Share

5~NDS

Penulis: Kanietha
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-17 11:55:35

“Hitung lagi uangnya sebelum kita pergi ke bank,” titah Anggi setelah menjual koleksi perhiasannya.

Meskipun berat karena mengingat mamanya sudah tidak memiliki apa-apa, Nada tidak lagi membantah. Ia menghitung kembali uang di hadapan pegawai toko, agar tidak terjadi kesalahpahaman.

Selagi Nada sibuk menghitung, Anggi menjalankan kursi rodanya dengan perlahan untuk melihat beberapa koleksi perhiasan di sana. Lantas, tatapannya berhenti pada sebuah kalung berlian yang cukup menarik perhatian.

Desainnya elegan dan minimalis. Rantainya terdiri dari susunan berlian kecil yang mengelilingi leher dengan pola simetris. Sangat sederhana tetapi tetap terlihat mewah.

Namun, Anggi hanya mengagumi dan tidak berniat membeli.

“Mbak Anggi.”

Sapaan dari seorang wanita, membuat Anggi menoleh dan mendongak. Ia cukup terkejut dengan sosok Dina, yang sudah berdiri dengan begitu menawan di sampingnya.

“Mbak di sini juga?” tanya Dina tersenyum manis. “Sendirian?”

“Sama Nada.” Saat Anggi baru saja hendak tersenyum, lengkungan di bibirnya perlahan memudar. Tatapannya beralih pada seorang wanita berseragam babysitter yang baru saja berdiri di samping Dina. Wanita itu menggandeng seorang balita, yang tampaknya sedang belajar berjalan. Langkahnya masih goyah, tetapi penuh semangat.

Anggi menahan napas sejenak. Apakah balita itu anak Rizal?

“Ah! Nada.” Anggi melarikan tatapannya ke seluruh toko. Kemudian, tatapannya berhenti pada gadis muda yang sedang duduk dan sibuk menghitung tumpukan uang. Amarah Dina seketika mencuat, mengingat bagaimana gadis itu mempermalukan dan menyakitinya dengan bar-bar. “Mas Rizal sudah—”

“Dia anakmu?” putus Anggi tidak ingin didera rasa penasaran yang terasa menyakitkan.

“Oh!” Dian sontak menunduk dan tersenyum pada balita yang sedang menaik turunkan tubuhnya dengan lucu. Sejurus itu, ia berjongkok lalu membawa balita tersebut ke hadapan Anggi. “Halo, Ibu Anggi, namaku Rizaldi. Dipanggil Aldi,” ucapnya sambil mengulurkan tangan kanan putranya pada Anggi.

Luka yang ada di hati Anggi semakin teriris perih. Kendati wajar jika Rizal memiliki anak dengan Dina, tetapi tetap saja rasanya begitu menyakitkan. Terlebih, Rizal tidak pernah mengatakan jika mereka berdua sudah memiliki seorang putra.

Namun, balita tampan yang sedang menatapnya saat ini tidaklah berdosa. Anggi tidak bisa membencinya, karena Aldi tidak tahu-menahu dengan permasalahan yang terjadi dengan orang tua.

“Halo, Ganteng,” balas Anggi menyambut uluran tangan mungil itu dengan lembut. “Berapa umurnya?” tanyanya pada Dina.

“Satu tahun dua bulan,” jawab Dina. “Tapi baru bisa jalan.”

Anggi menahan napas. Memaksakan senyum, dikala hatinya teriris. “Sehat-sehat, ya,” ucapnya lalu mengusap pelan puncak kepala balita itu.

“Oia, Mbak, mumpung ketemu, aku mau bicara masalah Nada,” ujar Dina sembari berdiri dan menyerahkan kembali putranya pada baby sitter. “Dia—”

“Kita nggak akan bicara masalah Nada,” putus Anggi mendongak dan memberi senyum kecil pada wanita itu. “Anggap masalah kemarin sudah selesai, karena Nada sudah dapat hukuman dari papanya.”

“Tapi, Mbak, dia itu harus diajari sopan santun,” ujar Dina tetap ngotot dengan pendiriannya. “Dia itu perempuan dan nggak seharusnya bersikap bar-bar.”

“Dia seperti itu karena membelaku,” balas Anggi sembari menoleh pada Nada, yang masih sibuk menghitung hasil penjualan perhiasan dan membelakangi mereka. “Kalau mau ditelusuri lagi, semua ini bukan salah Nada tapi salah kita semua yang nggak jujur dari awal sama dia.”

