"Mas Rendi? Benarkah dia? Mereka mau ngapain keluar malam-malam begini tanpa izin dariku pula? Kenapa sikap mereka begitu mesra," batinku.
Pikiran negatif bermunculan dalam benak. Apakah mereka … tapi kan mereka sepupuan. Aku menggelengkan kepala. Membuang rasa curiga ini, namun tetap saja, pikiran buruk ini mendominasi diri. Andai saja hal itu benar dengan apa yang aku pikirkan. Sungguh aku tak akan pernah memaafkan mereka berdua.Perutku kembali merasa lapar. Aku pergi ke dapur dan mengambil nasi aking yang aku masak tadi sore. Aku memakannya walaupun mulut ini rasanya tak bernafsu sedikitpun. Mengingat sesuatu hal yang terasa janggal yang baru saja aku lihat. Aku melakukannya hanya untuk mengganjal perut saja.Selesai makan, aku tak langsung tidur. Aku duduk di sofa ruang tamu, menunggu kepulangan Davina dan mas Rendi. Aku ingin menanyakan mereka dari mana dan habis ngapain.Ingin rasanya aku menelepon mas Rendi, untuk menanyakan keberadaannya dimana. Aku melirik ponselku, yang terikat oleh karet gelang di atas meja. Aku hendak mengambilnya namun kembali urung. Hal itu aku lakukan berulang kali. Namun pada akhirnya aku pun bertekad meneleponnya.Aku mencari nomor ponsel mas Rendi. Setelah ditemukan, aku menempelkan ponselku ke daun telinga.Namun sayangnya, aku lupa kalau aku tidak punya pulsa maupun kuota beberapa hari ini. Rasanya aku ingin berteriak dengan keadaan ini. Aku meremas rambutku kasar."Ya Tuhan, ada apa dengan mereka?" Aku membatin.Tak terasa aku duduk di ruang tamu, jam sudah menunjukkan pukul 00.00 tengah malam. Namun mas Rendi dan Davina belum juga pulang.Dengan perasaan kesal, aku pun memutuskan untuk kembali ke dalam kamar, menemani Kania tidur."Hahaha!"Aku hampir naik ke atas tempat tidur, urung karena mendengar suara orang sedang tertawa. Apakah itu Davina?Aku tak jadi tidur, aku kembali ke ruang tamu.Suara langkah kaki beriringan terdengar mendekat ke arah rumahku."Makasih, sayang! Makanannya enak-enak. Besok-besok aku mau lagi makan di situ," ujar seorang perempuan, yang aku duga Davina."Inilah saatnya, aku mesti tahu kebenarannya," gumamku.Sengaja pintu tak aku kunci, supaya Davina dengan mudah membuka pintu ini, dan aku langsung memergoki mereka berdua.CeklekAku sudah berdiri di depan pintu, saat Davina membuka pintu dari luar."Mbak!""Habis ngapain kalian berdua? Ada hubungan apa kal …." Aku menghentikan ucapanku.Davina menatapku heran dan bingung."Maaf, ini istrinya kakak sepupu kamu, Dav?"Apa? Pria itu ternyata bukan mas Rendi. Hanya saja bajunya sama persis dengan milik mas Rendi."Ma-maaf, kamu siapa?" tanyaku."Mbak kenapa? Ada apa? Sepertinya Mbak ada masalah. Kenalkan, ini pacar aku, Mbak, namanya Anton." Davina memperkenalkan pria itu yang disebut sebagai pacarnya.Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Rasanya aku tak enak hati, karena telah marah-marah tidak jelas kepada Davina."Mbak!" Davina menepuk pundakku."Maaf, Mbak lagi banyak pikiran. Jadi Mbak nggak fokus. Maaf sekali lagi," ucapku."Nggak apa-apa, Mbak. Mbak bisa cerita sama aku. Kalau ada masalah, jangan dipendam ya, Mbak!" kata Davina.Aku mengangguk sambil memijat kening."Kalau gitu, aku pamit pulang ya, Dav. Mbak Risa, saya pamit pulang, ya! Maaf sudah mengajak Davina keluar malam-malam, tanpa izin dari Mbak. Saya harap Mbak mau memaafkan saya," ucap