Home / Rumah Tangga / Nafkah Nasi Aking / Bab 5 Penyambung Hidup

Share

Bab 5 Penyambung Hidup

last update Last Updated: 2024-03-15 15:37:08

"Ya sudah, Ris. Aku pulang dulu, ya! Sudah sore," pamit Dela.

Dela pun pulang dan aku masuk ke dalam rumah.

"Siapa itu, Mbak? Cantik banget," tanya Davina yang baru saja pulang.

"Itu teman Mbak. Kamu sudah dapat kerjaannya?" jawabku kemudian bertanya balik.

Davina menghempaskan tubuhnya ke atas sofa.

"Belum, Mbak. Nyari kerjaan susah," jawabnya.

"Kenapa nggak kerja di tempat kamu dulu merantau, Vin," imbuhku.

Davina menghembuskan nafas kasar. Kemudian menjawab, "Sudah habis kontrak, Mbak. Makanya aku nyari kerja disini. Oh iya, Mbak, aku lapar nih. Mas Rendi belum pulang?"

"Belum pulang dia, entah jam berapa pulangnya tak tentu. Ya sudah kalau begitu, Mbak masak dulu. Tapi kamu jagain Kania dulu." Aku menyerahkan Kania kepada Davina.

Davina menerima Kania dan menggendongnya.

Aku berkutat di dapur, menanak nasi aking dari mas Rendi.

Owek … owek … owek!

Terdengar Kania menangis di ruang keluarga. Aku segera menghampirinya.

"Kania kenapa, Vin?" tanyaku.

"Nggak tahu, Mbak. Dia rewel, mungkin banyak nyamuk," jawabnya.

"Kamu tolong oleskan minyak telon, ya! Mbak masih belum selesai masak. Sebentar lagi beres," ujarku.

Aku segera kembali ke dapur melanjutkan aktivitas masakku.

Selesai memasak, aku segera menghidangkan makanan tanpa menunggu mas Rendi.

"Sini Kania, Tantenya mau makan dulu." Aku mengambil Kania dari gendongan Davina.

"Ayo makan bareng, Mbak!" ajak Davina.

"Kamu duluan saja, Mbak mau menidurkan Kania dulu sambil menunggu mas Rendi," tolakku.

Aku masuk ke dalam kamar dan menidurkannya di atas tempat tidur.

Jam sudah menunjukkan pukul 19.00. Mas Rendi belum pulang juga.

Setelah Kania tertidur, aku menyibukkan diri dengan membereskan pakaian Kania, sembari menunggu kepulangan mas Rendi.

"Huek!"

Terdengar seseorang muntah-muntah di dapur. Aku berjalan ke dapur, memastikan ada apa, apakah yang muntah barusan adalah Davina?

"Kamu kenapa?" tanyaku, saat mendapati Davina sedang berada di ambang pintu kamar mandi.

Wajah Davina terlihat mengeluarkan air mata. Wajahnya memerah seperti menahan mual.

"Mbak, itu nasi apa?" tunjuk Davina.

Mendengar pertanyaan Davina, seketika hatiku merasa pilu. Aku tak bisa menjamu keluarga mas Rendi dengan baik. Bahkan untuk diriku sendiri aku tak mampu.

"Maafkan Mbak, Vin. Itu nasi aking, itu makanan pokok sehari-hari disini." Aku menghela nafas panjang kemudian terduduk di atas kursi kayu.

Davina berjalan menghampiriku.

"Mbak, kenapa? Mbak kok sedih?" tanyanya.

Aku menggeleng pelan, dan berusaha terlihat baik-baik saja.

"Cerita sama aku," ujar Davina.

Aku kembali menggeleng pelan, dan berusaha tersenyum.

"Mbak, kalau Mbak menganggap aku saudara Mbak juga, tolong cerita sama aku. Kenapa bisa seperti ini?" paksa Davina.

Aku mengangkat wajahku yang semula tertunduk.

"Sudah sebulan ini kehidupan kami sangat terpuruk. Nasi aking ini adalah penyambung hidup kami, setelah Mas Rendi tak punya pekerjaan karena di PHK. Semua tabungan Mas Rendi habis tak bersisa dipakai kebutuhan sehari-hari kami, biaya persalinan Mbak, dan membayar hutang Mas Rendi. Kini mas Rendi hanya bekerja sebagai kuli serabutan. Itu pun penghasilannya tak tentu. Kadang dia pulang membawa uang dan kadang tidak sama sekali," ungkapku kepada Davina.

