“Apa!” Nada menggeleng. Tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya dari Anggi. Napasnya tercekat dan dadanya semakin sesak. “Dina itu ... istri papa?”
Nada tertawa getir. Ternyata, kenyataan yang terungkap lebih menyakitkan dari apa yang ia lihat tadi siang.
“Kapan? Sejak kapan Papa nikah dan sejak kapan Mama tahu semuanya?” cecar Nada tidak sabar dan langsung beranjak dari tempatnya. Ia berdiri di tengah ruang dengan perasaan gusar. Menunggu jawaban dari orang tuanya.
“Nada, duduk dulu,” pinta Anggi masih menatap pipi putrinya yang memerah.
“Aku nggak mau duduk,” tolak Nada lalu bersedekap dengan tangan yang mengepal erat. “Aku mau jawaban.”
“Sudah satu setengah tahun,” jawab Rizal tetap tenang saat memberi jawaban pada putrinya. “Dan Papa sudah minta izin ke Mamamu sebelum menikah.”
Satu setengah tahun?
Nada sontak membeku di tempat. Jadi ... selama ini ia hidup dalam kebohongan? Keluarga harmonis yang selama ini sempat tercipta di kepala, menyimpan rahasia yang cukup membuatnya terluka.
Ia mengira, Dina hanyalah perempuan murahan yang menempel pada papanya. Namun, nyatanya? Perempuan itu sudah SAH menjadi istri.
Nada menelan ludah, tatapannya beralih pada Anggi yang duduk diam di kursi roda. Mamanya tidak terlihat marah, maupun kecewa. Bahkan, Anggi terlihat baik-baik saja. Seperti tidak ada hal penting yang sudah terjadi selama ini.
“Kenapa, Ma?” Nada meninggikan intonasi bicaranya. “Kenapa—”
“Karena Mama nggak bisa apa-apa,” sela Anggi datar. “Apa kamu nggak lihat, Mama cuma bisa duduk di kursi roda? Sementara papamu ...” Anggi menarik napas dalam-dalam. “Mama sudah ....”
Anggi tidak lagi bisa meneruskan ucapannya. Mengingat bagaimana kondisinya saat ini, ia hanya bisa pasrah karena tidak lagi bisa melayani suaminya seperti dulu.
“Karena kamu sudah tahu siapa bu Dina, Papa mau kamu minta maaf ke dia karena sudah berlaku kasar,” titah Rizal tegas.
“Apa yang sudah terjadi?” Anggi belum mendapatkan jawaban rinci akan masalah yang ada. “Apa yang sudah Nada lakukan dengan Dina?”
“Nada sudah menjambak rambut Dina,” ucap Rizal menatap tegas pada putrinya yang tidak menunjukkan rasa sesal sama sekali. Ia pun menjelaskan semua perkara yang terjadi di restoran pada Anggi dengan singkat.
Nada berdecih tanpa sungkan begitu Rizal menyelesaikan ceritanya. “Kenapa Papa nggak cerita kalau si Dina sama Papa juga nampar aku?”
“Dina ...” Tangan Anggi mulai mengepal. “Dia nampar kamu? Dia berani nampar kamu?”
“Itu karena Nada membuang semua barang belanjaan Dina dan menumpahkan kecap juga saus sambal di atasnya,” ungkap Rizal dengan segera.
“Tapi bukan berarti Dina sama Papa bisa nampar Nada di depan umum!” Anggi hampir menjerit. Ia tidak terima jika putrinya diperlakukan seperti itu. “Selama 20 tahun aku membesarkan Nada, nggak pernah satu kali pun aku mukul dia. Tapi kalian!”
“Nggak usah dibesar-besarkan!” hardik Rizal. “Aku seperti itu karena Nada sudah kelewatan. Harusnya dia bisa jaga sikap dan bicara dengan baik-baik. Tapi apa? Nada justru seperti orang yang kesetanan! Ngamuk di restoran dan bikin malu keluarga! Dengar itu, Nad! Kamu itu disekolahkan, dikuliahkan biar tahu adab dan bisa jaga sikap!”