Anton."Tidak apa-apa, maafkan saya juga," ucapku.Anton pun pergi dan hilang saat berbelok."Kamu sama anton jalan kaki? Kok bisa dia tahu alamat rumah ini?" tanyaku."Iya kak kami jalan kaki. Dan maaf, aku yang memberitahunya alamat rumah ini. Anton jauh-jauh datang kesini untuk menemui aku. Motor Anton mogok dan sedang diperbaiki di bengkel. Jadi dia nganterin aku jalan kaki deh. Oh iya, mas Rendi sudah pulang belum?" tanya Davina."Belum, entah jam berapa dia pulang. Mbak khawatir dengan kesehatannya," jawabku."Mbak yang sabar, ya! Aku doain semoga mas Rendi mendapat pekerjaan seperti dulu. Aku juga ingin melihat hidup kalian sejahtera. Aku sayang sama mas Rendi, karena dia adalah kakak sepupu yang sangat baik bagiku. Begitupun dengan Mbak Risa. Saat pertama kita bertemu, aku kagum dan rasa sayang tumbuh dalam diri ini. Aku senang, aku seperti mempunyai kakak perempuan." Davina menggandeng sebelah tanganku.Tok! Tok! Tok!Suara ketukan pintu membuatku dan Davina serentak menoleh ke arah pintu."Biar aku yang buka pintunya," kata Davina.Ceklek"Mas Rendi, kok baru pulang sih! Lihat tuh, kasihan Mbak Risa dari tadi nungguin Mas. Lain kali kalau kerja ingat anak istri dong, jangan kayak gini. Kesel kan aku jadinya tahu gini," ujar Davina yang langsung menyembur mas Rendi dengan omelan.Mas Rendi mengacak kepala Davina. "Hei anak kecil, aku kerja kayak gini juga demi anak dan istri. Kamu bocah tahu apa sih. Orang baru nyampe juga udah kena sembur. Untung cuma omelan, coba kalau pakai api, bisa-bisa aku panggil kamu naga," seloroh mas Rendi."Jangan dengerin ocehan dia, sayang. Dia dari dulu memang bawel. Istirahat, yuk! Mas capek sekali," ajak mas Rendi.Aku pun mengangguk dan masuk ke dalam kamar."Ris, Alhamdulillah hari ini Mas dapat uang lumayan banyak. Ini buat beli beras besok, kamu bisa makan enak lagi. Maaf, Mas cuma dapatnya segini setelah seharian kuli. Mas tadi habis kuli panggul, kebetulan banyak sekali yang memakai jasa Mas," ujar mas Rendi.Aku menerima uang sebesar lima puluh ribu rupiah dari tangan mas Rendi. Alhamdulillah … bagiku ini uang yang banyak. Akan aku gunakan uang ini sebaik mungkin."Terima kasih, Mas. Ini banyak, kok. Aku senang," ucapku."Sama-sama, sayang. Badan Mas rasanya pegal-pegal. Tapi Mas belum mandi," kata mas Rendi."Sana tiduran, biar aku pij4t. Nanti mandinya setelah dipijat saja," sahutku menyuruhnya tiduran.Mas Rendi tersenyum kemudian membuka bajunya dan menyerahkan bajunya kepadaku.Aku tersenyum dan hendak segera memijat punggungnya. Namun sebelumnya aku menaruh baju mas Rendi di samping tempat tidur."Pijatan kamu enak, sayang. Pijatan penuh cinta dari seorang istri yang sangat tulus. Beruntung sekali Mas bisa menikahi kamu pada akhirnya," ujar mas Rendi memujiku.Aku tak menyahut, hanya tersenyum tersipu malu mendengar ucapannya.Aku melanjutkan pijatanku pada punggung mas Rendi dengan penuh semangat. Setelah punggung, akupun beralih pada kedua kakinya."Sudah selesai, Mas. Gimana, masih sakit nggak?" tanyaku."Sudah nggak sakit lagi. Rasanya tubuh Mas lebih rileks. Terima kasih ya, Ris. Kalau begitu Mas mau mandi dulu. Nggak enak kalau nanti kita tidur, terus kamu mencium bau aneh-aneh," jawab suamiku dengan sedikit candaan."Ya sudah gih mandi sana. Aku siapin baju gantinya." Aku beranjak lalu membuka lemari pakaian.Mas Rendi pergi