Afwan sepertinya tak sabar ingin mematikan sambungan telepon dan memijit tombol merah. Ini kali kesepuluh dia menjawab pertanyaan Mirna sejak pagi. Afwan melirik jam, setengah dua siang dia menghitung sampai tiba di rumah jam delapan malam, berapa puluh kali lagi Mirna akan menerornya dengan chat dan panggilan rutinnya.
"Sudah dulu ya, Sayang Mas lagi repot. Kalau ada apa-apa telepon Ibu saja buat menemanimu, suruh Bang Hasan menjemputnya."
"Tapi janji ya, Mas. Harus pulang cepat. Aku iseng." Terdengar nada manja suara Mirna di sebrang sana.
"Kakiku bengkak, aku hanya ingin dipijit Mas."
Afwan hanya menghela napas.
"Iya. Sudah dulu ya, Mir. Mas lagi ada klien," jawab Afwan ingin segera mengakhiri percakapan ini. Berbohong, di ruangan ini tak ada klien. Afwan malah sedang duduk sendiri dan sedikit santai setelah membaca laporan masuk dari Andi tangan kanannya. Tapi rentetan pesan dan panggilan masuk dari Mirna sepertinya membuat kepalanya pusing.
Terdengar Mirna menghela napas di ujung sana. Afwan yakin pasti ekspresi wajahnya marah dan merenggut. Selalu begitu, tiap keinginannya tak terpenuhi. Sepertinya Mirna semakin posesif seminggu ini.
Apalagi sejak tahu, Afwan belum juga mentalak Aini.
"Awas, ya Mas harus pulang cepat. Aku tidak mau Mas pulang telat," jawab Mirna mengakhiri kalimatnya. Tanpa basa-basi, persis seorang majikan yang tengah menginstruksikan bawahannya untuk masuk kerja tepat waktu. Kalau tidak, akan dipecat atau dipotong gaji.
Dulu, Afwan merasa suka dengan nada perintah dan tegas Mirna, dan bersiap memenuhi dan mengabulkan apa titahnya, tapi entah mengapa semakin hari nada suara itu makin terdengar menyebalkan.
Afwan bahkan rindu nada bicara Aini yang lembut, memohon dan malu-malu. Aku rindu kalimat Aini yang manis dan memuja, aku rindu ....gelendot manjanya saat memohon cinta dariku. Aku rindu segala apapun tentangnya kini. Afwan menghapus kasar wajahnya.
Masih pantaskah aku rindu pada segala kemanisan cinta dan hati Aini? setelah apa yang aku katakan dihadapan Mama tentang rasaku pada perempuan itu? Desah Afwan kembali.
Bahkan, senyum Aini benar-benar telah lenyap saat Afwan meminta izin untuk pulang kemarin, saat dia menyusul Aini di rumah Papanya di Lembang, Bandung Barat.
"Tak harus minta izin untuk pergi dalam hidupku. Aku telah membebaskan mu untuk pergi dalam hidupku sesuka yang kau mau. Satu-satunya yang kuminta darimu, izinkan aku menyelesaikan sandiwara cinta kita dihadapan Papa sampai dia sembuh dan kuat menerima kenyataan, kalau putrinya sudah saatnya ditendang dan dibuang."
Deg. Afwan merasa kalimat Aini menamparnya. Ada dingin yang perlahan menyelimuti hatinya. Afwan termangu, sampai tak menyadari kalau Mirna sudah mengakhiri panggilannya dengan sedikit kesal.
Tut.
Gawai sunyi. Mirna telah menutup panggilannya menyisakan kelegaan dan perasaan bebas.
***
Afwan melangkah memasuki ruangan yang terasa begitu hampa. Setelah sekian lama Afwan berangkat dan pergi dari rumah Mirna, rasanya Afwan rindu untuk pulang ke rumahnya.Tiga Minggu sudah Aini tak kembali ke rumah ini. Rumah yang selama bertahun menjadi tempatnya merajut harapan dan cinta, pada sosok seorang Afwan. Rumah yang setiap sudutnya melukiskan betapa dalam cinta dan luas ketulusan yang perempuan itu persembahkan untuk dirinya. Duh.
