Malam itu aku dan Dinda makan telur ceplok dengan tempe goreng. Jika aku bisa menyembunyikan uang di tempat aman, aku tidak bisa terus menyembunyikan makanan di suatu tempat. Bisa cepat basi.
“Besok kita sarapan bubur ayam aja Bu.” Seru Dinda melihatku yang masih melamun.
“Oke. Kita makannya diam-diam ya. Biar nggak ketahuan Bapak.”
“Sip.” Kami lalu tertawa bersama.
Setidaknya ada putri tunggalku yang bisa menjadi penghibur lara di saat seperti ini. Meskipun kadang aku menyesali pernikahanku dengan Mas Eko, rasa penyesalan itu kadang terkikis saat mengingat kehadiran Dinda dalam hidupku.
Dinda adalah anak yang dewasa sebelum waktunya, Itu semua karnea sejak kecil aku mengajarkan pada Dinda untuk hidup sederhana. Dinda juga melihat sendiri perjuanganku berjualan dari satu rumah ke rumah yang lain. Tidak hanya itu aku juga meminta Dinda untuk merahasiakan hal ini dari Omnya yang merupakan kakak kandungku.
Meskipun kakak iparku adalah orang baik, aku tidak ingin terus mengusik mereka dengan masalah rumah tanggaku. Tumbuh dengan didikan seperti itu di tambah dengan sikap Mas Eko yang sering semena-mena membuat Dinda sering menghiburku jika aku merasa sedih. Seperti yang baru saja Dinda lakukan.
Saat sudah merebahkan tubuh di atas tempat tidur aku melihat notifikasi dari sosial mediaku. Rupanya ada pelanggan yang ingin membeli jilbab lewat marketplace. Tidak hanya itu, ada juga yang memesan buku pelajaran dan buku novel padaku. Karena aku hanya mengambil sedikit keuntungan sebagai dropshipper.
“Alhamdulillah.” Ucapku bersyukur karena senang Allah memberiku tambahan rejeki setelah apa yang di lakukan Mas Eko padaku tadi.
Aku membalas pesan itu dan mengarahkan para pelanggan untuk membeli di marketplace. Setelah itu, aku jatuh tertidur. Kelopak mataku perlahan terbuka saat suara adzan subuh terdengar. Aku segera bangun lalu menunaikan sholat subuh berdua dengan Dinda.
Mas Eko tidak pulang semalaman. Pasti dia menginap di rumah orang tuanya. Biarkan saja. Jika butuh uang pasti Mas Eko akan pulang ke rumah ini lagi. Karena kebetulan Mas Eko sedang pergi, aku bisa langsung membeli bubur ayam pada tetangga.
Aku dan Dinda memakan bubur ayam itu di dalam kamar. Pagi ini juga aku harus menyetorkan uang yang aku dapat ke koperasi. Dua bungkus bubur ayam itu Dinda masukan ke dalam tasnya. “Biar aku yang buang di sekolah Bu. Agar Ayah tidak curiga.”
Hatiku terasa sakit saat mendengar hal itu dari mulut anakku. “Terima kasih sayang.” Ya sudah sekarang bantu Ibu membersihkan rumah yuk. Hari ini Ibu nggak jualan di pasar. Jadi, bisa mengantar Dinda ke sekolah lebih siang."
“Hore.”
Baru saja aku dan Dinda keluar dari kamar, Mas Eko rupanya sudah pulang ke rumah. Lebih cepat dari perkiraanku. Aku kira Mas Eko akan langsung pergi bekerja ke pabrik lalu baru akan pulang ke rumah ini nanti sore. Tapi, kenapa aku tidak mendengar suara deru mesin motornya memasuki halaman rumah kami?
“Aku minta uang untuk beli bensin Rin. Ibu sudah tidak punya uang lagi.” Aku hanya bisa mendengus kesal. Dinda sudah berlalu ke dapur untuk mengambil sapu guna menyapu halaman depan.
