kayu di pangkuan. “Buka dan pindahkan semua isinya ke tas mama,” pintanya sambil menunjuk sebuah tas yang berada di nakas.

“Ini ... kotak perhiasan Mama, kan?” tanya Nada mulai bisa memikirkan sesuatu. “Dan kita mau ke toko perhiasan? Mama mau jual?”

“Iya.” Anggi menggangguk. “Mama sudah nggak butuh semua perhiasan itu, jadi, lebih baik dijual aja. Nanti, kita juga mampir ke pegadaian untuk nyairin semua logam mulia Mama.”

“Kenapa dijual?”

“Simpan uangnya untuk kuliahmu,” ujar Anggi meraih kedua tangan Nada dan menyatukannya. “Janji sama Mama, jangan sampai putus kuliah.”

“Ma—”

“Nggak usah bilang apa-apa ke papa,” putus Anggi. “Ini semua demi masa depan kamu, jadi jangan dibantah dan jangan menolak. Mengerti?”

“Tapi, Ma? Ini semua simpanan Mama.” Nada jadi tidak tega dengan Anggi jika seperti ini. Mamanya sampai rela menjual semuanya untuk membiayai kuliah dan memastikan masa depan Nada tidak terpuruk.

“Mama sudah nggak butuh itu semua,” jawab Anggi semakin mengeratkan genggamannya. “Ah! Mama lupa, habis ini ambil buku tabunganmu sekalian. Karena setelah semua uangnya cair, kita langsung masukkan ke rekeningmu dan sebagian taruh di deposito.”

“Mama—”

“Sudah, Nad.” Anggi menggeleng. Kali ini, Anggi sudah memutuskan untuk berada di pihak Nada. Terlebih ketika Rizal tidak kunjung membalas pesan ataupun mengangkat panggilannya sejak kemarin.

Padahal, ada yang harus mereka selesaikan, tetapi suaminya justru tidak pulang ke rumah sama sekali. “Sekarang masukkan semua perhiasan Mama, sama surat-suratnya sekalian. Oia, kita pergi bertiga dengan bik Nining dan kamu yang nyetir, supaya pak Samuel nggak laporan sama papamu.”

“Pak Samuel pasti laporan ke papa kalau kita pergi keluar.”

“Dia cuma laporan, tapi nggak tahu kita pergi ke mana,” ujar Anggi yakin. “Tapi, nggak usah pikirkan itu semua. Urusan papamu, serahkan ke Mama.”

“Mama...” Nada meletakkan kotak perhiasan Anggi di sampingnya. Perlahan, ia merosot, berlutut di hadapan mamanya, lalu memeluknya erat.

“Maafin aku,” bisiknya lirih, suaranya bergetar oleh emosi yang tertahan. Air matanya kembali jatuh, mengalir tanpa bisa dihentikan. Nada menangis, bukan hanya karena masalah yang menimpa keluarga, tetapi juga karena semua pengorbanan mamanya yang selama ini tidak pernah ia sadari.

"Kita nggak usah pergi ke mana-mana.” Nada menarik napas, mencoba menguatkan dirinya. “Biar aku temui Dina dan minta maaf sama dia.”

“Jangan!” sergah Anggi. Matanya mulai mengembun, menahan sesak karena beban yang selama ini telah ia pikul seorang diri.

Istri mana yang bisa tahan jika suaminya memiliki wanita lain di luar sana? Meskipun memberi izin, tetapi tetap saja Anggi merasa sakit sendiri.