Afwan menghembuskan napasnya perlahan, saat merasakan setiap pojoknya terasa sunyi dan sepi. Tak ada debu di rumah ini, karena asisten rumah tangga, meski datang paruh waktu tetap menjaga dan merawatnya dengan baik.
Mata Afwan lepas menatap ke luar, menembus tirai tipis yang menyelimuti jendela kaca. Dibawah lampu penerang rumahnya, tampak samar aneka bunga kesukaan Aini masih bermekaran di teras rumah. Tak ada yang berubah dengan mereka, yang berubah adalah hati pemiliknya yang tak lagi seindah bunga di taman rumahnya.
Afwan kembali menatap gawai yang tergeletakkan di meja kamarnya. Sederet panggilan Mirna merajai layar ponselnya.
[Mas, kok gak pulang?]
[Mas, beliin buah dan kue di toko langganan ku.]
[Mas, kok aku pipis melulu. Pulang cepat ya, Mas. Aku takut ke WC sendiri.]
Afwan hanya membaca chat Mirna sekilas. Tak sedikitpun tangannya tergerak untuk membalas istri manjanya.
[ Mas.]
[ Mas...Maaaaaas.]
Pesan kembali masuk. Menjengkelkan.
[ Mas, aku muntah lagi. Pokoknya pulang cepat, urutiiiin. Emot menangis.]
Afwan menghela napas menatap deretan pesan Mirna. Ada perasaan kesal yang tiba-tiba menjalari hatinya.
Drrrrrt.
Pesan tak kunjung dibalas akhirnya Mirna memutuskan untuk menghubunginya via video call. Afwan melengos, membiarkan dering telepon Mirna memenuhi sepinya kamar.
Afwan tidak tertarik mengangkatnya. Entah mengapa rasa pada perempuan cantik dan manja, yang selama ini menghipnotis jiwanya, perlahan memudar seiring kerinduannya pada sosok lembut Aini yang terus mengetuk kesendiriannya.
Langit hitam menjelaga di luar sana. Bulan sabit tampak enggan mengintip dibalik awan. Malam ini tak banyak bintang, mungkin hujan akan turun sebentar lagi. Deru angin terdengar sengau menyelinap lubang angin di kamar Arfan.
Suaranya lirih seperti kidung sepi di hati Afwan.Perlahan Afwan merebahkan tubuh di kasur yang terasa dingin. Ada perasaan sunyi luar biasa saat menyentuh bidang kosong di sisinya. Tiga Minggu yang lalu, dia masih mendapati tubuh hangat Aini yang berbaring dengan mata yang tampak sembab. Afwan mendengus halus, hatinya betul-betul berdenyut saat tak sengaja tangannya menyentuh lingerie yang dibeli Aini tiga Minggu yang lalu. Lingerie itu masih teronggok di sudut kasur, sepertinya Aini lupa memasukannya ke lemari.
Afwan meraihnya. Perlahan memeluk dan menciumnya.
Gemetar tangannya meraih gawai dan mengetik sesuatu.[Aini, pulanglah.]
Terkirim, sepi.
Tak ada notifikasi balasan.[Aini, jawablah. Aku rindu...]
Send jangan?
Send.
Jangan.
Gemetar Afwan menghapus kembali pesannya. Kehadiran Mirna dan buah cinta mereka, seakan menjadi dinding yang menjulang begitu tinggi antara dirinya dan Aini. Sialnya, dia merasa tersiksa.
Detak jam terasa nyaring, lagi-lagi Afwan menghembuskan napas sedihnya. Hatinya sepi.
