“Kamu sudah mengenalku hampir satu tahun. Masih juga tersakiti dengan watakku yang seperti ini, Alina-Alina!”“Karena ucapanmu tidak pernah menenteramkan hati. Ucapanmu selalu menghakimiku seolah-olah hanya aku di sini yang bersalah. Aku gak bisa didikte seperti ini, Mas.”“Hey!” Fatih menghentikan aktivitasnya, lalu duduk di samping Alina.“Aku tidak pernah mendiktemu. Kamu dan aku akan melakukan peran masing-masing.”“Tau gak, kamu menyulitkan aku.”“Siapa yang menyulitkan siapa di sini, Al? Aku taukah kamu yang menjadi korbannya, hah!”“Kalau aku mengaku salah, lantas Mas akan melepaskan aku begitu saja?”“Tidak akan. Karena kamu sudah menjadi hal penting di kehidupan anakku nanti.”“Aku capek, kita sudahi saja kesulitan ini.”“Apanya yang mau disudahi, kita tidak pernah memulai.”“Cukup, Mas! Aku nggak bisa jika hidup tertekan seperti ini.”“Alina! Bukan aku yang menekan, tapi sifat manjamu itu yang seolah memenjarakan kamu makin jauh dari kemudahan. Stop menganggap aku penyulit h
“Ini uang untuk satu bulan.”“Untuk apa?” tanya Alina bingung.“Biaya makan.”“Aku masih punya uang yang—““Jangan membantah, ambil saja.” Fatih mendekatkan amlop itu ke tangan Alina.“Biaya makan. Kurasa cukup juga untuk menggaji seorang pembantu.”“Iya, terima kasih.” Alina menarik amlop yang berisi uang itu.“Satu lagi ...,” ucap Fatih menggantung.Alina mengernyitkan dahi menunggu sambungan ucapan Fatih, tetapi lelaki itu diam saja. Malahan, tatapannya mengarah kepada Alina tanpa berkedip membuat Alina salah tingkah, lalu menunduk.“Apa?” tanya Alina akhirnya dengan rasa penasaran.“Karena kita tinggal satu rumah, jadi ... Aku merujukmu menjadi istriku, Alina.”Seketika itu juga, Alina terhenyak. Buliran-buliran bening berjatuhan.“Kenapa menangis? Terharukah?”Pertanyaan Fatih menjadikan hatinya dua kali lebih sakit.“Aku tau hukum. Tidak mungkin tinggal serumah tetapi tidak mejadikan kamu halal bagiku.”“Terserah Mas. Aku sudah capek. Jadi, menurut saja.”“Tumben nggak mendebat,
“Mas.” Fatih menoleh mendengar panggilan Alina. “Makam malamnya sudah siap.” Alina berpaling meninggalkan Fatih yang segera menutup layar ponselnya.Alina menyiapkan menu yang berbeda. Sedikit berkreasi untuk menaikkan selera makan yang akhir-akhir turun drastis, entah karena sedang mengidam atau karena masalah yang akhir-akhir ini beruntun menghantamnya.Fatih memperhatikan menu di atas meja, ayam goreng, tahu goreng sup dan sambal. Alina memperhatikan respon Fatih pada masakannya. Ia merasa, lelaki itu tidak menyukai menu malam ini. Ia mengambil handphone yang tergeletak di atas lemari dapur dan duduk di hadapan makanan yang sudah terhidang.Alina membuka sebuah aplikasi online yang memang sudah terpasang lama di dalam handphone-nya. Fatih beralih pandang dari makanan ke handphone milik Alina yang kini ada di hadapannya.Alina menyodorkan beberapa menu spesial pada layar.“Silahkan pilih. Maaf, aku Cuma bisa menyediakan menu seperti ini,” ucapan Alina menohok Fatih. Lelaki itu mener
Fatih mencari-cari kemeja di dalam lemari, semua tidak ada. Ia baru ingat jika kemeja yang ia bawa hanya terbatas dan semuanya sudah habis terpakai.Fatih merutuk kesal, ia berniat menelepon butik langganannya untuk menyiapkan pakaian kerja. Belum juga tersambung, Alina sudah muncul dengan menenteng jas, celana dan kemeja yang tergantung pada hanger.“Mendadak menggosoknya tadi. Maaf, agak lama. Ini, sudah siap, kok."Alina meletakkan pakaian itu tanpa melihat ekspresi Fatih, kemudian pergi keluar kamar.Fatih mengangkat pakaian dengan aroma pewangi yang menyeruak. Ia mengenakan dengan membayangkan betapa repotnya Alina menyiapkan semua ini.“Bisa juga beres kamu, Al, si manja yang cengeng,” gumam Fatih bersama tawaan.Baru selesai merapikan dasi pada lehernya, Fatih dikejutkan lagi dengan kedatangan Alina yang menentang sepatu.“Ternyata, sepatu yang kusemir kemarin nggak cocok sama pakaian Mas hari ini.” Usai berucap, Alina meletakkan sepatu di bawah kaki Fatih yang masih bergeming
