"Ya sudah, Ris. Aku pulang dulu, ya! Sudah sore," pamit Dela.
Dela pun pulang dan aku masuk ke dalam rumah."Siapa itu, Mbak? Cantik banget," tanya Davina yang baru saja pulang."Itu teman Mbak. Kamu sudah dapat kerjaannya?" jawabku kemudian bertanya balik.Davina menghempaskan tubuhnya ke atas sofa."Belum, Mbak. Nyari kerjaan susah," jawabnya."Kenapa nggak kerja di tempat kamu dulu merantau, Vin," imbuhku.Davina menghembuskan nafas kasar. Kemudian menjawab, "Sudah habis kontrak, Mbak. Makanya aku nyari kerja disini. Oh iya, Mbak, aku lapar nih. Mas Rendi belum pulang?""Belum pulang dia, entah jam berapa pulangnya tak tentu. Ya sudah kalau begitu, Mbak masak dulu. Tapi kamu jagain Kania dulu." Aku menyerahkan Kania kepada Davina.Davina menerima Kania dan menggendongnya.Aku berkutat di dapur, menanak nasi aking dari mas Rendi.Owek … owek … owek!Terdengar Kania menangis di ruang keluarga. Aku segera menghampirinya."Kania kenapa, Vin?" tanyaku."Nggak tahu, Mbak. Dia rewel, mungkin banyak nyamuk," jawabnya."Kamu tolong oleskan minyak telon, ya! Mbak masih belum selesai masak. Sebentar lagi beres," ujarku.Aku segera kembali ke dapur melanjutkan aktivitas masakku.Selesai memasak, aku segera menghidangkan makanan tanpa menunggu mas Rendi."Sini Kania, Tantenya mau makan dulu." Aku mengambil Kania dari gendongan Davina."Ayo makan bareng, Mbak!" ajak Davina."Kamu duluan saja, Mbak mau menidurkan Kania dulu sambil menunggu mas Rendi," tolakku.Aku masuk ke dalam kamar dan menidurkannya di atas tempat tidur.Jam sudah menunjukkan pukul 19.00. Mas Rendi belum pulang juga.Setelah Kania tertidur, aku menyibukkan diri dengan membereskan pakaian Kania, sembari menunggu kepulangan mas Rendi."Huek!"Terdengar seseorang muntah-muntah di dapur. Aku berjalan ke dapur, memastikan ada apa, apakah yang muntah barusan adalah Davina?"Kamu kenapa?" tanyaku, saat mendapati Davina sedang berada di ambang pintu kamar mandi.Wajah Davina terlihat mengeluarkan air mata. Wajahnya memerah seperti menahan mual."Mbak, itu nasi apa?" tunjuk Davina.Mendengar pertanyaan Davina, seketika hatiku merasa pilu. Aku tak bisa menjamu keluarga mas Rendi dengan baik. Bahkan untuk diriku sendiri aku tak mampu."Maafkan Mbak, Vin. Itu nasi aking, itu makanan pokok sehari-hari disini." Aku menghela nafas panjang kemudian terduduk di atas kursi kayu.Davina berjalan menghampiriku."Mbak, kenapa? Mbak kok sedih?" tanyanya.Aku menggeleng pelan, dan berusaha terlihat baik-baik saja."Cerita sama aku," ujar Davina.Aku kembali menggeleng pelan, dan berusaha tersenyum."Mbak, kalau Mbak menganggap aku saudara Mbak juga, tolong cerita sama aku. Kenapa bisa seperti ini?" paksa Davina.Aku mengangkat wajahku yang semula tertunduk."Sudah sebulan ini kehidupan kami sangat terpuruk. Nasi aking ini adalah penyambung hidup kami, setelah Mas Rendi tak punya pekerjaan karena di PHK. Semua tabungan Mas Rendi habis tak bersisa dipakai kebutuhan sehari-hari kami, biaya persalinan Mbak, dan membayar hutang Mas Rendi. Kini mas Rendi hanya bekerja sebagai kuli serabutan. Itu pun penghasilannya tak tentu. Kadang dia pulang membawa uang dan kadang tidak sama sekali," ungkapku kepada Davina.Davina memelukku dan menggusuk punggungku, mencoba menenangkanku."Tidak apa-apa, Insya Allah Mbak kuat," ujarku."Ya sudah, kamu makan gih. Tidak apa-apa, kamu belum terbiasa saja dengan nasi ini. Semoga saja nanti mas Rendi pulang membawa uang yang banyak. Mbak mau beli beras yang bagus," pungkasku.Davina mencoba memakan nasi aking itu. Huek!Davina kembali muntah saat memasukkan makanan itu. Tak tahan melihatnya, aku pun kembali ke kamar dan mengambil makanan ringan pemberian Dela. Lumayan untuk ganjal perut, pikirku."Ini, makan ini saja, kebetulan tadi teman Mbak memberikan ini. Lumayan kan, untuk mengisi perut