Share

Bab 5 Penyambung Hidup

"Ya sudah, Ris. Aku pulang dulu, ya! Sudah sore," pamit Dela.

Dela pun pulang dan aku masuk ke dalam rumah.

"Siapa itu, Mbak? Cantik banget," tanya Davina yang baru saja pulang.

"Itu teman Mbak. Kamu sudah dapat kerjaannya?" jawabku kemudian bertanya balik.

Davina menghempaskan tubuhnya ke atas sofa.

"Belum, Mbak. Nyari kerjaan susah," jawabnya.

"Kenapa nggak kerja di tempat kamu dulu merantau, Vin," imbuhku.

Davina menghembuskan nafas kasar. Kemudian menjawab, "Sudah habis kontrak, Mbak. Makanya aku nyari kerja disini. Oh iya, Mbak, aku lapar nih. Mas Rendi belum pulang?"

"Belum pulang dia, entah jam berapa pulangnya tak tentu. Ya sudah kalau begitu, Mbak masak dulu. Tapi kamu jagain Kania dulu." Aku menyerahkan Kania kepada Davina.

Davina menerima Kania dan menggendongnya.

Aku berkutat di dapur, menanak nasi aking dari mas Rendi.

Owek … owek … owek!

Terdengar Kania menangis di ruang keluarga. Aku segera menghampirinya.

"Kania kenapa, Vin?" tanyaku.

"Nggak tahu, Mbak. Dia rewel, mungkin banyak nyamuk," jawabnya.

"Kamu tolong oleskan minyak telon, ya! Mbak masih belum selesai masak. Sebentar lagi beres," ujarku.

Aku segera kembali ke dapur melanjutkan aktivitas masakku.

Selesai memasak, aku segera menghidangkan makanan tanpa menunggu mas Rendi.

"Sini Kania, Tantenya mau makan dulu." Aku mengambil Kania dari gendongan Davina.

"Ayo makan bareng, Mbak!" ajak Davina.

"Kamu duluan saja, Mbak mau menidurkan Kania dulu sambil menunggu mas Rendi," tolakku.

Aku masuk ke dalam kamar dan menidurkannya di atas tempat tidur.

Jam sudah menunjukkan pukul 19.00. Mas Rendi belum pulang juga.

Setelah Kania tertidur, aku menyibukkan diri dengan membereskan pakaian Kania, sembari menunggu kepulangan mas Rendi.

"Huek!"

Terdengar seseorang muntah-muntah di dapur. Aku berjalan ke dapur, memastikan ada apa, apakah yang muntah barusan adalah Davina?

"Kamu kenapa?" tanyaku, saat mendapati Davina sedang berada di ambang pintu kamar mandi.

Wajah Davina terlihat mengeluarkan air mata. Wajahnya memerah seperti menahan mual.

"Mbak, itu nasi apa?" tunjuk Davina.

Mendengar pertanyaan Davina, seketika hatiku merasa pilu. Aku tak bisa menjamu keluarga mas Rendi dengan baik. Bahkan untuk diriku sendiri aku tak mampu.

"Maafkan Mbak, Vin. Itu nasi aking, itu makanan pokok sehari-hari disini." Aku menghela nafas panjang kemudian terduduk di atas kursi kayu.

Davina berjalan menghampiriku.

"Mbak, kenapa? Mbak kok sedih?" tanyanya.

Aku menggeleng pelan, dan berusaha terlihat baik-baik saja.

"Cerita sama aku," ujar Davina.

Aku kembali menggeleng pelan, dan berusaha tersenyum.

"Mbak, kalau Mbak menganggap aku saudara Mbak juga, tolong cerita sama aku. Kenapa bisa seperti ini?" paksa Davina.

Aku mengangkat wajahku yang semula tertunduk.

"Sudah sebulan ini kehidupan kami sangat terpuruk. Nasi aking ini adalah penyambung hidup kami, setelah Mas Rendi tak punya pekerjaan karena di PHK. Semua tabungan Mas Rendi habis tak bersisa dipakai kebutuhan sehari-hari kami, biaya persalinan Mbak, dan membayar hutang Mas Rendi. Kini mas Rendi hanya bekerja sebagai kuli serabutan. Itu pun penghasilannya tak tentu. Kadang dia pulang membawa uang dan kadang tidak sama sekali," ungkapku kepada Davina.

Davina memelukku dan menggusuk punggungku, mencoba menenangkanku.

"Tidak apa-apa, Insya Allah Mbak kuat," ujarku.

"Ya sudah, kamu makan gih. Tidak apa-apa, kamu belum terbiasa saja dengan nasi ini. Semoga saja nanti mas Rendi pulang membawa uang yang banyak. Mbak mau beli beras yang bagus," pungkasku.