“Kamu kan masih punya uang dua puluh ribu. Tolong berikan padaku dulu.”
“Makanya mas. Tadi malam jangan mengambil ayam yang akan aku masak. Ini kan salah kamu sendiri. Sekarang jadi nggak punya uang untuk beli bensin kan?” Kataku tidak mau mengalah.
Mas Eko meraup wajahnya kesal. Emosinya mulai terpancing karena aku tidak memberinya uang. Justru melewan balik perkataan Mas Eko.
“Kamu kok malah balik nyalahin aku. Kan aku sudah bilang Ibu nggak punya uang lagi. Jadi, Ibu, Bapak dan adikku nggak bisa makan tadi malam. Kamu dan Dinda kan masih bisa makan telur dan mie. Bukannya masih ada stok banyak?”
Rasanya aku ingin menampar Mas Eko saat ini juga. Tapi, sebisa mungkin aku tahan dengan mengepalkan tangan.
“Stoknya sudah habis. Itu salah Ibu sendiri yang selalu mau tampil seperti orang kaya. Padahal kita ini orang miskin mas. Rumah ini saja masih ngontrak setiap bulan. Terus kalau uangnya habis, jadi kelabakan begini kan.”
PLAK
Tangan Mas Eko yang menampar pipiku sudah meninggalkan jejak merah. Tubuhku yang sempat terhuyung sudah bsa berdiri dengan tegak. Tanganku hanya mengusap pipi yang perih. Tapi, tidak ada lagi air mata yang mengalir. Aku sudah terlalu terbiasa menghadapi situasi ini. Syukurlah Dinda tidak melihat kejadian barusan.
“Jangan pernah hina Ibuku seperti itu. Memang kenapa kalau Ibu menghabiskan uang dengan arisan atau membeli barang lain. Toh itu pakai uangku. Ingat ya Arini. Selamanya aku tetap wajib berbakti pada orang tuaku. Sedangkan kamu wajib berbakti padaku.”
“Lalu kenapa kamu dan Ibu meminta uang padaku jika uang Ibu sudah habis? Terus kenapa juga kamu mau menikahi aku mas? Mau kamu jadikan sebagai sapi perah untuk memenuhi gaya hidup Ibu dan adikmu yang hedon itu.” Jawabku tidak mau kalah.
“Bapak itu masih sehat. Masalah nafkah Ibu dan adik kamu itu masih tanggung jawab Bapak. Sedangkan tanggung jawabmu itu harusnya kamu lakukan padaku dan Dinda. Kamu juga harus ingat mas. Kamu meminta secara baik-baik aku pada kakakku. Berjanji akan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupku. Tapi, kenyataannya jauh panggang dari api.”
“Halah nggak usah ceramah disini. Toh kamu juga tidak akan bisa lapor pada kakakmu. Karena yang kaya itu istirnya. Bukan kakakmu.” Aku tersenyum sinis mendengar penurutan Mas Eko. Padahal dia dulu bersikap sangat baik hingga memohon restu pada kakakku yang tidak sempat mengijinkan hubungan kami.
“Setidaknya kakakku bukan benalu untuk istrinya. Tidak seperti kamu dan keluargamu. Dasar benalu.” Tangan Mas Eko sudah terangkat hendak menamparku lagi. Untungnya aku berhasil menghindar.
Mas Eko sudah jatuh ke depan karena gagal menampar pipiki lagi. Suara erangannya terdengar sangat keras. Aku hanya berdiri di tempatku tanpa berniat untuk membantunya lagi. “Tentang uang dua puluh ribu yang kamu minta tadi sudah habis tadi malam. Buat beli telur, mie dan beras untuk makan tadi malam. Pagi ini saja aku dan Dinda tidak bisa sarapan. Jadi, kami memutuskan untuk puasa. Kamu juga harus puasa karena kita benar-benar tidak punya uang lagi.”
