"Siapa itu? Kenapa dia?" gumamku, saat melihat seorang perempuan muda tergeletak tak sadarkan diri di samping rumahku dengan tas berukuran besar yang berada di sampingnya.
Setengah berlari aku pun menyimpan terlebih dahulu beras ke dalam rumah, kemudian menghampiri perempuan itu. Aku berjongkok dengan masih menggendong Kania. Aku menyoroti wajah perempuan itu, namun sama sekali aku tak mengenalnya."Mbak, Mbak bangun!" Aku menepuk pelan sebelah pipi perempuan itu. Mencoba membuat dia sadar dari pingsannya."Mbak bangun, Mbak!" Aku terus mencoba membangunkannya kembali. Berharap dia sadar dan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.Masih tetap sama, perempuan itu masih belum sadarkan diri, dia masih tak bergerak dan memejamkan mata.Kemudian aku mencoba mengguncang-guncangkan tubuhnya namun masih tetap sama.Merasa tak bisa untuk membuatnya tersadar, aku pun panik lalu berdiri untuk mencari pertolongan."Tolong … tolong ada orang pingsan!" Aku berteriak berharap ada seseorang yang mau membantuku menolong perempuan itu."Pak! Pak Yanto! Tolong ini ada orang pingsan," teriakku memanggil seseorang yang kebetulan sedang berjalan melewati rumahku.Pria bernama Pak Yanto itu berlari ke arahku."Ada apa, Ris? Siapa dia?" tunjuk pak Yanto sambil menatap perempuan itu."Tolong bawa dia ke dalam rumah saya. Saya nggak tahu dia siapa, tapi saya kasihan melihatnya pingsan seperti ini," sahutku masih panik.Pak Yanto menuruti perkataanku. Tiga warga yang juga kebetulan baru saja melewati rumahku, mereka pun berlari menghampiri kami saat melihat pak Yanto mencoba menggotong tubuh perempuan itu seorang diri. Melihat perempuan itu, sontak mereka bertanya-tanya tentang siapa perempuan itu dan kenapa bisa sampai pingsan di samping rumahku. Aku tidak bisa menjawab pertanyaan dari mereka, namun aku meminta mereka untuk ikut serta menggotong tubuh perempuan itu untuk dibawa masuk ke dalam rumahku.Setelah pak Yanto dan yang lain menggotong perempuan itu dan membawanya masuk ke dalam rumah. Pak Yanto merebahkan tubuh perempuan itu di atas kursi sofa. Bergegas aku membawakan minyak kayu putih dan segera meminta tolong salah satu warga untuk mengoleskannya tepat ke lubang hidung perempuan itu. Tak lupa aku juga membawa serta segelas air putih."Hm …." Perempuan itu terlihat menggerakkan badannya walaupun dalam keadaan masih lemah."Hm … aku dimana?" gumamnya.Akhirnya perempuan itu terbangun setelah menghirup aroma minyak kayu putih itu."Tenang, kamu ada di rumah saya. Minum dulu," ujarku menenangkannya.Pak Yanto segera memberikan segelas air putih kepadanya.Segelas air putih telah tandas tak bersisa."Terima kasih," ucapnya lirih."Ya sudah, Ris. Dia sudah sadar, kalau begitu saya pamit dulu, ya! Saya masih ada urusan," pamit pak Yanto seraya berjalan keluar.Aku mengangguk, ketiga warga yang lainnya pun berpamitan pulang. Kini di rumahku hanya tersisa kami bertiga. Aku, Kania dan perempuan itu.Setelah dirasa perempuan itu sudah sedikit lebih tenang. Aku pun mencoba bertanya kepadanya, "Maaf, kenapa kamu bisa pingsan di samping rumah saya? Kamu siapa?" Aku mulai melontarkan beberapa pertanyaan kepadanya."Aku … aku takut," pekiknya dengan raut ketakutan."Tenang, kamu