Tangannya yang gemulai menenteng dua buah air mineral yang dimasukkan dalam satu kantor plastik. Tak lupa ia mampir ke sebuah toko roti yang terletak di sebelah mini market yang baru saja ia sambangi.Meli memasukkan beberapa roti tanpa memilih rasa atau melihat harga yang tertera. Ia langsung meletakkan nampan yang berisi aneka roti dan minta kasir segera menghitungnya. Ia ke luar dari dari toko roti itu dengan tergesa. Lalu, mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan sedang menuju ke sebuah kontrakan padat penghuni.Meli memarkirkan motornya tepat di depan sebuah kontrakan yang pintunya sudah terbuka. Alina ada di dalam sana sedang meletakkan pakaian dalam lemari plastik.“Makan dulu. Lo pasti lapar.”Meli meletakkan bawaannya di atas meja. Alina tidak menyahut, tetapi bergerak mendekati meja dan duduk di kursi, membuka bungkusan plastik yang berisi roti, kemudian melahapnya.“Jangan bilang mas Fatih, juga Rey. Lo satu-satunya sahabat yang Gue percayai.” Alina berucap dengan mulut
“Nggak usah, ma. Aku baru saja makan.”“Oh. Mau menunggu di sini? Biar mama bikinkan kopi.” Tanya Meri lagi.“Di sini saja.”Fatih duduk pada sofa ruang tamu layaknya seperti tamu. Padahal jika mau menuntut, rumah beserta isinya ini adalah miliknya.Ia menelisik setiap sudut yang tampak terlihat dengan perasaan perih. Di dalam rumah ini, dua wanita yang paling berarti dalam hidupnya pernah tinggal. Alina dan ibu kandungnya.Sejenak bernostalgia dengan mengingat beberapa hal penting yang terjadi di rumah ini. Tiba-tiba lamunannya teralihkan oleh suara mobil yang berhenti.Helena ke luar dari mobilnya seorang diri. Ia bergegas masuk karena sudah mengetahui Fatih datang lebih dulu. Mobil mereka saling berjajar.“Hai,” sapa Helena.“Hai juga, “ balas Fatih. Helena langsung duduk di sampingnya.“Ada masalah apa ingin menemuiku?” Rupanya Helena sudah tak sabar mendengar tujuan utama Fatih menemuinya.“Helen, sudah datang. Mau minum apa?” Tiba-tiba Meri muncul dengan membawakan kopi buat Fat
Pagi-pagi sekali Fatih sudah berangkat ke kantor. Ia sengaja berangkat lebih awal demi mengorek keterangan tentang keberadaan Alina pada Meli.Ia sudah berdiri di lobi. Padahal hari masih pagi. Hanya ada Jono dan dua sekuriti lainnya di depan. Mereka sedang bercakap-cakap. Merasa sendirian, Fatih pun mendekati mereka.“Pagi, Pak,” sapa Jono.“Pagi.”“Bapak butuh bantuan?” tanya Kosim, sekuriti yang lainnya.“Oh, nggak,” balas Fatih. Mereka tampak keheranan sebab Fatih datang sepagi ini.Sementara itu, matahari mulai merangkak naik. Menyapu dedaunan yang basah oleh embun. Satu dua karyawan mulai berdatangan. Mereka langsung memandang segan atasannya yang berdiri di luar.Kedatangan satu karyawan menyita perhatiannya. Fatih langsung bersiap memanggil Meli ketika wanita itu mulai memasuki lobi.“Meli,” panggil Fatih. Meli menoleh, perasaannya langsung resah ketika Fatih mendekatinya. Ia berharap atasannya itu hanya menanyakan pekerjaan.“Iya, Pak.”“Nanti pulang kantor, jangan ke mana-ma
Seorang warga akhirnya mengemudikan mobil Rey. Ia membawa Alina dan Rey ke rumah sakit terdekat. Rey tak henti-hentinya mendengungkan takbir dan istighfar di telinga Alina secara bergantian. Ia sangat panik karena sahabatnya itu tidak merespon. Darah yang mengalir membuatnya berada dalam ketakutan yang luar biasa.Baru kali ini Rey menghadapi peristiwa seperti ini di depan mata. Bagiamana tidak mungkin merasa dihinggapi kekhawatiran yang luar biasa, tak satupun panggilannya di respon Alina. Sementara bibirnya mulai pucat dan jemari tangannya sangat dingin.Berulang-ulang ponsel dalam sakunya berdering. Ia abaikan demi berusaha membangunkan Alina.Sepuluh menit kemudian, akhirnya sampai di rumah sakit. Hujan mulai reda, mempermudah gerak Rey dan beberapa tenaga medis langsung cekatan membawa Alina ke ruang UGD.Rey tidak memperdulikan tubuhnya yang menggigil kedinginan, jugapakaian yang basah seluruhnya. Ia mondar-mandir di depan pintu. Kembali ponselnya berdering. Ia ingat Fatih. Mung
