(POV Risa)“Mbak, Mbak Risa!” teriak Davina dari dalam kamar.Aku yang masih sibuk berkutat dengan sate, tak menghiraukan teriakannya. Aku tahu, pasti dia akan bertanya kemana tempat tidurnya.“Mbak Risa,” teriak Davina lagi. Kali ini dia datang menghampiriku.“Ada apa sih teriak-teriak?” tanyaku tanpa menolehnya.“Mbak tahu nggak, kemana tempat tidur aku? Kok kamarnya kosong?” Davina balik bertanya.“Tempat tidur? Oh … tadi ada tetangga lagi hamil besar lagi nyari-nyari tempat tidur bekas. Katanya dia mau beli. Ya sudah, Mbak jual saja. Kasihan dia kalau mesti tidur di atas tikar. Mana lagi hamil besar. Lagi pula Mbak sedang tidak punya uang,” jawabku enteng.“Tapi itu tempat tidurku, Mbak!” tukasnya.Aku yang tengah sibuk memanggang sate, menoleh ke arah Davina.“Maaf, itu barang-barang Mbak. Nggak ada salahnya juga jika Mbak jual semua barang-barang Mbak. Bahkan rumah ini pun Mbak yang punya,” ujarku menatap Davina serius.Wajah Davina tampak memerah seperti menahan amarah.“Terus
(POV Rendi)Hampir saja aku keceplosan, tapi beruntung aku bisa mengatasinya . Aku sangat bersyukur Risa tidak curiga sama sekali terhadapku. Aku merasa lega dan berpikir tidak ada yang perlu dikhawatirkan.Dalam hati sejujurnya aku masih sangat marah kepadanya. Bagaimana tidak marah, saat aku menginjakkan kaki di halaman rumah pagi-pagi buta tadi, aku melihat Davina sedang terbaring menggigil di teras tanpa alas tidur dan tanpa selimut. Bahkan sehelai tikar pun tak ada.Aku berlari menghampirinya, dan bertanya kenapa dia bisa tidur di luar seperti itu?“Aku … aku tidak diizinkan tidur di dalam, Mas. Risa berubah jadi jahat sama aku. Pertama dia jual tempat tidurku, lalu semalaman aku disuruh tidur di luar. Aku kesal, Mas, aku sakit hati. Aku kedinginan rasanya badanku semuanya sakit,” jawab Davina dengan badan menggigil.Setelah mendengar jawaban Davina, seketika aku naik pitam. Aku masuk ke dalam rumah, tapi sepertinya Risa belum bangun. Tak ingin mengganggu tidurnya Kania, maka aku
(POV Risa)Aku merasa jengah berada di rumah. Bagaimana tidak, satu atap dengan selingkuhan suamiku sendiri. Ingin rasanya aku mengusirnya. Tapi aku juga harus bisa memisahkan suamiku darinya. Hari ini aku memutuskan untuk membawa Kania jalan-jalan ke rumah Eni, berusaha melupakan masalah yang ada.Aku berjalan kaki ke rumah Eni. Bisa saja aku menggunakan uang hasil penjualan tempat tidurku untuk menyewa ojek. Tapi rasanya sayang, uang segini bisa aku gunakan untuk kebutuhanku selama seminggu, itu pun masih ngirit.Setelah lama berjalan lumayan jauh ke rumah Eni. Kini aku dan Kania sudah sampai di pelataran rumah Eni.“Kok sepi, ya? Eni ada nggak ya?” batinku bermonolog.Aku menghampiri pintu rumah Eni, kemudian mengetuknya.Tok! Tok! Tok!Aku mengetuk pintu, menunggu Eni membuka pintunya.Tok! Tok! Tok!Lagi dan lagi aku mengetuk pintu tapi tidak ada yang membukanya. Kemungkinan Eni tidak ada di rumahnya.Aku memutuskan untuk pulang saja dari rumah Eni.Setengah perjalanan, aku terin
(POV Risa)Kurir yang mengantar paket Dela seperti panik berusaha membuang muka.“Kamu kenapa, Ris? Kamu kenal sama dia?” tanya Dela yang menyadari gelagatku yang tak biasa.“Kamu Anton pacarnya Davina, kan? Yang malam itu mengantarkan Davina pulang ke rumah saya?” tanyaku tanpa menjawab pertanyaan Dela.“Bu-bukan,” kilahnya namun terdengar gugup.Tapi aku sangat yakin, dengan apa yang aku lihat, aku tidak mungkin salah.“Jawab yang jujur, kamu pacarnya Davina, kan? Del, kamu mesti tahu, dia pernah diajak Dela ke rumahku dan memperkenalkannya padaku sebagai kekasihnya. Anton, aku ini Risa, kamu pasti masih ingat, kan?” ungkapku.“Serius?” tanya Dela memastikan.Aku mengangguk, aku tak mungkin salah. Jelas-jelas aku masih ingat.“Anton, kita mesti bicara, ini penting,” imbuhku.“Saya sibuk, Mbak, maaf. Lagipula kita tidak ada urusan,” tolaknya.Anton pergi meninggalkan aku dan Dela yang masih berdiri mematung menatapnya.“Maling … tolong ada maling!” teriakku.Dela menoleh ke arahku, d