Terpaksa aku berbohong lagi pada Mas Eko. Setelah mengatakan hal itu, aku berjalan ke dapur lalu menyapu seisi rumah tanpa mempedulikan keberadaan Mas Eko lagi. Suamiku itu masih menggerutu sebal lalu masuk ke dalam kamar mandi. Rasakan. Biar saja dia meminjam uang pada temannya.
***
Pagi ini aku kembali berkeliling dari satu rumah ke rumah yang lain untuk menjual pakaian. Tentu saja setelah mengantarkan Dinda ke sekolahnya lalu menyetorkan uang tabungan ke koperasi langganan. Untung saja aku tidak bertemu dengan Ibu mertua disana.
Dari berjualan keliling aku sudah bisa dapat uang dua ratus ribu. Kali ini aku memasuki komplek perumahan yang baru di bangun. Dari bentuk bangunan yang terlihat bagus dengan beberapa mobil yang terparkir di halaman rumah, sepertinya orang-orang yang tinggal di komplek ini adalah orang kaya.
Bahkan tidak ada yang berhutang padaku. Rasanya sangat menyenangkan jika ada yang bisa membeli barang daganganku secara tunai. Komplek selanjutnya yang aku kunjungi adalah komplek tempat tinggal Ibu mertua. Dimana bangunan rumahnya jauh lebih sederhana. Uang yang aku dapat dari komplek sebelumnya sudah aku sembunyikan di tempat yang aman.
Sambil mengucap basmalah aku mulai berkeliling di komplek itu. Mampir ke rumah tetangga Ibu mertua yang ingin melihat bajuku. Beberapa tetangga berdatangan. Ada yang hanya membayar kredit baju. Ada juga yang sambil membawa baju lain. Semua ku catat satu per satu. Karena rumah ini hanya berjarak dua rumah dari rumah Ibu mertua, aku berkemas dengan cepat.
Belum sempat semua barang aku naikan ke motor dan menyembunyikan uang yang kudapat sebelumnya, Ibu mertua sudah menarikku menuju rumahnya. “Tunggu dulu Bu.”
“Ibu minta uang untuk beli makan Rin. Dari tadi pagi belum sarapan karena uang Ibu habis.” Sontak saja Ibu mertua mengambil tas selempangku.
“Tunggu dulu Bu. Aku juga kehabisan uang. Itu untuk makan siangku dengan Dinda.”
“Kamu kan bisa dapat uang lagi setelah berkeliling. Uang ini untuk Ibu dulu. Sudah sana pergi.” Tanpa mengijinkan aku masuk ke dalam rumahnya, Ibu mertua sudah menutup pintu lalu menguncinya. Hanya menyisakan aku yang dengan cepat menghapus air mata yang hendak jatuh.
Hari itu, aku hanya dapat uang lima ratus ribu saja. Harusnya dapat tujuh ratus ribu jika tidak di ambil oleh Ibu mertua. Jam sepuluh pagi, aku belanja di rumah tetangga yang menjadi penjual keliling. Membeli ikan mujair, tempe dan cabai. Satu jam kemudian aku sudah menjemput Dinda di sekolah.Makan siang kami kali ini terasa sangat menyenangkan. Aku bisa membelikan makananan kesukaan Dinda. “Kok cuma ada dua ikannya Bu. Nanti malam kita makan apa?” Tanya Dinda heran karena aku tidak menyetok persediaan makanan kami.“Nanti malam kita makan orek tempe ya. Ibu takut kalau ikannya di bawa Bapak lagi ke rumah Mbah.” Dinda terdiam sejenak lalu menganggukan kepalanya.Ya Allah. Rasanya sedih sekali melihat wajah Dinda yang tampak biasa saja. Aku tidak pernah bisa membaca perasaan putriku. Setiap kali aku bertanya, Dinda selalu mengatakan jika dia akan mendukungku. Untuk bocah berumur tujuh tahun, hampir setiap hari melihat pertengkaran orang tuanya tidak membuat Dinda tumbuh menjadi anak y