“Maaf atas kebodohanku. Maaf.” Air mata masih mengalir, merasai sakitnya kenyataan yang menghantam rumah tangganya.“Mas,” panggil Rey dari samping. Rey berdiri dan terlihat lebih baik dari sebelumnya. Ia sempat masuk angin karena lama mengenakan pakaian basah.“Mas, cari makan dulu. Biar aku yang menunggu Alina.”Fatih menggeleng. “Terima kasih, aku akan menunggu sampai Alina bangun,” tolak Fatih.“Mas harus makan supaya bisa lebih lama menjaga Alina. Tak jauh dari sini ada kantin, nanti kalau Alina bangun, aku panggil,” ucap Rey meyakinkan.Fatih terdiam sejenak sebelum mengiyakan. “Oke, aku titip Alina sebentar.”Rey mengangguk bersamaan dengan gerak tubuh Fatih yang menjauhi kursi. Rey menempati posisi Fatih tadi. Ia memandangi wajah Alina dengan perasaan bersalah.“Seandainya Gue nggak berbohong ke Belanda, mungkin kejadiannya tak akan seperti ini. Maafin Gue.”Ia merutuki kebodohanya. Alina tidak mungkin mendatangi Meli seandainya ia masih ada di sini. Alina pasti menghubunginya
Fatih menaburkan bunga di atasnya. Berdoa sejenak sebelum pergi meninggalkan nisan buah cintanya dengan Alina. Sejujurnya tak kuat membiarkan Boy sendirian di sana, tapi hidup harus dijalani. Ada banyak hal yang mesti ia selesaikan. Terutama masalahnya dengan Alina.Merintis jalan yang pernah ia lalui bersama Alina tidak bisa dianggap mudah. Kesalahan demi kesalahan yang terjadi berawal karena Fatih tak menyadari betapa sesuatu harus dipertahankan dalam setiap kondisi apapun.Perjalanan bersama Alina yang sempat kandas, kemudian bersemi kembali membuatnya merasa menemukan arti kehidupan yang sesungguhnya. Kehilangan dalam dua waktu yang berbeda membuatnya menyadari bahwa hanya Alina yang bisa membuat hatinya hidup.Dalam hati tetap berontak, kenapa di saat ia mulai terbiasa dengan kenyamanan bersama Alina, ada saja badai yang menghantam biduk rumah tangganya. Ia sendiri tetap berpegang teguh pada hati yang sudah terlanjur berlabuh pada sosok Alina. Tak ingin mengganti dengan yang lain
"Mas tak ada alasan untuk tidak melepasku.""Al!""Harapanmu sudah tidak ada. Boy sudah pergi bersama kepercayaanku."Fatih melepaskan genggamannya seketika setelah mendengar Alina berucap dengan tegas."Aku sudah berusaha berubah. Maaf jika perubahanku tidak seperti keinginanmu. Aku ingin tetap bersamamu, Al." Fatih berucap, lebih tepatnya mengiba. Menjadikan Alina satu-satunya adalah sebuah tujuan hidupnya. Ia tak menyangka, jika akan ada sesuatu hal yang menjadikan tujuannya mengabur di mata Alina."Aku tidak sedang berbohong, Al. Apa pun yang kulakukan setelah peristiwa rujuk itu, hanya punya tujuan satu, yaitu kamu." Fatih masih berusaha menjelaskan. Namun tampaknya, Alina memang tak perduli lagi.Pipi yang masih basah dan tangan tak henti-hentinya beradu usap dengan pipinya. Entah kenapa ucapan demi ucapan Fatih malah seperti membawa sayatan-sayatan kecil. Disaat kejujuran seorang Fatih harus dipertaruhkan, justru Alina menginginkan pria itu berhenti berjuang. Dengan begitu,
Rey menunggu hingga air mata itu berhenti menetes dan isaknya tak lagi terdengar. Beberapa saat, ia hanya mendiamkan Alina. Kali ini, ia tak bisa membenarkan tindakan Alina. Sebab, dirinya sendiri tidak ingin melukai Fatih dan mamanya. Biarlah Alina saja yang kecewa, pikir Rey. Dari pada Fatih berpikir negatif padanya, pun mamanya sendiri akan tersinggung jika sampai Rey mau mengabulkan permintaan Alina untuk tetap di berdiam di sana, menemaninya."Besok Gue ke sini. Sekarang, Lo istirahat. Gue balik dulu."Rey menepuk pelan lengan Alina sebelum pergi."Mas," panggil Rey saat berada di luar. Fatih sedang berbincang dengan mamanya. "Aku pamit pulang dulu.""Iya hati-hati. Hati-hati, Tante," balas Fatih."Iya, jaga Alina, ya?" Mama Rey berpesan, lalu mengajak Rey segera pergi.Fatih sendiri langsung memasuki ruangan. Mendapati Alina menatap ke luar jendela. Di mana terlihat rintik hujan yang perlahan cipratannya membasahi kaca. Fatih bergerak mendekati jendela, menutupnya dengan tetap