Bab 6. Terbongkar (Mereka Zina Atau Bukan?)
“Mas, udah, dong! Aku udah keramas, lho! Masa iya, aku di suruh mandi lagi!”
“Ayolah! Tadi malam tanggung! Pas lagi enak-enaknya, si kribo bikin ulah! Gak apa-apalah, kamu mandi lagi, Sayang, ya! Pening, nih!”
“Ya, udah, jangan lama-lama! Cepatan!”
“Iya, Sayang, makasih, ya!”
Kutajamkan pendengaran, beringsut pelan ke arah dinding kamar. Sela-sela berlubang antara papan lapuk dinding ini, sepertinya bisa kujadikan sarana untuk mencari tahu situasi di kamar sebelah. Mohon ampun pada Tuhan, maaf, ya Allah, bukan aku mau tahu urusan orang. Kali ini saja, izinkan aku mengintip. Sebab aku curiga, ada suamiku di kamar itu.
Kutempelkan mata di sela-sela dinding papan, memindai situasi di sana. Deg! Astaga! Ya, Tuhan!
Spontan kututup mulutku dengan telapak tangan! Agar jeritan kagetku tak terdengar. Jantung serasa lepas dari posisinya. Aliran darah bagai mengalir tak tentu arah. Aku sesak dan tersedak, tetapi tak mampu bergerak. Serasa lunglai seluruh tubuh. Berlepasan sudah setiap engsel persendianku. Aku luruh, terjatuh di kasur keras dan kumal itu.
Tega Mas Dar membohongiku. Dia berselingkuh di belakangku, padahal belum juga sehari pernikahan ini. Bahkan kami belum sempat melewati malam pertama pernikahan ini, meski satu jam, apalagi satu malam. Dia malah berzina di samping kamarku. Kamar pengantin yang disediakan oleh keluarganya untukku. Aku teronggok di sini, di kamar bisu yang dia biarkan mengharu biru.
Sampai hati dia mengotori rumah ibunya dengan perbuatan zina! Tega dia melakukan perbuatan dosa besar itu di depan hidung seluruh keluarganya. Berzina? Tapi, apa iya dia berani berzina separah ini? Jangan-jangan Mbak Yati bukan ART di rumah ini. Jangan-jangan perempuan itu memang istrinya. Mereka suami istrikah? Kok bisa?
Bukankah saat Om Nurdin memperkenalkan Mas Dar dulu, dia bilang ke Papa, kalau ponakannya itu memang duda beranak dua. Mereka sudah sah pisah secara agama, walaupun surat cerainya masih dalam proses pengadilan. Itu sebab pernikahan kami dilangsungkan masih secara siri saja. Setelah surat cerai Mas Dar keluar nanti, baru pernikahan kami didaftarkan ke kantor KUA. Begitu rencana seluruh keluarga.
Lalu, apa arti semua ini? Apakah mereka telah bersandiwara menutupi identitas Mas Dar yang sesungguhnya? Apakah Mbak Yati adalah istri sahnya, sedang aku hanyalah istri sirinya? Jangan-jangan Om Nurdin terlibat juga dalam sandiwara ini! Astaga! Papa! Sahabat Papa itu telah menjerumuskan kita, Pa!
Tangisku pecah seketika. Namun, kutahan. Harus kutahan. Tangis ini tak boleh bersuara. Aku tak boleh membuat keributan sekarang. Meski hatiku bergemuruh tak karuan. Sesunguhnya, ingin sekali aku keluar lalu mengobrak abrik bahkan mencekik sepasang manusia yang sedang berhuhahaha di sana. Bahkan ingin sekali kurobek-robek dan kucincang tubuh tak berbusana itu. Tetapi, aku sadar. Ini rumah ibunya. Dan bukan begini cara menyelesaikannya. Bukan dengan cara menangkap basah mereka.
Jika itu kulakukan, maka ujung-ujungnya aku hanya akan minta cerai, saja. Maka aku akan menyandang status baru, janda perawan. Cara itu teramat merugikan buat diriku tentu saja. Terlalu enak buat mereka yang telah begitu kejam menghina dan menyakitiku. Tidak masalah meski aku menyandang status janda, yang kupikirkan adalah dampaknya terhadap kondisi kesehatan Papa.