“Mbak—”

“Dan perlu kamu tahu.” Anggi menunjuk Dina dengan tegas saat kembali memutus ucapan wanita itu. “Nada nggak akan nyerang, kalau kamu nggak nampar dia duluan.”

“Tapi—”

“Jauhkan tanganmu dari anakku,” sela Anggi tanpa ekspresi dan tegas. “Kali ini aku masih bisa sabar, tapi ... nggak untuk lain kali.”

Dina menarik napas dan memutuskan enggan berdebat. Ia memilih memutar tubuh dan kembali ke tujuan utamanya. Menjauh dari Anggi dan melihat-lihat koleksi perhiasan yang rencananya akan ia beli.

Sementara itu, Anggi juga memilih untuk pergi dan menghampiri Nada, daripada terus bicara dengan Dina. “Belum, Nad?”

“Dikit lagi, Ma,” ucap Nada tinggal memastikan jumlah satu gepok uang di tangan.

Anggi menunggu dengan sabar, sampai akhirnya tugas Nada selesai. Ia memasukkan semua uang itu di dalam tas ransel, lalu bersiap pergi.

“Itu ...” Nada tidak jadi melangkah ketika melihat Dina sedang melihat sebuah kalung berlian di atas etalase.

“Dina,” ucap Anggi tenang, kendati hatinya tengah bergejolak hebat. “Dia sudah di sini dari tadi,” lanjutnya sambil menunjuk balita yang sedang belajar berjalan, sambil menggenggam erat tangan susternya. “Dia anak papamu. Aldi, Rizaldi.”

Dahi Nada mengerut dalam. Napasnya mendadak berat, dadanya terasa sesak. “Papa punya anak ... laki-laki?”

“Nggak usah dipikirkan,” ucap Anggi mulai menjalankan kursi rodanya ke arah pintu. “Ayo, Nad. Kita pergi dari sini.”

Sembari terus berjalan keluar, Nada menatap balita yang tiba-tiba juga melihatnya. Balita meringis lebar, memperlihatkan deretan giginya yang mungil.

Harusnya, Nada bisa membalas senyum itu, tetapi dia tidak bisa.

“Laper, Ning?” tanya Anggi melihat Nining sedang mengunyah dan memengang sebuah tusuk yang berisi deretan bakso.

“Ohh, nggak, Bu,” ucap Nining mempercepat kunyahannya. “Tadi ada tukang bakso mangkal bentar. Mendadak pengen pas lihat orang beli.”

Anggi tertawa, menatap Nada. “Kita mampir beli bakso dulu sebelum ke bank, ya. Bik Nining laper, cuma malu aja.”

“Ahh, Ibu.” Nining ikut tertawa. Mempercepat memakan baksonya dan bergegas membantu Anggi menuruni teras. Dengan perlahan, ia membantu Anggi menaiki mobil, lalu menyimpan kursi rodanya di bagasi.

“Makan bakso di mana, Bik?” tanya Nada sembari memasang sabuk pengaman dan memastikan semua posisi kaca spionnya sudah sempurna.

“Sembarang aja, Mbak,” jawab Nining. “Yang penting enak.”

“Yang sejalan aja, Nad,” ujar Anggi sembari mengeluarkan ponsel. “Daripada muter-muter.”

“Oke, Ma,” jawab Nada, menoleh ke belakang sekilas. Ia melihat Anggi baru saja menempelkan ponsel di telinga.

“Halo, Wirda,” sapa Anggi ramah setelah panggilannya diterima. “Ini aku, Anggi, mantan sekretaris pak Adrian.”

“Halo juga, Mbak Anggi, apa kabar,” sahut Wirda ramah. “Ada yang bisa aku bantu?”

“Baik, baik,” ucap Anggi terkekeh ringan. “Oia, aku langsung aja, bisa minta tolong buatkan janji sama pak Adrian? Aku mau konsultasi.”

“Mbak Anggi belum dengar? Pak Adrian sudah nggak nangani kasus lagi,” ujar Wirda. “Setelah mbak Novita nggak ada, Bapak milih pensiun karena mau fokus nemenin cucunya.”

