“Aku meluruskan ucapan tante Meri. Kalau nggak percaya, lihat ini.” Helena mengeluarkan ponsel dan menyodorkan sebuah foto ke hadapan Alina.“Nggak mungkin. “ Alina melihat foto Fatih terpampang jelas. Ia sedang menandatangani sebuah kertas di atas sebuah map. Di hadapan Fatih, Wardana sedang duduk di kursi roda.“Papa sudah berhasil membujuk Fatih untuk mengurus harta kami. Untuk itu, Fatih disuruh menikahiku secara siri dulu karena Fatih tidak ingin menyakiti hatimu. Fatih terlalu lamban, jadi aku yang mengambil alih kejujuran ini.”“Bohong.” Alina mulai terisak, matanya sudah menggenang.“Untuk apa aku bohong.”“Bilang kalau semua ini nggak benar, Bu.” Alina memandang ibu mertuanya.“Sayangnya semua yang diucapkan Helena benar, Al. Mama Cuma membantu Helen untuk membicarakan hal ini padamu. Kamu nggak harus berpisah kok. Fatih akan tetap menjadi suamimu. Hanya saja, mungkin nanti akan membagi waktu untukmu dan untuk Helena.”“Aku nggak percaya kalian.”“Kamu nggak harus percaya pad
Alina membalas tatapan Fatih. Ia menyeka air mata, tanpa memperdulikan tangan Fatih yang masih membingkai wajahnya.“Sayangnya, aku tidak percaya lagi. Kamu sudah menyembunyikan banyak hal diriku tanpa mau berterus terang. Kamu membohongi seakan-akan aku ini orang lain.”“Al—““Sekarang, aku loloskan keinginanmu Sekalian jadikan aku orang lain, Mas, agar aku tidak sakit hati karena menghadapi kenyataan sepahit ini.”“Alina Sayang—““Kamu menyembunyikan Helena dan hubungan kalian.”“Aku tak punya hubungan apa-apa de—““Kamu menyembunyikan perjanjian dengan pak Wardana. Kamu menyembunyikan banyak hal—““Dengarkan aku dulu, Al—““Kamu mau menikahinya di belakangku.”“Itu nggak benar.”“Kamu menghianatiku dua kali dengan goresan yang sama dan di tempat yang sama. Apa kamu pikir aku tidak punya rasa sakit, hah?”“Al—““Kamu juga menyembunyikan Mbak Nita.”“Tuduhan apa lagi ini?”“Kamu berhianat di belakangku, Mas!”“Hubunganku sudah selesai dengan Anita.”“Tapi kamu masih melindunginya. Ka
Tak banyak yang ia lakukan di kantor. Beberapa pekerjaan tinggal menyelesaikan sisa pekerjaan kemarin, sehingga ia tidak terlalu sibuk.Usai menggarap pekerjaan di depan layar, ia mengusap ponsel guna menghubungi seseorang yang akhir-akhir ini sering ia hubungi.“Halo, Pak,” sapa orang itu.“Iya. Bagaimana, apakah pekerjaanmu sudah selesai? Soalnya, aku mau membawa istriku ke sana.” Fatih berucap sambil menggeser kursinya hingga menjauhi meja. Ia meraih sebuah foto sebuah rumah yang tergeletak di lemari.“Siap, Pak. Lagipula sudah finishing, kok. Tinggal melengkapi aksesoris saja. Ada lagi yang mau ditambahkan?”“Warna catnya sama persis seperti di gambar, kan? Istri saya suka warna itu soalnya.”“Sip, beres, Pak. Setelah ini, saya kirimkan penampakan terkini.”“Oke, saya tunggu. Oh, ya jangan lupa. Kalau jadi, saya mau ajak istri melihatnya, siang atau sore nanti.”“Oke, siap, Pak. Walaupun belum selesai, tapi sudah layak di pamerkan kok.” Lelaki itu menyertakan sebuah tawaan diakhir
“Karier yang bagus,” Fatih memberi tanggapan singkat.“Kamu tak ingin memberikan masukan apa ... begitu?”“Maksud Bapak?”“Kamu tak mengerti maksudku?”Fatih berpikir sejenak, memandang keduanya secara bergantian. Kemudian menunduk seperti merasa bersalah.“Maaf, Pak, saya tidak bisa.” Fatih menggumam pelan, tetapi d tampak terdengar sangat jelas di indera pendengaran seorang Wardana, sekalipun mulai uzur.“Sudah saya tebak.”“Pa—“ Helena hendak protes, tetapi Wardana segera mengangkat tangan agar putrinya tidak melanjutkan bicaranya.“Saya sudah beristri dan saya tidak bisa menyakiti,” aku Fatih.“Aku tidak menyuruhmu untuk berpisah dengannya. Hanya berbagi waktu saja. Toh, dia pun nantinya yang akan merasakan hidup enak, berkecukupan dan masa depan anaknya jadi terjamin.”“Maaf pak, tapi istri saya bukan tipe wanita seperti itu. Maaf sekali lagi.”“Pa! Kemarin bukan begini janji papa.” Helena terlihat mengusap pipinya, berulang kali.“Helen, jaga harga dirimu!” Bentak Wardana, “untu
