“Al ....”Alina menoleh ketika mendengar sebuah panggilan, lalu mengakhiri pekerjaan dengan memencet kontrol S pada keyboard layar laptopnya.“Kenapa?”“Lo nggak benar-benar ingin resign kan?” tanya Meli berbisik.“Gue nggak punya uang untuk bayar denda.” Alina menjawab. Tangan kanannya menyambar botol air mineral, lalu meneguknya.“Syukur, deh. Gue nggak kehilangan teman.”“Lagian, Gue juga butuh pekerjaan buat persiapan lahiran.” Alina menggeser tempat duduknya, mendekati meja Meli.“Nggak salah, lo. Pak Fatih ‘kan tajir. Emmm maksud gue, ayah dari bayi lo.”“Bayi Gue yang punya hak menerima bantuannya, bukan gue. Itupun kalau dia ingat punya benih dalam rahim gue.”“Maksud, lo?”“Nanti kalau dia sudah nikah sama wanita lain dan wanita itu hamil juga, kelar hidup gue. Apalagi status gue nantinya Cuma mantan.” Alina berucap seperti sudah tau persis kejadian yang akan menimpanya.“Tapi lo tetep beruntung. Minimal baby yang ada dalam kandungan lo, punya kesempatan buat jadi artis.” Mel
“Sama sekali tidak, jika Alina seorang diri, tapi sekarang dia sedang mengandung anakku. Jadi, keselamatannya adalah tanggung jawabku.”“Oh ... iya. Aku baru sadar, kalau Tuan Fatih Alfarizi ini sekarang adalah dewa penolong Alina.”Anita menatap tajam Fatih sebelum ia turun dari mobil.“Selamat, Tuan. Anda salah satu target berikutnya.” Usai berucap, Anita benar-benar meninggalkan mobil dengan air mata berderai.Baru hendak memasuki mobil miliknya sendiri, tatapannya tertaut pada sosok yang akhir-akhir ini mengganggu kejiwaannya. Ujung jilbabnya menjuntai, berkibar diterpa angin.Dengan gerak lambat, ia mengenakan helm, lalu melajukan motor maticnya dengan perasaan hancur. Alina terbawa dalam lingkaran rumit kisah cinta suami dan kakaknya. Ia mengusap air mata, bersamaan dengan Anita yang melajukan kendaraan di belakang Alina.Dari tempatnya duduk dan tertegun, Fatih menyaksikan kedua saudara kandung itu satu persatu berlalu tanpa ada sapa dan kata yang menyertainya.“Kalian tak akan
Makan malam berlangsung khidmat, tanpa percakapan apapun. Alina lebih dulu menuntaskan makanannya. Ia beralih ke wastafel, membersihkan piring dan gelas. Lalu ke belakang untuk mengangkat pakaian yang belum sempat dipindahkan.Alina membawa satu keranjang pakaian ke depan meja. Dengan gerakan cepat, ia mulai menggerak-gerakkan benda yang terhubung ke aliran listrik guna merapikan pakaian.Fatih mendekatinya, diam-diam merogoh saku dan memberikan kartu kredit pada Alina.“Pakai,” ucap Fatih.Alina menggeleng lebih dulu baru disusul dengan ucapan, “ uang yang kemarin belum terpakai seluruhnya.”“Ambil ini dan cari pembantu.”Lagi-lagi Alina menggeleng.“Biarkan aku mengerjakan pekerjaan ini. Aku harus terbiasa supaya ketika kita berpisah, aku sudah siap dengan segala kemungkinan buruk. Bukankah aku harus belajar mandiri?”Ucapan Alina membungkam Fatih. Ia baru menyadari jika dari awal, ia yang menginginkan Alina untuk mandiri. Setiap ucapan yang terlontar tak ubahnya seperti belati yang
"Tentu, hanya demi anakmu.” Alina lalu meninggalkan Fatih yang baru saja mendapat penolakan secara langsung.Mendengar jawaban Alina, Fatih tersenyum miring merasai nyeri yang merambat.“Terserah kamu, Al, tapi aku masih melihat cinta di matamu.”Fatih beringsut dari ranjang, kemudian membersihkan diri.Keluar dari kamar mandi terasa lebih segar. Tatapannya langsung tertuju pada Alina yang menatap lekat handphonenya yang berkedip-kedip menandakan panggilan masuk.Tanpa berkata-kata, Alina meletakkan di pakaian kerja Fatih di atas pembaringan dan sepatu di bawah ranjang, lalu bergegas pergi.Fatih meraih handphone, memeriksa panggilan itu karena sudah tidak berdering lagi.Anita.Lagi-lagi, Fatih seperti kepergok tengah berselingkuh. Perasaannya menjadi was-was.Ingin menjelaskan tentang panggilan itu, tetapi Alina tampak tidak perduli. Lalu, untuk apa ia merasa tidak enak hati, bukankah hal seperti ini sudah sewajarnya terjadi?Fatih merasa kesal berada di situasi membingungkan. Entah