(POV Risa)Aku sangat geram mendapati Davina yang telah lancang memasuki kamarku. Terlebih aku juga sangat marah melihat Davina mengacak-acak isi lemariku. Berkas-berkas pentingku telah diacak-acaknya. Apa yang sebenarnya yang dia cari di kamarku?“Mbak, a-aku ….” Davina terkejut dengan kepulanganku yang tiba-tiba.Wajahnya yang terlihat gugup membuatku yakin, ada yang tidak beres dalam dirinya.“Sedang apa kamu di kamarku? Keluar kamu dari kamarku!” bentakku amat berang.“Ada apa sih, Ris, kok teriak-teriak!” Dela menghampiriku.“Dia … dia manusia tak tahu diri ini, telah lancang masuk ke dalam kamarku, Del. Lihat apa yang dia lakukan terhadap berkas-berkas penting milikku!” tunjukku ke arah Davina.Dela menatap Davina tajam. Terpancar jelas dari raut wajahnya, bahwa dia pun sangat marah terhadap Davina.“Perempuan tak tahu diri, sudah ditampung gratis, malah mencari gara-gara.” Dela berjalan masuk ke dalam kamarku. Dia menghampiri Davina, tanpa diduga dia menarik rambut Davina.“Aw
(POV Risa)“Sudah jam 22.00 malam nih, Ris. Aku pulang dulu ya, Ris! Kalau ada apa-apa, segera hubungi aku. Ok!” pamit Dela.“Ya sudah, kasihan kamu juga pasti sangat capek. Terima kasih ya, Del. Karena berkat bantuan kamu, aku jadi tahu tentang kebusukan Davina dan juga mas Rendi,” ucapku.“Sama-sama, Ris. Ya sudah aku pulang, ya! Sayang, Tante pulang dulu, ya! Jangan rewel, jadi anak yang baik, ya!” sahut Dela sambil mengelus pipi Kania.“Siap, Tante!” sahutku mewakili Kania.Dela pun keluar dan pergi dari rumahku, sedangkan aku segera menutup semua pintu rumahku, dan menguncinya. Aku mesti hati-hati, tak boleh ceroboh lagi. Cukup sekali saja aku kecolongan seperti tadi. Tapi syukurnya, tak ada yang hilang sama sekali.Aku menimang-nimang Kania dalam gendonganku, supaya dia cepat tidur. Setelah Kania tertidur, aku segera membawa Kania masuk ke dalam kamar.Tok! Tok! Tok!Suara ketukan pintu membangunkanku, yang sempat tertidur namun sebentar.Gegas aku mendekati pintu, namun terlebi
(POV Rendi)“Cepetan cari, pokoknya aku tidak akan mau kembali sama kamu, sebelum kamu mendapatkan sertifikat rumah itu. Bukan karena apa, aku hanya ingin memberi pelajaran kepada si Risa. Berani-beraninya dia sama si Dela itu mengusirku kasar,” tegas Davina dari ujung telepon.Davina terus saja mengoceh, aku mendengarkannya namun tak menimpali. Aku takut jika Risa terbangun jika aku terus-menerus menjawab ucapan Davina di telepon, walaupun dengan suara pelan.Aku terus mengobrak-abrik semua pakaian Risa di dalam lemari. Namun tak kunjung aku temukan. Dimana sebenarnya Risa menyimpan sertifikat rumah ini. Selama aku berumah tangga dengannya, aku tidak pernah tahu dia menyimpannya dimana.Aku terus berusaha mencarinya, sebelum Risa terbangun.Uhuk!Pluk!Jantungku serasa mau copot saat mendengar suara batuk dari belakangku. Bahkan ponselku yang menempel di telingaku pun terlepas dari genggamanku.Aku menoleh ke belakang, aku panik bukan kepalang. Ternyata Risa sedang duduk di tepi ranj
(POV Risa)Aku berdiri di gedung perkantoran. Berkat aku membuntuti mas Rendi, kini aku jadi tahu bahwa dia ternyata datang kesini, dan bukan ke tempat penjual mie ayam yang disebutkan tadi.Jelas ini membuat aku semakin ragu dan tidak mempercayainya. Terlalu banyak kebohongan dan rahasia yang mas Rendi sembunyikan dariku.Aku sengaja menunggu jam istirahat, supaya aku bisa leluasa bertemu dengan mas Rendi, dan meminta penjelasan tentang semua ini.Walaupun aku sempat diusir oleh satpam saat hendak masuk ke dalam. Tapi aku tetap nekat dan memaksa untuk bisa masuk. Sampai akhirnya aku berbohong, bahwa aku ada janji bertemu dengan salah satu karyawan yang ada kantor ini. Syukurlah aku diizinkan, walaupun satpam itu masih terus mengawasiku.Satu persatu karyawan kantor ini keluar, saat jam istirahat telah tiba. Inilah saatnya, aku ingin bertemu dengan mas Rendi. Aku ingin mendengar semuanya langsung dari mulutnya. Kenapa dan apa alasannya dia sampai berbohong padaku.“Mbak … Mbak, saya b