Dela ingin bicara sama mas Rendi? Bicara apa?Aku menghampiri mereka berdua, yang tidak menyadari keberadaanku."Mau bicara apa?" tanyaku.Mas Rendi tersentak mendengarku yang muncul dari belakangnya."Nggak ada kok, cuma kemarin Dela hanya menawarkan pekerjaan lagi. Cuma aku nggak enak, aku tidak mau menyusahkannya," jawab mas Rendi.Aku tak habis pikir dengan mas Rendi. Kenapa dia enggan untuk menerima tawaran pekerjaan dari Dela. Jelas-jelas Dela itu sangat baik, aku dan mas Rendi pun sudah lama mengenalnya."Tapi … anu, Ris ….""Dela, maaf … sekali, saya tidak bisa menerima tawaran dari kamu. Saya tidak enak dan saya mohon, jangan paksa saya lagi," mohon mas Rendi dengan kedua tangan terkatup di depan dada.Seketika Dela menatap kecewa ke arah mas Rendi. Aku mengerti, Dela menginginkan yang terbaik untuk keluarga kami. Tapi apalah daya, mas Rendi masih tetap pada pendiriannya.Aku tersenyum kepada Dela, berusaha mencairkan suasana."Mas Rendi ingin mandiri, aku harap kamu mengerti
"Nggak boleh, ya? Ya sudah!" Aku keluar dari kamar Davina."Mbak, em … maksud aku bukan begitu. Jadi ini bedak nggak bisa sembarangan yang pake. Kalau nggak cocok bisa-bisa kulit Mbak jerawatan," jelas Davina."Iya, tidak apa-apa. Mbak mau lihat anak Mbak dulu," sahutku.Aku masuk ke dalam kamarku. Melihat Kania yang terlihat menggeliat dan terbangun dari tidurnya.Aku menggendongnya kemudian menyusuinya. Syukurlah Kania sudah tidak panas lagi. Aku sudah tidak merasa khawatir lagi.Setelah Kania meminum asi, Kania kembali tertidur. Aku pun beranjak dan pergi ke halaman untuk menyiram tanaman bunga-bungaku.Saat tengah fokus menyirami tanaman. Aku kembali teringat akan ucapan Davina tadi. Aku ragu tapi aku juga takut jika itu terjadi.Tak dipungkiri, memang terasa janggal saat Dela menyusul ke rumah dan memaksa mas Rendi untuk bekerja dengannya. Padahal sudah berulang kali mas Rendi menolak tawarannya. Tapi Dela masih bersikeras membujuk suamiku untuk bekerja dengannya.Aku menghempask
"Kenapa? Ada yang aneh kah dengan penampilanku?" tanyaku."Mbak, apa Mbak nggak ngaca? Mbak ini mau ke kondangan apa mau ngeronggeng?" Lagi dan lagi Davina tertawa lepas dan kali ini dia berani menghinaku.Mas Rendi masih bergeming dan masih menatapku."Mas!" sapaku lirih.Tak ada upaya sama sekali mas Rendi untuk menegur Davina yang secara blak-blakan telah menghinaku."Kenapa kamu dandan seperti ini? Apakah ini yang mau kamu tunjukkin sama aku, sampai-sampai aku meninggalkan pekerjaanku?" Pertanyaan mas Rendi terasa menyakitkan yang aku dengar."Aku … aku dandan seperti ini karena aku mau bikin kejutan sama kamu. Aku juga ingin terlihat cantik di mata kamu, Mas. Nggak ada maksud apa-apa," jawabku.Mas Rendi masuk ke dalam kamar. Kemudian kembali lagi dan menghampiriku sambil membawa sesuatu di tangannya."Kamu lihat ini, ngaca kamu!" titahnya memperlihatkan cermin.Aku menatap cermin yang dibawa mas Rendi barusan.Aku terhenyak melihat wajahku yang ternyata memang benar, aku terliha
Sup? Aku teringat akan sup pemberian bu Lela tadi siang. Aku membaringkan Kania ke tempat tidur. Lalu pergi ke dapur untuk memastikan sup milikku masih ada atau tidak.Aku membuka pintu lemari, dan … ternyata penciumanku tidak salah. Davina sudah memakan sup milikku sampai habis tak bersisa seperti ini.Aku menaruh mangkuk sup itu dengan kasar. Rasa lapar dan kesal bercampur menjadi satu.Aku berjalan menghampiri Davina yang sudah berada di ruang tamu bersama mas Rendi."Davina, apa kamu yang menghabiskan semua sup milik Mbak?" tanyaku.Davina menatapku kemudian melempar pandangan ke arah mas Rendi."Nggak kok, Mbak!" sangkalnya."Oh, nggak makan, ya? Tapi sendawa kamu bau sup, dan kebetulan semangkuk sup milikku habis nggak bersisa. Apa kamu mau mengelak lagi?" timpalku.Davina terdiam, sambil terus melirik ke arah mas Rendi."Sudahlah, Ris. Perkara sup saja kamu ributin seperti ini. Davina itu lapar, apa kamu tega melihat saudara Mas kelaparan?" Mas Rendi menimpali.Kelaparan? Apaka
