Angin berhembus lirih, menerobos tirai jendela di ruang tengah. Aini dan Afwan tak ada yang segera menemui Papa. Keduanya bimbang.
Tatapan Afwan masih lekat ke wajah sedih perempuan yang selama ini dikiranya tak berharga tapi Aini membuang pandangannya. Dia tak mau tertipu dengan tatapan hangat dan menghanyutkan milik Afwan. Tatapan yang dulu membuatnya jatuh cinta dan membuat dirinya rela sekian lama menunggu untuk melabuhkan jiwanya di kedalaman cintanya.
Aini kini mengerti kalau semua kemanisan itu hanyalah dusta. Hanya tipu muslihat agar dia tetap bertahan dan menikmati semua kebohongan sampai waktu yang diinginkan Afwan. Aini muak.
"Aini," panggil Afwan tersendat berusaha meraih jemari Aini.
"Aku bisa jelaskan, padamu. Aku juga bisa memberitahumu hal yang sesungguhnya." Afwan menghela nafas saat menyelesaikan kalimatnya. Seperti pencuri yang ingin membela diri di hadapan orang yang dicurinya, gugup dan terbata-bata.
"Apa yang akan kau jelaskan, Mas?"
Afwan menelan ludah saat melihat Aini mulai menyeka sudut matanya.
"Aku tidak butuh penjelasan. Seperti kamu tahu, aku sudah mendengar semuanya. Apa yang akan kau bantah tentang perasaanmu padaku?"
Afwan menghela napas dan membuangnya keras. Bagaimana mungkin Aini tahu segala kepura-puraan dirinya? Bagaimana Aini tahu kalau dia telah mendustainya? Bodohnya aku berpikir membawa Mirna dihadapan Mama dan tidak menduga Aini muncul tiba-tiba. Afwan merutuki kebodohannya.
Betul, dia tidak mencintai perempuan itu. Tapi melihat Aini terluka dan hancur begitu saja, Afwan merasa bersalah. Dia akan melepas Aini, tapi tidak dengan cara seperti ini.
"Aku mungkin tidak mencintaimu selama ini, tapi beri aku waktu."
Aini tersenyum.
"Waktu untuk apa, Mas? Untuk terus mendustaiku?"
Afwan menunduk.
"Bukankah kau yang bilang sudah tak sangup hidup denganku? Bukankah kau yang berteriak tak lagi tahan dengan permintaan nafkah batin dariku? Dengar Mas, kukatakan padamu, aku tidak akan meminta apapun darimu. Bahkan aku tidak akan mengharapkanmu walau hanya untuk menyentuh kulitku. Kamu merdeka Mas, nikmati kebahagiaanmu bersama Mirna."
Aini tersengal. Mati-matian menekan intonasi suara dan tangisannya agar tak terdengar ke ruangan Papa.
"Maafkan aku, Aini. Aku tidak bermaksud melukaimu."
Aini tersenyum pahit.
"Paktanya kau tidak hanya sudah melukaiku. Tapi kau juga telah menghancurkan ku. Hebat."
Afwan mengusap kasar wajahnya. Gundah.
"Mas, betul ikatan diantara belum selesai. Kau masih suamiku, tapi ketahuilah ikatan diatas luka dan kepura-puraan hanya akan menghasilkan penderitaan. Doakan Papa agar cepat sembuh, agar kau dengan segera membebaskan diri dari sandiwara ini." Aini tersenyum sendu.
"Aini...Afwan." Suara panggilan Papa kembali terdengar lirih dan sayup.
"Iya, Papa. Kami datang." Tergopoh-gopoh Aini kembali memasuki kamar di ikuti Afwan. Dengan ujung hijabnya Aini menyeka air mata yang terus menganak di sudut matanya.
"Duduklah, Nak." Pinta Papa lemah memberi isyarat agar Afwan dan Aini duduk di dekatnya. Papa menghela napas, wajahnya tampak berbinar bahagia.
Lemah tangan Papa meraih tangan Aini dan Afwan, menaruhnya di dada ringkihnya.
"Afwan, terimakasih sudah menjadi suami yang sempurna untuk Aini. Cintai dan jaga sepenuh hati. Izinkan di sisa usiaku yang mungkin sudah tidak lama lagi, aku merasa damai dan bahagia."
Sepi. Wajah Aini dan Afwan menegang.
"Aini, tahukah siapa manusia yang harus kau muliakan setelah nabi dan RasulNya? Dialah suamimu. Papa nasihatkan padamu, jadilah istri yang berbakti. Surganyamu ada pada telapak kaki nya."