Namun, Anggi juga tidak bisa melakukan apa-apa karena kondisinya. “Jangan temui dia dan minta maaf. Selama papamu nggak bisa bersikap adil, kamu nggak perlu merendahkan diri di hadapan Dina. Ingat omongan Mama ini ... baik-baik.” 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
App Putri Chinar
thor tega nian, baru juga 3 bab.udah esmosi jiwa nih
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
nyesek deh jadi Anggi.. tapi salut sama dia yg kuat..
goodnovel comment avatar
Iin Rahayu
ikut meweeeek huaaaa....
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Nada di Hati Sastra   60~NDS [FIN]

    “Ompaaa!” Cairo berlari cepat setelah merampas ponsel Milan yang berdering. Ia masuk ke dalam rumah dan mendapati Sastra sedang berada di ruang keluarga bersama Anggi dan Aksa.Mereka memang berencana untuk makan malam di luar, untuk merayakan hari ulang tahun Melody yang kelima. Jadi, semua sudah siap dengan pakaian rapi, tinggal menunggu Nada dan Melody yang masih bersiap di kamar.Sementara itu, Adrian dan Arini sedang menunggu di rumah mereka. Hanya tinggal menanti kabar dari Sastra, lalu mereka akan berangkat bersama menuju restoran.“Pacarnya Kak Milan telpon!” lapor Cairo segera menyerahkan ponsel Milan pada Sastra.“CAIRO!” Wajah Milan sudah memerah. Tidak bisa mengejar sang adik yang sejak kecil memang memiliki hobi berlari secepat kilat. “KAMU AW—”“Rama?” Sastra menatap datar pada Milan, saat ponsel di tangannya berhenti berdering. “Sudah berapa kali Om bilang, sekolah dulu yang benar. Nggak usah pacar-pacaran.”“Aku nggak pacaran,” bantah Milan sembari bersungut. Menatap ta

  • Nada di Hati Sastra   59~NDS

    “Selamat datang kembali.” Nada melangkah tanpa keraguan. Mengulurkan kedua tangan lalu memeluk Rizal yang baru melewati gerbang Lembaga Pemasyarakatan.Bertahun-tahun mendekam di hotel prodeo, membuat waktu seakan berhenti bagi Rizal. Namun, di pelukan Nada, ia merasakan kehangatan yang begitu nyata. Kehangatan yang pernah ia kira telah hilang selamanya karena kesalahannya.“Terima kasih.” Rizal membalas pelukan Nada dengan erat. Ia sampai harus mengedipkan matanya berkali-kali, berusaha menahan air mata yang nyaris tumpah. “Harusnya, kalian berdua nggak perlu datang ke sini,” ujarnya setelah pelukan tersebut terurai.“Nggak mungkin aku biarin Papa sendirian,” ujar Nada memberi kesempatan Sastra untuk menyalami Rizal. Tidak ada pelukan, karena hubungan keduanya memang sangat kaku dan berjarak.Rizal memang sudah memberi restunya pada Sastra. Namun, setiap kali melihat pria itu, ingatannya langsung tertuju pada perceraiannya dengan Anggi.“Selamat, Pak,” ucap Sastra formal dan tidak bis

  • Nada di Hati Sastra   58~NDS

    Kehamilan kedua Nada nyaris tanpa drama. Hanya sensitivitas penciumannya kerap membuat Sastra kewalahan. Setiap kali Nada mengeluh bahwa aroma tubuhnya mengganggu, Sastra hanya bisa menghela napas dan segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Jika tidak, maka Nada tidak memberi izin untuk dekat-dekat. Istrinya beralasan, perutnya mual dan akan muntah jika Sastra tidak segera mandi.Masalah ngidam pun tidak terlalu merepotkan. Semua bisa didapat di tempat yang terjangkau, sama seperti Sastra dahulu kala.Dengan kata lain, semua aman. Sastra tenang dan Nada pun merasa aman-aman saja dengan kehamilannya.Kuliah Nada juga berjalan lancar, meskipun kemungkinan besar ia tidak akan lulus tepat waktu seperti yang sudah direncanakan. Namun, itu bukanlah masalah besar. Yang terpenting, bayi di dalam kandungannya sehat dan tumbuh seperti yang diharapkan.“Huufff ...” Nada menghela panjang saat melihat ruang keluarga penuh dengan mainan Aksa yang berserakan. Tidak hanya milik Aksa, teta

