Share

6~NDS

Author: Kanietha
last update Last Updated: 2025-03-17 11:59:02

“Kenapa telponku nggak diangkat seharian ini?”

Nining yang baru meletakkan ayam goreng di meja makan, beringsut mudur dan pergi dari ruangan tersebut. Daripada ia ikut terseret dalam amukan Rizal, lebih baik melarikan diri menuju kamarnya.

“Jadi, bagaimana rasanya kalau telpon Papa nggak diangkat?” balas Anggi tetap tenang sembari menuang nasi ke piringnya. “Marah? Kesal?”

“Apa maumu?” Rizal tahu, Anggi sedang menyindirnya karena tidak membalas pesan dan panggilan sejak malam itu. “Ngapain kamu sama Nada pergi ke toko perhiasan siang tadi?”

“Ah! Istri mudamu pasti yang cerita, kan?” Anggi mengambilkan ayam goreng untuk Nada, lalu menoleh pada Rizal. “Selamat, ya, karena Aldi akhirnya sudah bisa jalan.”

Rizal terpekur sesaat. Namun, ia segera bersikap biasa. Seolah tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Rizal menghela pelan, sebelum akhirnya membuka mulut. “Ma—”

“Hebat! Nikah baru satu setengah tahun, tapi umur Aldi sudah satu tahun lebih,” putus Anggi masih berusaha tenang, kendati emosinya sudah membuncah tidak karuan.

Nada yang baru sadar akan perkataan mamanya, langsung tidak jadi menyuapkan nasi. Ia memang tidak paham dengan usia perkembangan bayi, tetapi, Nada sangat mengerti bagaimana proses seorang anak bisa terlahir ke dunia.

Namun, kali ini Nada tidak akan bersuara. Ia memilih diam dan mendengar lebih lanjut.

“Jadi, selama ini aku sudah dibodohi, dibohingi?” lanjut Anggi memberi tatapan dingin pada Rizal. “Kalian lebih dulu berselingkuh di belakangku, kan? Dan memanfaatkan kecelakaanku supaya bisa menikah.”

Rizal menarik napas, lalu duduk di samping Anggi. Kenapa Dina tidak mengatakan jika Anggi bertemu dengan Aldi?

Kalau begini caranya, tidak ada lagi yang harus ditutupi di depan istrinya.

“Aku sama Dina sudah menikah siri lebih dulu,” ucap Rizal pada akhirnya.

“Akhirnya ...” Nada berceletuk lalu menghela lega. “Aku nggak nyesal sudah narik rambut perempuan itu.”

“Jada bicaramu, Nad!” hardik Rizal.

“Harusnya aku bisa lebih brutal dari kemarin,” ucap Nada tidak lagi mau menuruti papanya.

“NADA!”

“Jangan berani-berani bentak Nada!” Anggi balas menghardik suaminya. Kedua tangannya mengepal di atas lengan kursi roda. “Papa yang salah di sini, jadi jangan coba membela diri karena sudah selingkuh!”

Wajah Rizal menegang. Bibirnya sedikit terbuka, seolah ingin membantah, tetapi tidak ada kata yang keluar.

“Ma—”

“Bahkan Papa sudah selingkuh waktu Mama masih dalam keadaan sehat!” potong Anggi tanpa memberi ruang untuk penjelasan. Suaranya tegas, menusuk, penuh amarah yang sudah lama dipendam. “Iya, kan?”

“Intinya, aku sama Dina sudah menikah dan kami sekarang punya anak.” Rizal menatap Nada sekilas lalu berdiri. “Yang lalu, nggak perlu lagi dibahas karena selama ini aku tetap bisa bersikap adil dengan Mama dan Nada. Kalian nggak pernah kekurangan apa pun, kan? Rumah, uang, mobil, kasih sayang? Semua nggak ada yang berubah, kan?”

“Selera makan Mama hilang,” ujar Anggi sambil memundurkan kursi rodanya lalu berbelok pergi. Rasa kecewanya sudah terlalu dalam, terlebih ketika mengetahui Rizal memang sudah bermain api dengan Dina di belakangnya.