aman disini. Memangnya ada apa? Kenapa kamu ketakutan seperti itu?" Aku lanjut bertanya."Tukang todong, aku dikejar oleh tukang todong. Aku takut, aku hampir saja di …." Ucapannya terhenti. Terlihat jelas dari raut wajahnya dia sangat ketakutan."Sudah, kamu tidak perlu takut. Kamu aman disini. Saya hanya ingin tahu, kamu dari mana dan mau kemana, sehingga bisa sampai sini?" aku terus melontarkan pertanyaan kepadanya, karena bagaimanapun aku mesti berhati-hati dengan orang asing."Aku Davina, aku …."Owek … owek … owek ….Tiba-tiba saja Kania menangis dengan sangat kencang."Kamu istirahat saja dulu, saya mau menyusui anakku dulu," ujarku.Perempuan yang bernama Davina itu kembali merebahkan diri di atas kursi sofa ruang tamu.Aku membawa Kania masuk ke dalam kamar lalu menyusuinya sampai dia tertidur pulas.Sore hariAku terbangun, ternyata aku tertidur saat menyusui Kania. Aku menggeliatkan tubuhku dan beranjak dari tempat tidur.Saat keluar dari dalam kamar, aku baru ingat bahwa di rumah ini ada Davina, wanita yang aku tolong tadi."Mbak," sapa Davina. Dia sedang duduk di sofa. Ternyata Davina masih ada di rumah ini."Maaf, saya ketiduran tadi," ucapku."Tidak apa-apa, Mbak. Boleh saya menumpang ke kamar mandi?" tanyanya."Boleh, kamar mandinya ada di sana," tunjukku ke ruangan belakang.Davina mengangguk, kemudian berjalan ke arah yang aku tunjukkan.Sebelum masuk ke dalam kamar mandi, Davina berbalik badan dan kembali menghampiriku yang masih berdiri di tempat yang sama."Aku lupa, kita belum kenalan. Nama Mbak siapa?" tanyanya sembari mengajakku berjabat tangan."Oh iya, saya Risa," jawabku.Lalu Davina masuk ke dalam kamar mandi, lalu menutupnya dari dalam.Karena hari sudah sore, aku pun bergegas untuk masak. Aku memasak nasi pemberian pak Darmawan tadi.Tak lama kemudian, Davina keluar dari dalam kamar mandi.Kini giliranku untuk mandi dan memandikan Kania.Selesai mandi, aku menghampiri Davina, guna mencari tahu maksud tujuannya datang ke tempat ini. Aku mengajaknya mengobrol di ruang tengah, sembari aku membaringkan Kania di kasur lantai."Vin, maaf bukan maksud saya banyak tanya. Tapi saya mesti tahu, kamu mau kemana dan kamu dari mana? Karena maaf, saya tidak kenal sama kamu, jadi saya harus memastikan tujuan kamu apa dan mau kemana?" tanyaku dengan sangat hati-hati supaya dia tidak merasa tersinggung."Saya datang dari luar kota, datang kesini sedang mencari saudara saya. Sudah lama kami tidak bertemu," jawabnya.Aku mengangguk dan hendak lanjut bertanya, "Memangnya nama saudara kamu siapa? Siapa tahu aku kenal sama saudara kamu …."Tok! Tok! Tok!Suara ketukan pintu menghentikan percakapanku dengan Davina."Sebentar, saya bukakan pintu dulu," ujarku.Aku segera membuka pintu, dan ternyata yang datang adalah mas Rendi."Mas, sudah pulang?" Aku mencium punggung tangannya."Iya, Ris. Mas capek dan haus tolong ambilkan minum," ujar mas Rendi dengan tampang kusut dan terlihat sangat kelelahan.Aku mengangguk kemudian berjalan menuju dapur untuk membuatkan air minum.Air minum selesai dibuat, tapi panggilan alam mendadak mendesak dalam diri ini. Aku pun segera berlari ke kamar mandi untuk menuntaskan urusanku."Ah lega," lirihku sambil mengusap perut.Lanjut aku mengambil air minum dan hendak membawanya untuk mas Rendi."Loh, Davina!" Aku terbengong saat mendengar mas Rendi menyebut nama Davina. Apakah mereka sudah saling kenal? Ataukah aku salah dengar? Aku menautkan alis, dalam benakku bermunculan tanda tanya.Aku penasaran dengan apa yang aku dengar, dengan cepat aku mengambil air minum dan menghampiri mas Rendi. Aku terkejut, di ruang tengah, aku melihat mas Rendi dan Davina saling berpelukan.