Tangannya yang gemulai menenteng dua buah air mineral yang dimasukkan dalam satu kantor plastik. Tak lupa ia mampir ke sebuah toko roti yang terletak di sebelah mini market yang baru saja ia sambangi.Meli memasukkan beberapa roti tanpa memilih rasa atau melihat harga yang tertera. Ia langsung meletakkan nampan yang berisi aneka roti dan minta kasir segera menghitungnya. Ia ke luar dari dari toko roti itu dengan tergesa. Lalu, mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan sedang menuju ke sebuah kontrakan padat penghuni.Meli memarkirkan motornya tepat di depan sebuah kontrakan yang pintunya sudah terbuka. Alina ada di dalam sana sedang meletakkan pakaian dalam lemari plastik.“Makan dulu. Lo pasti lapar.”Meli meletakkan bawaannya di atas meja. Alina tidak menyahut, tetapi bergerak mendekati meja dan duduk di kursi, membuka bungkusan plastik yang berisi roti, kemudian melahapnya.“Jangan bilang mas Fatih, juga Rey. Lo satu-satunya sahabat yang Gue percayai.” Alina berucap dengan mulut
“Nggak usah, ma. Aku baru saja makan.”“Oh. Mau menunggu di sini? Biar mama bikinkan kopi.” Tanya Meri lagi.“Di sini saja.”Fatih duduk pada sofa ruang tamu layaknya seperti tamu. Padahal jika mau menuntut, rumah beserta isinya ini adalah miliknya.Ia menelisik setiap sudut yang tampak terlihat dengan perasaan perih. Di dalam rumah ini, dua wanita yang paling berarti dalam hidupnya pernah tinggal. Alina dan ibu kandungnya.Sejenak bernostalgia dengan mengingat beberapa hal penting yang terjadi di rumah ini. Tiba-tiba lamunannya teralihkan oleh suara mobil yang berhenti.Helena ke luar dari mobilnya seorang diri. Ia bergegas masuk karena sudah mengetahui Fatih datang lebih dulu. Mobil mereka saling berjajar.“Hai,” sapa Helena.“Hai juga, “ balas Fatih. Helena langsung duduk di sampingnya.“Ada masalah apa ingin menemuiku?” Rupanya Helena sudah tak sabar mendengar tujuan utama Fatih menemuinya.“Helen, sudah datang. Mau minum apa?” Tiba-tiba Meri muncul dengan membawakan kopi buat Fat
Pagi-pagi sekali Fatih sudah berangkat ke kantor. Ia sengaja berangkat lebih awal demi mengorek keterangan tentang keberadaan Alina pada Meli.Ia sudah berdiri di lobi. Padahal hari masih pagi. Hanya ada Jono dan dua sekuriti lainnya di depan. Mereka sedang bercakap-cakap. Merasa sendirian, Fatih pun mendekati mereka.“Pagi, Pak,” sapa Jono.“Pagi.”“Bapak butuh bantuan?” tanya Kosim, sekuriti yang lainnya.“Oh, nggak,” balas Fatih. Mereka tampak keheranan sebab Fatih datang sepagi ini.Sementara itu, matahari mulai merangkak naik. Menyapu dedaunan yang basah oleh embun. Satu dua karyawan mulai berdatangan. Mereka langsung memandang segan atasannya yang berdiri di luar.Kedatangan satu karyawan menyita perhatiannya. Fatih langsung bersiap memanggil Meli ketika wanita itu mulai memasuki lobi.“Meli,” panggil Fatih. Meli menoleh, perasaannya langsung resah ketika Fatih mendekatinya. Ia berharap atasannya itu hanya menanyakan pekerjaan.“Iya, Pak.”“Nanti pulang kantor, jangan ke mana-ma
Seorang warga akhirnya mengemudikan mobil Rey. Ia membawa Alina dan Rey ke rumah sakit terdekat. Rey tak henti-hentinya mendengungkan takbir dan istighfar di telinga Alina secara bergantian. Ia sangat panik karena sahabatnya itu tidak merespon. Darah yang mengalir membuatnya berada dalam ketakutan yang luar biasa.Baru kali ini Rey menghadapi peristiwa seperti ini di depan mata. Bagiamana tidak mungkin merasa dihinggapi kekhawatiran yang luar biasa, tak satupun panggilannya di respon Alina. Sementara bibirnya mulai pucat dan jemari tangannya sangat dingin.Berulang-ulang ponsel dalam sakunya berdering. Ia abaikan demi berusaha membangunkan Alina.Sepuluh menit kemudian, akhirnya sampai di rumah sakit. Hujan mulai reda, mempermudah gerak Rey dan beberapa tenaga medis langsung cekatan membawa Alina ke ruang UGD.Rey tidak memperdulikan tubuhnya yang menggigil kedinginan, jugapakaian yang basah seluruhnya. Ia mondar-mandir di depan pintu. Kembali ponselnya berdering. Ia ingat Fatih. Mung