Semakin sepi. Afwan dan Aini membisu, terlihat buliran keringat halus menghiasi kening Afwan.
"Maukah kalian berjanji, untuk saling menjaga dan mencintai?" tanya Papa diluar dugaan. Aini dan Afwan saling pandang.
"Bagaimana Aini, Afwan? Masukan berjanji untuk saling mencintai," pinta Papa perlahan, penuh harap. Aini membisu, Afwan juga membeku. Tapi permintaan Papa yang berulang dan sungguh-sungguh membuat keduanya tidak punya pilihan.
"Ba-baiklah, Papa. Kami...kami berjanji." Suara Aini dan Afwan hampir bersamaan, meski sangat lemah dan hampir tak terdengar tapi itu cukup membuat binar di wajah Papa Aini terlihat jelas. Duh, Aini nelangsa.
Tuhan dusta apa ini?kebohongan apa yang telah hambaMu pertontonkan di hadapan ayah hamba? Aini menyeka air matanya.
***
Afwan tidak pulang hari itu, dia memutuskan untuk menemani Papa mertuanya. Terlihat sesekali tangan kukuh itu mengusap dan memijit kaki Papa dengan lembut. Afwan juga banyak mengobrol tentang banyak hal termasuk perkembangan perusahaannya.
Tak salah memang, Afwan tumbuh dan besar atas jasa Papa Aini. Tak dipungkiri Afwan adalah anak kesayangan Papa setelah Aini. Bukan hanya karena ayah Afwan sepupu Papa dan Afwan pernah menjadi anak asuh Papa, tapi juga mereka dianugerahi banyak kesamaan. Sama-sama laki -laki lembut dan tangguh. Sayang ada yang tidak dimiliki Afwan. Kesetiaan.
"Aini, buatkan suamimu makanan terlezat hari ini." Papa mengingatkan Aini untuk memasak buat Afwan, hari sudah agak malam. Aini hanya mengangguk, gegas pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Aini menyiapkan makanan sendirian, rasanya tak tega memanggil Bi Darsih di rumah belakang. Biarlah, dia akan menyiapkan makan malam untuk Afwan seorang diri.
Suara jam dinding terdengar teratur mengiringi gerakan tangan Aini yang mengiris sayuran di atas talenan. Dengan menggunakan sayuran yang tersedia di kulkas, Aini berhasil menyiapkan makan lezat buat Afwan. Capcay sayuran pakai bakso, dadar telor dan sambal kacang. Papa betul, betapapun luka hati Aini menganga, tapi Afwan masih suaminya. Kewajibannya untuk melayani.
Tak butuh waktu lama, akhirnya Aini selesai masak. Diapun memanggil Afwan untuk makan di ruang tengah.
"Mas, makanlah," Aini menyendokan nasi ke piring Afwan. Papa masih makan bubur, sore tadi Aini sudah menyuapinya dengan sop dan telor kampung. Aini memang cekatan.
Afwan termenung. Matanya lurus memandang wajah lembut Aini. Siluet tubuhnya tampak ramping dibawah pantulan lampu di ruang tempat mereka berada. Entah mengapa Afwan menikmatinya sebagai keindahan yang baru disadarinya.
Afwan tersenyum menerima piring dari tangan Aini. Jujur dia merasa rindu suasana seperti ini. Suasana saat Aini melayaninya dengan penuh cinta, sesuatu yang tidak pernah didapatkan dari seorang Mirna yang hanya pandai shoping dan berdandan.
"Terimakasih, Aini."
Suara Afwan lembut."Buat apa?"
"Buat masakannya. Mas kok rindu masakanmu."
Aini tersenyum sendu.
"Terimakasih juga atas sandiwaramu. Aku berjanji akan merawat Papa, agar cepat sembuh. Aku akan berjuang agar kau bisa secepatnya melepaskan diri dari pernikahan tanpa cinta ini."
Afwan menghentikan suapannya. Matanya lekat menatap wajah Aini.
Sandiwara? Apakah mungkin segala kemanisan yang dia lalu bersama Aini hari ini cuma sandiwara? Kalaupun iya, kenapa hatinya merasa sakit?
