Share

Enam

Author: shinwira
last update Last Updated: 2022-06-14 09:32:45

Karena merasa makin diabaikan di sini, aku pun memilih untuk pulang saja. Dari pada terus berada di rumah mertuaku dan hanya menjadi obat nyamuk saja. Segera kuajak Dita untuk segera pulang. Untuk apa berlama-lama di sini jika hanya terus memakan hati? Toh ku pun tak bisa mengorek informasi apa pun.

Demi sopan santun, aku menghampiri Ibu mertua untuk berpamitan, tapi ia hanya memandangku sekilas, mengangguk mengiyakan, lalu kembali fokus melanjutkan perbincangannya dengan Arni dan Kak Desi.

Kembali sebuah rasa sedih menyeruak di dada. Kemana ibu mertuaku yang dulu? Yang walaupun kami tak pernah terlalu dekat, tapi ia masih menganggapku ada. Menghargai aku sebagai seorang istri dari anaknya, walau perhatiaannya hanya sebatas memberikan sedikit bingkisan oleh-oleh untuk kubawa pulang ke rumah.

Kuabaikan rasa sakitku. Berjalan keluar rumah berdua saja dengan Dita. Memang aku yang salah, tetap memilih datang padahal jelas mereka tak inginkan kehadiranku.

"Mba Silvi ...." Tiba-tiba sebuah suara menghentikan langkahku. Gegas aku berbalik untuk melihat siapa dan ada apa. Arni berlari kecil menghampiriku.

"Mba pulang karena aku, ya?" tanyanya dengan raut merasa bersalah sekali.

"Enggak kok, memang sudah waktunya pulang saja. Kalau terlalu siang nanti panas. Kasian anakku takut kepanasan," elakku. Karena sejujurnya memang bukan dia yang membuatku memutuskan segera pulang.

"Rumahnya jauh ya, Mba? Naik apa kesini?"

"Lumayan, tapi sudah biasa kok pulang pergi kemari naik motor. Mari Mba Arni, aku pamit duluan," pamitku tak ingin lebih lama berbasa-basi dengan wanita ini.

"Eh ..., tunggu Mba, ini ada sedikit oleh-oleh untuk Mba Silvi, kebetulan aku bawa lebih. Ibu dan Mba Desi juga sudah kebagian. Sepertinya cocok untuk Mba Silvi. Tolong diterima, ya. Mudah-mudahan Mba Silvi suka." Arni tiba-tiba memberikan bingkisan yang dipegangnya sedari tadi, memaksaku untuk mengambilnya.

"Ga usah, Mba, jangan! Gak usah repot-repot. Mba bisa simpan saja, atau berikan lagi pada Ibu atau Mba Desi." Dengan tegas Aku menolak pemberiannya. Rasanya aneh menerima bingkisan dari orang lain yang baru kenal secara sepintas saja seperti ini.

"Loh ..., jangan gitu dong Mba, diterima ya. Anggap saja sebagai hadiah perkenalan dari saya. Saya sedih kalau Mba Silvi menolaknya," bujuknya lagi dengan raut sedih, yang entah kenapa seketika mempengaruhiku.

"Ah ... baiklah kalau begitu, saya terima ya, Mba."

Dengan terpaksa aku pun menerima bingkisan darinya, karena akan semakin tak enak jika aku terus menolak pemberiannya itu.

"Oh ya, Kalau boleh tahu, Mba Arni siapanya Ibu, ya?" Tiba-tiba saja ada keberanian dalam diri untuk menanyakan hal ini.

Mendengar pertanyaanku, Arni tampak terkejut, ia pun tiba-tiba seperti salah tingkah karenanya.

"Emmmh ... siapa ya ..." Arni tampak memikirkan jawabannya yang seharusnya mudah ia jelaskan padaku.

"Silvi, kamu masih di sini?" Belum juga Arni memberikan jawaban, tiba-tiba Ibu datang menghampiri kami.

"Aku kira kamu sudah pulang." Ibu menatapku dengan tatapan tak suka. Seakan akulah yang ingin berlama-lama di sini dan membuat tamunya tertahan. Dari sikap dan tatapannya aku tahu aku harus segera pergi.

"Iya, Bu, ini aku mau berangkat! Terima kasih ya Mba Arni untukku bingkisannya!" tanpa menghiraukan Ibu lagi aku pun berbalik sambil menuntun Dita meninggalkan mereka dan berlalu begitu saja. Tak kujawab lagi salam perpisahan yang Arni teriakan padaku.