menuju kamar mandi. Baju kotor mas Rendi masih tergeletak di pinggir tempat tidur. Aku pun dengan cepat mengambil pakaian tidur mas rendi.Setelah itu aku memungut baju kotor mas Rendi dan segera pergi menuju samping kamar mandi, dimana keranjang tempat cucian kotor berada.Di ruang tamu, aku sudah tidak mendapati Davina. Kemungkinan dia sudah masuk kamar dan sudah tidur.Aku segera melangkah menuju samping kamar mandi sembari menenteng baju kotor mas Rendi.Sampai di tempat cucian, aku membuka tutup keranjang cucian kotor itu. Belum sempat aku menaruh baju itu, aku melihat sesuatu di baju itu. Sesuatu yang membuat nafasku sesak dan tubuh ini bergetar hebat."Apa-apaan ini, Mas?"(POV Rendi)Keesokan paginya, sejak subuh tadi aku sudah bangun dan melaksanakan shalat subuh.Sudah terlalu lama aku meninggalkan kewajiban ku karena terlalu sibuk mengejar dunia. Namun setelah diberikan ujian bertubi-tubi, aku sadar, bahwa aku telah melupakan-Nya. Sungguh aku manusia tak tahu diri. Sudah diberi kenikmatan namun aku merasa selalu kurang, kurang dan kurang.Selesai melaksanakan shalat subuh, hatiku merasa tenang dan tentram. Aku melipat sajadah dan sarung lalu menaruhnya di atas meja.Kemudian aku mencuci baju-bajuku lalu memasak untukku sarapan pagi ini.Jam 07.00, semua pekerjaan rumah sudah selesai. Kini aku bersiap untuk pergi ke kios beras milik Bams.“Bismillahirrahmanirrahim.” Aku mengucap doa saat kaki kananku melangkah keluar. Semoga pekerjaan yang aku lakonin sekarang menjadi rezeki yang berkah.Dengan berbekal uang sepuluh ribu sisa membeli nasi aking kemarin, aku berjalan menuju jalan raya untuk menyetop angkutan umum.Aku berdiri dengan penuh percaya diri
(POV Rendi)“Dengan begitu, saudari Davina akan dijatuhkan hukuman selama 5 tahun!”Tok! Tok! Tok!Hakim mengetuk palu sebanyak tiga kali, itu artinya Davina sudah divonis hukuman penjara.Keputusan hakim membuatku hancur, bagaimana tidak, sudah dua bulan aku mencari Davina, tapi saat aku mendapat kabar, ternyata dia terkena kasus percobaan melenyapkan nyawa seseorang.Davina menunduk, perutnya mulai membesar. Terpaksa Davina harus melahirkan di dalam penjara. Aku tak kuasa mendengar kenyataan ini.Aku menoleh ke arah belakang, terlihat Risa dan Jona sedang duduk dengan keluarga Darian, karena sidang ini terbuka untuk umum. Aku baru tahu, jika Davina masih memiliki kakak. Dela yang memberitahu saat tak sengaja bertemu. Parahnya lagi, Davina sempat mengakui jika kami telah berpisah. Sungguh itu merupakan kebohongan yang besar.Setiap hari aku bela-belain keliling menjual makanan asongan demi mencukupi kebutuhan Davina, tapi Davina sungguh telah membuatku kecewa, sama sekali dia tak men
(POV Darian)Melihat pemandangan yang tampak di depan mataku, aku segera berjalan cepat ke dalam kamarku untuk mengambil ponselku yang ketinggalan.“Kamu diam disini, jangan kemana-mana!” ujarku kepada Davina.Aku masuk ke dalam kamarku dan mengambil cepat ponselku.Aku pun berinisiatif mengirimkan pesan kepada satpam untuk menutup pintu gerbang dan menguncinya. Namun sebelum itu, aku menyuruhnya untuk memberitahu mama yang masih berada di dalam mobil di luar gerbang, supaya lebih dulu masuk.Aku kembali ke ruang tamu, dimana Davina masih berada disana.“Lepaskan, biarkan saya pergi!” teriak Davina dari arah luar. Ternyata benar, dia berusaha kabur namun beruntung pak satpam segera menghalanginya.Aku juga segera menghubungi polisi, supaya cepat datang kesini.“Papa!” teriak mama yang baru saja masuk ke dalam rumah. Mama teriak histeris saat mendapati Papa tak sadarkan diri dengan perut bersimbah darah.Kemudian satpam penjaga rumah datang dengan menyeret Davina. Dia dibantu oleh sop