Davina memelukku dan menggusuk punggungku, mencoba menenangkanku.

"Tidak apa-apa, Insya Allah Mbak kuat," ujarku.

"Ya sudah, kamu makan gih. Tidak apa-apa, kamu belum terbiasa saja dengan nasi ini. Semoga saja nanti mas Rendi pulang membawa uang yang banyak. Mbak mau beli beras yang bagus," pungkasku.

Davina mencoba memakan nasi aking itu. 

Huek!

Davina kembali muntah saat memasukkan makanan itu. Tak tahan melihatnya, aku pun kembali ke kamar dan mengambil makanan ringan pemberian Dela. Lumayan untuk ganjal perut, pikirku.

"Ini, makan ini saja, kebetulan tadi teman Mbak memberikan ini. Lumayan kan, untuk mengisi perut kamu," kataku.

Davina menerima makanan itu lalu memakannya.

"Terima kasih, Mbak. Baik sekali teman Mbak. Apakah dia sering main kesini?" tanya davina yang mulai membuka bungkus makanan ringan itu.

"Sama-sama, dia memang baik. Kami saling menyayangi seperti saudara sendiri. Dia juga sering main kesini," jawabku.

Davina mengangguk kemudian lanjut bertanya, "Memangnya siapa namanya kalau boleh tahu?"

"Namanya Dela," jawabku.

"Cantik ya orangnya! Penampilannya sempurna, pasti banyak pria yang suka sama dia," kata Davina.

"Iya, dia memang cantik. Ya sudah, kalau gitu Mbak mau istirahat dulu. Kamu juga istirahat gih! Besok kan kamu harus cari kerja lagi," imbuhku.

Aku pun memasuki kamar, untuk istirahat. Badan rasanya lelah setelah melakukan pekerjaan rumah dan mengurus Kania.

Tanpa menunggu waktu lama, aku pun tertidur di samping Kania, tanpa menunggu lagi kepulangan mas Rendi.

Krucuk! Krucuk! Krucuk!

Aku terbangun dari tidurku, aku menatap jam dinding, jam sudah menunjukkan jam 22.00.

"Perutku lapar, aku lupa aku belum makan dari tadi sore," gumamku.

Aku menoleh ke samping, ternyata mas Rendi belum juga pulang. Entah kapan dan jam berapa dia akan pulang. Kasihan dia, harus bekerja banting tulang demi membawa sesuap makanan untukku. Dia rela bekerja serabutan sampai malam hampir larut begini.

Rasanya aku sangat malas beranjak dari tempat tidur yang nyaman dan hangat ini, kalau perutku tidak merasa lapar. Aku tidak langsung turun, aku terdiam terlebih dahulu menahan perutku yang lapar. Tapi lama kelamaan rasa lapar ini semakin mendera.

Aku pun turun dari tempat tidurku. Aku berjalan hendak keluar dari kamar, dan ….

"Loh, itu Davina mau kemana?" Aku melihat Davina yang sudah berada di ambang pintu keluar. Dia menggunakan jaket seperti hendak keluar dari rumah.

"Dav …." Belum juga aku memanggilnya, Davina sudah menutup pintu tanpa melihatku ada di ambang pintu kamar yang sedang menatapnya.

Karena merasa khawatir, aku pun berniat mengintipnya keluar lewat celah gorden yang sedikit terbuka.

Aku menatap Davina yang masih berdiri di teras rumah. Terdengar dirinya sedang mengobrol entah dengan siapa, karena susah sekali aku melihat siapa lawan bicara Davina.

"Mas, aku lapar sekali. Dari tadi aku belum makan. Disini cuma ada nasi aking saja, aku nggak suka aku mual. Aku mau makanan yang enak."

"Nasi aking? Ya sudah, sekarang kita beli makanan yang enak yang kamu mau. Jangan cemberut gitu dong, nanti cantiknya hilang!"

Samar-samar aku tak sengaja menguping pembicaraan mereka.

Karena ini, aku menjadi penasaran siapa pria yang sedang mengobrol dengan Davina.

Aku hendak membuka pintu, untuk memastikan dengan siapa Davina berbicara. Namun baru saja tangan ini menyentuh handle pintu, terdengar Kania menangis di dalam kamar.

