Tak terlalu banyak pekerjaan yang Fatih lakukan di hari ini. Meski begitu, ia enggan pulang lebih cepat. Sebab, merasa tak ada yang menanti kepulangannya.Ia berjalan dengan kepala tertunduk, memikirkan kegiatan apalagi yang ia bisa lakukan agar tidak punya waktu kosong. Menganggur, membuatnya hanya akan mengingat Alina dan baby Boy.Fursal.Sepertinya ide yang bagus. Pikirnya. Pun sudah lama dirinya tidak berkumpul di komunitas yang pernah ia gemari. Tanpa pikir panjang, Fatih merogoh ponsel. Berniat menanyakan jadwal kepada seorang teman.“Mas!”Ia merasa ada yang memanggil. Lalu, mencari sumber suara.“Rey.”*Di sinilah ia saat ini. Duduk di hadapan Rey, pria yang ia hindari seminggu terakhir ini. Tak mungkin lagi bisa menghindari Rey yang mendadak mendatanginya. Kali ini, Fatih mengajaknya benar-benar berbicara dari hati ke hati sebagai seorang laki-laki.Rey dan Fatih sama-sama menyerutup coffelatte. Keduanya terdiam cukup lama. Membiarkan jeda menjadi ruang bagi masing-masing u
Meskipun dengan kecanggungan, Fatih mencoba untuk tenang. Menunggu sosok Alina ke hadapan, seperti menunggu bertemu mantan pacar yang sudah tidak bertemu sekian lama. Dadanya berdegup kencang. Ia mengeluarkan sebuah map dari balik jaketnya. Lalu, meletakkan di meja.“Malam.”Fatih mendongak. Sosok wanita yang seminggu ini hanya bayangan di pelupuk mata, kini menjelma nyata. Sayangnya, Fatih tidak bisa memeluk untuk sekadar menguraikan rindu.“Malam juga,” balasnya.Baju gamis berbahan satin membuat penampilan Alina tampak anggun malam ini. Diam-diam, Fatih lebih banyak melirik wanita berjilbab ungu di hadapannya kini. Penampilannya jauh lebih rapi, tampak anggun dan semampai karena Alina tidak lagi hamil.Wajahnya putih, sedikit pucat karena sengaja tidak mengoles bibirnya dengan lipstik. Ia ingin tampak sederhana di hadapan Fatih, ingin menunjukkan bahwa ada atau tidak adanya pria itu di sisinya, Alina tetaplah Alina yang hadir dalam kesederhanaan.“Apa kabar?” Berada dalam kecanggun
“Aku langsung istirahat saja, Rey. Aku capek,” keluh Alina. Matanya sayu. Isakkan masih sesekali terdengar. “Oke. Kalau butuh apa-apa, telpon saja. Gue di kamar atas.” “Iya.” Alina menegakkan badan dengan kekuatan penuh. Meski begitu, tubuhnya sempoyongan memasuki kamar. Ia menutup rapat pintunya. Bersandar di sana, membiarkan tubuhnya luruh ke lantai. Kembali menyebut nama Fatih. Ia membiarkan air mata terkuras habis. Berharap setelah ini, takkan lagi menangisi keputusannya. ** Sejak keluar dari kediaman Reyhan, Rohmat tidak berani bertanya. Melihat kondisi Fatih yang terus memegangi kedua matanya, menahan air mata agar tak meluruh dari sana. Namun, isakannya terdengar oleh Rohmat. Seperti mengerti kesedihan majikannya, Rohmat membawa Fatih berputar di sekitara kota. Hampir tengah malam berada di sepanjang perjalanan tanpa tujuan, akhirnya Rohmat berhenti sejenak di sebuah masjid. “Pak, saya izin buang air kecil sebentar.” Tanpa menunggu ucapan Fatih, Rohmat segera turun dan
“Rey, Alina pergi.”“Pergi? Pergi bagaimana?”“Dia gak ada di kamarnya. Pembantu juga tak tau keberadaannya setelah mengobrol dengan kamu pagi tadi.”“Telepon, Ma?”“Ponselnya di kamar. Dia gak bawa apa-apa loh, Rey.”“Oke-oke. Mama tenang dulu. Rey coba cari.”Rey memutuskan sambungan. Kemudian menepikan kendaraannya. Ia mencoba menebak-nebak, ke mana kemungkinan pergi.“Kenapa pakai acara kabur sih, Al? Gue jadi bingung ‘kan.” Ia melaju kembali. Rasa lapar yang sebelumnya mendera lenyap dalam seketika.“Meli,” pikirnya. Ia segera pulang. Dipacunya kendaraan secepat mungkin agar segera sampai.Rey tidak memiliki nomor ponsel wanita itu, sehingga berinisiatif untuk mencari nomornya di ponsel milik Alina.Baru sampai setengah jalan menuju rumahnya, Rey teringat kalau ada mamanya yang bisa dimintai tolong.Rey kembali menelepon mamanya. Meminta agar mengirim nomor ponsel.“Tuh ‘kan, Al. Gue jadi bingung begini.”Tak berapa lama kemudian, ponsel berdering. Satu pesan masuk. Sebuah nomor
