Aku hanya tersenyum puas, berhasil membuat kejutan pada Ibu dan Kak Desi.
"Harusnya kamu bilang kalau mau kesini! Jadi kami bisa siap-siap lebih dulu!" Ujar Ibu setelah Dita kuminta untuk kembali duduk tenang di ruang tamu. Raut wajah Ibu dan Kak Desi tampak tak suka akan kedatanganku. Pastinya, karena mereka memang tak mengharapkanku.
"Bagaimana aku bisa bilang, Bu? Ibu dan Bapak kan gak ada ponsel, nomor Kak Desi pun gak aktif lagi," jawabku sambil menata kue-kue yang kubawa di piring agar bisa dinikmati bersama.
"Ada apa perlu apa kemari?" tanya Ibu sambil melipat kedua tangannya di dada, tak sedikit pun menatapku.
"Dita kangen pada Ibu dan Bapak, sudah lama juga kita gak ketemu!"
"Ya sudah kalau begitu, Bapak ada di kamarnya, aku mau keluar dulu sebentar. Kalau mau apa-apa ambil sendiri saja, ya!" ujar Ibu sambil berlalu pergi meninggalkanku begitu saja. Sementara Kak Desi entah berada di mana.
Sepertinya mereka sengaja menghindariku. Jika begini terus bagaimana bisa aku bisa mencari tahu terkait biaya renovasi rumah mereka itu?
Bersama Dita aku pun menuju kamar Bapak dan Ibu ingin bertemu dengan mertua lelakiku. Kulihat Bapak terbaring lemah di atas kasur. Entah kenapa kondisi Bapak seperti ⁵menurun, padahal terakhir bertemu ia masih bisa duduk dan berjalan walau perlahan.
Bapak melambaikan tangan kirinya yang masih berfungsi dengan lemah. Meminta aku dan Dita masuk. Kami pun menyalaminya dengan takzim.
"Pak, bagaimana kabarnya? Dita kangen, nih," ujarku lembut.
Bapak adalah lelaki yang supel dan ceria dulunya. Selalu saja ada guyonan dari perbincangan kami. Tapi sayangnya karena struk yang menimpanya, membuatnya tak bisa bicara dengan jelas kini.
"Kakek ... Dita kangen ...." Dita memeluk Bapak dengan lembut yang di balas dengan usapan di punggungnya oleh Bapak.
Memang Dita sangat dekat dengan Bapak sejak kecil. Hanya Bapak yang mau bermain dan bercanda dengan Dita. Sedangkan Ibu selalu saja hanya perhatian pada anak-anak Kak Desi.
Aku pun menemani Bapak di kamar sambil menceritakan beberapa hal padanya. Sambil sesekali menyuapi kue yang kubawa padanya.
****
Tak berapa lama kulihat Ibu sudah kembali. Gegas aku menghampirinya, berharap bisa berbincang dengannya. Kulihat juga ada Sina dan Sena anak kembar Kak Desi yang berusia enam tahun, aku pun meminta mereka bermain bersama Dita.
Kulihat Ibu membawa beberapa bingkisan kue dari salah satu toko yang sudah terkenal enak dan cukup mahal. Ia tampak sibuk menatanya di piring.
"Wah ... banyak sekali kuenya, Bu. Memangnya mau ada acara, ya?" tanyaku berbasa-basi.
"Tidak kok, hanya untuk stock di rumah saja," jawabnya datar.
Seketika membuat hatiku terasa sakit. Bukannya aku kemari juga membawa kue, tapi kenapa Ibu malah membeli kue-kue juga? Memang kue yang kubawa tak semahal yang di belinya. Tapi ... tidak kah ia bisa menghargai pemberianku? Bahkan kue yang kubawa tak disentuhnya sama sekali.
Ah ... sudahlah, abaikan saja. Tak seharusnya aku pusing memikirkan hal ini. Aku harus fokus pada tujuanku datang kemari.
"Bu, sejak kapan pindah ke rumah ini? Kok ga bilang-bilang? Padahal kan aku bisa bantuin," ujarku berusaha mendapatkan informasi darinya.
"Mendadak waktu itu. Kamu gak bantu juga bisa beres kok," jawabnya ketus.