Rahang Nada mengeras. Matanya mulai berkaca dan menatap tajam pada papanya yang masih saja membela Dina. Nada sadar sikapnya memang kelewatan, tetapi semua itu bukanlah salah dia. Andai Nada tahu sejak awal jika papanya sudah memiliki istri selain mamanya, mungkin sikapnya tidak akan seperti tadi.
“Jadi, aku yang salah?” tanya Nada tidak lagi bisa membendung air matanya yang menitik perlahan. “Aku nggak tahu apa-apa, tapi aku tetap yang salah?”
“Ya!” jawab Rizal tanpa ragu. “Karena itu, kamu harus minta maaf ke bu Dina.”
Nada berdecih keras. “NGGAK AKAN!” Ia juga menolak tanpa ragu. “Aku mungkin salah, tapi kesalahanku itu gara-gara Mama sama Papa! Jadi, aku nggak akan pernah minta maaf sama perempuan itu! Sampai kapan pun!”
“Baik!” Rizal berdiri dan mengangguk menerima ucapan Nada. “Tapi mulai sekarang, jangan pernah berharap apa pun dari Papa! Nggak akan ada lagi transferan setiap bulannya ke rekening kamu dan biayai kuliahmu sendiri! Dan kalau kamu mau semua kembali ke tempatnya, datang temui bu Dina dan minta maaf sama dia.”
“Pa!” Anggi menekan tuas kursi rodanya mendekati Rizal. “Mama nggak masalah kalau Papa mau nyetop uang bulanan Nada, tapi untuk biaya kuliah? Itu sudah kelewatan. Kita nggak bisa menyalahkan Nada sepenuhnya karena dia nggak tahu apa-apa. Jadi—”
“Keputusan ada di tangan Nada,” putus Rizal menunjuk ringan pada putrinya yang tampak masih teguh pada pendiriannya. “Kalau dia mau sedikit saja menurunkan egonya, semua pasti kembali seperti semula.”
“Apa Papa mau minta maaf karena sudah nampar aku?” tanya Nada sambil mengusap air matanya dengan kasar.
“Papa nampar kamu karena ada alasannya,” ujar Rizal membela diri. “Sikap kamu sudah keterlaluan dan nggak punya sopan santun sama sekali. Jadi, anggap itu pelajaran untuk kamu agar ke depannya bisa berpikir dua kali kalau mau melakukan sesuatu.”
“Pa, ini sudah keterlaluan.” Anggi kembali bersuara. Meskipun Nada salah, tetapi Rizal tidak bisa bersikap seenaknya. Suaminya itu sudah berat sebelah dan tidak lagi memikirkan masa depan putri mereka. “Nada masih butuh biaya untuk kuliah.”
“Sudah kubilang, semua akan kembali ke tempatnya kalau dia mau minta maaf sama Dina, Ma.”
“Kita yang salah dari awal, Pa,” ucap Anggi tetap berada di pihak putrinya. “Jadi, Papa nggak bisa—”
“Aku bisa,” sela Rizal tegas. “Dan pembicaraan kita cukup sampai di sini. Nggak ada lagi transferan dan uang kuliah. Titik!” ucapnya dengan suara yang semakin meninggi. “Silakan kalau Mama mau biayai Nada. Tapi Papa, nggak akan lagi mau mengeluarkan uang sepeser pun buat Nada sampai dia berubah. Oia, mobilmu juga Papa tarik,” lanjut Rizal menunjuk pada putrinya. “Serahkan kuncinya ke pak Samuel.”
“Papa bisa menghukum Nada sampai seperti itu.” Suara Anggi juga mulai meninggi. “Tapi, bagaimana dengan Dina yang sudah menampar Nada?”
