Share

Bab 6 Curiga

"Mas Rendi? Benarkah dia? Mereka mau ngapain keluar malam-malam begini tanpa izin dariku pula? Kenapa sikap mereka begitu mesra," batinku.

Pikiran negatif bermunculan dalam benak. Apakah mereka … tapi kan mereka sepupuan. Aku menggelengkan kepala. Membuang rasa curiga ini, namun tetap saja, pikiran buruk ini mendominasi diri. Andai saja hal itu benar dengan apa yang aku pikirkan. Sungguh aku tak akan pernah memaafkan mereka berdua.

Perutku kembali merasa lapar. Aku pergi ke dapur dan mengambil nasi aking yang aku masak tadi sore. Aku memakannya walaupun mulut ini rasanya tak bernafsu sedikitpun. Mengingat sesuatu hal yang terasa janggal yang baru saja aku lihat. Aku melakukannya hanya untuk mengganjal perut saja.

Selesai makan, aku tak langsung tidur. Aku duduk di sofa ruang tamu, menunggu kepulangan Davina dan mas Rendi. Aku ingin menanyakan mereka dari mana dan habis ngapain.

Ingin rasanya aku menelepon mas Rendi, untuk menanyakan keberadaannya dimana. Aku melirik ponselku, yang terikat oleh karet gelang di atas meja. Aku hendak mengambilnya namun kembali urung. Hal itu aku lakukan berulang kali. Namun pada akhirnya aku pun bertekad meneleponnya.

Aku mencari nomor ponsel mas Rendi. Setelah ditemukan, aku menempelkan ponselku ke daun telinga.

Namun sayangnya, aku lupa kalau aku tidak punya pulsa maupun kuota beberapa hari ini. Rasanya aku ingin berteriak dengan keadaan ini. Aku meremas rambutku kasar.

"Ya Tuhan, ada apa dengan mereka?" Aku membatin.

Tak terasa aku duduk di ruang tamu, jam sudah menunjukkan pukul 00.00 tengah malam. Namun mas Rendi dan Davina belum juga pulang.

Dengan perasaan kesal, aku pun memutuskan untuk kembali ke dalam kamar, menemani Kania tidur.

"Hahaha!"

Aku hampir naik ke atas tempat tidur, urung karena mendengar suara orang sedang tertawa. Apakah itu Davina?

Aku tak jadi tidur, aku kembali ke ruang tamu.

Suara langkah kaki beriringan terdengar mendekat ke arah rumahku.

"Makasih, sayang! Makanannya enak-enak. Besok-besok aku mau lagi makan di situ," ujar seorang perempuan, yang aku duga Davina.

"Inilah saatnya, aku mesti tahu kebenarannya," gumamku.

Sengaja pintu tak aku kunci, supaya Davina dengan mudah membuka pintu ini, dan aku langsung memergoki mereka berdua.

Ceklek

Aku sudah berdiri di depan pintu, saat Davina membuka pintu dari luar.

"Mbak!"

"Habis ngapain kalian berdua? Ada hubungan apa kal …." Aku menghentikan ucapanku.

Davina menatapku heran dan bingung.

"Maaf, ini istrinya kakak sepupu kamu, Dav?"

Apa? Pria itu ternyata bukan mas Rendi. Hanya saja bajunya sama persis dengan milik mas Rendi.

"Ma-maaf, kamu siapa?" tanyaku.

"Mbak kenapa? Ada apa? Sepertinya Mbak ada masalah. Kenalkan, ini pacar aku, Mbak, namanya Anton." Davina memperkenalkan pria itu yang disebut sebagai pacarnya.

Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Rasanya aku tak enak hati, karena telah marah-marah tidak jelas kepada Davina.

"Mbak!" Davina menepuk pundakku.

"Maaf, Mbak lagi banyak pikiran. Jadi Mbak nggak fokus. Maaf sekali lagi," ucapku.

"Nggak apa-apa, Mbak. Mbak bisa cerita sama aku. Kalau ada masalah, jangan dipendam ya, Mbak!" kata Davina.

Aku mengangguk sambil memijat kening.

"Kalau gitu, aku pamit pulang ya, Dav. Mbak Risa, saya pamit pulang, ya! Maaf sudah mengajak Davina keluar malam-malam, tanpa izin dari Mbak. Saya harap Mbak mau memaafkan saya," ucap Anton.

"Tidak apa-apa, maafkan saya juga," ucapku.

Anton pun pergi dan hilang saat berbelok.

"Kamu sama anton jalan kaki? Kok bisa dia tahu alamat rumah ini?" tanyaku.

"Iya kak kami jalan kaki. Dan maaf, aku yang memberitahunya alamat rumah ini. Anton jauh-jauh datang kesini untuk menemui aku. Motor Anton mogok dan sedang diperbaiki di bengkel. Jadi dia nganterin aku jalan kaki deh. Oh iya, mas Rendi sudah pulang belum?" tanya Davina.