kamu," kataku.Davina menerima makanan itu lalu memakannya."Terima kasih, Mbak. Baik sekali teman Mbak. Apakah dia sering main kesini?" tanya davina yang mulai membuka bungkus makanan ringan itu."Sama-sama, dia memang baik. Kami saling menyayangi seperti saudara sendiri. Dia juga sering main kesini," jawabku.Davina mengangguk kemudian lanjut bertanya, "Memangnya siapa namanya kalau boleh tahu?""Namanya Dela," jawabku."Cantik ya orangnya! Penampilannya sempurna, pasti banyak pria yang suka sama dia," kata Davina."Iya, dia memang cantik. Ya sudah, kalau gitu Mbak mau istirahat dulu. Kamu juga istirahat gih! Besok kan kamu harus cari kerja lagi," imbuhku.Aku pun memasuki kamar, untuk istirahat. Badan rasanya lelah setelah melakukan pekerjaan rumah dan mengurus Kania.Tanpa menunggu waktu lama, aku pun tertidur di samping Kania, tanpa menunggu lagi kepulangan mas Rendi.Krucuk! Krucuk! Krucuk!Aku terbangun dari tidurku, aku menatap jam dinding, jam sudah menunjukkan jam 22.00."Perutku lapar, aku lupa aku belum makan dari tadi sore," gumamku.Aku menoleh ke samping, ternyata mas Rendi belum juga pulang. Entah kapan dan jam berapa dia akan pulang. Kasihan dia, harus bekerja banting tulang demi membawa sesuap makanan untukku. Dia rela bekerja serabutan sampai malam hampir larut begini.Rasanya aku sangat malas beranjak dari tempat tidur yang nyaman dan hangat ini, kalau perutku tidak merasa lapar. Aku tidak langsung turun, aku terdiam terlebih dahulu menahan perutku yang lapar. Tapi lama kelamaan rasa lapar ini semakin mendera.Aku pun turun dari tempat tidurku. Aku berjalan hendak keluar dari kamar, dan …."Loh, itu Davina mau kemana?" Aku melihat Davina yang sudah berada di ambang pintu keluar. Dia menggunakan jaket seperti hendak keluar dari rumah."Dav …." Belum juga aku memanggilnya, Davina sudah menutup pintu tanpa melihatku ada di ambang pintu kamar yang sedang menatapnya.Karena merasa khawatir, aku pun berniat mengintipnya keluar lewat celah gorden yang sedikit terbuka.Aku menatap Davina yang masih berdiri di teras rumah. Terdengar dirinya sedang mengobrol entah dengan siapa, karena susah sekali aku melihat siapa lawan bicara Davina."Mas, aku lapar sekali. Dari tadi aku belum makan. Disini cuma ada nasi aking saja, aku nggak suka aku mual. Aku mau makanan yang enak.""Nasi aking? Ya sudah, sekarang kita beli makanan yang enak yang kamu mau. Jangan cemberut gitu dong, nanti cantiknya hilang!"Samar-samar aku tak sengaja menguping pembicaraan mereka.Karena ini, aku menjadi penasaran siapa pria yang sedang mengobrol dengan Davina.Aku hendak membuka pintu, untuk memastikan dengan siapa Davina berbicara. Namun baru saja tangan ini menyentuh handle pintu, terdengar Kania menangis di dalam kamar.Aku mengurungkan niatku untuk membuka pintu. Aku berjalan menuju kamar, tapi saat hendak mendekati Kania, Kania berhenti menangis dan lanjut tertidur."Ah sayang, bikin Mamamu ini khawatir saja," lirihku.Karena Kania sudah kembali tidur, aku pun kembali ke niat awal. Ingin membuka pintu dan melihat siapa pria yang sedang bersama dengan Davina hampir larut malam begini.CeklekPintu aku buka, namun Davina sudah tidak ada di teras. Terlihat dua orang perempuan dan pria berjalan menjauh membelakangi pelataran rumahku. Dari ciri-ciri jaket yang dikenakan salah satu orang itu, aku yakin itu adalah Davina. Tapi … baju yang dikenakan pria itu …."Ya Tuhan!" Aku membekap mulutku sendiri."Mas Rendi? Benarkah dia? Mereka mau ngapain keluar malam-malam begini tanpa izin dariku pula? Kenapa sikap mereka begitu mesra," batinku.Pikiran negatif bermunculan dalam benak. Apakah mereka … tapi kan mereka sepupuan. Aku menggelengkan kepala. Membuang rasa curiga ini, namun tetap saja, pikiran buruk ini mendominasi diri. Andai saja hal itu benar dengan apa yang aku