Afwan menggigit bibir. Dia hanya sanggup menghela nafas."Boleh aku duduk di sisimu, Aini." Afwan menatap ragu."Duduklah, Mas. Ini kamarmu, kamu bebas melakukan apapun di sini."Afwan menghempaskan tubuhnya di sisi Aini yang tengah sibuk melipat pakaian. Ingin sekali Afwan meraih jemari itu dan menggenggamnya agar Aini berhenti masukan bajunya ke dalam tas yang dibawanya. Afwan tak ingin Aini pergi. Tapi tangannya terasa kaku.Dia hanya mampu melihat dengan gundah gerakan tangan Aini yang tengah sibuk memasukkan bajunya tanpa sedikitpun menoleh kepadanya."Aini, boleh memintamu sesuatu?" Suara Afwan lemah."Katakan saja, mungkin aku bisa membantumu."" Emmh...bolehkah aku memintamu untuk menginap di kamar ini, semalam saja?"Aini termenung. Sejenak menghentikan aktifitasnya." Menginap? Di sini? Di kamar ini?"Afwan mengangguk ragu."Ini masih kamarmu, Aini." Afwan menjawab hati-hati.
Jika pernah merasakan hancur dalam hidup, sekaranglah saatnya. Entah apa perasaan Afwan saat ini. Antara cemas, takut ,sedih dan perasaan bersalah menjadi satu memenuhi dadanya membuat nafas rasanya sesak dan berat.Afwan luar biasa gelisah mendapati Aini tak pulang. Fadhil beberapa kali menghubunginya menanyakan Aini. Sepertinya Fadhil juga disuruh Papa untuk mencari Aini.Suami apa aku ini? bahkan orang lain seperti Fadhil juga ikut gelisah mencari istriku. Ratap Afwan gelisah. Lelah dia mengitari kota Bandung yang mulai sepi. Bahkan melintas dibenaknya untuk menanyakan keberadaan Aini ke kantor polisi atau rumah sakit di sekitar Bandung, pikiran jelek dan bukan- bukan memenuhi batok kepala Afwan.Ya Allah, jangan ambil Ainiku. Beri aku kesempatan untuk menebus segala kesalahanku, beri aku waktu ya Allah, walau sedetik.Afwan terisak di pinggir jalan yang mulai sepi. Tangannya gemetar menggenggam ponsel yang dari tadi tidak berhenti dipaka
Afwan terpaku di lobi klinik.Angin malam yang menderu tak bisa mengalahkan hati Afwan yang menggebu karena cemburu.Cemburu? Hallo Bro, dua tahun kau membiarkan perempuan itu memeluk sunyi, melukis malamnya sendiri dalam sepi, menggapai cintamu yang entah di mana. Sekarang kau bilang cemburu? Dimana kewarasanmu?atau...dimana perasaanmu? Hati kecil Afwan mencemooh.Ya aku memang seperti orang tak waras, aku memuja perempuan yang bertahun kehadirannya tak berharga. Aku merindukan Aini di saat jiwanya telah hancur dan membeku. Afwan menyeka sudut matanya. Dia jarang menangis dalam hidupnya, dia laki-laki tangguh dan tegar tapi melihat sorot bening dan ketulusan dalam mata Aini dia terluka.Aini tak murka dengan penghianatannya, tak ada kata makian dan umpatan. Dia tahu diri, pelan menepi dan merelakan sepotong hatinya terluka sendiri. Sialnya, semua itu lebih menyakitkan bagi seorang Afwan.Tak ada yang mencercanya saat dia menikahi Mirna diam-
Mirna!Afwan sedikit terpekik, tak menyangka Mirna mengejarnya sampai ke rumah Aini."Sebentar, Aini." Afwan mendekati Mirna dan berusaha menariknya ke luar ruangan. Bagaimana tidak, tidak jauh dari tempat mereka berdiri, ada Papa Aini yang sedang sakit keras.Aini melirik Bi Darsih memberi isyarat untuk menemani Papa. Perempuan paruh baya itu dengan cepat menuruti perintah anak majikannya dan menunggui Papa di dalam kamar."Tutup, pintunya Bi."Bu Darsih mengangguk. Segera melaksanakan perintah Aini.Mirna menatap Aini dengan wajah memerah menahan kesal. Seperti seseorang yang tengah melihat pencuri miliknya yang paling berharga.Mirna lupa, dialah yang mencuri Afwan dari Aini, merayu dan menjeratnya dengan berbagai cara.Aini melangkah mendekati Mirna yang tengah menantangnya. Wajahnya tenang tak sedikitpun terlihat gentar.Aini mengajak Mirna ke ruang tamu. Setidaknya jarak ruang tamu dan kamar Papa