"Belum, entah jam berapa dia pulang. Mbak khawatir dengan kesehatannya," jawabku.

"Mbak yang sabar, ya! Aku doain semoga mas Rendi mendapat pekerjaan seperti dulu. Aku juga ingin melihat hidup kalian sejahtera. Aku sayang sama mas Rendi, karena dia adalah kakak sepupu yang sangat baik bagiku. Begitupun dengan Mbak Risa. Saat pertama kita bertemu, aku kagum dan rasa sayang tumbuh dalam diri ini. Aku senang, aku seperti mempunyai kakak perempuan." Davina menggandeng sebelah tanganku.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu membuatku dan Davina serentak menoleh ke arah pintu.

"Biar aku yang buka pintunya," kata Davina.

Ceklek

"Mas Rendi, kok baru pulang sih! Lihat tuh, kasihan Mbak Risa dari tadi nungguin Mas. Lain kali kalau kerja ingat anak istri dong, jangan kayak gini. Kesel kan aku jadinya tahu gini," ujar Davina yang langsung menyembur mas Rendi dengan omelan.

Mas Rendi mengacak kepala Davina. "Hei anak kecil, aku kerja kayak gini juga demi anak dan istri. Kamu bocah tahu apa sih. Orang baru nyampe juga udah kena sembur. Untung cuma omelan, coba kalau pakai api, bisa-bisa aku panggil kamu naga," seloroh mas Rendi.

"Jangan dengerin ocehan dia, sayang. Dia dari dulu memang bawel. Istirahat, yuk! Mas capek sekali," ajak mas Rendi.

Aku pun mengangguk dan masuk ke dalam kamar.

"Ris, Alhamdulillah hari ini Mas dapat uang lumayan banyak. Ini buat beli beras besok, kamu bisa makan enak lagi. Maaf, Mas cuma dapatnya segini setelah seharian kuli. Mas tadi habis kuli panggul, kebetulan banyak sekali yang memakai jasa Mas," ujar mas Rendi.

Aku menerima uang sebesar lima puluh ribu rupiah dari tangan mas Rendi. Alhamdulillah … bagiku ini uang yang banyak. Akan aku gunakan uang ini sebaik mungkin.

"Terima kasih, Mas. Ini banyak, kok. Aku senang," ucapku.

"Sama-sama, sayang. Badan Mas rasanya pegal-pegal. Tapi Mas belum mandi," kata mas Rendi.

"Sana tiduran, biar aku pij4t. Nanti mandinya setelah dipijat saja," sahutku menyuruhnya tiduran.

Mas Rendi tersenyum kemudian membuka bajunya dan menyerahkan bajunya kepadaku.

Aku tersenyum dan hendak segera memijat punggungnya. Namun sebelumnya aku menaruh baju mas Rendi di samping tempat tidur.

"Pijatan kamu enak, sayang. Pijatan penuh cinta dari seorang istri yang sangat tulus. Beruntung sekali Mas bisa menikahi kamu pada akhirnya," ujar mas Rendi memujiku.

Aku tak menyahut, hanya tersenyum tersipu malu mendengar ucapannya.

Aku melanjutkan pijatanku pada punggung mas Rendi dengan penuh semangat. Setelah punggung, akupun beralih pada kedua kakinya.

"Sudah selesai, Mas. Gimana, masih sakit nggak?" tanyaku.

"Sudah nggak sakit lagi. Rasanya tubuh Mas lebih rileks. Terima kasih ya, Ris. Kalau begitu Mas mau mandi dulu. Nggak enak kalau nanti kita tidur, terus kamu mencium bau aneh-aneh," jawab suamiku dengan sedikit candaan.

"Ya sudah gih mandi sana. Aku siapin baju gantinya." Aku beranjak lalu membuka lemari pakaian.

Mas Rendi pergi menuju kamar mandi. Baju kotor mas Rendi masih tergeletak di pinggir tempat tidur. Aku pun dengan cepat mengambil pakaian tidur mas rendi.

Setelah itu aku memungut baju kotor mas Rendi dan segera pergi menuju samping kamar mandi, dimana keranjang tempat cucian kotor berada.

Di ruang tamu, aku sudah tidak mendapati Davina. Kemungkinan dia sudah masuk kamar dan sudah tidur.

Aku segera melangkah menuju samping kamar mandi sembari menenteng baju kotor mas Rendi.

Sampai di tempat cucian, aku membuka tutup keranjang cucian kotor itu. Belum sempat aku menaruh baju itu, aku melihat sesuatu di baju itu. Sesuatu yang membuat nafasku sesak dan tubuh ini bergetar hebat.

"Apa-apaan ini, Mas?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status