“Al ....”Alina menoleh ketika mendengar sebuah panggilan, lalu mengakhiri pekerjaan dengan memencet kontrol S pada keyboard layar laptopnya.“Kenapa?”“Lo nggak benar-benar ingin resign kan?” tanya Meli berbisik.“Gue nggak punya uang untuk bayar denda.” Alina menjawab. Tangan kanannya menyambar botol air mineral, lalu meneguknya.“Syukur, deh. Gue nggak kehilangan teman.”“Lagian, Gue juga butuh pekerjaan buat persiapan lahiran.” Alina menggeser tempat duduknya, mendekati meja Meli.“Nggak salah, lo. Pak Fatih ‘kan tajir. Emmm maksud gue, ayah dari bayi lo.”“Bayi Gue yang punya hak menerima bantuannya, bukan gue. Itupun kalau dia ingat punya benih dalam rahim gue.”“Maksud, lo?”“Nanti kalau dia sudah nikah sama wanita lain dan wanita itu hamil juga, kelar hidup gue. Apalagi status gue nantinya Cuma mantan.” Alina berucap seperti sudah tau persis kejadian yang akan menimpanya.“Tapi lo tetep beruntung. Minimal baby yang ada dalam kandungan lo, punya kesempatan buat jadi artis.” Mel
“Sama sekali tidak, jika Alina seorang diri, tapi sekarang dia sedang mengandung anakku. Jadi, keselamatannya adalah tanggung jawabku.”“Oh ... iya. Aku baru sadar, kalau Tuan Fatih Alfarizi ini sekarang adalah dewa penolong Alina.”Anita menatap tajam Fatih sebelum ia turun dari mobil.“Selamat, Tuan. Anda salah satu target berikutnya.” Usai berucap, Anita benar-benar meninggalkan mobil dengan air mata berderai.Baru hendak memasuki mobil miliknya sendiri, tatapannya tertaut pada sosok yang akhir-akhir ini mengganggu kejiwaannya. Ujung jilbabnya menjuntai, berkibar diterpa angin.Dengan gerak lambat, ia mengenakan helm, lalu melajukan motor maticnya dengan perasaan hancur. Alina terbawa dalam lingkaran rumit kisah cinta suami dan kakaknya. Ia mengusap air mata, bersamaan dengan Anita yang melajukan kendaraan di belakang Alina.Dari tempatnya duduk dan tertegun, Fatih menyaksikan kedua saudara kandung itu satu persatu berlalu tanpa ada sapa dan kata yang menyertainya.“Kalian tak akan
Makan malam berlangsung khidmat, tanpa percakapan apapun. Alina lebih dulu menuntaskan makanannya. Ia beralih ke wastafel, membersihkan piring dan gelas. Lalu ke belakang untuk mengangkat pakaian yang belum sempat dipindahkan.Alina membawa satu keranjang pakaian ke depan meja. Dengan gerakan cepat, ia mulai menggerak-gerakkan benda yang terhubung ke aliran listrik guna merapikan pakaian.Fatih mendekatinya, diam-diam merogoh saku dan memberikan kartu kredit pada Alina.“Pakai,” ucap Fatih.Alina menggeleng lebih dulu baru disusul dengan ucapan, “ uang yang kemarin belum terpakai seluruhnya.”“Ambil ini dan cari pembantu.”Lagi-lagi Alina menggeleng.“Biarkan aku mengerjakan pekerjaan ini. Aku harus terbiasa supaya ketika kita berpisah, aku sudah siap dengan segala kemungkinan buruk. Bukankah aku harus belajar mandiri?”Ucapan Alina membungkam Fatih. Ia baru menyadari jika dari awal, ia yang menginginkan Alina untuk mandiri. Setiap ucapan yang terlontar tak ubahnya seperti belati yang
"Tentu, hanya demi anakmu.” Alina lalu meninggalkan Fatih yang baru saja mendapat penolakan secara langsung.Mendengar jawaban Alina, Fatih tersenyum miring merasai nyeri yang merambat.“Terserah kamu, Al, tapi aku masih melihat cinta di matamu.”Fatih beringsut dari ranjang, kemudian membersihkan diri.Keluar dari kamar mandi terasa lebih segar. Tatapannya langsung tertuju pada Alina yang menatap lekat handphonenya yang berkedip-kedip menandakan panggilan masuk.Tanpa berkata-kata, Alina meletakkan di pakaian kerja Fatih di atas pembaringan dan sepatu di bawah ranjang, lalu bergegas pergi.Fatih meraih handphone, memeriksa panggilan itu karena sudah tidak berdering lagi.Anita.Lagi-lagi, Fatih seperti kepergok tengah berselingkuh. Perasaannya menjadi was-was.Ingin menjelaskan tentang panggilan itu, tetapi Alina tampak tidak perduli. Lalu, untuk apa ia merasa tidak enak hati, bukankah hal seperti ini sudah sewajarnya terjadi?Fatih merasa kesal berada di situasi membingungkan. Entah