****

Sesampainya di rumah, kubuka bingkisan pemberian Arni barusan. Sebuah goody bag kertas berwarna cokelat bertuliskan sebuah merk brand fashion ternama yang berisi sebuah gamis berwarna biru pastel lengkap dengan khimarnya dari salah satu merk yang cukup terkenal, yang kutahu harga-harganya cukup mahal.

Gamis ini sangat pas dengan ukuranku, Mba Arni seperti sudah menyiapkannya sepsial untukku dari sebelumnya. Tapi bagaimna bisa? Bahkan kami baru saja kenal lagipula ukuran tubuhku dengan Ibu juga Kak Desi jauh berbeda. Badan mereka berdua cukup berisi, sedangkan aku kurus dan kecil.

Rasa penasaranku makin menjadi pada sosok wanita cantik itu. Aku pun segera mengetikan nama Arni di sebuah laman pencarian pada ponselku. Ingin memastikan apa Arni benar-benar seorang artis seperti perkiraanku atau bukan. Tapi ternyata tak kutemui satu pun artis yang mirip dengannya. Mungkin dia memang hanya orang kayak yang melakukan perawatan layaknya seorang artis.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Nafkah Sepuluh Juta Perbulan   Lima Puluh Tujuh

    Pak Abi yang masih menggendong Dita pun kemudian menghampiriku. Tersenyum manis sambil menatapku lekat, membuat aku benar-benar merasa malu dan tak bisa menahan senyum di wajahku yang aku tak tahu kenapa.Ia mendekatkan kepalanya pada kepalaku, membuatku makin malu, apa yang akan dilakukannya?"Dita sudah setuju, jadi ... kapan kita resmikan hubungan ini, Silvi?" bisiknya lembut tepat di telingaku yang menimbulkan rasa aneh yang tiba-tiba menggelanyar di hati."Apa Pak Abi kira aku mau?" Aku balik bertanya, karena ada rasa kesal dan juga malu di hati ini."Loh ... bukannya emang mau ya, menikah denganku?" Senyum jahil menghiasi wajahnya."Issh... kapan aku bilang?" Aku memalingkan wajah darinya, berusaha untuk menjaga kesehatan jantungku yang sepertinya mulai kritis ini."Kemarin kan kamu bilang mau menerimaku kalau aku lamar!" Jawabnya penuh percaya diri.Ah ... benar kan, dia mendengar semua pembicaraanku dengan Kak Ge

  • Nafkah Sepuluh Juta Perbulan   Lima Puluh Enam

    Keesokan harinya kami bersenang-senang bersama keluarga di acara gathering yang diadakan perusahaan. Semua orang tampak bahagia bersama orang terkasih mereka sambil menikmati serangkaian acara yang diadakan.Aku bersama Dita pun begitu menikmati acara ini. Momen kebersamaan yang sangat jarang bisa kami dapatkan karena kesibukan dalam pekerjaan yang kadang menyita waktu dan pikiran.Beberapa karyawan ada yang membawa pasangan dan anak mereka. Bagi yang masih single ada yang membawa orang tuanya ada juga yang memilih untuk datang seorang diri karena alasan pribadi.Kulihat di salah satu sisi Kak Gema sedang bercanda bersama ibunya, yang juga budeku. Bude Ani memang beruntung menjadikan Kak Gema anak angkatnya, karena Kak Gema memperlakukan bude layaknya ibu kandung sendiri.Tiba-tiba saja aku jadi rindu kedua orang tuaku terutama bapak yang memang meninggal belum lama ini. Andai mereka masih ada, pasti hari ini akan lebih membahagiakan lagi.

  • Nafkah Sepuluh Juta Perbulan   Lima Puluh Lima

    Sebenarnya ini memang bukan kali pertama kak Gema menyatakan cinta. Dulu, sebelum aku menikah dengan Dio, Kak Gema juga pernah melamarku. "Kak ...." Dengan suara bergetar aku memberanikan diri bersuara."A-aku gak tahu harus mengatakan apa ... tapi ...-""Tapi kalau kamu mau nolak aku juga aku gak apa-apa, kok!" ucap Kak Gema tiba-tiba menghentikan ucapanku."Kak Gema ....""Katakan saja, Silvi. I'm okay! Seenggaknya kalau kamu tolak aku sekarang, aku udah gak penasaran lagi. Mungkin setelah ini aku akan berusaha move on. Mungkin aku mau lamar Nadya, atau Eris," ucapnya sambil sedikit terkekeh, seakan ia sedang bercanda."Kak ... beneran gak apa-apa?" Aku sudah tak tahu lagi apa yang harus kukatakan padanya. Bagiku Kak Gema hanyalah seorang kakak. Dan itu tak akan pernah bisa berubah. Aku menyayanginya, tapi sangat tak mungkin rasa sayang ini akan berlanjut ke pernikahan. Terlalu sulit untuk menerima kenyataan jika harus menika

