" Suara siapa?"tanyaku heran melayangkan pandangan dan bersiap berjalan menuju kamar tempat suara batuk berasal."Haduh, Mas. Habisin nasi gorengnya dulu. Paling itu suara satpam komplek yang suka berkeliling." Mirna berusaha merayu dan memegang tanganku.Dengan sedikit grogi dia mengambil air minum yang tidak jauh dari jangkauannya di atas meja makan. "Minum Mas, pasti nasi goreng buatanku pedas. Oh ya, aku tadi kasih cabe yang banyak." Mirna meraih tissu, melap bibirku . Sikapnya aneh dan berlebihan, tubuhnya terus berusaha menampel di tubuhku membuatku susah bergerak."Minggir Mirna, aku mau melihat siapa yang sudah masuk ke dalam kamar kita." Aku berusaha mendorong tubuhnya agar menepi."Ish, Mas...aduh, kenapa kasar begini." Mirna mengaduh, merasakan tubuhnya sedikit tergeser paksa."Itu bukan siapa-siapa, Mas."Aku tidak perduli. Aku bergegas mendatangi kamar utama ku yang terletak dekat dengan ruang tamu dan terhalang ruang keluarga. Mungkin karena senyap jika aku bisa mend
Rasanya seluruh tulangku lolos seketika. Tubuhku lunglai, mendapati fakta Bella yang kusayangi dan kucintai sampai ke relung hati bukan anak biologis ku.Langkahku gontai meninggalkan tempat praktek Farhan. Seperti ada ribuan jarum yang menusuk dada. Kuratapi nasibku yang salah menitip hati pada sosok perempuan penghianat seperti Mirna.Kutangisi ketololan ini yang telah menukar sebongkah berlian dengan seonggok sampah seperti Mirna.Ya, Mirna hanyalah sampah, atau lebih dari itu. Dengan sisa tenaga aku membuka pintu mobil yang kuparkir di halaman tempat praktek Farhan.Aku lama termenung di belakang kemudi. Napas rasanya sesak dengan dada berdenyut, terbayang wajah lucu Bella yang menangis dan tertawa. Wajah mungil yang mewarnai hari-hariku yang beku bersama Mirna menjadi sedikit berwarna.Kalau aku pernah jatuh dan hancur berkeping dan tak bersisa, sekaranglah saatnya. Bukan karena aku mendapati diri ini mandul dan tak sempurna sebagai laki-laki, tapi menerima kenyataan kalau bayi
28Aini tersenyum lembut. Pandangan dokter Fadhil yang tampak sangat terpesona dengan penampilannya kali ini membuat paras wajah Aini merona. Dokter Fadhil baru melihatnya dengan setelan kerja seperti saat ini. Dia tampak sedikit kaget juga terpesona. Aini luar biasa cantik, wajah lembutnya bepadu dengan tatapan bening yang menghanyutkan. Apalagi dalam blazer panjang dan kerudung senada, Aini tampak smart dan elegan."Bu Direktris." Goda Fadhil membuat Aini tersenyum lebar tapi malu."Mas, tumben pagi-pagi menemuimu. Yuk, di dalam." Aini yang bersiap berangkat kerja, mempersilahkan dokter Fadhil masuk ke dalam rumahnya."Di sini saja, Aini. Di teras."Dokter Fadhil seperti biasa lebih suka menemui Aini dan duduk di teras rumah Aini yang luas."Baiklah, Mas."Aini tersenyum, memanggil Bi Darsih untuk menghidangkan teh hangat seperti biasa untuk dokter Fadhil. "Gak usah repot-repot Aini. Mas, hanya mampir dan ngasih kabar, nanti sore boleh kan, Mas jemput. Ibu ingin bertemu." Dokter
Udara malam Bandung terasa manis membelai hati Aini yang penuh cinta. Mobil melaju membelah jalanan yang tidak begitu ramai, meninggalkan rumah dokter Fadhil. Mang Engkus melajukan mobil dengan kecepatan sedang, saat jalan mulai berbelok memasuki jalan setia Budi menuju kota Lembang.Sepanjang jalan mata Aini dimanjakan dengan pendar lampu jalanan berpadu dengan gemerlapnya sinar lampu gedung dan toko yang dilewati. Pohonan rindang di sisi jalan menerpa tubuh Aini terasa lebih dingin. Bandung di malam hari, selalu terasa romantis.Mobil yang di kemudikan Mang Engkus berhenti di salah satu Swalayan yang di lalui, Aini ingin membeli cemilan dan air mineral. Kebetulan stok di rumah sudah habis, dari pada bolak balik besok kembali mendingan malam ini Aini belanja sekalian sambil lewat.Mang Engkus segera memarkirkan mobil di halaman sebuah swalayan, sesat kemudian Aini turun. Bergegas memasuki pusat perbelanjaan, namun belum sempat Aini belanja tanpa diduga, matanya menangkap sosok yang