Ah ... lagi-lagi aku merasa sakit. Kenapa sikap Ibu pun kini terasa berbeda sekali? Kentara sekali jika Ibu sangat tak menyukai kedatanganku.
Padahal biasanya Ibu tak begini. Ia akan menyambut kedatanganku dengan hangat walau kami datang hanya membawa gorengan saja.
Apa ada kesalahan yang kuperbuat sehingga Ibu jadi berubah seperti ini? Apa ada yang salah denganku hingga mereka bahkan merahasiakan tentang renovasi rumah dan tempat tinggal ini?
"Ya ..., alhamdulillah jika sudah selesai pindahannya. Nanti kalau rumah yang direnovasi sudah selesai, beri tahu aku, Bu! Biar nanti aku bisa bantu-bantu," ujarku lagi. Mencoba tetap fokus walau di hati masih berkecamuk berjuta rasa.
"Hmm ...." Ibu hanya bergumam menimpali ucapanku.
"Kira-kira kapan selesainya?" selidikku lagi, semoga aku bisa mengantarkan pembicaraan ini ke arah yang aku inginkan.
"Ya ... sebentar lagi saja, kok," jawabnya singkat, sambil berlalu pergi ke arah ruang tengah.
Sepertinya akan sulit mengorek informasi darinya kini. Ibu tak seperti biasanya yang ceriwis. Dengan terang-terangan ia terus menghindariku kini.
Kulihat Dita asyik bermain dengan si kembar, walau sebenarnya sih dia bermain sendirian saja, karena Sina Dan Sena tampak asyik bermain berdua saja tanpa menghiraukan Dita.
Kulihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul 9.30, berarti sudah hampir dua jam aku di sini dan belum ada informasi berarti yang kudapatkan.
Apa aku harus menyerah kali ini dan hanya berharap dari informasi mengenai keberadaan Mas Dio dari Kak Gema?
Akhirnya aku pun memutuskan akan pulang pukul sepuluh nanti. Memberi kesempatan untuk Dita bermain bersama sepupunya terlebih dahulu.
Ketika sedang menemani Dita bermain kulihat ada sebuah mobil yang amat bagus sekali, yang entah apa namanya tapi mirip seperti yang biasa di pakai oleh artis-artis yang kulihat di acara TV, masuk ke dalam pekarangan rumah.
Seketika Ibu dan Kak Desi bersegera keluar rumah dan menyambutnya. Siapa sebenarnya yang datang? Seingatku mereka tak mempunyai kenalan artis atau pejabat.
Aku hanya memperhatikan dari dalam rumah, ingin tahu juga siapa sebenarnya yang datang. Seorang wanita yang mungkin seusia denganku turun dari mobil tersebut dan berbincang dengan Ibu dan Kak Desi.
Wanita itu tampak sangat cantik persis seperti artis-artis di televisi, atau jangan-jangan dia memang seorangbartis?
Cukup lama mereka saling berbincang di luar, entah apa yang tengah dibicarakannya. Tapi ..., entah hanya perasaan saja atau memang benar, aku merasa mereka tengah membicarakanku. Karena sesekali kulihat mereka mencuri pandang dan melihat ke arahku.
Tak lama mereka pun akhirnya masuk ke dalam rumah. Belum juga mereka dekat, aku sudah dapat menghirup wangi parfum wanita yang sangat kuat dan sepertinya mahal, karena wanginya sangat enak sekali dan jarang aku temui.
"Silvi ..., kenalkan ini Arni!" Kak Desi mendekat dan memperkenalkan tamunya padaku. Gegas aku berdiri untuk menyalaminya.
Wanita bernama Arni itu tersenyum manis sekali sambil mengulurkan tangannya. Benar-benar cantik, rambutnya panjang tergerai, ia memakai setelan kemeja berwarna putih dengan celana berwarna cream yang terlihat sangat lembut sekali.
Kuterima uluran tangan wanita itu, bahkan kulitnya lembut sekali seperti kulit bayi. Sungguh berbeda dengan kulitku yang pastinya terasa kasar karena sering melakukan pekerjaan rumah.
"Halo, kenalkan aku Arni," ucapnya lembut. Bahkan suaranya begitu enak di dengar.