  • Nafkah Sepuluh Juta Perbulan   Lima Puluh Empat

    Setahun kemudian.Acara gathering dari Tathir Corp, perusahaan tempat aku bekerja bersama Kak Gema dan Pak Abi, dilaksanakan untuk pertama kalinya. Kami semua berencana membawa keluarga masing-masing untuk menginap bersama di sebuah tempat pemandian air panas."Kamu mau bawa siapa, Gema?" tanya Pak Abi. Saat kami sedang makan siang.Awalnya hanya aku sendiri yang makan di ruangan rapat ini. Ruangan yang paling nyaman untuk menyendiri. Tapi tiba-tiba Kak Gema menyusul, begitu juga Pak Abi. Akhirnya kami pun berkumpul bersama.Kulihat Kak Gema menatap sinis sahabatnya itu. "Aku bawa kamu! Karena aku tahu kamu gak akan bawa pasanganmu! Iya, 'kan?" jawab Kak Gema sambil melemparkan sepotong kerupuk pada sosok lelaki di seberangnya itu."Iiih ... ogah!" timpalnya sambil bergidik ngeri.Aku yang sedari tadi memerhatikan mereka hanya bisa tertawa menahan geli."Memang kamu mau bawa siapa, Abi?" tanya Kak Gema balik."T

  • Nafkah Sepuluh Juta Perbulan   Lima Puluh Tiga

    Aku tak bisa menjawab apa pun, memang bagiku cukup aneh Arni ada di kampung itu tanpa memberitahukan apa pun padaku. Padahal sebelumnya ia selalu mengatakan kemana pun dia pergi."Aku ingin meminta bantuanmu untuk mencari tahu kebenarannya. Bisa kan?" tanyanya lagi."Untuk apa aku membantumu? Tak ada untungnya untukku!" elakku. Tak mau mengurusi sesuatu yang tidak penting sama sekali."Demi Silvi, Dita dan juga mertuamu! Walau kalian akan segera bercerai tapi walau bagaimana pun mereka pernah ada di hidupmu! Apa kamu tidak kasihan pada mereka?"Ucapannya sedikit mengusik hatiku. Tapi, tetap saja ini bukan urusanku atau pun dia. Polisi saja tidak melakukan penyelidikan. Kenapa harus aku yang malah repot?"Aku tidak mau membantumu! Aku sudah banyak urusan, tak mau lagi pusing dengan masalah lainnya! Kalau memang Arni bersalah, biar saja polisi yang menindaknya!" elakku."Sekarang sebaiknya kamu pergi saja! Jangan ganggu aku lagi!" Aku pun segera mempersilahkannya untuk pergi. Kulihat Ab

  • Nafkah Sepuluh Juta Perbulan   Lima Puluh Dua

    Sungguh, jika tidak ingat ada anak-anak di sini pasti sudah kuhabisi lelaki tak bertanggung jawab sepertinya itu."Kalau begitu, setidaknya kamu berusaha bekerja untuk menghidupi istri dan anak-anakmu! Atau minimal untuk dirimu sendiri. Bukannya ongkang-ongkang kaki begini!""Hei ..., baru seperti ini saja kalian sudah berisik begini! Apa kalian lupa, dulu aku juga suka memberikan hasil kerjaku untuk menghidupi kakakmu dan orang tuamu itu? Cari kerja itu sulit sekarang! Kalau ada proyek juga aku tidak akan tiduran seperti ini, kok!" Mas Ratno memelototiku penuh emosi.Aku hanya bisa menggelengkan kepala, tak habis pikir akan sikapnya itu. Bisa-bisanya ada lelaki sepertinya yang tidak tahu malu sama sekali.Padahal jika dia serius mau menghidupi keluarganya, dia pasti akan berusaha mencari pekerjaan. Bukan hanya mengandalkan proyek dari orang-orang kampung sini saja.****"Bu, bagaimana kalau kita jual saja rumah ini?" ucap Kak Desi tiba-tiba pada ibu saat aku sedang membantunya memper

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status