Terik panas matahari menyengat tubuh ini. Kepalaku merasa pusing, entah apa yang terjadi padaku."Perasaan semalam aku ada di rumah. Kenapa aku bisa ada di tengah kuburan seperti ini?" Aku menoleh kesana kemari.Entah jam berapa sekarang ini, yang jelas sinar matahari ini terasa membakar kulit.Aku bangun dan menetralkan penglihatanku. Aku mengumpulkan tenaga, untuk beranjak dari tempat ini.Setelah dirasa tenagaku berkumpul, aku bangun dan berjalan meninggalkan area kuburan ini.Sambil berjalan pulang, aku berusaha mengingat-ingat apa yang telah terjadi padaku."Kenapa, ya?" Aku seperti orang linglung dan terus berjalan.Tenggorokanku mulai merasakan haus. Aku berhenti sejenak, mengurangi rasa lelah dan hausku. Ingin membeli minuman air putih pun, aku tak mempunyai uang sama sekali.Aku duduk di pinggir jalan, setelah keluar dari area kuburan.Pluk!Sesuatu seperti benda berupa kertas digulung mendarat di hadapanku.Aku memungut kertas itu, dan ternyata itu adalah uang. Aku mengangka
"Aku khawatir sama anakku, Del. Bagaimana kalau dia kelaparan?" ujarku merasa sangat khawatir terhadap anakku.Aku lebih mengkhawatirkan keadaan anakku ketimbang diriku sendiri. Kania masih bayi, dia tidak boleh ditinggalkan terlalu lama seperti ini."Kamu jangan khawatir, aku sudah mengirimkan susu formula untuknya. Aku sengaja menyuruh tetangga kamu mengantarkan susu itu. Semoga saja suami kamu memberikan susu itu pada anakmu. Karena kalau aku sendiri yang bawa anakmu dari sana, masalah baru pasti akan muncul. Maaf, Ris, hanya itu yang bisa aku bantu. Tapi nanti malam, kamu bisa menemuinya sekaligus cari tahu tentang perbuatan mereka di belakang kamu. Aku yakin tebakanku nggak salah, karena aku pernah melihat dengan mata kepalaku sendiri, mereka pernah jalan berdua sangat mesra. Bukan seperti saudara yang seperti kamu sebutkan tadi," sahut Dela meyakinkan diriku.Aku mengangguk setuju, nanti malam aku harus membuktikannya. Semoga apa yang diucapkan Dela salah. Karena kalau sampai uc
Bagai disambar petir, tubuh ini berdiri mematung seakan tak bisa bergerak sedikitpun.Rasa kecewa merajai seluruh tubuh ini. Pemandangan yang aku lihat sangat mengiris hati aku.Benar, ternyata benar apa kata Dela. Di depanku mereka hanya sebatas sepupu. Tapi di belakangku, mereka seperti sepasang suami istri.Jahat, mas Rendi begitu jahat padaku. Mereka berdua bermesraan di dalam rumahku, rumah peninggalan orang tuaku. Bahkan dengan beraninya mereka bermesraan di dalam kamarku dekat anakku yang sedang tertidur pulas.Rasa marah membakar diri ini. Tapi berbuat gegabah pun rasanya akan menjadi masalah baru.Mas Rendi menyadari kedatanganku sontak menoleh dengan tatapan terkejut. Sementara Davina, oh … dia langsung terpejam entah dia hanya pura-pura?"Ris!" Mas Rendi terlihat panik.Melihat pemandangan ini, seketika sebuah ide terlintas dalam otakku."Davina kenapa, Mas? Apakah dia pingsan, sampai-sampai kamu memberikan nafas buatan?" tanyaku yang terlihat bodoh."Em … iya, Ris. Davina
"Aw!" Davina terbangun saat aku menampar pipinya dengan sangat kasar."Ups … maaf, Mbak nggak sengaja. Tapi syukurlah kamu sudah sadar." Aku tersenyum menatap Davina.Ekor mataku menatap pergerakan mas Rendi, yang seperti hendak mendekat ke arah kami. Namun urung dan kembali diam di tempat semula."Sakit, Mbak. Pipiku sampai panas begini," cetus Davina memegangi sebelah pipinya."Mbak minta maaf, soalnya ada nyamuk gede hinggap di pipi kamu. Mbak pikir kamu nggak akan kebangun. Soalnya kamu pingsan sangat lama kayak orang mati dan nggak bakalan hidup lagi," selorohku."Mbak jaga ya ucapan Mbak. Lagian aku begini gara-gara nyariin Mbak. Sampai aku abai dengan kesehatanku sendiri," sergah Davina.Dalam hati aku berkata, ‘pret!’"Iya, sekali lagi Mbak minta maaf sudah membuat kamu susah. Nggak sengaja juga Mbak menamparnya. Iya kan, Mas?" ujarku.Mas Rendi tak menjawab dan hanya mengangguk. Setelah melewati perdebatan kecil dengan Davina. Aku memutuskan untuk segera beristirahat dan meny