Papa akan terkejut, malu, kecewa, stress, drop, lalu meregang nyawa. Tidak! Itu tidak boleh terjadi. Papa tidak boleh menjadi korban kebusukan dan kelicikan keluarga ini. Aku akan balas perbuatan mereka dengan caraku. Tapi bagaimana caranya?
Berpikir, Mel! Berpikirlah! Amelia Renganis Anwar! Ayo, berpikir keras! Jangan cengeng! Berhenti menangis! Berhenti menangis! Tarik napas! Pelan, tarik pelan, Mel! Ya, keluarkan perlahan! Lakukan lagi, Mel! Agar kau tenang! Tenang, ya! Lalu berpikir dengan tenang! Balaskan sakit hatimu! Tuntaskan dendammu!
Kuhipnotis diriku, hingga terhenti tangis dan sedu sedan tak bersuaraku. Konsentrasi, aku berusaha menguasai hati dan pikiran. Tetapi, suara berisik di sebelah semakin mengiris perih hatiku. Jantung ini bagai di remas-remas, sakit sekali.
“Udah, kan? Udah, kan, Mas?” Suara Mbak Yati terdengar seperti orang kelelahan. Seolah-olah dia baru saja berlari puluhan kilo meter. Makin perih hati membayangkan apa yang sedang berlangsung di kamar sebelah itu.
“Ya, Sayang! Makasih, ya!”
“Hati-hati keluar dari kamar ini! Jangan sampai dia tahu, lho! Bisa runyam semua nanti. Ingat, bulan depan si Bagas masuk TK. Biayanya itu jutaan! Sedang kamu gak kerja-kerja! Boro-boro buat bayar pendaftaran si Bagas, buat makan hari-hari aja numpang sama Mbak Dina dan Mbak Dinda. Lama-lama aku malu, Mas! Taulah mulut Mbak Dinda, kayak ember! Serasa pecah gendang telingaku mendengarnya!” adu perempuan itu.
“Iya, paham. Mulai sekarang, kamu tenang saja, ya! Udah ada si kribo!”
“Iya, tapi tetap aja harus hati-hati. Kalau sampai dia tau gimana?”
“Makanya, kamu jangan terlalu cemburuan, dong! Masa aku tidur di kamarnya satu malam pun gak boleh! Aku janji gak bakal ngapa-ngapain dia! Lagian, siapa juga yang selera sama orang model kek gitu! Gak napsu! Tapi, demi masa depan kita, aku harus main cantik, dong! Kamu harus bisa nerima itu!”
“Gimana, aku rasanya terbakar kalau Mas tidur di kamarnya, aku gak bisa, Mas!”
“Lha, gimana dia mau ngasi aku duit kalau aku gak baik-baikin dia! Masa dinikahin gitu aja, terus dimintai duitnya mulu! Dia juga harus aku sayang-sayang, Yat! Meskipun sayang purak-purak! Sayang di mulut doang! Kamu harus ihklas, dong!”
“Ya, udah, sesekali gak apa-apa. Tapi jangan ngapa-ngapain, ya! Ogah aku berbagi tubuh kamu! Berbagi suami gak apa-apa! Tapi tubuh kamu, milikku seorang saja! Paham!”
“Iya, Sayang! Aku udah bilang berapa kali sama kamu! Aku juga enneg liat model kayak begitu! Gak napsu!”
“Ya, udah! Aku percaya!”
“Terus, gimana tadi usaha kamu minta ikut kami pindah ke rumah mewahnya?”
“Beres, dong! Dengan modal air mata dikit aja, dia udah luluh. Polos banget, sih, istri kamu itu, Mas, hehehehe ….”
“Bukan polos, tapi naif!”
“Naif binti oon! Hehehe ….”
“Udah, ah, sana! Pelan-pelan keluarnya! Aku mau nyusuni baju, siapa tau selesai sarapan kita langsung berangkat ke rumah mewah dia.”
“Iya, Sayang! pokoknya kamu harus ingat, kalau aku mesra-mesra dikit sama si kribo di depan kamu, kamu jangan cemburu! Anak-anak juga, harus kamu kendalikan! Jangan sampai mereka bikin ulah!”
“Iya-iya.”