Aini hanya mengangguk , memeluk Bella dan membiarkan Afwan berlalu di kegelapan malam. Bara kemarahan di mata Afwan membuat Aini tidak berani bertanya macam-macam.Entah apa yang dilakukan Afwan terhadap Mirna, perempuan yang pernah begitu dipuja dengan sepenuh hati. Jujur, ada perasaan iba di hati Aini, mengingat Afwan kini tidak bisa memanjakan Mirna dengan kemewahan yang selama ini dilimpahkannya pada istri mudanya. Tapi bukankah hidup sejatinya berani bertanggung jawab terhadap apa yang diperbuat?Mungkin Afwan jatuh secara jabatan dan materi, tapi Aini yakin dengan cara seperti itu Afwan bisa lebih bijaksana dan berhati-hati dalam mengambil tindakan, begitupun Mirna, saat Afwan terpuruk, harusnya belajar menjadi istri setia dengan mendampingi pasangan saat suka maupun duka. Geliat halus Bella membuyarkan lamunan Aini. Perlahan dia membetulkan posisi pelukannya di tubuh Bella. "Sayang, kita pulang ke rumah Tante, ya. Biarkan Papamu, menyelesaikan urusan dengan Mamamu."Aini meng
32Afwan menghela napas panjang. Tak ada air mata yang mengiringi kata talak untuk Mirna. Tak ada seguratpun bulir sakit yang menghiasi episode hidupnya yang berakhir dengan seorang Mirna. Mantan terindah,perempuan masa lalu dan juga cinta pertamanya.Mengapa rasa sesal itu tidak ada? bukankah dia selama ini memuja Mirna? Bukankan kecantikan Mirna sempurna? bukankah dulu...ya, dulu. Hanya Mirna yang sanggup merubuhkan kebekuan hatinya yang sedingin es dan Sekokoh bongkahan karang.Jawabannya, betapapun manis masa lalu dan betapapun indah kenangannya, semua itu tidak berharga saat tak ada ketulusan cinta yang menyertainya.Sesaat Mirna terisak. Mendapati Afwan yang murka mengeluarkan semua isi lemarinya dengan kasar dan melemparkannya ke arahnya, membuat baju-baju mahal dan bermerknya berserakan di lantai.Afwan mungkin tengah terpuruk. Terlibat masalah dengan menggelapkan uang perusahaan dan terpaksa menjual hampir seluruh aset yang dimiliki dan hanya tinggal sedikit tabungan dan mob
Heru merasa kepalanya sangat pening. Seharian dia memutari kota Bandung mencari keberadaan Sinta. Kemana Sinta pergi?Heru terus berpikir keras tentang Sinta dan Zaydan. Tak sekelumit kenangan manis yang direguk bersama Mirna saat itu yang kini masih bersemayam di hatinya. Heru bahkan tak sedikitpun menoleh ponsel tempat dia bercengkrama dengan seorang Mirna.Dari kemarin ponsel yang biasa digunakan berchat ria dengan Mirna dia matikan. Ada perasaan enggan jika harus membaca dan membalas pesan Mirna. Perempuan yang luar biasa menggairahkan itu, seakan pesonannya pudar saat menyadari Sinta pergi meninggalkannya. Heru kembali memasukkan mobilnya ke dalam garasi, sia-sia dia mencari Sinta kesana kemari hari ini. Sinta seperti hilang ditelan bumi, raib entah kemana. Betapapun gigihnya Heru mencari keberadaan Sinta pada sahabat dan kerabat, mereka semua geleng kepala tanda tidak mengetahui keberadaan perempuan itu.Sinta, setelah engkau berlalu mengapa perasaan rindu itu baru kurasakan?
Mirna menyungging senyum pahit. Tak punya pilihan, berharap pada Heru dan Afwan jelas tidak mungkin, juga pada Miranti, Si Comel itu jelas tidak mau menjemputnya dan malah mengatainya yang enggak-enggak. Dengan gusar dan sangat terpaksa akhirnya Mirna memijit aplikasi transportasi online. Selama ini, dia merasa sangat gengsi naik transportasi umum. Mirna terbiasa naik mobil mewah dan mahal plus sopir pribadi. Tapi apalah daya, hari ini, dia tidak punya pilihan.Tangan lentiknya dengan malas menekan aplikasi yang dimaksud, huh. Cewek secantik dan semahal aku harus naik transportasi online? Mengerikan. Semua ini, gara-gara Aini mengambil semua asset yang dipunya Mas Afwan. Awas kamu Aini. Aku akan balas semua perbuatanmu, aku tidak pernah kalah dan jadi pecundang. Hati Mirna dipenuhi rasa geram.Mirna mengetik sesuatu di layar gawainya. Mulutnya masih komat-kamit menahan sebal pada Aini.Tut. Layar ponselnya tiba-tiba meredup dan pes, layar ponsel di tangannya kini malah berubah hita