“Kita belum selesai bicara,” sahut Rizal segera menghalangi Anggi. “Ngapain kalian berdua di toko perhiasan? Jual perhiasan? Iya, kan?”

“Ya!” seru Anggi sudah terlalu lelah. “Aku jual perhiasan untuk biaya kuliah Nada! Kenapa? Salah? Itu semua perhiasanku, jadi aku nggak perlu minta izin!”

Rizal menunjuk putrinya yang baru saja berdiri. “Ini semua gara-gara kamu! Kalau kamu bisa sedikit bersikap sopan di restoran, Mama nggak akan menjual perhiasannya.”

“Papa yang selingkuh, kenapa aku yang disalahin,” balas Nada sudah tidak peduli lagi dengan papanya.

“Nada!”

“Nada, masuk ke kamar,” titah Anggi menatap putrinya dengan anggukan kecil.

“Ma—”

“Masuk kamar!” putus Anggi lebih tegas lagi.

Meskipun ingin sekali berada di sisi mamanya, tetapi Nada tidak bisa membantah. Ia pun pergi dari ruang makan, tetapi tidak langsung pergi ke kamar. Nada berdiri di sisi ruang yang berbeda, karena ingin menguping, sekaligus khawatir dengan mamanya.

Sementara itu, Anggi yang masih berada di ruang makan segera menjaga jarak dengan Rizal.

“Pergilah ke tempat Dina, Pa,” ujar Anggi sudah menurunkan intonasi bicaranya karena terlalu lelah. “Jangan buat keributan di rumah, apalagi di depan Nada. Harusnya, cukup aku yang terluka di sini, tapi ... sekarang Nada juga ikut merasakannya. Dan satu lagi, jangan pernah menyalahkan Nada atas semua kekacauan yang sudah Papa mulai. Papa yang lebih dulu selingkuh, jadi, akui kesalahan itu atau diam, kalau lidahmu berat untuk meminta maaf.”

“Aku mungkin salah, tapi Nada juga harus diberi pelajaran karena—”

“Mungkin?” Anggi tertawa sinis. “Selingkuh itu sudah nyata-nyata salah, bukan lagi mungkin, Pa. Jadi tolonglah, jangan blunder ke mana-mana.”

“Ma—"

“Aku capek,” potong Anggi. “Aku seharian ada di luar, jadi aku mau istirahat. Pulanglah ke apartemen Dina sampai semuanya tenang, karena Aldi lebih butuh papanya daripada kami.”

“Maksudnya, kalian sudah nggak butuh aku lagi?” tanya Rizal menarik kesimpulan dari ucapan Anggi. “Setelah semua yang aku beri dan lakukan selama ini? Begitu?”

“Apa Papa masih butuh aku dan Nada?” Anggi bertanya balik dengan tenang.

Rizal terdiam. Pertanyaan tersebut menghantamnya telak hingga tidak bisa memberi jawaban. Seharusnya semua berjalan baik-baik saja dan tidak menjadi rumit seperti sekarang.

“Kalau hati sudah nggak bisa bersikap adil, jalan satu-satunya adalah melepaskan,” ucap Anggi berusaha tegar.

“Maksudmu ... berpisah?”

Anggi mengangguk pelan. “Karena kondisiku yang seperti ini, aku ikhlas memberi izin Papa nikah dengan Dina. Tapi, karena ada kebohongan di belakang pernikahan itu, aku rasa kita sudahi semuanya sampai di sini.”

“Coba pikirkan semuanya baik-baik, Ma,” ucap Rizal. “Nada masih kuliah dan kondisimu seperti ini. Apa yang mau kamu harapkan kalau kita berpisah.”

Anggi mengendik dan tersenyum pahit menatap Rizal. “Sekarang, aku cuma bisa berharap sama Tuhan. Jadi, pulanglah dulu dan pikirkan semua baik-baik. Ajak juga Dina bicara. Setelah itu, baru kita selesaikan semuanya.”