Berita beredarnya gosip Alina yang seorang janda berbadan dua senter terdengar di mana-mana. Tidak hanya di bagian tempatnya bekerja, tetapi hampir di seluruh lini perusahaan itu.Alina memang bukan siapa-siapa, tetapi kakaknya, Anita yang memegang peran penting di perusahaan itu. Menjadi sorotan rekan kerja dan bawahannya, jelas membuat hidup Anita tidak akan nyaman.Sebagian mencibir dengan perilaku Alina yang berbanding terbalik dengan Anita yang supel, cerdas, energik dan memiliki karir yang bagus. Berbeda dengan Alina yang lembut, pengetahuan terbatas dan hanya sebagai staf bawahan yang kebetulan di terima karena ada nama belakang Anita.“Kasian Bu Nita. Dibikin malu sama adik sendiri. Itu nanti apa nggak ngerepotin kakaknya kalo pas lahiran”“Hu’um.”“Udah gitu kabarnya, Alina dicerai karena manja dan gak bisa mandiri.”“Lah iya terbukti masuk ke sini aja dompleng Bu Nita. Kalau gak ada beliau, mana mungkin bisa masuk padahal Cuma lulusan SMA.”“Lulusan SMA kerjanya sama dengan
Ketika merasa sedih, sendiri dan merasa terbuang, seketika itu pula menekan dada sendiri. Lalu menumpahkannya dengan cara menangis. Kondisi seperti ini sebenarnya hampir setiap hari dialaminya. Alina, si manja yang cengeng.Fatih menutup pintu dengan perlahan, pandangan langsung tertuju pada Alina yang sibuk dengan serangkaian atribut merajutnya. Ketika Fatih menghampiri, Alina langsung mengamati lelaki itu beserta gelas di tangan."Mas buatkan susu." Senyum simpul lelaki mengembang seraya meletakkan bokong berjajar dengan Alina."Aku sudah minum sore tadi," balas Alina."Sudah terlanjur dibuat. Gak mungkin kuminum, kan?"Akhirnya Alina menerima susu pemberian Fatih dan menatapnya sejenak."Minumlah, mumpung masih hangat."Tanpa pikir panjang, Alina meneguk susu hamil itu sampai habis."Mau nambah?" Fatih menawarkan dengan tangan terulur, meminta gelas yang sudah kosong.Alina menggeleng, "nggak, sudah kenyang." Ia menyerahkan gelas yang sudah kosong itu pada Fatih, kemudian menerus
Hujan turun sangat deras. Petir menyambar silih berganti, tetapi sebuah motor nekad menerobos lebatnya hujan.“Mama ... Al takut!” teriak seorang anak perempuan dengan tangan memeluk pinggang sang mama.“Mama, kita berhenti saja” keluhnya mulai terisak.“Sebentar lagi sampai rumah, Alina,” balas sang mama setengah berteriak. Suara hujan mengalahkan suaranya yang sudah berusaha melengking tinggi anak di balik punggungnya Mendengar dengan jelas.“Mama ... Al takut” bocah tujuh tahun itu terus merengek, masih terisak.“Kita tadi perginya gak ngomong. Takut papa bingung nyariin.”“Mama, Al takut!” Alina tidak perduli ucapan mamanya, seakan tau bahwa akan terjadi sesuatu pada mereka berdua.“Mama ... kita berhenti saja.”“Alina! Jangan cerewet! Mama nggak bisa fokus kalau kamu merengek.”Sebuah bentakan ke luar dari bibir yang bisanya bertutur sangat lembut. Mendengar itu, Alina tidak lagi merengek. Ia menutup mata dan menyembunyikan wajah di punggung sang mama. Hingga sebuah sengatan pana
Alina berbalas pesan dengan Rey sambil berjalan melewati lobi, kemudian ke parkiran. “Al,” panggil Fatih dari arah samping. Alina terkejut, sebelum akhirnya menyadari bahwa sedari tadi dirinya terlalu asik sendiri dengan benda pipih di tangan sehingga tidak menyadari kehadiran orang lain. “Mau ke mana?” tanya Fatih. Di tangannya menggenggam sebuah bungkusan. “Mau makan siang sama Rey, kebetulan sudah ditunggu. Itu dia.” Alina melambai pada seorang pria yang sudah siap di depan mobil yang terparkir. Rey. “Oh,” balas Fatih terasa berat. “Itu apa, Mas?” tanya Alina dengan mengamati plastik yang ditenteng Fatih. “Oh, ini makan siang untuk Anita.” “Oh.” Alina menanggapi. Alina tersenyum pias dan meninggalkan Fatih seorang diri. Fatih menatap berlalunya punggung itu diambil meremas bungkusan ayam panggang kesukaan Alina. Fatih menatap tajam keduanya, ingin marah, terapi merasa tidak berhak. Senyum Alina mengembang bebas di samping pria lain. Sedangkan di hadapannya, Alina sepert