Alina memasukkan pakaian ke dalam koper. Sebagian masih ia simpan di lemari karena tidak mungkin dibawa sekaligus.Tanpa disadari, seseorang berdiri di depan pintu yang sudah tertutup.“Astagfirullah!” kejutnya. “Mas Fatih. Bikin kaget aja. Salam dulu kek,” rutuk Alina.Fatih terkekeh melihat keterkejutan Alina.“Semangat banget yang mau pindahan. Sampai-sampai mas mengucapkan salam gak dengar.”Fatih berjalan, lalu duduk di tepi ranjang. Ia masih rapi dengan koko dan peci. Sebab, baru saja pulang dari jumatan.“Gak dengar, Mas. Aku tuh, masih kepikiran Rey. Habis tamu-tamu pergi, dia juga ngilang gitu aja.” Alina menghentikan aktivitas setelah kopernya penuh.“Palingan menemui Anisa,” balase Fatih.“Mudah-mudahan mereka baik-baik saja. Oya, jam berapa kita pamitannya?”“Sekarang, dong.”Alina menatap, ingin protes.“Kapan-kapan kan bisa ke sini lagi. Rey pasti maklum kalau kita pergi tanpa pamit sama dia. Lagian ....” ucapan Fatih menggantung membuat Alina didera rasa penasaran.“Lag
Fatih mendorong pintu apartemen dengan satu tangan, sedangkan satunya lagi menyeret koper. Ia berdiri di sisi pintu. Tatapannya keluar, menunggu Alina yang masih berdiri mematung.“Buruan masuk. Kejutannya sudah menunggu di dalam.”Alina tersenyum manis, lalu masuk melintasi Fatih tanpa berkata apa-apa.“Mana kejutannya.”Belum sempat menoleh untuk menuntut jawaban, Fatih sudah menutup matanya dari belakang.“Eh, kenapa ditutup sih.”“Namanya juga kejutan,” ucap Fatih. Dengan cepat mendorong tubuh Alina sambil tetap menutup matanya.Fatih menghadapkan Alina ke satu tempat.Alina langsung membuka mata. Di hadapannya terbentang ranjang tanpa kelambu. Kelopak mawar merah bertebaran di atas seprai putih. Ada dua bantal dan dua gulung teronggok di sana.“Ini kejutannya?” tanya Alina sembari menoleh Fatih yang baru saja meletakkan dagu di pundaknya..“Bukan” jawabnya singkat. Ia menoleh, membuat hidungnya yang bangir menyentuh pipi Alina.“Mana? Kayaknya memang ini surprise-nya. Kemarin pas
"Ini uang gajiku selama sebulan penuh, Kuberikan semuanya tanpa sisa. Janji jangan meminta lagi. Sebab, ini nafkah terakhir yang aku berikan. Maaf Alina, aku menjatuhkan talak atas dirimu saat ini juga."Tak ada yang bisa menarik kata-kata itu di tengah suasana yang sebelumnya terlihat biasa saja. Meluncur bak anak panah terlepas dari busurnya. Alina, tak mampu lagi menopang bobot tubuhnya. Semula duduk di tepi ranjang, perlahan meluruh ke lantai. "Tapi kenapa, Mas? Dosa sebesar apa yang sudah aku lakukan?"Air mata terus mengucur tiada henti. Ia tak menyangka jika lelaki yang ia bangga-banggakan dihadapan teman-teman telah memberi jalan hidup tanpa pilihan. Tanpa sadar, amlop yang ada di tangannya terlepas. Siapa sangka jika gaji yang diberikan oleh Fatih merupakan nafkah terakhir."Tidak ada, Al. Tak ada yang salah darimu. Hanya saja, aku tidak tega melihat kamu dan ibuku terus bertengkar setipa harinya.""Hanya karena itukah kamu menjatuhkan talak? Masalah sepele seperti itukah?"