Anggi menjalankan kursi rodanya melewati Rizal yang terpaku di tempat. “Hati-hati di jalan dan ... sampai jumpa lagi.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (6)
goodnovel comment avatar
sevenseasof7
ya ampun kaa.. ini cerita ko kek realted banget siih.. ngikut nyesek
goodnovel comment avatar
carsun18106
yakiiin udh nikah siri duluaaan???
goodnovel comment avatar
carsun18106
berarti aldi ada di perut dina sblm mereka sah menikah kan, artinya aldi tdk berhak atas warisan dari ayah biologisnya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Nada di Hati Sastra   60~NDS [FIN]

    “Ompaaa!” Cairo berlari cepat setelah merampas ponsel Milan yang berdering. Ia masuk ke dalam rumah dan mendapati Sastra sedang berada di ruang keluarga bersama Anggi dan Aksa.Mereka memang berencana untuk makan malam di luar, untuk merayakan hari ulang tahun Melody yang kelima. Jadi, semua sudah siap dengan pakaian rapi, tinggal menunggu Nada dan Melody yang masih bersiap di kamar.Sementara itu, Adrian dan Arini sedang menunggu di rumah mereka. Hanya tinggal menanti kabar dari Sastra, lalu mereka akan berangkat bersama menuju restoran.“Pacarnya Kak Milan telpon!” lapor Cairo segera menyerahkan ponsel Milan pada Sastra.“CAIRO!” Wajah Milan sudah memerah. Tidak bisa mengejar sang adik yang sejak kecil memang memiliki hobi berlari secepat kilat. “KAMU AW—”“Rama?” Sastra menatap datar pada Milan, saat ponsel di tangannya berhenti berdering. “Sudah berapa kali Om bilang, sekolah dulu yang benar. Nggak usah pacar-pacaran.”“Aku nggak pacaran,” bantah Milan sembari bersungut. Menatap ta

  • Nada di Hati Sastra   59~NDS

    “Selamat datang kembali.” Nada melangkah tanpa keraguan. Mengulurkan kedua tangan lalu memeluk Rizal yang baru melewati gerbang Lembaga Pemasyarakatan.Bertahun-tahun mendekam di hotel prodeo, membuat waktu seakan berhenti bagi Rizal. Namun, di pelukan Nada, ia merasakan kehangatan yang begitu nyata. Kehangatan yang pernah ia kira telah hilang selamanya karena kesalahannya.“Terima kasih.” Rizal membalas pelukan Nada dengan erat. Ia sampai harus mengedipkan matanya berkali-kali, berusaha menahan air mata yang nyaris tumpah. “Harusnya, kalian berdua nggak perlu datang ke sini,” ujarnya setelah pelukan tersebut terurai.“Nggak mungkin aku biarin Papa sendirian,” ujar Nada memberi kesempatan Sastra untuk menyalami Rizal. Tidak ada pelukan, karena hubungan keduanya memang sangat kaku dan berjarak.Rizal memang sudah memberi restunya pada Sastra. Namun, setiap kali melihat pria itu, ingatannya langsung tertuju pada perceraiannya dengan Anggi.“Selamat, Pak,” ucap Sastra formal dan tidak bis

  • Nada di Hati Sastra   58~NDS

    Kehamilan kedua Nada nyaris tanpa drama. Hanya sensitivitas penciumannya kerap membuat Sastra kewalahan. Setiap kali Nada mengeluh bahwa aroma tubuhnya mengganggu, Sastra hanya bisa menghela napas dan segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Jika tidak, maka Nada tidak memberi izin untuk dekat-dekat. Istrinya beralasan, perutnya mual dan akan muntah jika Sastra tidak segera mandi.Masalah ngidam pun tidak terlalu merepotkan. Semua bisa didapat di tempat yang terjangkau, sama seperti Sastra dahulu kala.Dengan kata lain, semua aman. Sastra tenang dan Nada pun merasa aman-aman saja dengan kehamilannya.Kuliah Nada juga berjalan lancar, meskipun kemungkinan besar ia tidak akan lulus tepat waktu seperti yang sudah direncanakan. Namun, itu bukanlah masalah besar. Yang terpenting, bayi di dalam kandungannya sehat dan tumbuh seperti yang diharapkan.“Huufff ...” Nada menghela panjang saat melihat ruang keluarga penuh dengan mainan Aksa yang berserakan. Tidak hanya milik Aksa, teta