"Halo juga! Ke-kenalkan nama saya Silvi," jawabku tergagap. Masih merasa takjub bertemu wanita secantik dan wangi seperti dirinya.
"Arni, ayo sini kita ngobrol di sana saja!" Ajakan Kak Desi membuatku tersadar dari keterpesonaanku padanya.
"Ayo, Mba, ngobrol bareng-bareng di sana!" ajak Arni dengan ramah dan terasa tulus. Tapi aku sadar diri, tak mungkin aku bergabung dengan mereka. Bahkan Ibu dan Kak Desi pun seperti tak ingin aku berada di sini.
Kulihat ibu menyajikan kue-kue yang tadi dibelinya di meja. Tak ada lagi piring kue yang kubawa yang sebelumnya ada di sana. Ternyata ... untuk Arni-lah Ibu membeli kue-kue bermek itu dan mengabaikan pemberianku.
Kulihat Ibu dan Kak Desi pun begitu akrab dengannya. Mereka pun berbincang sambil tertawa bersama sambil sesekali menikmati kue-kue yang tersaji.
Aku jadi penasaran siapa sebenarnya Arni sampai-sampai Ibu dan Kak Desi memperlakukannya begitu istimewa seperti itu.
Pak Abi yang masih menggendong Dita pun kemudian menghampiriku. Tersenyum manis sambil menatapku lekat, membuat aku benar-benar merasa malu dan tak bisa menahan senyum di wajahku yang aku tak tahu kenapa.Ia mendekatkan kepalanya pada kepalaku, membuatku makin malu, apa yang akan dilakukannya?"Dita sudah setuju, jadi ... kapan kita resmikan hubungan ini, Silvi?" bisiknya lembut tepat di telingaku yang menimbulkan rasa aneh yang tiba-tiba menggelanyar di hati."Apa Pak Abi kira aku mau?" Aku balik bertanya, karena ada rasa kesal dan juga malu di hati ini."Loh ... bukannya emang mau ya, menikah denganku?" Senyum jahil menghiasi wajahnya."Issh... kapan aku bilang?" Aku memalingkan wajah darinya, berusaha untuk menjaga kesehatan jantungku yang sepertinya mulai kritis ini."Kemarin kan kamu bilang mau menerimaku kalau aku lamar!" Jawabnya penuh percaya diri.Ah ... benar kan, dia mendengar semua pembicaraanku dengan Kak Ge
Keesokan harinya kami bersenang-senang bersama keluarga di acara gathering yang diadakan perusahaan. Semua orang tampak bahagia bersama orang terkasih mereka sambil menikmati serangkaian acara yang diadakan.Aku bersama Dita pun begitu menikmati acara ini. Momen kebersamaan yang sangat jarang bisa kami dapatkan karena kesibukan dalam pekerjaan yang kadang menyita waktu dan pikiran.Beberapa karyawan ada yang membawa pasangan dan anak mereka. Bagi yang masih single ada yang membawa orang tuanya ada juga yang memilih untuk datang seorang diri karena alasan pribadi.Kulihat di salah satu sisi Kak Gema sedang bercanda bersama ibunya, yang juga budeku. Bude Ani memang beruntung menjadikan Kak Gema anak angkatnya, karena Kak Gema memperlakukan bude layaknya ibu kandung sendiri.Tiba-tiba saja aku jadi rindu kedua orang tuaku terutama bapak yang memang meninggal belum lama ini. Andai mereka masih ada, pasti hari ini akan lebih membahagiakan lagi.