Aku mengurungkan niatku untuk membuka pintu. Aku berjalan menuju kamar, tapi saat hendak mendekati Kania, Kania berhenti menangis dan lanjut tertidur.

"Ah sayang, bikin Mamamu ini khawatir saja," lirihku.

Karena Kania sudah kembali tidur, aku pun kembali ke niat awal. Ingin membuka pintu dan melihat siapa pria yang sedang bersama dengan Davina hampir larut malam begini.

Ceklek

Pintu aku buka, namun Davina sudah tidak ada di teras. Terlihat dua orang perempuan dan pria berjalan menjauh membelakangi pelataran rumahku. Dari ciri-ciri jaket yang dikenakan salah satu orang itu, aku yakin itu adalah Davina. Tapi … baju yang dikenakan pria itu ….

"Ya Tuhan!" Aku membekap mulutku sendiri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Nafkah Nasi Aking    Bab 100 Hamil

    (POV Rendi)Keesokan paginya, sejak subuh tadi aku sudah bangun dan melaksanakan shalat subuh.Sudah terlalu lama aku meninggalkan kewajiban ku karena terlalu sibuk mengejar dunia. Namun setelah diberikan ujian bertubi-tubi, aku sadar, bahwa aku telah melupakan-Nya. Sungguh aku manusia tak tahu diri. Sudah diberi kenikmatan namun aku merasa selalu kurang, kurang dan kurang.Selesai melaksanakan shalat subuh, hatiku merasa tenang dan tentram. Aku melipat sajadah dan sarung lalu menaruhnya di atas meja.Kemudian aku mencuci baju-bajuku lalu memasak untukku sarapan pagi ini.Jam 07.00, semua pekerjaan rumah sudah selesai. Kini aku bersiap untuk pergi ke kios beras milik Bams.“Bismillahirrahmanirrahim.” Aku mengucap doa saat kaki kananku melangkah keluar. Semoga pekerjaan yang aku lakonin sekarang menjadi rezeki yang berkah.Dengan berbekal uang sepuluh ribu sisa membeli nasi aking kemarin, aku berjalan menuju jalan raya untuk menyetop angkutan umum.Aku berdiri dengan penuh percaya diri

  • Nafkah Nasi Aking    Bab 99 Vonis

    (POV Rendi)“Dengan begitu, saudari Davina akan dijatuhkan hukuman selama 5 tahun!”Tok! Tok! Tok!Hakim mengetuk palu sebanyak tiga kali, itu artinya Davina sudah divonis hukuman penjara.Keputusan hakim membuatku hancur, bagaimana tidak, sudah dua bulan aku mencari Davina, tapi saat aku mendapat kabar, ternyata dia terkena kasus percobaan melenyapkan nyawa seseorang.Davina menunduk, perutnya mulai membesar. Terpaksa Davina harus melahirkan di dalam penjara. Aku tak kuasa mendengar kenyataan ini.Aku menoleh ke arah belakang, terlihat Risa dan Jona sedang duduk dengan keluarga Darian, karena sidang ini terbuka untuk umum. Aku baru tahu, jika Davina masih memiliki kakak. Dela yang memberitahu saat tak sengaja bertemu. Parahnya lagi, Davina sempat mengakui jika kami telah berpisah. Sungguh itu merupakan kebohongan yang besar.Setiap hari aku bela-belain keliling menjual makanan asongan demi mencukupi kebutuhan Davina, tapi Davina sungguh telah membuatku kecewa, sama sekali dia tak men

  • Nafkah Nasi Aking    Bab 98 Kronologis

    (POV Darian)Melihat pemandangan yang tampak di depan mataku, aku segera berjalan cepat ke dalam kamarku untuk mengambil ponselku yang ketinggalan.“Kamu diam disini, jangan kemana-mana!” ujarku kepada Davina.Aku masuk ke dalam kamarku dan mengambil cepat ponselku.Aku pun berinisiatif mengirimkan pesan kepada satpam untuk menutup pintu gerbang dan menguncinya. Namun sebelum itu, aku menyuruhnya untuk memberitahu mama yang masih berada di dalam mobil di luar gerbang, supaya lebih dulu masuk.Aku kembali ke ruang tamu, dimana Davina masih berada disana.“Lepaskan, biarkan saya pergi!” teriak Davina dari arah luar. Ternyata benar, dia berusaha kabur namun beruntung pak satpam segera menghalanginya.Aku juga segera menghubungi polisi, supaya cepat datang kesini.“Papa!” teriak mama yang baru saja masuk ke dalam rumah. Mama teriak histeris saat mendapati Papa tak sadarkan diri dengan perut bersimbah darah.Kemudian satpam penjaga rumah datang dengan menyeret Davina. Dia dibantu oleh sop