  • Nada di Hati Sastra   57~NDS

    “Aksa jangan lari-lari, Ak ...”Sastra menahan napas ketika putranya tiba-tiba jatuh, terjerembab dengan dagu yang terbentur lantai. Sejenak, keheningan menyelimuti ruangan sebelum akhirnya suara tangis Aksa pecah, membuat jantung Sastra mencelos. Tingkah putranya benar-benar mengingatkan Sastra akan Cairo.“Sudah Papa bilang jang—”“Jatuh lagi?” Nada menarik napas panjang. Buru-buru menghampiri putranya yang baru digendong oleh Sastra, di teras rumah. “Pasti lari-lari lagi, kan?”“Mamaaa ...”Kendati Nada mengomel, tetapi Aksa tetap mencondongkan tubuh pada sang mama. Meminta ada di gendongan Nada daripada Sastra.“Sakit, kan?” tanya Nada saat Aksa sudah berada di gendongannya.Aksa mengangguk. Merebahkan tubuh di bahu Nada dan masih meneruskan tangisnya.“Dagunya sakit itu,” ucap Sastra sambil mengusap sisi wajah putranya. “Habis ini lari-lari lagi, oke? Terusin aja.”Bukannya mereda, tangis Aksa malah semakin menjadi. Bocah itu memeluk Nada lebih erat, menyembunyikan wajah di ceruk

  • Nada di Hati Sastra   56~NDS

    “Ingat apa pesan Om tadi?” tanya Sastra menoleh ke belakang. Melihat bergantian pada Milan dan Cairo, yang mengapit carseat yang diduduki oleh Aksa. “Kalau sampai ada yang lari-lari, Om nggak akan lagi ajak kalian ke kampus kak Nada.”Dua bocah itu mengangguk secara bersamaan. Tidak berani membantah, karena peringatan yang dilontarkan Sastra.“Ayo keluar,” ajak Sastra. “Tapi pelan-pelan dan JA-NGAN LA-RI.”“Iyaaa,” jawab Milan dengan malas. Bosan mendengar Sastra berpesan hal yang sama.Sastra hanya bisa menggeleng pelan sambil membuka pintu mobil. Setelah mengambil stroller dari bagasi, ia beralih ke car seat, mengangkat Aksa dengan hati-hati, lalu meletakkannya di stroller. Tangannya sigap memastikan sabuk pengaman terpasang dengan benar sebelum akhirnya berdiri tegak."Kak Nadanya mana?" tanya Milan yang berdiri di sampingnya dengan mata berbinar penuh antusias."10 menitan lagi baru pulang, jadi kita tunggu di kantin," jawab Sastra. Ia merasa seperti seorang ayah beranak tiga di t

  • Nada di Hati Sastra   55~NDS

    “Yang penting, jangan sampai berhenti kuliah,” pesan Rizal tegas. Ia masih berharap putrinya bisa meraih gelar sarjana. Bahkan jika memungkinkan, Nada bisa meniti karir. Menjalani masa-masa yang belum sempat dinikmati dan menggapai cita-cita.Untuk sementara, tidak masalah jika Nada harus mengambil cuti karena masih ada bayi yang membutuhkan perhatiannya sepenuhnya. Namun, setelah itu, Rizal berharap putrinya bisa kembali melanjutkan kuliah dan meraih impiannya. Ia ingin Nada tetap memiliki masa depan yang cerah, tanpa harus mengesampingkan perannya sebagai ibu.Perihal Aksa, Rizal yakin Anggi tidak akan keberatan membantu menjaga cucunya. Lagipula, keluarga Wiguna sangat berkecukupan, jadi, menyediakan seorang baby sitter untuk Aksa tentu bukan hal yang sulit.“Iya, Pa,” jawab Nada yang kembali datang menjenguk Rizal. Namun, ia tidak membawa Aksa, karena papanya yang melarang untuk membawa bayi tersebut ke penjara.Untuk sementara, Rizal cukup melihat cucunya melewati lembaran foto-f

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status