(POV Rendi)Keesokan paginya, sejak subuh tadi aku sudah bangun dan melaksanakan shalat subuh.Sudah terlalu lama aku meninggalkan kewajiban ku karena terlalu sibuk mengejar dunia. Namun setelah diberikan ujian bertubi-tubi, aku sadar, bahwa aku telah melupakan-Nya. Sungguh aku manusia tak tahu diri. Sudah diberi kenikmatan namun aku merasa selalu kurang, kurang dan kurang.Selesai melaksanakan shalat subuh, hatiku merasa tenang dan tentram. Aku melipat sajadah dan sarung lalu menaruhnya di atas meja.Kemudian aku mencuci baju-bajuku lalu memasak untukku sarapan pagi ini.Jam 07.00, semua pekerjaan rumah sudah selesai. Kini aku bersiap untuk pergi ke kios beras milik Bams.“Bismillahirrahmanirrahim.” Aku mengucap doa saat kaki kananku melangkah keluar. Semoga pekerjaan yang aku lakonin sekarang menjadi rezeki yang berkah.Dengan berbekal uang sepuluh ribu sisa membeli nasi aking kemarin, aku berjalan menuju jalan raya untuk menyetop angkutan umum.Aku berdiri dengan penuh percaya diri
(POV Rendi)“Dengan begitu, saudari Davina akan dijatuhkan hukuman selama 5 tahun!”Tok! Tok! Tok!Hakim mengetuk palu sebanyak tiga kali, itu artinya Davina sudah divonis hukuman penjara.Keputusan hakim membuatku hancur, bagaimana tidak, sudah dua bulan aku mencari Davina, tapi saat aku mendapat kabar, ternyata dia terkena kasus percobaan melenyapkan nyawa seseorang.Davina menunduk, perutnya mulai membesar. Terpaksa Davina harus melahirkan di dalam penjara. Aku tak kuasa mendengar kenyataan ini.Aku menoleh ke arah belakang, terlihat Risa dan Jona sedang duduk dengan keluarga Darian, karena sidang ini terbuka untuk umum. Aku baru tahu, jika Davina masih memiliki kakak. Dela yang memberitahu saat tak sengaja bertemu. Parahnya lagi, Davina sempat mengakui jika kami telah berpisah. Sungguh itu merupakan kebohongan yang besar.Setiap hari aku bela-belain keliling menjual makanan asongan demi mencukupi kebutuhan Davina, tapi Davina sungguh telah membuatku kecewa, sama sekali dia tak men
(POV Darian)Melihat pemandangan yang tampak di depan mataku, aku segera berjalan cepat ke dalam kamarku untuk mengambil ponselku yang ketinggalan.“Kamu diam disini, jangan kemana-mana!” ujarku kepada Davina.Aku masuk ke dalam kamarku dan mengambil cepat ponselku.Aku pun berinisiatif mengirimkan pesan kepada satpam untuk menutup pintu gerbang dan menguncinya. Namun sebelum itu, aku menyuruhnya untuk memberitahu mama yang masih berada di dalam mobil di luar gerbang, supaya lebih dulu masuk.Aku kembali ke ruang tamu, dimana Davina masih berada disana.“Lepaskan, biarkan saya pergi!” teriak Davina dari arah luar. Ternyata benar, dia berusaha kabur namun beruntung pak satpam segera menghalanginya.Aku juga segera menghubungi polisi, supaya cepat datang kesini.“Papa!” teriak mama yang baru saja masuk ke dalam rumah. Mama teriak histeris saat mendapati Papa tak sadarkan diri dengan perut bersimbah darah.Kemudian satpam penjaga rumah datang dengan menyeret Davina. Dia dibantu oleh sop