“Ohh ...” Anggi reflek menutup mulut. Setelah ia mengalami kelumpuhan, Anggi memang lebih tertutup dan lebih fokus pada keluarganya. “Maaf, aku nggak tahu.”

Tapi kalau Mbak mau, saya bisa buatkan janji sama mas Sastra,” ujar Wirda memberi solusi. “Sekarang dia yang gantiin pak Adrian.”

“Emm ...” Anggi menimbang-nimbang sejenak. “Oke, buatkan janji dengan beliau. Terima kasih.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (4)
goodnovel comment avatar
sevenseasof7
semoga nanti nada hidup nya bahagia.. semangat Thor.. Harus bahagia ini maah
goodnovel comment avatar
App Putri Chinar
mas sastra yg bakal membantu nih
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
nikahnya satu setengah bulan anaknya Rizal satu tahun 2 bulan.. berarti nabung duluan dong mereka..b
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Nada di Hati Sastra   60~NDS [FIN]

    “Ompaaa!” Cairo berlari cepat setelah merampas ponsel Milan yang berdering. Ia masuk ke dalam rumah dan mendapati Sastra sedang berada di ruang keluarga bersama Anggi dan Aksa.Mereka memang berencana untuk makan malam di luar, untuk merayakan hari ulang tahun Melody yang kelima. Jadi, semua sudah siap dengan pakaian rapi, tinggal menunggu Nada dan Melody yang masih bersiap di kamar.Sementara itu, Adrian dan Arini sedang menunggu di rumah mereka. Hanya tinggal menanti kabar dari Sastra, lalu mereka akan berangkat bersama menuju restoran.“Pacarnya Kak Milan telpon!” lapor Cairo segera menyerahkan ponsel Milan pada Sastra.“CAIRO!” Wajah Milan sudah memerah. Tidak bisa mengejar sang adik yang sejak kecil memang memiliki hobi berlari secepat kilat. “KAMU AW—”“Rama?” Sastra menatap datar pada Milan, saat ponsel di tangannya berhenti berdering. “Sudah berapa kali Om bilang, sekolah dulu yang benar. Nggak usah pacar-pacaran.”“Aku nggak pacaran,” bantah Milan sembari bersungut. Menatap ta

  • Nada di Hati Sastra   59~NDS

    “Selamat datang kembali.” Nada melangkah tanpa keraguan. Mengulurkan kedua tangan lalu memeluk Rizal yang baru melewati gerbang Lembaga Pemasyarakatan.Bertahun-tahun mendekam di hotel prodeo, membuat waktu seakan berhenti bagi Rizal. Namun, di pelukan Nada, ia merasakan kehangatan yang begitu nyata. Kehangatan yang pernah ia kira telah hilang selamanya karena kesalahannya.“Terima kasih.” Rizal membalas pelukan Nada dengan erat. Ia sampai harus mengedipkan matanya berkali-kali, berusaha menahan air mata yang nyaris tumpah. “Harusnya, kalian berdua nggak perlu datang ke sini,” ujarnya setelah pelukan tersebut terurai.“Nggak mungkin aku biarin Papa sendirian,” ujar Nada memberi kesempatan Sastra untuk menyalami Rizal. Tidak ada pelukan, karena hubungan keduanya memang sangat kaku dan berjarak.Rizal memang sudah memberi restunya pada Sastra. Namun, setiap kali melihat pria itu, ingatannya langsung tertuju pada perceraiannya dengan Anggi.“Selamat, Pak,” ucap Sastra formal dan tidak bis

  • Nada di Hati Sastra   58~NDS

    Kehamilan kedua Nada nyaris tanpa drama. Hanya sensitivitas penciumannya kerap membuat Sastra kewalahan. Setiap kali Nada mengeluh bahwa aroma tubuhnya mengganggu, Sastra hanya bisa menghela napas dan segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Jika tidak, maka Nada tidak memberi izin untuk dekat-dekat. Istrinya beralasan, perutnya mual dan akan muntah jika Sastra tidak segera mandi.Masalah ngidam pun tidak terlalu merepotkan. Semua bisa didapat di tempat yang terjangkau, sama seperti Sastra dahulu kala.Dengan kata lain, semua aman. Sastra tenang dan Nada pun merasa aman-aman saja dengan kehamilannya.Kuliah Nada juga berjalan lancar, meskipun kemungkinan besar ia tidak akan lulus tepat waktu seperti yang sudah direncanakan. Namun, itu bukanlah masalah besar. Yang terpenting, bayi di dalam kandungannya sehat dan tumbuh seperti yang diharapkan.“Huufff ...” Nada menghela panjang saat melihat ruang keluarga penuh dengan mainan Aksa yang berserakan. Tidak hanya milik Aksa, teta