pikirkan. Sungguh aku tak akan pernah memaafkan mereka berdua.Perutku kembali merasa lapar. Aku pergi ke dapur dan mengambil nasi aking yang aku masak tadi sore. Aku memakannya walaupun mulut ini rasanya tak bernafsu sedikitpun. Mengingat sesuatu hal yang terasa janggal yang baru saja aku lihat. Aku melakukannya hanya untuk mengganjal perut saja.Selesai makan, aku tak langsung tidur. Aku duduk di sofa ruang tamu, menunggu kepulangan Davina dan mas Rendi. Aku ingin menanyakan mereka dari mana dan habis ngapain.Ingin rasanya aku menelepon mas Rendi, untuk menanyakan keberadaannya dimana. Aku melirik ponselku, yang ter
"Ya Tuhan ini ada apa? Apa yang terjadi?" Tubuhku bergetar hebat, saat mendapati noda merah bekas lipstik di baju mas Rendi.Aku meremas kasar baju mas Rendi. Rasanya aku tak sabar ingin mencacinya, karena telah tega bermain di belakangku.Aku menunggu mas Rendi di dekat pintu toilet. Terdengar nyaring guyuran air menandakan mas Rendi sedang mandi.Baru kali ini aku merasa kecewa olehnya. Bahkan lebih kecewa saat dirinya menganggap aku seekor bebek. Kenapa ini bisa terjadi? Bekas bibir siapa yang ada di baju mas Rendi. Ya Tuhan … semoga saja semua tak seperti yang aku pikirkan. Tak sanggup rasanya jika mas Rendi benar-benar bermain di belakangku dengan wanita lain. Aku tidak akan terima.Lumayan lama aku berdiri di depan pintu kamar mandi. Pintu kamar mandi pun dibuka dari dalam.Ceklek"Loh, Ris kamu sedang apa disini? Sana istirahat! Kasihan kamu, pasti seharian ini lelah mengerjakan pekerjaan rumah dan mengurus Kania," ujar suamiku sembari menyeka rambutnya yang basah oleh handuk.
Dela ingin bicara sama mas Rendi? Bicara apa?Aku menghampiri mereka berdua, yang tidak menyadari keberadaanku."Mau bicara apa?" tanyaku.Mas Rendi tersentak mendengarku yang muncul dari belakangnya."Nggak ada kok, cuma kemarin Dela hanya menawarkan pekerjaan lagi. Cuma aku nggak enak, aku tidak mau menyusahkannya," jawab mas Rendi.Aku tak habis pikir dengan mas Rendi. Kenapa dia enggan untuk menerima tawaran pekerjaan dari Dela. Jelas-jelas Dela itu sangat baik, aku dan mas Rendi pun sudah lama mengenalnya."Tapi … anu, Ris ….""Dela, maaf … sekali, saya tidak bisa menerima tawaran dari kamu. Saya tidak enak dan saya mohon, jangan paksa saya lagi," mohon mas Rendi dengan kedua tangan terkatup di depan dada.Seketika Dela menatap kecewa ke arah mas Rendi. Aku mengerti, Dela menginginkan yang terbaik untuk keluarga kami. Tapi apalah daya, mas Rendi masih tetap pada pendiriannya.Aku tersenyum kepada Dela, berusaha mencairkan suasana."Mas Rendi ingin mandiri, aku harap kamu mengerti
"Nggak boleh, ya? Ya sudah!" Aku keluar dari kamar Davina."Mbak, em … maksud aku bukan begitu. Jadi ini bedak nggak bisa sembarangan yang pake. Kalau nggak cocok bisa-bisa kulit Mbak jerawatan," jelas Davina."Iya, tidak apa-apa. Mbak mau lihat anak Mbak dulu," sahutku.Aku masuk ke dalam kamarku. Melihat Kania yang terlihat menggeliat dan terbangun dari tidurnya.Aku menggendongnya kemudian menyusuinya. Syukurlah Kania sudah tidak panas lagi. Aku sudah tidak merasa khawatir lagi.Setelah Kania meminum asi, Kania kembali tertidur. Aku pun beranjak dan pergi ke halaman untuk menyiram tanaman bunga-bungaku.Saat tengah fokus menyirami tanaman. Aku kembali teringat akan ucapan Davina tadi. Aku ragu tapi aku juga takut jika itu terjadi.Tak dipungkiri, memang terasa janggal saat Dela menyusul ke rumah dan memaksa mas Rendi untuk bekerja dengannya. Padahal sudah berulang kali mas Rendi menolak tawarannya. Tapi Dela masih bersikeras membujuk suamiku untuk bekerja dengannya.Aku menghempask