Panas dadaku rasa terbakar. Sakit dan perih telah kini berganti panas mendidih. Mendidih karena dendam. Gak salah lagi! Akulah yang mereka sebut si kribo. Tega mereka menjuluki aku seperti itu, bahkan tega mengatai aku naif binti oon.
Ok, aku sudah siap sekarang! Tak perlu menunda waktu. Permainan mereka akan aku imbangi segera. Akan kubalas perbuatan mereka dengan pembalasan cantik nan menawan. Jika aku lawan dengan kekerasan, maka bukan hanya aku yang akan malu, tetapi aku bisa kehilangan nyawa Papa. Lebih baik bermain secara halus, pelan tapi menelan. Awas kalian!
***
Bab 200. Tamat (Malam Pertama Amelia)Amelia bersimpuh di pangkuan sang Papa. Memohon doa restu dengan derai air mata haru. Daffin mengikuti berbuat yang sama.Amelia bergeser ke bangku Rahayu. Andy ada di sampingnya. Wanita itu memeluk gadis bergaun pengantin itu. Membisikkan kalimat restu dan menguntai doa sakral. Semoga pernikahan putra semata wayangnya dengan gadis ini penuh keberkahan, abadi, tanpa pernah ada lagi perpisahan.“Terima kasih Tante,” ucap Amelia surut masih dengan berjongkok. Lalu berbisik pada Daffin, pria yang baru saja menghalalkannya. “Mas, minta restu pada Tante Rahayu, ya! Juga kepada Pak Andy, papa kandung Mas Daffin. Lakukan itu, seperti Mas meminta restu pada papaku! Agar pernikahan kita ini berkah, Mas!”Daffin menatap mata wanitanya, lembut. Lalu mengangguk. Pria itu melakukan seperti yang Amelia ucapkan. Untuk pertama kalinya, Rahayu memeluk tubuh putranya. Air mata haru tak henti mengalir deras membasahi kedua pipi kurusnya. Sama harunya sepert
Bab 199. Sentuhan Karena Cemburu Daffin Di Dalam Lif“Ada apa dengan Mas Andre? Aku tahu, kok, dia dirawat di sini,” tanya Amelia penasaran.“Dia ingin bertemu kamu, tanpa Pak Daffin. Mungkin kamu bisa luangkan waktu kamu menjenguknya sebentar.” Dr. Vito mengusulkan.“Waw, Andre ingin bertemu Amelia tanpa aku? Hebat! Apa yang kalian rahasiakan dariku?” Daffin mendelik pada Amelia, pria itu kembali terbakar.“Amelia juga belum tahu, Pak Daffin. Tak ada rahasia. Tapi, Andre memang takut kalau Pak Daffin ikut,” sela Dr. Vito.“Takut apa? Dia mau mengambil Amelia lagi dariku, begitu?” sergah Daffin dengan wajah mengetat.“Bukan tentang Amelia, Pak, tapi … wah, saya tak enak mengatakannya. Tapi, alangkah lebih baiknya kalau Amelia menemuinya!”“Baik, terima kasih, Vito! Aku dan Mas Daffin akan menemuinya! Antara aku dan Mas Daffin tak pernah ada rahasia. Terserah, Mas Andre setuju, takut, dan sebagainya! Ayo, Mas kita ke rungannya! Ayo, Mela! Kami duluan, ya! Dadaah, Bilqis!”Amelia me
Bab 198. Daffin Cemburu Buta“Jangan seperti anak kecil, dong, Mas! Enggak ada angin, enggak ada badai, tiba-tiba aja, Mas Daffin sewot, aku gak paham, ada apa, sih?” Amelia menahan lengan Daffin.“Gak ada! Maaf aku buru-buru!” Pria itu menepis dengan sedikit kasar. Hampir saja gadis itu tersungkur. Sebuah tangan menahan tubuhnya.“Ati-ati, dong, Om! Kacian Antenya!” Seorang anak kecil berteriak dengan lantang. “Untung dipegangi mama Iqis, kalau enggak Antenya udah jatuh! Oom dahat!” sungut bocah perempuan itu lagi. Daffin dan Amelia tersentak kaget. Keduanya menoleh ke sumber suara. Suara itu sepertinya tak asing di telinga Amelia.“Ante Amel?” sang bocah malah lebih dulu mengenalinya. “Ini Ante Amel, kan? Mama, ini Ante Amel!” teriak bocah lincah itu kepada wanita yang bersamanya.“Bilqis?” gumam Amelia seraya merunduk lalu memeluk gadis kecil itu. Daffin terpana. “Ini Mama Iqis, Ante! Mama, ini Ante Amel, temannya Papa! Iqis mau Ante Amel jadi mama Iqis, tapi kata Papa, A