(POV Darian)Hari ini aku merasa bahagia karena telah dipertemukan dengan adikku. Rasanya seperti mimpi, aku masih memiliki keluarga kandung. Namun respon mama dan papa seperti kurang antusias menyambut adikku, terutama mama, mama memberitahu jika Davina sempat menyiramnya dengan minuman. Yang lebih parahnya, Davina juga sempat bersitegang dengan Dela, sampai dahi Dela terluka.Aku tak tahu ada masalah apa Dela dan Davina. Sehingga mereka ribut seperti itu. Tapi walaupun begitu, aku akan memaafkan Davina.“Darian, obati dahi Dela, kasihan dia. Sebentar lagi acara akan segera dimulai, kamu tidak usah menunggu Davina, karena acara ini untuk kalian berdua bukan untuk Davina,” imbuh mama.“Benar kata Mama kamu, Darian. Nanti Davina bisa menyusul setelah mandi dan berganti pakaian,” timpal papa.Aku pun mengangguk, walaupun aku ingin sekali menunggu Davina.Acara pun dimulai setelah dahi Dela diobati. Sekarang kami saling menyematkan cincin di jari manis kami. Acara ini cukup meriah, karen
(POV Davina)“Aaaaaaa!” Aku menjerit kesakitan saat rambutku dijambak oleh Dela.“Terus, terus jambak saja rambutku. Tidak akan lama lagi kamu akan tahu siapa aku, Dela,” batinku tersenyum.Semua tamu undangan menjadi gaduh dan mengelilingi kami yang sedang berseteru ini.“Tolong … dia menyakitiku,” jeritku.Satpam rumah ini pun berusaha melerai pertikaian kami. Namun aku akan terus memancing kemarahan Dela, sampai kakakku benar-benar keluar.“Cukup! Apa-apaan ini?” teriak seseorang menggema. Keadaan menjadi hening. Apakah itu kakakku?Kemudian datang seseorang berpakaian hitam-hitam seperti seorang sopir. Mungkin dia sopir keluarga kakakku.“Kamu siapa? Apakah kamu tamu undangan disini? Kenapa kamu bikin ulah disini?” tanyanya.“Bikin ulah? Dia yang bikin ulah,” tunjukku ke arah Dela.“Lagipula, tidak penting juga saya memberitahu kamu dan kalian siapa aku sekarang. Nanti juga kalian akan tahu dan akan terkejut jika tahu aku ini siapa,” lanjutku.“Ya, aku sudah tahu kamu siapa. Janga
(POV Davina)Sumpah demi apapun, aku sangat geram terhadap bi Imah. Semenjak dia kenal dan tinggal dengan Risa, dia menjadi sombong.Bi Imah sama sekali tidak kasihan dengan keadaanku sekarang ini. Aku sedang hamil, tapi hidupku menjadi sengsara begini.Aku kira menikah dengan mas Rendi, hidupku akan lebih baik, aku akan menjadi orang kaya. Tapi ternyata semuanya salah. Iya kaya, tapi hanya sebentar.Bi Imah mendiamkanku setelah ia memberitahu alamat rumah kakakku. Aku tak menyangka, aku bakalan bertemu dengan kakak kandungku. Dulu aku hanya mendengar cerita saja dari bi Imah bahwa aku memiliki seorang kakak. Tapi keadaan yang memaksa kami untuk berpisah.“Imah, ayo kita pergi sekarang!” Seorang pria menghampiri bu Imah. Aku tidak tahu dia siapa.Pria itu kemudian membukakan pintu mobil untuk bi Imah. Melihat pemandangan itu, mataku terbelalak. Kenapa bisa bi Imah menaiki mobil mewah seperti itu? Apakah mereka sudah menikah? Tubuhku menjadi panas, bukan karena panas demam atau cuaca t