Seandainya cinta hanya sebatas kecantikan dan keelokan lahiriyah semata, semestinya Afwan adalah laki-laki yang pantas bahagia. Mirna cantik dan sempurna, tapi apa artinya cinta jika tak ada ketulusan dan rasa saling percaya?Afwan sepertinya tak sabar ingin mematikan sambungan telepon dan memijit tombol merah. Ini kali kesepuluh dia menjawab pertanyaan Mirna sejak pagi. Afwan melirik jam, setengah dua siang dia menghitung sampai tiba di rumah jam delapan malam, berapa puluh kali lagi Mirna akan menerornya dengan chat dan panggilan rutinnya."Sudah dulu ya, Sayang Mas lagi repot. Kalau ada apa-apa telepon Ibu saja buat menemanimu, suruh Bang Hasan menjemputnya.""Tapi janji ya, Mas. Harus pulang cepat. Aku iseng." Terdengar nada manja suara Mirna di sebrang sana."Kakiku bengkak, aku hanya ingin dipijit Mas."Afwan hanya menghela napas."Iya. Sudah dulu ya, Mir. Mas lagi ada klien," jawab Afwan i
"Dari mana Mas?" tanya Mirna penuh curiga. Tatapannya jatuh di wajah lelah Afwan yang baru tiba setelah seharian bekerja dan pulang menembus jalanan macet."Menemui, Aini 'kan?" Kembali meneror dengan prasangka yang sama. Bukannya menghidangkan teh buat suaminya, Mirna malah sibuk mengoceh dengan kecurigaan yang berlebihan. Wajah menornya tampak sedikit kemerahan menahan cemburu."Aku ada meeting, Mir. Ada banyak yang harus kubahas dengan staf baruku." Afwan menjelaskan apa adanya. Awal bulan ini dia menerima manager baru, banyak yang harus mereka bicarakan."Aku tidak percaya." Mirna membantah."Aku tahu kau diam-diam mengunjungi Aini di rumah Papanya. Tega sekali kamu, Mas." Mirna mulai terisak."Padahal usia kandunganku sebentar lagi memasuki trimester akhir. Kau malah as
Afwan menggigit bibir. Dia hanya sanggup menghela nafas."Boleh aku duduk di sisimu, Aini." Afwan menatap ragu."Duduklah, Mas. Ini kamarmu, kamu bebas melakukan apapun di sini."Afwan menghempaskan tubuhnya di sisi Aini yang tengah sibuk melipat pakaian. Ingin sekali Afwan meraih jemari itu dan menggenggamnya agar Aini berhenti masukan bajunya ke dalam tas yang dibawanya. Afwan tak ingin Aini pergi. Tapi tangannya terasa kaku.Dia hanya mampu melihat dengan gundah gerakan tangan Aini yang tengah sibuk memasukkan bajunya tanpa sedikitpun menoleh kepadanya."Aini, boleh memintamu sesuatu?" Suara Afwan lemah."Katakan saja, mungkin aku bisa membantumu."" Emmh...bolehkah aku memintamu untuk menginap di kamar ini, semalam saja?"Aini termenung. Sejenak menghentikan aktifitasnya." Menginap? Di sini? Di kamar ini?"Afwan mengangguk ragu."Ini masih kamarmu, Aini." Afwan menjawab hati-hati.
Jika pernah merasakan hancur dalam hidup, sekaranglah saatnya. Entah apa perasaan Afwan saat ini. Antara cemas, takut ,sedih dan perasaan bersalah menjadi satu memenuhi dadanya membuat nafas rasanya sesak dan berat.Afwan luar biasa gelisah mendapati Aini tak pulang. Fadhil beberapa kali menghubunginya menanyakan Aini. Sepertinya Fadhil juga disuruh Papa untuk mencari Aini.Suami apa aku ini? bahkan orang lain seperti Fadhil juga ikut gelisah mencari istriku. Ratap Afwan gelisah. Lelah dia mengitari kota Bandung yang mulai sepi. Bahkan melintas dibenaknya untuk menanyakan keberadaan Aini ke kantor polisi atau rumah sakit di sekitar Bandung, pikiran jelek dan bukan- bukan memenuhi batok kepala Afwan.Ya Allah, jangan ambil Ainiku. Beri aku kesempatan untuk menebus segala kesalahanku, beri aku waktu ya Allah, walau sedetik.Afwan terisak di pinggir jalan yang mulai sepi. Tangannya gemetar menggenggam ponsel yang dari tadi tidak berhenti dipaka