Fadhil perlahan membalikkan tubuhnya. Suara Isak tangis Aini di punggungnya membuatnya menunduk, menelisik wajah Aini.Aini berusaha membuang pandangannya. Ada perasaan malu bercampur kaget diperhatikan seseorang. Apalagi dia sejujurnya tak begitu akrab selama ini hubungannya sebatas dokter pribadi dan keluarga pasin. Resmi dan seperlunya.Tapi sepertinya semua itu akan berubah mulai saat itu. Aini melihat mata dokter Fadhil menyimpan tanya dan mungkin ras prihatin. Jangan-jangan laki -laki itu menyaksikan adegan panasnya tadi bersama Mirna?Serapat apapun dia menyimpan masalah rumah tangganya selama ini, sekuat apapun dia menelan lukanya seorang diri, faktanya hari ini dokter Fadhil telah menyaksikan adegan menyakitkan dirinya dan Afwan beserta istri mudanya. Hari ini setegar apapun Aini bersikap dan serapat apapun dia menyembunyikan lukanya laki-laki sudah tahu, lihat senyum itu seolah berusaha membasuh luka hatinya. Aduh, Aini merasa malu.Wajah Aini memerah, malu.Merasa telanjang
POV Afwan Aku bergegas ke luar. Tak kuhiraukan Mirna yang memanggilku. Entah mengapa aku ingin mendengar suara Aini. Aku ingin bicara panjang lebar dan terbebas dari pandangan penuh cemburu Mirna. Di sudut hatiku yang lain memang kesal tapi di sisi hatiku yang sesungguhnya aku kasihan melihat Mirna. Perasaan kasihan bercampur jengkel yang menyatu di dadaku membuat jiwaku lelah.Mungkinkah ini balasan dari sikapku selama ini pada Aini? Dua tahun mengarungi hidup bersama yang kuberikan padanya hanya kepalsuan dan kepura-puraan. Awal pernikahan, aku masih bertahan. Aku masih menyentuh Aini layaknya seorang suami. Aku masih ingat segala jasa baik kedua orang tuanya yang telah banyak membantuku sehingga aku bisa lulus kuliah dan punya perusahaan.Aku membalas budi baik Pak Surya Papanya Aini, dengan manis. Sampai di tahun kedua, aku bertemu Mirna di reuni teman sekolah waktu SMA. Mirna yang cantik, bohay, manis dan manja seketika langsung membiusku.Pertemuan demi pertemuan semakin membu
POV AfwanAku mundur ke belakang. Tak mampu memeluk tubuh Aini yang kian sesenggukan. Merapikan debaran sakit di hati yang kian terasa.Bahkan di saat dirinya hancur sekalipun Aini masih tak menerimaku. Aku sudah tidak ada tempat dihatinya. Dia memilih memeluk lukanya seorang diri dibanding melabuhkan kepalanya di dadaku.Suasana semakin ramai. Kerabat dan sanak saudara, mulai berkumpul untuk takziyah. Semasa hidupnya Papa Aini adalah orang yang sangat baik. Sahabat dan saudaranya sangat banyak.Wajar saat dirinya pergi, banyak yang merasa terpanggil untuk memberi penghormatan terakhir.Jenazah Papa sudah selesai dimandikan. Sudah terbujur bertutup kain panjang yang menutupi seluruh tubuhnya di ruang tengah, dikelilingi kerabat dan saudara yang tampak berduka. Rencananya setelah subuh dan masuk waktu solat duha sambil menunggu kerabat yang jauh, jenazah akan dibawa ke mesjid untuk di sholatkan setelah itu akan diberangkatkan dari rumah duka ke taman pemakan sebagai peristirahatan tera
Air mata rasanya tidak berhenti mengalir dari kedua kelopak mata Aini. Hati Aini, Hancur luar biasa. kepergian Papa untuk selamanya seolah menggoreskan luka yang teramat dalam di hatinya. Di saat dirinya terpuruk oleh penghianatan Afwan suaminya, pun saat merasa runtuh dan jatuh mendapatkan, dia mendapatkan kenyataan seorang Affan tidak pernah mencintainya. Kehilangan Papa adalah hal yang paling menyakitkan yang pernah Aini alami. Dulu dia kehilangan mama tapi Aini masih punya Papa. Saat Mama pergi Aini tidak seruntuh ini, hatinya masih memiliki kehangatan dan harapan. Dia menyeka air mata yang lagi-lagi meluncur bak sungai di musim hujan. Angin sepoi yang lirih menerobos jendela mobil yang melaju sedang dan membelah jalanan Lembang yang tidak begitu padat tak juga mampu membuat hati Aini sejuk. Sesekali usapan lembut tangan Tante Isma di punggungnya seolah ingin memberikan Kekuatan kepada Aini. Aini melirik dokter Fadhil yang duduk di depan bersama Sinta yang tamp