  • Nada di Hati Sastra   57~NDS

    “Aksa jangan lari-lari, Ak ...”Sastra menahan napas ketika putranya tiba-tiba jatuh, terjerembab dengan dagu yang terbentur lantai. Sejenak, keheningan menyelimuti ruangan sebelum akhirnya suara tangis Aksa pecah, membuat jantung Sastra mencelos. Tingkah putranya benar-benar mengingatkan Sastra akan Cairo.“Sudah Papa bilang jang—”“Jatuh lagi?” Nada menarik napas panjang. Buru-buru menghampiri putranya yang baru digendong oleh Sastra, di teras rumah. “Pasti lari-lari lagi, kan?”“Mamaaa ...”Kendati Nada mengomel, tetapi Aksa tetap mencondongkan tubuh pada sang mama. Meminta ada di gendongan Nada daripada Sastra.“Sakit, kan?” tanya Nada saat Aksa sudah berada di gendongannya.Aksa mengangguk. Merebahkan tubuh di bahu Nada dan masih meneruskan tangisnya.“Dagunya sakit itu,” ucap Sastra sambil mengusap sisi wajah putranya. “Habis ini lari-lari lagi, oke? Terusin aja.”Bukannya mereda, tangis Aksa malah semakin menjadi. Bocah itu memeluk Nada lebih erat, menyembunyikan wajah di ceruk

  • Nada di Hati Sastra   56~NDS

    “Ingat apa pesan Om tadi?” tanya Sastra menoleh ke belakang. Melihat bergantian pada Milan dan Cairo, yang mengapit carseat yang diduduki oleh Aksa. “Kalau sampai ada yang lari-lari, Om nggak akan lagi ajak kalian ke kampus kak Nada.”Dua bocah itu mengangguk secara bersamaan. Tidak berani membantah, karena peringatan yang dilontarkan Sastra.“Ayo keluar,” ajak Sastra. “Tapi pelan-pelan dan JA-NGAN LA-RI.”“Iyaaa,” jawab Milan dengan malas. Bosan mendengar Sastra berpesan hal yang sama.Sastra hanya bisa menggeleng pelan sambil membuka pintu mobil. Setelah mengambil stroller dari bagasi, ia beralih ke car seat, mengangkat Aksa dengan hati-hati, lalu meletakkannya di stroller. Tangannya sigap memastikan sabuk pengaman terpasang dengan benar sebelum akhirnya berdiri tegak."Kak Nadanya mana?" tanya Milan yang berdiri di sampingnya dengan mata berbinar penuh antusias."10 menitan lagi baru pulang, jadi kita tunggu di kantin," jawab Sastra. Ia merasa seperti seorang ayah beranak tiga di t

  • Nada di Hati Sastra   55~NDS

    “Yang penting, jangan sampai berhenti kuliah,” pesan Rizal tegas. Ia masih berharap putrinya bisa meraih gelar sarjana. Bahkan jika memungkinkan, Nada bisa meniti karir. Menjalani masa-masa yang belum sempat dinikmati dan menggapai cita-cita.Untuk sementara, tidak masalah jika Nada harus mengambil cuti karena masih ada bayi yang membutuhkan perhatiannya sepenuhnya. Namun, setelah itu, Rizal berharap putrinya bisa kembali melanjutkan kuliah dan meraih impiannya. Ia ingin Nada tetap memiliki masa depan yang cerah, tanpa harus mengesampingkan perannya sebagai ibu.Perihal Aksa, Rizal yakin Anggi tidak akan keberatan membantu menjaga cucunya. Lagipula, keluarga Wiguna sangat berkecukupan, jadi, menyediakan seorang baby sitter untuk Aksa tentu bukan hal yang sulit.“Iya, Pa,” jawab Nada yang kembali datang menjenguk Rizal. Namun, ia tidak membawa Aksa, karena papanya yang melarang untuk membawa bayi tersebut ke penjara.Untuk sementara, Rizal cukup melihat cucunya melewati lembaran foto-f

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status