Share

Bab 4 Sahabat

Nampan yang berisi segelas minuman bergetar mengikuti gerakan tanganku. Aku tertegun melihat pemandangan seperti ini.

"Ris!" panggil mas Rendi saat melihatku berdiri menatap mereka. Davina mengurai pelukannya terhadap mas Rendi.

Aku terdiam menatap mereka berdua. Ada apa sebenarnya dengan mereka? Kenapa mereka berdua bisa saling berpelukan seperti itu?

"Kalian berdua ngapain?" tanyaku menyelidik.

"Ris, jangan salah paham dulu. Ini Davina, sepupu aku dari luar kota," jawab mas Rendi.

"Sepupu?" Rasanya aku belum bisa mempercayainya. Aku sama sekali tidak kenal dengan Davina, yang disebut sepupu oleh mas Rendi itu.

"Jadi ini istri kamu, Mas? Ya ampun … aku nggak nyangka loh, Mas. Istri kamu itu baik banget, aku bersyukur sudah ditolong sama Mbak Risa." Davina menceritakan semua yang terjadi terhadapnya kepada mas Rendi.

"Jadi begitu? Maaf Mas nggak bisa dihubungi, karena kadang ponsel mas tidak ada kuotanya," ucap mas Rendi.

Aku hanya menyimak percakapan mereka berdua.

"Aku belum sempat mengenalkan kamu dengan Davina, Ris. Karena Davina sering merantau dan jauh dari keluarga. Dia jarang pulang, bahkan bisa sampai satu tahun sampai dua tahun dia nggak pulang. Padahal merantaunya juga masih di negri kita. Jadi, sulit bagi aku untuk memperkenalkan kamu dengannya," jelas mas Rendi.

Mendengar penjelasannya, aku paham dan bisa menerima alasan mas Rendi.

"Jadi begitu? Ya sudah, kalau begitu. Maaf aku sempat salah paham pada kalian," ucapku.

Mas Rendi dan Davina tersenyum padaku.

"Jadi anak cantik ini, adalah keponakan aku dong? Ya ampun … senangnya punya boneka hidup. Boleh kan, Mbak, aku tiap hari main sama anak Mbak?" imbuh Davina.

Tiap hari? Apa maksudnya dengan tiap hari? Apakah Davina akan tinggal disini bersama kami?

"Nama anaknya siapa sih? Kok cantik banget," tanya Davina.

"Namanya Kania, kamu sudah makan belum, Vin?" tanya mas Rendi.

"Belum, Mas. Aku belum makan, kebetulan aku sangat lapar," jawab Davina.

"Ris, kamu masak nasi … ehem!" bisik mas Rendi di sebelahku.

"Aku masak nasi bagus, Mas. Aku dikasih sama pak Darmawan," jawabku lirih.

Senyuman mas Rendi mengembang mendengar jawabanku. Ada apa gerangan? Apakah dia malu jika Davina tahu menu makanan sehari-hari di rumah ini.

"Aku siapkan dulu makanannya." Aku pergi ke dapur, mengambil nasi dan sambal.

"Loh, mana lauknya, Ris?" tanya mas Rendi, saat kami bertiga sudah berkumpul bersiap untuk makan

"Aku nggak beli lauk, Mas. Biasanya juga kamu nggak pernah makan di rumah," jawabku.

"Ya ampun, Ris. Seenggaknya ada telur kek. Masa ini sama sambal doang. Semalam kan aku sudah kasih kamu uang," cetus mas Rendi.

Aku bersungut-sungut dalam hati tentang ucapan mas Rendi barusan.

Tak ingin ada keributan, aku pun berdiri dan masuk ke dalam kamar. Kuambil toples berisi uang 5000 semalam. Aku bergegas pergi ke warung untuk membeli 2 butir telur.

Setelah itu aku segera mengolahnya menjadi dua telur ceplok.

"Ini telurnya," ujarku setelah selesai.

"Mas, Mbak, aku minta maaf karena telah merepotkan kalian berdua. Aku jadi nggak enak," ucap Davina.

"Nggak usah nggak enakan begitu. Risa orangnya baik, dan Mas bangga mempunyai istri seperti dia." Mas Rendi mendekati aku.

"Mari makan!" ajak mas Rendi.

Telur ceplok yang aku goreng tadi diambil satu oleh Davina. Sedangkan yang satunya lagi, dibagi 2. Untuk aku dan mas Rendi.

Kami mulai makan malam. Terlihat Davina dan mas Rendi sangat lahap. Aku menatap mas Rendi yang makan begitu banyak, sehingga nasi yang aku masak tadi nyaris habis.

"Enak, Mas?" tanyaku.

Mas Rendi mengangguk sambil terus makan tanpa mau diganggu.

Sampai pada akhirnya, nasi di dalam wadah habis tak bersisa.