(POV Darian)Hari ini aku merasa bahagia karena telah dipertemukan dengan adikku. Rasanya seperti mimpi, aku masih memiliki keluarga kandung. Namun respon mama dan papa seperti kurang antusias menyambut adikku, terutama mama, mama memberitahu jika Davina sempat menyiramnya dengan minuman. Yang lebih parahnya, Davina juga sempat bersitegang dengan Dela, sampai dahi Dela terluka.Aku tak tahu ada masalah apa Dela dan Davina. Sehingga mereka ribut seperti itu. Tapi walaupun begitu, aku akan memaafkan Davina.“Darian, obati dahi Dela, kasihan dia. Sebentar lagi acara akan segera dimulai, kamu tidak usah menunggu Davina, karena acara ini untuk kalian berdua bukan untuk Davina,” imbuh mama.“Benar kata Mama kamu, Darian. Nanti Davina bisa menyusul setelah mandi dan berganti pakaian,” timpal papa.Aku pun mengangguk, walaupun aku ingin sekali menunggu Davina.Acara pun dimulai setelah dahi Dela diobati. Sekarang kami saling menyematkan cincin di jari manis kami. Acara ini cukup meriah, karen
(POV Davina)“Aaaaaaa!” Aku menjerit kesakitan saat rambutku dijambak oleh Dela.“Terus, terus jambak saja rambutku. Tidak akan lama lagi kamu akan tahu siapa aku, Dela,” batinku tersenyum.Semua tamu undangan menjadi gaduh dan mengelilingi kami yang sedang berseteru ini.“Tolong … dia menyakitiku,” jeritku.Satpam rumah ini pun berusaha melerai pertikaian kami. Namun aku akan terus memancing kemarahan Dela, sampai kakakku benar-benar keluar.“Cukup! Apa-apaan ini?” teriak seseorang menggema. Keadaan menjadi hening. Apakah itu kakakku?Kemudian datang seseorang berpakaian hitam-hitam seperti seorang sopir. Mungkin dia sopir keluarga kakakku.“Kamu siapa? Apakah kamu tamu undangan disini? Kenapa kamu bikin ulah disini?” tanyanya.“Bikin ulah? Dia yang bikin ulah,” tunjukku ke arah Dela.“Lagipula, tidak penting juga saya memberitahu kamu dan kalian siapa aku sekarang. Nanti juga kalian akan tahu dan akan terkejut jika tahu aku ini siapa,” lanjutku.“Ya, aku sudah tahu kamu siapa. Janga
(POV Davina)Sumpah demi apapun, aku sangat geram terhadap bi Imah. Semenjak dia kenal dan tinggal dengan Risa, dia menjadi sombong.Bi Imah sama sekali tidak kasihan dengan keadaanku sekarang ini. Aku sedang hamil, tapi hidupku menjadi sengsara begini.Aku kira menikah dengan mas Rendi, hidupku akan lebih baik, aku akan menjadi orang kaya. Tapi ternyata semuanya salah. Iya kaya, tapi hanya sebentar.Bi Imah mendiamkanku setelah ia memberitahu alamat rumah kakakku. Aku tak menyangka, aku bakalan bertemu dengan kakak kandungku. Dulu aku hanya mendengar cerita saja dari bi Imah bahwa aku memiliki seorang kakak. Tapi keadaan yang memaksa kami untuk berpisah.“Imah, ayo kita pergi sekarang!” Seorang pria menghampiri bu Imah. Aku tidak tahu dia siapa.Pria itu kemudian membukakan pintu mobil untuk bi Imah. Melihat pemandangan itu, mataku terbelalak. Kenapa bisa bi Imah menaiki mobil mewah seperti itu? Apakah mereka sudah menikah? Tubuhku menjadi panas, bukan karena panas demam atau cuaca t