Sebenarnya ini memang bukan kali pertama kak Gema menyatakan cinta. Dulu, sebelum aku menikah dengan Dio, Kak Gema juga pernah melamarku. "Kak ...." Dengan suara bergetar aku memberanikan diri bersuara."A-aku gak tahu harus mengatakan apa ... tapi ...-""Tapi kalau kamu mau nolak aku juga aku gak apa-apa, kok!" ucap Kak Gema tiba-tiba menghentikan ucapanku."Kak Gema ....""Katakan saja, Silvi. I'm okay! Seenggaknya kalau kamu tolak aku sekarang, aku udah gak penasaran lagi. Mungkin setelah ini aku akan berusaha move on. Mungkin aku mau lamar Nadya, atau Eris," ucapnya sambil sedikit terkekeh, seakan ia sedang bercanda."Kak ... beneran gak apa-apa?" Aku sudah tak tahu lagi apa yang harus kukatakan padanya. Bagiku Kak Gema hanyalah seorang kakak. Dan itu tak akan pernah bisa berubah. Aku menyayanginya, tapi sangat tak mungkin rasa sayang ini akan berlanjut ke pernikahan. Terlalu sulit untuk menerima kenyataan jika harus menika
Setahun kemudian.Acara gathering dari Tathir Corp, perusahaan tempat aku bekerja bersama Kak Gema dan Pak Abi, dilaksanakan untuk pertama kalinya. Kami semua berencana membawa keluarga masing-masing untuk menginap bersama di sebuah tempat pemandian air panas."Kamu mau bawa siapa, Gema?" tanya Pak Abi. Saat kami sedang makan siang.Awalnya hanya aku sendiri yang makan di ruangan rapat ini. Ruangan yang paling nyaman untuk menyendiri. Tapi tiba-tiba Kak Gema menyusul, begitu juga Pak Abi. Akhirnya kami pun berkumpul bersama.Kulihat Kak Gema menatap sinis sahabatnya itu. "Aku bawa kamu! Karena aku tahu kamu gak akan bawa pasanganmu! Iya, 'kan?" jawab Kak Gema sambil melemparkan sepotong kerupuk pada sosok lelaki di seberangnya itu."Iiih ... ogah!" timpalnya sambil bergidik ngeri.Aku yang sedari tadi memerhatikan mereka hanya bisa tertawa menahan geli."Memang kamu mau bawa siapa, Abi?" tanya Kak Gema balik."T
Aku tak bisa menjawab apa pun, memang bagiku cukup aneh Arni ada di kampung itu tanpa memberitahukan apa pun padaku. Padahal sebelumnya ia selalu mengatakan kemana pun dia pergi."Aku ingin meminta bantuanmu untuk mencari tahu kebenarannya. Bisa kan?" tanyanya lagi."Untuk apa aku membantumu? Tak ada untungnya untukku!" elakku. Tak mau mengurusi sesuatu yang tidak penting sama sekali."Demi Silvi, Dita dan juga mertuamu! Walau kalian akan segera bercerai tapi walau bagaimana pun mereka pernah ada di hidupmu! Apa kamu tidak kasihan pada mereka?"Ucapannya sedikit mengusik hatiku. Tapi, tetap saja ini bukan urusanku atau pun dia. Polisi saja tidak melakukan penyelidikan. Kenapa harus aku yang malah repot?"Aku tidak mau membantumu! Aku sudah banyak urusan, tak mau lagi pusing dengan masalah lainnya! Kalau memang Arni bersalah, biar saja polisi yang menindaknya!" elakku."Sekarang sebaiknya kamu pergi saja! Jangan ganggu aku lagi!" Aku pun segera mempersilahkannya untuk pergi. Kulihat Ab
Sungguh, jika tidak ingat ada anak-anak di sini pasti sudah kuhabisi lelaki tak bertanggung jawab sepertinya itu."Kalau begitu, setidaknya kamu berusaha bekerja untuk menghidupi istri dan anak-anakmu! Atau minimal untuk dirimu sendiri. Bukannya ongkang-ongkang kaki begini!""Hei ..., baru seperti ini saja kalian sudah berisik begini! Apa kalian lupa, dulu aku juga suka memberikan hasil kerjaku untuk menghidupi kakakmu dan orang tuamu itu? Cari kerja itu sulit sekarang! Kalau ada proyek juga aku tidak akan tiduran seperti ini, kok!" Mas Ratno memelototiku penuh emosi.Aku hanya bisa menggelengkan kepala, tak habis pikir akan sikapnya itu. Bisa-bisanya ada lelaki sepertinya yang tidak tahu malu sama sekali.Padahal jika dia serius mau menghidupi keluarganya, dia pasti akan berusaha mencari pekerjaan. Bukan hanya mengandalkan proyek dari orang-orang kampung sini saja.****"Bu, bagaimana kalau kita jual saja rumah ini?" ucap Kak Desi tiba-tiba pada ibu saat aku sedang membantunya memper