Selesai makan, kami bertiga mengobrol-ngobrol di ruang tamu.

"Apa rencana kamu selanjutnya?" tanya mas Rendi kepada Davina.

"Rencana aku mau cari kerja disini, Mas. Tapi … aku nggak enak bilangnya," jawab Davina.

"Nggak enak kenapa? Bilang saja," tanyaku.

"Aku mau numpang di rumah ini untuk sementara waktu, sampai aku dapat kerjaan dan dapat gaji. Boleh kan?"

Aku saling menoleh dengan mas Rendi. Saling memberi isyarat bertanya apakah boleh atau tidak.

"Gimana, Ris?" tanya mas Rendi.

"Boleh," jawabku setelah berpikir sejenak.

Davina memeluk aku dan berkali-kali mengucapkan terima kasih.

Setelah mengobrol, kami semua memutuskan untuk segera beristirahat.

*

Esok hari

Semua sibuk mempersiapkan diri dengan aktivitas masing-masing.

Aku berkutat dengan urusan dapur dan mengurus anak. Sedangkan mas Rendi dan Davina sudah bersiap untuk keluar mencari kerja.

"Kami berangkat dulu, ya, Ris! Jangan lupa doakan Mas supaya dapat uang. Doakan Davina juga supaya dapat kerjaan," pamit mas Rendi, setelah kami semua sarapan pagi, dengan nasi dari beras sisa 1 liter pemberian pak Darmawan kemarin.

Aku mengangguk sambil masih kerepotan dengan pekerjaanku di rumah sambil menggendong Kania yang sedang menangis.

Setelah lelah berkutat dengan pekerjaan rumah. Sengaja aku membawa Kania ke teras rumah, hanya untuk duduk-duduk saja.

Beberapa tetangga lewat dan menyapaku, khususnya Kania.

"Andai Kania sudah besar, ingin rasanya aku bekerja. Untuk membantu mencukupi kebutuhan rumah tangga ini. Sampai kapan suamiku harus bekerja serabutan, yang penghasilannya tidak menentu." Aku terdiam membatin, sambil menatap lurus ke depan.

"Ris!" Aku tersentak dari lamunanku, saat mendengar seseorang memanggilku.

Aku menoleh ke arah sumber suara.

"Dela," sahutku.

Dela, teman dekatku dari dulu menghampiriku yang sedang duduk di teras.

"Dela, kamu habis dari mana?" tanyaku.

"Aku habis dari salon, Ris! Biasa lah, habis perawatan," jawabnya.

Aku menatap Dela dari ujung kepala sampai ujung kaki. Benar-benar sempurna. Dela begitu cantik, putih, wangi, yang pastinya berbeda denganku yang tampak kusam tak terawat.

"Woy, jangan bengong! Mana mas Rendi?" tanya Dela.

"Eh nggak, siapa yang bengong? Mas Rendi sudah berangkat dari tadi," jawabku.

"Suami kamu masih kerja serabutan, kah? Ris, kalau saja suami kamu tidak menolak tawaran dari aku untuk kerja di toko milikku. Mungkin kehidupan kamu akan terbantu. Tapi sayang, suami kamu selalu saja menolak ajakan aku. Aku maklum, mungkin mas Rendi punya alasan tertentu. Tapi ya sudahlah …." ujar Dela.

Aku mengangguk, benar kata Dela. Jika saja mas Rendi menerima tawaran kerja dari Dela. Mungkin aku tidak akan memakan nasi aking setiap hari. Setidaknya ada makanan layak yang masuk ke dalam perut aku.

"Tidak apa-apa, Del. Mungkin mas Rendi ingin mandiri. Aku nggak apa-apa, kok. Aku bahagia seperti sekarang ini," dustaku.

Dela mengusap lenganku dengan menatap prihatin.

"Sini, sayang! Gendong sama Tante," ujar Dela mengambil Kania dari gendonganku.

"Oh iya, Ris, aku ada makanan nih buat kamu. Lumayan buat cemilan," lanjut Dela memberikan satu kantong kresek berisi makanan ringan.

Aku menerimanya dengan senang hati.

"Aku buatin minuman dulu!"

"Nggak usah, Ris! Aku sudah minum tadi, kesini cuma mau ketemu sama kamu saja. Pengen tahu kabar kamu seperti apa. Tapi setelah melihat kamu sehat begini, aku jadi lega. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan, ya!"

Aku mengangguk, aku senang memiliki sahabat sepertinya. Dela terbilang orang berada, tapi dia sangat baik kepadaku yang siapalah ini. Tapi sayang, nasib percintaannya tak mujur. Dela sudah menjadi janda di usianya yang masih muda ini.

Lama kami mengobrol, tak terasa hari sudah beranjak sore.

"Mbak, aku pulang!" ujar Davina seraya menatap lekat ke arah Dela.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status