Share

Bab 5. Kejutan di Pagi hari

Bab 5. Kejutan Di Pagi Hari

“Maaf, saya ganggu pagi-pagi, Buk!” ucapnya berjalan masuk dan berdiri  tak jauh di depanku. 

Aroma sampho menguar dari rambut basahnya.  Sepertinya dia sudah mandi, keramas lagi.   Kenapa dia keramas, coba?  Bukankah dia seorang janda? Bukankah aku yang harusnya keramas pagi ini? Entah kenapa pikiranku ngelantur ke mana-mana?

“Ada apa, Mbak?  Gimana keadaan Mbak Yati?  Bercak-bercak merah di dada dan leher  Mbak udah ada  kurangnya?  Kalau belum, mau kita berobat sekarang?” cecarku meneliti lehernya  yang tertutup rambut basahnya.

“Udah, kok, Buk. Saya gak sakit. Mereh-merah itu karena tadi malam gatal-gatal mungkin di gigit kutu kasur, jadi saya  garuk. Makanya gak pake baju saya tadi malam, gatal semua. Maaf, ya, Buk, saya agak kasar tadi malam  sama Ibu.   Saya kesal,  karena saya sedang menderita gatal itu, tiba-tiba Ibu gedor  pintu. Tapi, sekarang saya menyesal, Bu. Itu sebab saya datang ke mari. Saya mau minta maaf.”

Perempuan itu sepertinya sangat menyesali sikapnya tadi malam. Wajahnya menunduk begitu dalam. Seketika terbit rasa tak enak di hatiku.

“Gak apa-apa. Saya juga minta maaf udah ganggu Mbak. Soalnya saya curiga ada suara aneh dari kamar Mbak Yati. Uh , ah, uh, ah, auu, uh, ah, kek gitu. Terakhirnya suara erangan panjang. Kukira Mbak Yati kesakitan. Itu makanya aku gedor pintu kamar  Mbak Yati,” tuturku juga ikut menyesali sikap lancangku tadi malam.

“Saya memang kasakitan, Buk. Sakit menahan gatal. Bukan apa-apa.  Bu Amel udah maafin  kesilapan  saya tadi malam, kan, Buk?” Wanita itu mengangkat wajahnya, menatapku begitu memelas.

“Iya, gak apa-apa. Lupakan saja!”

“Makasih, Buk. Bu Amel memnag baik. Dan satu lagi, Buk, eh, anu –“

“Kenapa? Anu apa,  bilang aja, jangan sungkan!”

“Anu, Bu. Anu … eem.”

“Apa, Mbak?  Bilang aja!”

“Anu, kalau hari ini Ibu dan dan Pak Dar  pindahan, saya boleh ikut, ya, Bu!  Digaji berapapun saya mau. Asal ada tempat tinggal yang lebih layak buat anak-anak,” pintanya teramat mengagetkanku.

Aku dan Mas Dar menyusun rencana itu tadi malam.  Saat ini Mas Dar masih tidur di kamar belakang. Aku yakin belum ada yang tahu rencana itu. Lalu, bagaimana bisa ART ini bisa tahu?

Aneh,  ada yang terasa janggal. Sedangkan Mas Dar saja pulang larut tadi malam.  Mereka belum bertemu, kan?  Atau mereka bertemu saat aku tertidur?   Atau memang  Mas Dar  orang yang  kulihat  dengan  tubuh berbungkus   selimut    di kamarnya tadi malam?  Dan kunci mobil itu?  Ini harus kuselidiki.  Makin lama sikap mereka makin mencurigakan.

“Kamu tau kami mau pindah?  Siapa yang bilang?” tanyaku penasaran.

“Mas Dar,” jawab wanita itu spontan.

“Mas Dar?  Mbak Yati manggil suami saya, ‘Mas’?” seruku makin kaget.

“Eh, maksud saya, Pak Dar.  Maaf, Buk. Pak Dar gak suka dipanggil ‘Pak”. Dia lebih senang dipanggil ‘Mas’.  Begitu selama ini, tapi kalau Ibu gak setuju saya akan manggil ‘Pak’ aja. Maaf, ya, Bu, kalau saya lancang!” terang Mbak Yati semakin gugup.

“Gak apa-apa.   Gak masalah, kok. Tapi, saya heran, kapan Mas Dar beritahu Mbak Yati bahwa kami akan pindah?” selidikku menatap lekat wajahnya yang tiba-tiba memucat.

“Oh, anu, kapan, ya?  Oh, iya.  Saya kebetulan ke dapur mau minum tadi malam saat  Bu Amel bercakap-cakap dengan Mas Dar di  kamar  Ibu.  Jadi saya dengar.”