Afwan terpaku di lobi klinik.Angin malam yang menderu tak bisa mengalahkan hati Afwan yang menggebu karena cemburu.Cemburu? Hallo Bro, dua tahun kau membiarkan perempuan itu memeluk sunyi, melukis malamnya sendiri dalam sepi, menggapai cintamu yang entah di mana. Sekarang kau bilang cemburu? Dimana kewarasanmu?atau...dimana perasaanmu? Hati kecil Afwan mencemooh.Ya aku memang seperti orang tak waras, aku memuja perempuan yang bertahun kehadirannya tak berharga. Aku merindukan Aini di saat jiwanya telah hancur dan membeku. Afwan menyeka sudut matanya. Dia jarang menangis dalam hidupnya, dia laki-laki tangguh dan tegar tapi melihat sorot bening dan ketulusan dalam mata Aini dia terluka.Aini tak murka dengan penghianatannya, tak ada kata makian dan umpatan. Dia tahu diri, pelan menepi dan merelakan sepotong hatinya terluka sendiri. Sialnya, semua itu lebih menyakitkan bagi seorang Afwan.Tak ada yang mencercanya saat dia menikahi Mirna diam-
Mirna!Afwan sedikit terpekik, tak menyangka Mirna mengejarnya sampai ke rumah Aini."Sebentar, Aini." Afwan mendekati Mirna dan berusaha menariknya ke luar ruangan. Bagaimana tidak, tidak jauh dari tempat mereka berdiri, ada Papa Aini yang sedang sakit keras.Aini melirik Bi Darsih memberi isyarat untuk menemani Papa. Perempuan paruh baya itu dengan cepat menuruti perintah anak majikannya dan menunggui Papa di dalam kamar."Tutup, pintunya Bi."Bu Darsih mengangguk. Segera melaksanakan perintah Aini.Mirna menatap Aini dengan wajah memerah menahan kesal. Seperti seseorang yang tengah melihat pencuri miliknya yang paling berharga.Mirna lupa, dialah yang mencuri Afwan dari Aini, merayu dan menjeratnya dengan berbagai cara.Aini melangkah mendekati Mirna yang tengah menantangnya. Wajahnya tenang tak sedikitpun terlihat gentar.Aini mengajak Mirna ke ruang tamu. Setidaknya jarak ruang tamu dan kamar Papa
Fadhil perlahan membalikkan tubuhnya. Suara Isak tangis Aini di punggungnya membuatnya menunduk, menelisik wajah Aini.Aini berusaha membuang pandangannya. Ada perasaan malu bercampur kaget diperhatikan seseorang. Apalagi dia sejujurnya tak begitu akrab selama ini hubungannya sebatas dokter pribadi dan keluarga pasin. Resmi dan seperlunya.Tapi sepertinya semua itu akan berubah mulai saat itu. Aini melihat mata dokter Fadhil menyimpan tanya dan mungkin ras prihatin. Jangan-jangan laki -laki itu menyaksikan adegan panasnya tadi bersama Mirna?Serapat apapun dia menyimpan masalah rumah tangganya selama ini, sekuat apapun dia menelan lukanya seorang diri, faktanya hari ini dokter Fadhil telah menyaksikan adegan menyakitkan dirinya dan Afwan beserta istri mudanya. Hari ini setegar apapun Aini bersikap dan serapat apapun dia menyembunyikan lukanya laki-laki sudah tahu, lihat senyum itu seolah berusaha membasuh luka hatinya. Aduh, Aini merasa malu.Wajah Aini memerah, malu.Merasa telanjang
POV Afwan Aku bergegas ke luar. Tak kuhiraukan Mirna yang memanggilku. Entah mengapa aku ingin mendengar suara Aini. Aku ingin bicara panjang lebar dan terbebas dari pandangan penuh cemburu Mirna. Di sudut hatiku yang lain memang kesal tapi di sisi hatiku yang sesungguhnya aku kasihan melihat Mirna. Perasaan kasihan bercampur jengkel yang menyatu di dadaku membuat jiwaku lelah.Mungkinkah ini balasan dari sikapku selama ini pada Aini? Dua tahun mengarungi hidup bersama yang kuberikan padanya hanya kepalsuan dan kepura-puraan. Awal pernikahan, aku masih bertahan. Aku masih menyentuh Aini layaknya seorang suami. Aku masih ingat segala jasa baik kedua orang tuanya yang telah banyak membantuku sehingga aku bisa lulus kuliah dan punya perusahaan.Aku membalas budi baik Pak Surya Papanya Aini, dengan manis. Sampai di tahun kedua, aku bertemu Mirna di reuni teman sekolah waktu SMA. Mirna yang cantik, bohay, manis dan manja seketika langsung membiusku.Pertemuan demi pertemuan semakin membu