"Kenapa? Ada yang aneh kah dengan penampilanku?" tanyaku."Mbak, apa Mbak nggak ngaca? Mbak ini mau ke kondangan apa mau ngeronggeng?" Lagi dan lagi Davina tertawa lepas dan kali ini dia berani menghinaku.Mas Rendi masih bergeming dan masih menatapku."Mas!" sapaku lirih.Tak ada upaya sama sekali mas Rendi untuk menegur Davina yang secara blak-blakan telah menghinaku."Kenapa kamu dandan seperti ini? Apakah ini yang mau kamu tunjukkin sama aku, sampai-sampai aku meninggalkan pekerjaanku?" Pertanyaan mas Rendi terasa menyakitkan yang aku dengar."Aku … aku dandan seperti ini karena aku mau bikin kejutan sama kamu. Aku juga ingin terlihat cantik di mata kamu, Mas. Nggak ada maksud apa-apa," jawabku.Mas Rendi masuk ke dalam kamar. Kemudian kembali lagi dan menghampiriku sambil membawa sesuatu di tangannya."Kamu lihat ini, ngaca kamu!" titahnya memperlihatkan cermin.Aku menatap cermin yang dibawa mas Rendi barusan.Aku terhenyak melihat wajahku yang ternyata memang benar, aku terliha
Sup? Aku teringat akan sup pemberian bu Lela tadi siang. Aku membaringkan Kania ke tempat tidur. Lalu pergi ke dapur untuk memastikan sup milikku masih ada atau tidak.Aku membuka pintu lemari, dan … ternyata penciumanku tidak salah. Davina sudah memakan sup milikku sampai habis tak bersisa seperti ini.Aku menaruh mangkuk sup itu dengan kasar. Rasa lapar dan kesal bercampur menjadi satu.Aku berjalan menghampiri Davina yang sudah berada di ruang tamu bersama mas Rendi."Davina, apa kamu yang menghabiskan semua sup milik Mbak?" tanyaku.Davina menatapku kemudian melempar pandangan ke arah mas Rendi."Nggak kok, Mbak!" sangkalnya."Oh, nggak makan, ya? Tapi sendawa kamu bau sup, dan kebetulan semangkuk sup milikku habis nggak bersisa. Apa kamu mau mengelak lagi?" timpalku.Davina terdiam, sambil terus melirik ke arah mas Rendi."Sudahlah, Ris. Perkara sup saja kamu ributin seperti ini. Davina itu lapar, apa kamu tega melihat saudara Mas kelaparan?" Mas Rendi menimpali.Kelaparan? Apaka
Terik panas matahari menyengat tubuh ini. Kepalaku merasa pusing, entah apa yang terjadi padaku."Perasaan semalam aku ada di rumah. Kenapa aku bisa ada di tengah kuburan seperti ini?" Aku menoleh kesana kemari.Entah jam berapa sekarang ini, yang jelas sinar matahari ini terasa membakar kulit.Aku bangun dan menetralkan penglihatanku. Aku mengumpulkan tenaga, untuk beranjak dari tempat ini.Setelah dirasa tenagaku berkumpul, aku bangun dan berjalan meninggalkan area kuburan ini.Sambil berjalan pulang, aku berusaha mengingat-ingat apa yang telah terjadi padaku."Kenapa, ya?" Aku seperti orang linglung dan terus berjalan.Tenggorokanku mulai merasakan haus. Aku berhenti sejenak, mengurangi rasa lelah dan hausku. Ingin membeli minuman air putih pun, aku tak mempunyai uang sama sekali.Aku duduk di pinggir jalan, setelah keluar dari area kuburan.Pluk!Sesuatu seperti benda berupa kertas digulung mendarat di hadapanku.Aku memungut kertas itu, dan ternyata itu adalah uang. Aku mengangka
"Aku khawatir sama anakku, Del. Bagaimana kalau dia kelaparan?" ujarku merasa sangat khawatir terhadap anakku.Aku lebih mengkhawatirkan keadaan anakku ketimbang diriku sendiri. Kania masih bayi, dia tidak boleh ditinggalkan terlalu lama seperti ini."Kamu jangan khawatir, aku sudah mengirimkan susu formula untuknya. Aku sengaja menyuruh tetangga kamu mengantarkan susu itu. Semoga saja suami kamu memberikan susu itu pada anakmu. Karena kalau aku sendiri yang bawa anakmu dari sana, masalah baru pasti akan muncul. Maaf, Ris, hanya itu yang bisa aku bantu. Tapi nanti malam, kamu bisa menemuinya sekaligus cari tahu tentang perbuatan mereka di belakang kamu. Aku yakin tebakanku nggak salah, karena aku pernah melihat dengan mata kepalaku sendiri, mereka pernah jalan berdua sangat mesra. Bukan seperti saudara yang seperti kamu sebutkan tadi," sahut Dela meyakinkan diriku.Aku mengangguk setuju, nanti malam aku harus membuktikannya. Semoga apa yang diucapkan Dela salah. Karena kalau sampai uc