Bab 197. Telepon Dari Dr. Vito“Kalau memang Om Andy dengan Tante Ayu udah ada niat menikah, gak boleh ditunda lagi! Kalau saya dan Mas Daffin, bisa kok, nunggu dulu. Pokoknya Om dan Tante aja duluan! Mas Daffin enggak suka kalau Om Andy menunda lagi, ya, Om, Tante!” kata Amelia menekankan.Kedua calon mertuanya itu saling tatap. Lalu menghela napas kasar.“Mama cepat sembuh, pokoknya! Pak Andy jangan banyak pikiran lagi! Ini, pakai untuk keperluan Bapak! Tentang biaya sekolah Klara dan Indah, jangan pikirkan lagi, sudah diurus oleh anggota saya!” tukas Daffin sembari menyerahkan sebuah kartu kredit kepada Andy.“I-ini apa, Nak?” Andy tergagap. “Ti-tidak usah, Nak Daffin, tidak usah! Bapak akan burusaha bekerja semaksimal mungkin untuk mengumpulkan biaya pernikahan. Bapak tidak mau membebani Nak Daffin!” tolaknya mendorong dengan halus di tangan Daffin.“Pakailah, mulai sekarang Bapak akan saya anggap papa saya. Setelah menikahi Mama, Bapak akan saya bawa ke kantor, bantu saya m
Bab 196. Suasana Tegang Di Rumah Sakit“Tidak perlu sungkan, Ma! Pak Andy, saya terima lamaran Anda terhadap Mama saya, kapan rencana pernikahan kalian, kalau bisa secepatnya, ya!”Tiba-tiba Daffin muncul di ambang pintu.“Daff-daffin …!” Rahayu dan Andy serentak menoleh. Wajah keduanya memucat sesaat. Tetapi langsung terang benderang begitu Daffin menyelesaikan kalimatnya.“Terima kasih, Bapak sudah menjaga mama saya sepanjang malam ini?” ucap Daffin melangkah masuk.Andy langsung bangkit, memberi ruang kepada Daffin untuk mendekati Rahayu. Daffin segera menyalam ibunya, lalu duduk di kursi itu. Senyum semringah mekar di wajah tampannya.Rahayu sadar, hari ini putranya terlihat berbunga-bunga. Ada binar di wajahnya. Bukan karena lamaran Andy pada dirinya. Ada sesuatu, entah itu apa. Apakah ada hubungannya dengan Amelia? Rahayu menerka-nerka.“Jadi bagaimana Pak Andy, kapan rencana Bapak menikahi mama? Saya mau secepatnya. Kalau bisa begitu Mama boleh pulang kata dokter, esoknya
Bab 195. Daffin Menerima Lamaran Andy Untuk Ibunya Pagi ini Andy terjaga karena gerakan di atas ranjang pasien. Rahayu menggeliat di sana. Pria itu perlahan mengangkat kepala yang dia letakkan di tepi ranjang. Persis di sisi sang pasien. “Hey, kamu sudah bangun, Sayang?” sapanya sembari mengucek mata. “Maaf, gerakanku membuat Mas terganggu. Pindah saja tidurnya ke sofa sana, Mas! Kasihan, sepertinya Mas kurang tidur beberapa malam ini,” usul Rahayu menatap iba pria yang sangat dia cintai itu. “Tidak, aku juga sudah bangun. Gimana, kamu mau ke kamar mandi, ayo, aku bantu!” “Tidak usah, Mas. Itu terlalu merepotkan kamu. Aku tunggu perawat saja.” “Tidak Rahayu, kenapa kau masih sungkan. Tolonglah, jangan perlakukan aku seperti orang asing!” “Tapi, kamu memang orang lain, kan, Mas? Kita bukan muhrim, kamu juga bukan suamiku. Aku sungkan kamu membantuku ke kamar mandi. Aku akan minta tolong perawat saja nanti.” “Aku sangat sayang padamu, Yu. Aku sangat sedih kau bicara seperti