Aku terdiam. Wanita ini  semakin mencurigakan.

“Boleh, ya, Bu Mel, saya ikut?  Saya bisa kerja, kok, Bu. Sebenarnya  saya udah lama disuruh berhenti kerja dari sini. Mbak Dina dan Mbak Dinda  gak sanggup lagi menggaji saya.  Tapi, saya gak tahu mau pergi ke mana?  Sekedar   untuk tempat tinggal saja makanya   saya bertahan di sini.  Meskipun untuk makan  sering terancam. Kasihan anak-anak. Kalau ikut Ibu, setidaknya  makan anak-anak terjamin, Bu.  Kasihani saya, Bu Mel!  Saya ini janda, gak tahu harus  kerja apa untuk perut sejengkal anak-anak.  Boleh, ya, Buk?  Kami ikut  ke rumah Ibuk!”

Perempuan itu makin memelas.   Air bening  menetes dari  sudut  matanya. Kelemahanku adalah mudah merasa  iba.  Dan itulah yang membuatku gampang diperdaya. Kali ini pun sama. Kutepis rasa curiga yang sempat mendera.

“Baik, Mbak!  Jangan nangis, ya!  Udah, Mbak Yati dan anak-anak boleh, kok, ikut  kami!”

“Makasih, Buk! Kalau gitu, saya permisi, ya. Mau buat sarapan!”

“Iya, Mbak!”

Wanita itu  berlalu.  Kasihan dia, masih muda, cantik, tapi sudah janda. Semoga keputusanku menerima dia ikut bersama  kami nanti, tidak jadi masalah. Bukankah menolong janda miskin dan anak yatim itu perbuatan yang mulia? Ah, semoga.

Aku harus mandi sekarang, sebelum Mas Dar bangun aku harus terlihat  bersih dan cantik. Buru-buru aku ke belakang. Satu-satunya kamar mandi  di rumah ini adanya di  sudut  dapur. 

“Mel, udah bangun?  Mau mandi, ya?”  tegur  mbak Dina.  Kedua iparku tengah duduk di meja makan kayu sederhana di dekat  meja kompor.

“Iya, Mbak,” sahutku tersenyum ramah.

“Holang kaya bangun  paginya cepat juga, ya?” Mbak Dinda mulai menyindir lagi.  Aku hanya tersenyum tipis.

“Kamu penghuni baru, jadi antrianmu paling belakang! Di rumah ini udah ada aturan! Bergiliran memakai kamar mandi  kalau pagi hari. Ini masih giliran suamiku, lalu aku. Baru Dinda dan suaminya. Nah, baru giliran   kamu dan suami kamu!  Sabar, ya!”  terang mbak Dina.

“Oh, gitu, ya, Mbak!” sahutku patuh.

“Iya, makanya kamu jangan mau tinggal di sini!  Di sini susah!  Gak seperti di rumah kamu, setiap kamar ada kamar mandinya.  Percuma punya adik ipar orang kaya, kirain kita akan diajak tinggal di istananya, eh, malah  ikut  neyempitin rumah jelek kita!”  celetuk mbak Dinda

“Eem, kalau gitu saya nunggu giliran di kamar aja, deh, Mbak,” ucapku tak mengmbil hati sindirannya.

“Ya, terserah!”

Lebih baik aku menunggu di kamar saja, daripada  mendengarkan sindiran-sindiran kedua iparku itu. Entah mengapa mereka tak bisa bersikap sedikit ramah. Aku bingung.  Sindiran mereka selalu mengenai aku orang kaya. Maksudnya apa, coba? Apakah mereka ingin aku membawa mereka pindah semua meninggalkan kemiskinana mereka?  Jadi bingung.

Bersender aku duduk di bagian kepala tempat tidur  papan di kamarku.  Mencoba merenungi sikap ipar-iparku. Kepala kembali berdenyut. 

“Udah, dong, Mas!  Nanti ketahuan, lho!”

Aku tersentak, suara apa lagi sih, itu?

“Enggak, si kribo sedang nunggu antrian  kamar mandi  di dapur, bareng Mbak Dina dan Mbak Dinda.”

Ups,  tak salah lagi. Itu suara  Mas Dar.  Dia nyebut   ‘si kribo’. Siapa maksudnya? Aku?

“Mas, udah, dong!  Aku udah keramas, lho! Masa iya, aku di suruh mandi lagi!” Itu suara Yati.

“Ayolah!  Tadi malam tanggung!  Pas lagi enak-enaknya, si kribo bikin ulah! Gak apa-apalah, kamu mandi lagi, Sayang, ya! Pening,  nih!”

Astaga! Mas Dar ada di kamar Yati? Ngapain mereka?

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status