"Dari mana Mas?" tanya Mirna penuh curiga. Tatapannya jatuh di wajah lelah Afwan yang baru tiba setelah seharian bekerja dan pulang menembus jalanan macet."Menemui, Aini 'kan?" Kembali meneror dengan prasangka yang sama. Bukannya menghidangkan teh buat suaminya, Mirna malah sibuk mengoceh dengan kecurigaan yang berlebihan. Wajah menornya tampak sedikit kemerahan menahan cemburu."Aku ada meeting, Mir. Ada banyak yang harus kubahas dengan staf baruku." Afwan menjelaskan apa adanya. Awal bulan ini dia menerima manager baru, banyak yang harus mereka bicarakan."Aku tidak percaya." Mirna membantah."Aku tahu kau diam-diam mengunjungi Aini di rumah Papanya. Tega sekali kamu, Mas." Mirna mulai terisak."Padahal usia kandunganku sebentar lagi memasuki trimester akhir. Kau malah as
Afwan menggigit bibir. Dia hanya sanggup menghela nafas."Boleh aku duduk di sisimu, Aini." Afwan menatap ragu."Duduklah, Mas. Ini kamarmu, kamu bebas melakukan apapun di sini."Afwan menghempaskan tubuhnya di sisi Aini yang tengah sibuk melipat pakaian. Ingin sekali Afwan meraih jemari itu dan menggenggamnya agar Aini berhenti masukan bajunya ke dalam tas yang dibawanya. Afwan tak ingin Aini pergi. Tapi tangannya terasa kaku.Dia hanya mampu melihat dengan gundah gerakan tangan Aini yang tengah sibuk memasukkan bajunya tanpa sedikitpun menoleh kepadanya."Aini, boleh memintamu sesuatu?" Suara Afwan lemah."Katakan saja, mungkin aku bisa membantumu."" Emmh...bolehkah aku memintamu untuk menginap di kamar ini, semalam saja?"Aini termenung. Sejenak menghentikan aktifitasnya." Menginap? Di sini? Di kamar ini?"Afwan mengangguk ragu."Ini masih kamarmu, Aini." Afwan menjawab hati-hati.
Jika pernah merasakan hancur dalam hidup, sekaranglah saatnya. Entah apa perasaan Afwan saat ini. Antara cemas, takut ,sedih dan perasaan bersalah menjadi satu memenuhi dadanya membuat nafas rasanya sesak dan berat.Afwan luar biasa gelisah mendapati Aini tak pulang. Fadhil beberapa kali menghubunginya menanyakan Aini. Sepertinya Fadhil juga disuruh Papa untuk mencari Aini.Suami apa aku ini? bahkan orang lain seperti Fadhil juga ikut gelisah mencari istriku. Ratap Afwan gelisah. Lelah dia mengitari kota Bandung yang mulai sepi. Bahkan melintas dibenaknya untuk menanyakan keberadaan Aini ke kantor polisi atau rumah sakit di sekitar Bandung, pikiran jelek dan bukan- bukan memenuhi batok kepala Afwan.Ya Allah, jangan ambil Ainiku. Beri aku kesempatan untuk menebus segala kesalahanku, beri aku waktu ya Allah, walau sedetik.Afwan terisak di pinggir jalan yang mulai sepi. Tangannya gemetar menggenggam ponsel yang dari tadi tidak berhenti dipaka
Afwan terpaku di lobi klinik.Angin malam yang menderu tak bisa mengalahkan hati Afwan yang menggebu karena cemburu.Cemburu? Hallo Bro, dua tahun kau membiarkan perempuan itu memeluk sunyi, melukis malamnya sendiri dalam sepi, menggapai cintamu yang entah di mana. Sekarang kau bilang cemburu? Dimana kewarasanmu?atau...dimana perasaanmu? Hati kecil Afwan mencemooh.Ya aku memang seperti orang tak waras, aku memuja perempuan yang bertahun kehadirannya tak berharga. Aku merindukan Aini di saat jiwanya telah hancur dan membeku. Afwan menyeka sudut matanya. Dia jarang menangis dalam hidupnya, dia laki-laki tangguh dan tegar tapi melihat sorot bening dan ketulusan dalam mata Aini dia terluka.Aini tak murka dengan penghianatannya, tak ada kata makian dan umpatan. Dia tahu diri, pelan menepi dan merelakan sepotong hatinya terluka sendiri. Sialnya, semua itu lebih menyakitkan bagi seorang Afwan.Tak ada yang mencercanya saat dia menikahi Mirna diam-