Davina mencoba memakan nasi aking itu. 

Huek!

Davina kembali muntah saat memasukkan makanan itu. Tak tahan melihatnya, aku pun kembali ke kamar dan mengambil makanan ringan pemberian Dela. Lumayan untuk ganjal perut, pikirku.

"Ini, makan ini saja, kebetulan tadi teman Mbak memberikan ini. Lumayan kan, untuk mengisi perut kamu," kataku.

Davina menerima makanan itu lalu memakannya.

"Terima kasih, Mbak. Baik sekali teman Mbak. Apakah dia sering main kesini?" tanya davina yang mulai membuka bungkus makanan ringan itu.

"Sama-sama, dia memang baik. Kami saling menyayangi seperti saudara sendiri. Dia juga sering main kesini," jawabku.

Davina mengangguk kemudian lanjut bertanya, "Memangnya siapa namanya kalau boleh tahu?"

"Namanya Dela," jawabku.

"Cantik ya orangnya! Penampilannya sempurna, pasti banyak pria yang suka sama dia," kata Davina.

"Iya, dia memang cantik. Ya sudah, kalau gitu Mbak mau istirahat dulu. Kamu juga istirahat gih! Besok kan kamu harus cari kerja lagi," imbuhku.

Aku pun memasuki kamar, untuk istirahat. Badan rasanya lelah setelah melakukan pekerjaan rumah dan mengurus Kania.

Tanpa menunggu waktu lama, aku pun tertidur di samping Kania, tanpa menunggu lagi kepulangan mas Rendi.

Krucuk! Krucuk! Krucuk!

Aku terbangun dari tidurku, aku menatap jam dinding, jam sudah menunjukkan jam 22.00.

"Perutku lapar, aku lupa aku belum makan dari tadi sore," gumamku.

Aku menoleh ke samping, ternyata mas Rendi belum juga pulang. Entah kapan dan jam berapa dia akan pulang. Kasihan dia, harus bekerja banting tulang demi membawa sesuap makanan untukku. Dia rela bekerja serabutan sampai malam hampir larut begini.

Rasanya aku sangat malas beranjak dari tempat tidur yang nyaman dan hangat ini, kalau perutku tidak merasa lapar. Aku tidak langsung turun, aku terdiam terlebih dahulu menahan perutku yang lapar. Tapi lama kelamaan rasa lapar ini semakin mendera.

Aku pun turun dari tempat tidurku. Aku berjalan hendak keluar dari kamar, dan ….

"Loh, itu Davina mau kemana?" Aku melihat Davina yang sudah berada di ambang pintu keluar. Dia menggunakan jaket seperti hendak keluar dari rumah.

"Dav …." Belum juga aku memanggilnya, Davina sudah menutup pintu tanpa melihatku ada di ambang pintu kamar yang sedang menatapnya.

Karena merasa khawatir, aku pun berniat mengintipnya keluar lewat celah gorden yang sedikit terbuka.

Aku menatap Davina yang masih berdiri di teras rumah. Terdengar dirinya sedang mengobrol entah dengan siapa, karena susah sekali aku melihat siapa lawan bicara Davina.

"Mas, aku lapar sekali. Dari tadi aku belum makan. Disini cuma ada nasi aking saja, aku nggak suka aku mual. Aku mau makanan yang enak."

"Nasi aking? Ya sudah, sekarang kita beli makanan yang enak yang kamu mau. Jangan cemberut gitu dong, nanti cantiknya hilang!"

Samar-samar aku tak sengaja menguping pembicaraan mereka.

Karena ini, aku menjadi penasaran siapa pria yang sedang mengobrol dengan Davina.

Aku hendak membuka pintu, untuk memastikan dengan siapa Davina berbicara. Namun baru saja tangan ini menyentuh handle pintu, terdengar Kania menangis di dalam kamar.

Aku mengurungkan niatku untuk membuka pintu. Aku berjalan menuju kamar, tapi saat hendak mendekati Kania, Kania berhenti menangis dan lanjut tertidur.

"Ah sayang, bikin Mamamu ini khawatir saja," lirihku.

Karena Kania sudah kembali tidur, aku pun kembali ke niat awal. Ingin membuka pintu dan melihat siapa pria yang sedang bersama dengan Davina hampir larut malam begini.

Ceklek

Pintu aku buka, namun Davina sudah tidak ada di teras. Terlihat dua orang perempuan dan pria berjalan menjauh membelakangi pelataran rumahku. Dari ciri-ciri jaket yang dikenakan salah satu orang itu, aku yakin itu adalah Davina. Tapi … baju yang dikenakan pria itu ….

"Ya Tuhan!" Aku membekap mulutku sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status