Keduanya tertawa. Lalu mendadak terdiam. Hening, seperti disengaja untuk memberi kesempatan pada suara ombak.“Bagaimana?” tanya wanita itu mengambang. Fatih menoleh, tersenyum pias. Lalu, mengenakan kacamatanya kembali.“Apanya?” jawab Fatih pura-pura bodoh.“Siap move on?”Fatih menghela nafas berat, kemudian mengembuskan perlahan. Sumpah demi apapun, dadanya sangat sakit.“Sudah.”“Lalu?”“Ayo kita mulai.”“Hahaha ...!” Wanita itu tertawa lebar, bahkan lebih keras terdengar dari suara deburan ombak.“Apa semiris itu Gue di mata Lo?” Fatih bertanya sambil melempar pandang ke lautan lepas.“Iya. Lebih miris saat Gue tinggal nikah. Lo terlihat biasa saja meski sakit hati, tapi sekarang, Lo seperti mayat hidup, berjalan tapi tak bernyawa.”“Sialan, Lo.”“Jadi, di mana pastinya ini? Keburu mau balik Gue.”“Kenapa mesti buru-buru?”“Gue punya bayi.”“Dio?”“Gundulmu! Anak Gue yang kedua umur tiga bulan dan masih ASI. Buruan, cari tempat atau tegak di sini saja?”“Sahida. Dari dulu gak pe
Bungkam. Rey terdiam. Mencari kata-kata yang cocok untuk memberikan penawaran, tatapi takut seperti semalam. Alina malah marah. Rey memilih diam dan menerima kemauan Alina, karena mereka baru saja berbaikan.“Lo benar-benar yakin?” tanya Rey meyakinkan Alina, juga ingin memantapkan niatnya.“Yakin,” jawab Alina.“Kita-““Nggak perlu tanya lagi, Rey.”“Gue Cuma mau matiin kalau ... kalau-““Gue Sayang Lo.”Rey tercekat. Malah garuk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal.“Gue nggak lagi nembak Lo.”Kesal. Alina membawa amlop di tangannya. Ia menaiki tangga.“Hai!” Rey memanggil.“Apa?” jawab Alina ketus.“Kamar Lo di bawah.” Rey menunjuk pintu di sampingnya berdiri. Alina turun dari tangga yang baru beberapa langkah. Memutar, menghindari tatapan Rey terdengar jelas tertawa cekikikan.Blem! Pintu di tutup dengan cepat. Alina memaki dirinya sambil bersandar di belakang pintu.“Bodoh. Kenapa ngomong seperti itu. Jadinya, Rey pasti mikir macam-macam. Belum cerai, sudah kegatelan. Ya ampu
[Alina tidak datang. Sidang berjalan lancar.] [Pengacaranya meminta agar segera dipermudah urusannya.] Fatih meletakkan ponselnya di meja. Masih terpampang jelas pesan dari Sahida. Tangannya menarik cangkir berisi coffelatte. Lalu, menyerutupnnya. Setelah itu, meraih kembali dan mengetika pesan balasan. [Permudah urusannya.] Tulisnya di sana. Ia menutup ponsel saat netra seseorang sedang berjalan ke arahnya. Seorang diri, tidak mengajak orang lain yang Fatih nanti-nantikan kedatangannya. ‘Apa dia ingkar janji?’ tanyanya dalam hati. Hatinya mendadak perih, apalagi melihat senyumannya seakan hujaman belati yang siap menguliti. “Mas, sudah lama menunggu?” Rey datang dengan senyuman. “Dia nggak ikut?” Fatih enggan berbasa-basi. Rasa-rasanya, ia ingin menangis sekuat tenaga ketika melihat Rey melenggang seorang diri. “Emm ....” Rey tak enak hati. Kedatangannya tanpa Alina membuat Fatih tak bisa menyembunyikan lara hatinya. “Oke, mau pesan apa? Aku yang traktir. Kata pengacaraku, di
Fatih menelusuri jalanan tanpa ada tujuan. Pulang ke apartemen, masih terlalu siang. Ia akan punya waktu menganggur terlalu banyak, sehingga pasti akan mengingat Alina kembali. Ke rumah, pastinya ingat baby boy dan juga ibunya. Satu-satunya orang terdekat adalah ibu tirinya. Itu juga tak mungkin ia datangi untuk saat ini, karena wanita itu tak henti-hentinya membahas Helena.Ia berhenti di depan toko bunga. Ingatannya tertaut lagi pada Alina.“Ya, Allah. Kenapa sangat berat untuk bisa menerima kenyataan kalau Alina tak mungkin bersamaku.”Ia menghentikan kendaraannya cukup lama di sana. Pandangannya tertuju pada pada sebuah kafe. Tiba-tiba ponselnya berdering.Sahida calling ....“Halo, kita harus ketemu,” ucap Sahida tanpa basa-basi.“Oke, Gue tunggu di kafe Batavia di depan toko bunga. Sekarang,” jawab Fatih.“Eh, jauh amat.”“Gue lagi di sini sekarang.”“Oke-oke. Tunggu satu jam, paling lama.”“Lama amat!” keluh Fatih. Ia membayangkan rasa bosannya harus menunggu selama itu.“Hala