Mirna!Afwan sedikit terpekik, tak menyangka Mirna mengejarnya sampai ke rumah Aini."Sebentar, Aini." Afwan mendekati Mirna dan berusaha menariknya ke luar ruangan. Bagaimana tidak, tidak jauh dari tempat mereka berdiri, ada Papa Aini yang sedang sakit keras.Aini melirik Bi Darsih memberi isyarat untuk menemani Papa. Perempuan paruh baya itu dengan cepat menuruti perintah anak majikannya dan menunggui Papa di dalam kamar."Tutup, pintunya Bi."Bu Darsih mengangguk. Segera melaksanakan perintah Aini.Mirna menatap Aini dengan wajah memerah menahan kesal. Seperti seseorang yang tengah melihat pencuri miliknya yang paling berharga.Mirna lupa, dialah yang mencuri Afwan dari Aini, merayu dan menjeratnya dengan berbagai cara.Aini melangkah mendekati Mirna yang tengah menantangnya. Wajahnya tenang tak sedikitpun terlihat gentar.Aini mengajak Mirna ke ruang tamu. Setidaknya jarak ruang tamu dan kamar Papa
Fadhil perlahan membalikkan tubuhnya. Suara Isak tangis Aini di punggungnya membuatnya menunduk, menelisik wajah Aini.Aini berusaha membuang pandangannya. Ada perasaan malu bercampur kaget diperhatikan seseorang. Apalagi dia sejujurnya tak begitu akrab selama ini hubungannya sebatas dokter pribadi dan keluarga pasin. Resmi dan seperlunya.Tapi sepertinya semua itu akan berubah mulai saat itu. Aini melihat mata dokter Fadhil menyimpan tanya dan mungkin ras prihatin. Jangan-jangan laki -laki itu menyaksikan adegan panasnya tadi bersama Mirna?Serapat apapun dia menyimpan masalah rumah tangganya selama ini, sekuat apapun dia menelan lukanya seorang diri, faktanya hari ini dokter Fadhil telah menyaksikan adegan menyakitkan dirinya dan Afwan beserta istri mudanya. Hari ini setegar apapun Aini bersikap dan serapat apapun dia menyembunyikan lukanya laki-laki sudah tahu, lihat senyum itu seolah berusaha membasuh luka hatinya. Aduh, Aini merasa malu.Wajah Aini memerah, malu.Merasa telanjang
POV Afwan Aku bergegas ke luar. Tak kuhiraukan Mirna yang memanggilku. Entah mengapa aku ingin mendengar suara Aini. Aku ingin bicara panjang lebar dan terbebas dari pandangan penuh cemburu Mirna. Di sudut hatiku yang lain memang kesal tapi di sisi hatiku yang sesungguhnya aku kasihan melihat Mirna. Perasaan kasihan bercampur jengkel yang menyatu di dadaku membuat jiwaku lelah.Mungkinkah ini balasan dari sikapku selama ini pada Aini? Dua tahun mengarungi hidup bersama yang kuberikan padanya hanya kepalsuan dan kepura-puraan. Awal pernikahan, aku masih bertahan. Aku masih menyentuh Aini layaknya seorang suami. Aku masih ingat segala jasa baik kedua orang tuanya yang telah banyak membantuku sehingga aku bisa lulus kuliah dan punya perusahaan.Aku membalas budi baik Pak Surya Papanya Aini, dengan manis. Sampai di tahun kedua, aku bertemu Mirna di reuni teman sekolah waktu SMA. Mirna yang cantik, bohay, manis dan manja seketika langsung membiusku.Pertemuan demi pertemuan semakin membu
POV AfwanAku mundur ke belakang. Tak mampu memeluk tubuh Aini yang kian sesenggukan. Merapikan debaran sakit di hati yang kian terasa.Bahkan di saat dirinya hancur sekalipun Aini masih tak menerimaku. Aku sudah tidak ada tempat dihatinya. Dia memilih memeluk lukanya seorang diri dibanding melabuhkan kepalanya di dadaku.Suasana semakin ramai. Kerabat dan sanak saudara, mulai berkumpul untuk takziyah. Semasa hidupnya Papa Aini adalah orang yang sangat baik. Sahabat dan saudaranya sangat banyak.Wajar saat dirinya pergi, banyak yang merasa terpanggil untuk memberi penghormatan terakhir.Jenazah Papa sudah selesai dimandikan. Sudah terbujur bertutup kain panjang yang menutupi seluruh tubuhnya di ruang tengah, dikelilingi kerabat dan saudara yang tampak berduka. Rencananya setelah subuh dan masuk waktu solat duha sambil menunggu kerabat yang jauh, jenazah akan dibawa ke mesjid untuk di sholatkan setelah itu akan diberangkatkan dari rumah duka ke taman pemakan sebagai peristirahatan tera