  • Nafkah Nasi Aking    Bab 97 Terkejut

    (POV Darian)Hari ini aku merasa bahagia karena telah dipertemukan dengan adikku. Rasanya seperti mimpi, aku masih memiliki keluarga kandung. Namun respon mama dan papa seperti kurang antusias menyambut adikku, terutama mama, mama memberitahu jika Davina sempat menyiramnya dengan minuman. Yang lebih parahnya, Davina juga sempat bersitegang dengan Dela, sampai dahi Dela terluka.Aku tak tahu ada masalah apa Dela dan Davina. Sehingga mereka ribut seperti itu. Tapi walaupun begitu, aku akan memaafkan Davina.“Darian, obati dahi Dela, kasihan dia. Sebentar lagi acara akan segera dimulai, kamu tidak usah menunggu Davina, karena acara ini untuk kalian berdua bukan untuk Davina,” imbuh mama.“Benar kata Mama kamu, Darian. Nanti Davina bisa menyusul setelah mandi dan berganti pakaian,” timpal papa.Aku pun mengangguk, walaupun aku ingin sekali menunggu Davina.Acara pun dimulai setelah dahi Dela diobati. Sekarang kami saling menyematkan cincin di jari manis kami. Acara ini cukup meriah, karen

  • Nafkah Nasi Aking    Bab 96 Dipermalukan

    (POV Davina)“Aaaaaaa!” Aku menjerit kesakitan saat rambutku dijambak oleh Dela.“Terus, terus jambak saja rambutku. Tidak akan lama lagi kamu akan tahu siapa aku, Dela,” batinku tersenyum.Semua tamu undangan menjadi gaduh dan mengelilingi kami yang sedang berseteru ini.“Tolong … dia menyakitiku,” jeritku.Satpam rumah ini pun berusaha melerai pertikaian kami. Namun aku akan terus memancing kemarahan Dela, sampai kakakku benar-benar keluar.“Cukup! Apa-apaan ini?” teriak seseorang menggema. Keadaan menjadi hening. Apakah itu kakakku?Kemudian datang seseorang berpakaian hitam-hitam seperti seorang sopir. Mungkin dia sopir keluarga kakakku.“Kamu siapa? Apakah kamu tamu undangan disini? Kenapa kamu bikin ulah disini?” tanyanya.“Bikin ulah? Dia yang bikin ulah,” tunjukku ke arah Dela.“Lagipula, tidak penting juga saya memberitahu kamu dan kalian siapa aku sekarang. Nanti juga kalian akan tahu dan akan terkejut jika tahu aku ini siapa,” lanjutku.“Ya, aku sudah tahu kamu siapa. Janga

  • Nafkah Nasi Aking    Bab 95 Memancing Kemarahan

    (POV Davina)Sumpah demi apapun, aku sangat geram terhadap bi Imah. Semenjak dia kenal dan tinggal dengan Risa, dia menjadi sombong.Bi Imah sama sekali tidak kasihan dengan keadaanku sekarang ini. Aku sedang hamil, tapi hidupku menjadi sengsara begini.Aku kira menikah dengan mas Rendi, hidupku akan lebih baik, aku akan menjadi orang kaya. Tapi ternyata semuanya salah. Iya kaya, tapi hanya sebentar.Bi Imah mendiamkanku setelah ia memberitahu alamat rumah kakakku. Aku tak menyangka, aku bakalan bertemu dengan kakak kandungku. Dulu aku hanya mendengar cerita saja dari bi Imah bahwa aku memiliki seorang kakak. Tapi keadaan yang memaksa kami untuk berpisah.“Imah, ayo kita pergi sekarang!” Seorang pria menghampiri bu Imah. Aku tidak tahu dia siapa.Pria itu kemudian membukakan pintu mobil untuk bi Imah. Melihat pemandangan itu, mataku terbelalak. Kenapa bisa bi Imah menaiki mobil mewah seperti itu? Apakah mereka sudah menikah? Tubuhku menjadi panas, bukan karena panas demam atau cuaca t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status