“Dina menampar Nada karena—”
“Nggak ada karena!” hardik Anggi sudah tidak bisa menahan diri. “Nada cuma membuang barang belanjaan Dina, tapi dia sudah berani nampar Nada! Harga barang-barang yang dirusak Nada, nggak akan pernah sebanding dengan tamparan yang didapatnya!”
“Terserah!” ucap Rizal tidak mau lagi membahas masalah yang terjadi. Ia memilih pergi dari rumah, meninggalkan dua wanita yang tidak bisa diatur sama sekali itu. “Pilihan ... ada di tangan kalian!”
“Ompaaa!” Cairo berlari cepat setelah merampas ponsel Milan yang berdering. Ia masuk ke dalam rumah dan mendapati Sastra sedang berada di ruang keluarga bersama Anggi dan Aksa.Mereka memang berencana untuk makan malam di luar, untuk merayakan hari ulang tahun Melody yang kelima. Jadi, semua sudah siap dengan pakaian rapi, tinggal menunggu Nada dan Melody yang masih bersiap di kamar.Sementara itu, Adrian dan Arini sedang menunggu di rumah mereka. Hanya tinggal menanti kabar dari Sastra, lalu mereka akan berangkat bersama menuju restoran.“Pacarnya Kak Milan telpon!” lapor Cairo segera menyerahkan ponsel Milan pada Sastra.“CAIRO!” Wajah Milan sudah memerah. Tidak bisa mengejar sang adik yang sejak kecil memang memiliki hobi berlari secepat kilat. “KAMU AW—”“Rama?” Sastra menatap datar pada Milan, saat ponsel di tangannya berhenti berdering. “Sudah berapa kali Om bilang, sekolah dulu yang benar. Nggak usah pacar-pacaran.”“Aku nggak pacaran,” bantah Milan sembari bersungut. Menatap ta
“Selamat datang kembali.” Nada melangkah tanpa keraguan. Mengulurkan kedua tangan lalu memeluk Rizal yang baru melewati gerbang Lembaga Pemasyarakatan.Bertahun-tahun mendekam di hotel prodeo, membuat waktu seakan berhenti bagi Rizal. Namun, di pelukan Nada, ia merasakan kehangatan yang begitu nyata. Kehangatan yang pernah ia kira telah hilang selamanya karena kesalahannya.“Terima kasih.” Rizal membalas pelukan Nada dengan erat. Ia sampai harus mengedipkan matanya berkali-kali, berusaha menahan air mata yang nyaris tumpah. “Harusnya, kalian berdua nggak perlu datang ke sini,” ujarnya setelah pelukan tersebut terurai.“Nggak mungkin aku biarin Papa sendirian,” ujar Nada memberi kesempatan Sastra untuk menyalami Rizal. Tidak ada pelukan, karena hubungan keduanya memang sangat kaku dan berjarak.Rizal memang sudah memberi restunya pada Sastra. Namun, setiap kali melihat pria itu, ingatannya langsung tertuju pada perceraiannya dengan Anggi.“Selamat, Pak,” ucap Sastra formal dan tidak bis
Kehamilan kedua Nada nyaris tanpa drama. Hanya sensitivitas penciumannya kerap membuat Sastra kewalahan. Setiap kali Nada mengeluh bahwa aroma tubuhnya mengganggu, Sastra hanya bisa menghela napas dan segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Jika tidak, maka Nada tidak memberi izin untuk dekat-dekat. Istrinya beralasan, perutnya mual dan akan muntah jika Sastra tidak segera mandi.Masalah ngidam pun tidak terlalu merepotkan. Semua bisa didapat di tempat yang terjangkau, sama seperti Sastra dahulu kala.Dengan kata lain, semua aman. Sastra tenang dan Nada pun merasa aman-aman saja dengan kehamilannya.Kuliah Nada juga berjalan lancar, meskipun kemungkinan besar ia tidak akan lulus tepat waktu seperti yang sudah direncanakan. Namun, itu bukanlah masalah besar. Yang terpenting, bayi di dalam kandungannya sehat dan tumbuh seperti yang diharapkan.“Huufff ...” Nada menghela panjang saat melihat ruang keluarga penuh dengan mainan Aksa yang berserakan. Tidak hanya milik Aksa, teta