  • Nada di Hati Sastra   57~NDS

    “Aksa jangan lari-lari, Ak ...”Sastra menahan napas ketika putranya tiba-tiba jatuh, terjerembab dengan dagu yang terbentur lantai. Sejenak, keheningan menyelimuti ruangan sebelum akhirnya suara tangis Aksa pecah, membuat jantung Sastra mencelos. Tingkah putranya benar-benar mengingatkan Sastra akan Cairo.“Sudah Papa bilang jang—”“Jatuh lagi?” Nada menarik napas panjang. Buru-buru menghampiri putranya yang baru digendong oleh Sastra, di teras rumah. “Pasti lari-lari lagi, kan?”“Mamaaa ...”Kendati Nada mengomel, tetapi Aksa tetap mencondongkan tubuh pada sang mama. Meminta ada di gendongan Nada daripada Sastra.“Sakit, kan?” tanya Nada saat Aksa sudah berada di gendongannya.Aksa mengangguk. Merebahkan tubuh di bahu Nada dan masih meneruskan tangisnya.“Dagunya sakit itu,” ucap Sastra sambil mengusap sisi wajah putranya. “Habis ini lari-lari lagi, oke? Terusin aja.”Bukannya mereda, tangis Aksa malah semakin menjadi. Bocah itu memeluk Nada lebih erat, menyembunyikan wajah di ceruk

  • Nada di Hati Sastra   56~NDS

    “Ingat apa pesan Om tadi?” tanya Sastra menoleh ke belakang. Melihat bergantian pada Milan dan Cairo, yang mengapit carseat yang diduduki oleh Aksa. “Kalau sampai ada yang lari-lari, Om nggak akan lagi ajak kalian ke kampus kak Nada.”Dua bocah itu mengangguk secara bersamaan. Tidak berani membantah, karena peringatan yang dilontarkan Sastra.“Ayo keluar,” ajak Sastra. “Tapi pelan-pelan dan JA-NGAN LA-RI.”“Iyaaa,” jawab Milan dengan malas. Bosan mendengar Sastra berpesan hal yang sama.Sastra hanya bisa menggeleng pelan sambil membuka pintu mobil. Setelah mengambil stroller dari bagasi, ia beralih ke car seat, mengangkat Aksa dengan hati-hati, lalu meletakkannya di stroller. Tangannya sigap memastikan sabuk pengaman terpasang dengan benar sebelum akhirnya berdiri tegak."Kak Nadanya mana?" tanya Milan yang berdiri di sampingnya dengan mata berbinar penuh antusias."10 menitan lagi baru pulang, jadi kita tunggu di kantin," jawab Sastra. Ia merasa seperti seorang ayah beranak tiga di t

  • Nada di Hati Sastra   55~NDS

    “Yang penting, jangan sampai berhenti kuliah,” pesan Rizal tegas. Ia masih berharap putrinya bisa meraih gelar sarjana. Bahkan jika memungkinkan, Nada bisa meniti karir. Menjalani masa-masa yang belum sempat dinikmati dan menggapai cita-cita.Untuk sementara, tidak masalah jika Nada harus mengambil cuti karena masih ada bayi yang membutuhkan perhatiannya sepenuhnya. Namun, setelah itu, Rizal berharap putrinya bisa kembali melanjutkan kuliah dan meraih impiannya. Ia ingin Nada tetap memiliki masa depan yang cerah, tanpa harus mengesampingkan perannya sebagai ibu.Perihal Aksa, Rizal yakin Anggi tidak akan keberatan membantu menjaga cucunya. Lagipula, keluarga Wiguna sangat berkecukupan, jadi, menyediakan seorang baby sitter untuk Aksa tentu bukan hal yang sulit.“Iya, Pa,” jawab Nada yang kembali datang menjenguk Rizal. Namun, ia tidak membawa Aksa, karena papanya yang melarang untuk membawa bayi tersebut ke penjara.Untuk sementara, Rizal cukup melihat cucunya melewati lembaran foto-f

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status