"Kamu yakin, apartemen ini tidak diketahui Alina?" tanya Fatih sesaat setelah meletakkan koper di sudut ruangan."Katanya terserah mau dicarikan apartemen seperti apa? Aku jamin, Alina tidak akan tau," balas seorang wanita."Oke, yang jelas, kamu jangan sering-sering datang kemari. Mana tau Alina tiba-tiba menemukan tempat ini.""Tenang saja, Sayang. Alina itu temannya sedikit. Tidak banyak tau tentang tempat persembunyian semacam ini.""Baguslah kalau kamu yakin.""Aku pulang dulu. Keperluanmu sudah aku siapkan. Ada banyak makanan di dalam kulkas. Kalau bosan, bisa pesan makanan cepat saji.""Terima kasih, Sayang.""Besok, aku datang ke sini sepulang dari kerja." Usai berucap, Fatih dihadiahi sebuah kecupan mesra pada pipi kirinya, kemudian memberikan pelukan hangat, sesaat sebelum bergegas meninggalkan apartemen.***Tidak ada yang lebih menyakitkan selain menjalani sesuatu tanpa adanya pilihan. Setidaknya, itu yang dirasakan oleh Alina. Setelah jatuh talak di malam lalu, hari-hari
Alunan musik yang berasal dari handphone membuat pendengaran terganggu. Tak berniat membuka, wanita itu melemparkan begitu saja ke hadapan seseorang yang baru saja ke luar dari kamar mandi."Dibalas kenapa, sih? Biar dia sedikit lega," ucapnya dengan bibir mengerucut. Anita mendadak jengah dengan suara handphone milik Fatih."Kan sudah kubilang, biarkan saja, abaikan pesannya. Nanti juga bakal bosan sendiri.""Dia masih mencarimu.""Abaikan!" ucap Fatih. Ia duduk meraih handphone yang semula di lemparkan di atas kasur, "Biar dia puas, kubuka pesannya, tapi tidak akan kubalas." Fatih membuka pesan yang beruntun itu, hanya sekilas tanpa membacanya."Seharusnya, suruh ibu saja untuk memberitahu. Dengan begitu 'kan, Alina tidak perlu lagi mengejar-ngejar kamu.""Alasanku sudah jelas, kalaupun Alina masih berusaha mencari, anggap saja karena dia sedang rindu.""Berarti ... kamu akan benar-benar meninggalkannya, kan??" Fatih mengangguk pasti. Anita memapas jarak. Kini duduk di samping Fat
Fatih membanting pintu ruang kerja dengan kasar. Ia tak menyangka jika Anita akan menempatkan dirinya di posisi yang sulit. Berpisah dengan Alina jelas bukan keputusan yang mudah, kemudian beralih pada Anita juga bukan keputusan yang mudah jika berpikir waras, dan ia abai akan hal itu. Bagaimanapun, Anita dan Alina adalah saudara, walaupun bukan kandung.*Menjalani rutinitas di luar kebiasaan, jelas bukan hal mudah bagi Alina. Terlebih, ia tidak memiliki pengalaman kerja sebelumnya. Dengan ijazah SMA yang ia punya, Alina hanya berada di posisi yang tidak terlalu diperhitungkan di perusahaan manufaktur yang di pegang Fatih."Capek," keluh Alina saat berdiri di antara karyawan yang lainnya."Wajah Lo pucat, Al. Sakit, ya?" tanya Dela sambil menggeser kursi, mendekati Alina."Nggak, tuh. Pusing sedikit, sih.""Bener, pucat. Duduk aja, Al." Meli menimpali."Biasa, kurang istirahat mungkin. Gak enak duduk sendiri.""Habis ini, kita ada diperkenalkan dengan pemimpin divisi yang baru. Kabar
Jika hidup seorang diri, maka akan mudah bagi Alina untuk melanjutkannya tanpa menoleh ke belakang. Namun, di rahimnya kini telah menetap janin buah cintanya dengan Fatih. Suka atau tidak, ia ingin agar Fatih mengetahui bahwa ada generasi penerusnya.Alina berjalan gontai menuju parkiran motor. Tubuh yang lemah akhir-akhir ini, membuatnya ingin segera pulang. Ia mulai mengeluarkan motor, tetapi pandangannya tertaut pada seorang yang juga tengah berada di parkiran. Bedanya, ia berada di parkiran mobil.Alina terus menatapnya, ingin sekali berlari, memeluk dan menumpahkan kerinduan, tetapi tertahan oleh sebab ketidakberdayaan. Ia hanya mampu memandang sosok itu hilang dalam badan besi kendaraannya. Tanpa mampu di cegah, Alina memutar motornya dan mengikuti arah ke mana mobil hitam itu melaju.Rasa bersalah menyelimuti diri karena tidak mampu menjadi bagian penting dalam hidup Fatih. Rasa rindu akan sentuhan-sentuhan lelaki itu, membuat rasa penasaran menuhi isi kepalanya. Tentang alasan
Pagi yang cerah, Alina mengunci pintu kontrakan dengan senyum mengembang sempurna.“Bismillah. Ini awal kehidupan kita, Nak. Kita berdua saja. Tanpa mereka, kita bisa bahagia.”Sejak semalam, ia sudah mewanti-wanti dirinya agar tidak lagi tergantung pada Anita maupun Fatih. Ia sudah membuat beberapa agenda untuk hari ini, ia ingin hidupnya lebih tertata rapi.Alina menjalankan motor dengan santai, sambil bermunajat tentang apa-apa yang menjadi keinginan kecilnya. Tiba-tiba, motor matic yang ia kendarai berhenti perlahan dan mesin mati.“Ya Allah, kenapa ini?”Berkali-kali mencoba menghidupkan mesin, tetapi tetap sama. Motornya tetap mati. Ia mendorong ke pinggiran agar tidak mengganggu pengendara lain yang melintas.“Aduh, bisa telat ke kantor ini.” Ia menggumam sendiri.“Ah, Mbak Nita.” Ia mengeluarkan handphone dan mencari nomor wanita itu di daftar panggilan. Nama Anita terpampang paling atas, menandakan bahwa Anita selalu ia hubungi.Alina hendak memencet nama itu, tapi urung. Men