“Aksa jangan lari-lari, Ak ...”Sastra menahan napas ketika putranya tiba-tiba jatuh, terjerembab dengan dagu yang terbentur lantai. Sejenak, keheningan menyelimuti ruangan sebelum akhirnya suara tangis Aksa pecah, membuat jantung Sastra mencelos. Tingkah putranya benar-benar mengingatkan Sastra akan Cairo.“Sudah Papa bilang jang—”“Jatuh lagi?” Nada menarik napas panjang. Buru-buru menghampiri putranya yang baru digendong oleh Sastra, di teras rumah. “Pasti lari-lari lagi, kan?”“Mamaaa ...”Kendati Nada mengomel, tetapi Aksa tetap mencondongkan tubuh pada sang mama. Meminta ada di gendongan Nada daripada Sastra.“Sakit, kan?” tanya Nada saat Aksa sudah berada di gendongannya.Aksa mengangguk. Merebahkan tubuh di bahu Nada dan masih meneruskan tangisnya.“Dagunya sakit itu,” ucap Sastra sambil mengusap sisi wajah putranya. “Habis ini lari-lari lagi, oke? Terusin aja.”Bukannya mereda, tangis Aksa malah semakin menjadi. Bocah itu memeluk Nada lebih erat, menyembunyikan wajah di ceruk
“Ingat apa pesan Om tadi?” tanya Sastra menoleh ke belakang. Melihat bergantian pada Milan dan Cairo, yang mengapit carseat yang diduduki oleh Aksa. “Kalau sampai ada yang lari-lari, Om nggak akan lagi ajak kalian ke kampus kak Nada.”Dua bocah itu mengangguk secara bersamaan. Tidak berani membantah, karena peringatan yang dilontarkan Sastra.“Ayo keluar,” ajak Sastra. “Tapi pelan-pelan dan JA-NGAN LA-RI.”“Iyaaa,” jawab Milan dengan malas. Bosan mendengar Sastra berpesan hal yang sama.Sastra hanya bisa menggeleng pelan sambil membuka pintu mobil. Setelah mengambil stroller dari bagasi, ia beralih ke car seat, mengangkat Aksa dengan hati-hati, lalu meletakkannya di stroller. Tangannya sigap memastikan sabuk pengaman terpasang dengan benar sebelum akhirnya berdiri tegak."Kak Nadanya mana?" tanya Milan yang berdiri di sampingnya dengan mata berbinar penuh antusias."10 menitan lagi baru pulang, jadi kita tunggu di kantin," jawab Sastra. Ia merasa seperti seorang ayah beranak tiga di t
“Yang penting, jangan sampai berhenti kuliah,” pesan Rizal tegas. Ia masih berharap putrinya bisa meraih gelar sarjana. Bahkan jika memungkinkan, Nada bisa meniti karir. Menjalani masa-masa yang belum sempat dinikmati dan menggapai cita-cita.Untuk sementara, tidak masalah jika Nada harus mengambil cuti karena masih ada bayi yang membutuhkan perhatiannya sepenuhnya. Namun, setelah itu, Rizal berharap putrinya bisa kembali melanjutkan kuliah dan meraih impiannya. Ia ingin Nada tetap memiliki masa depan yang cerah, tanpa harus mengesampingkan perannya sebagai ibu.Perihal Aksa, Rizal yakin Anggi tidak akan keberatan membantu menjaga cucunya. Lagipula, keluarga Wiguna sangat berkecukupan, jadi, menyediakan seorang baby sitter untuk Aksa tentu bukan hal yang sulit.“Iya, Pa,” jawab Nada yang kembali datang menjenguk Rizal. Namun, ia tidak membawa Aksa, karena papanya yang melarang untuk membawa bayi tersebut ke penjara.Untuk sementara, Rizal cukup melihat cucunya melewati lembaran foto-f