“Sebagai istri sudah jadi tugasmu untuk membantu keuangan suami Rin. Ingat surga istri itu ada pada suami dan surga pria itu ada pada Ibunya. Jadi, jangan pernah kamu menjelek-jelekkan Ibuku lagi. Seharusnya kamu bersyukur aku mau menikah denganmu yang sudah tidak punya orang tua lagi.”Dasar pria tidak tahu diri. Bersyukur katanya? Sama sekali tidak. Apalagi pemahaman yang di katakan Mas Eko padaku benar-benar salah. Aku mengusap pipi sejenak lalu kembali melipat baju dengan cepat. “Memang itu kan kenyataannya. Toh kamu sendiri yang bilang kalau Ibumu adalah pencuri. Aku hanya mengatakan tergantung besok, apakah uangnya akan di ambil Ibu atau tidak. Lalu, kata tepat yang bagaimana harus mengungkapkan sikap Ibumu?”Tanyaku dengan nada tenang. Kedua tangan Mas Eko sudah mengepal erat. “Kalau begitu kamu bisa membeli bahan makanan lebih untuk di bagikan pada Ibu. Gampang kan?”Tanpa menjawab perkataan Mas Eko aku berjalan menuju kamar lalu mengunci pintunya. Biarkan saja dia malam ini t
Aku berusaha merebut kantung plastik berisi barang daganganku dari tangan Yani. Hampir saja semua isinya jatuh jika saja tidak ada orang yang datang untuk melerai kami. “Sudah cukup. Kenapa kalian main kekerasan di depan rumah saya?”Ujar Bu Wati. Salah satu pelanggan yang rumahnya baru saja aku sambangi untuk menjajakan barang dagangan. Bu Wati berjongkok untuk membantuku untuk merapikan barang dagangan. Hampir saja uang yang aku sembunyikan jatuh ke tangan Yani jika Bu Wati tidak keluar dari rumahnya.“Jangan ikut campur masalah keluarga kami Wat. Kalau kamu nggak mau kami berada disini biar Arini ikut bersama kami.” Bu Wati hanya bisa menggelengkan kepalanya mendengar perkataan Ibu mertua.“Saya nggak ikut campur. Kalian saja yang buat ribut di depan rumah saya. Lebih baik Bu Lasmi dan Yani pergi sekarang juga dari rumah saya.” Usir Bu Wati yang membuat Ibu mertua dan Yani merengut kesal. Aku hanya bisa menghela nafas lega.Saat mereka akan menarik tanganku, aku segera berlindung d
Malam ini aku memutuskan untuk tidur di dalam kamar Dinda. Sudah kuputuskan jika aku hanya akan mengambil barang dagangan dari agen distributor sampai kontrak rumah ini selesai. Pemilik rumah yang kasihan padaku mengatakan jika aku bisa memperpanjang kontrak hanya tiga bulan saja. Setelah aku mengatakan rencana untuk pergi dari kota ini setelah kenaikan kelas Dinda.“Daripada bayar untuk satu tahun terus kamu pergi dari rumah itu kan percuma. Lebih baik bayar untuk tiga bulan saja. Jangan lupa persiapkan uang untuk mengontrak rumah di kota lain juga.” Kata pemilk kontrakan yang bernama Mbak Rini kala itu.Kutatap wajah Dinda yang sudah terlelap. Memikirkan langkah selanjutnya yang harus aku tempuh untuk ke depannya. Setelah masalah rumah kontrakan ini selesai, aku harus menagih kredit baju para pelanggan. Mungkin untuk para pelangganku yang berada di kawasan rumah Ibu mertua bisa mengerti jika aku mengatakan tidak bisa lagi menyetok baju. Tapi, bagaimana dengan pelangganku yang lain?
Pagi harinya aku memutuskan untuk membeli bubur ayam di waurng terdekat. Mas Eko masih tidur setelah tadi malam melakukan shift di pabrik. Aku juga tidak tertarik untuk membahas kamar dan gudang yang berantakan. Bertengkar di pagi hari akan membuatku terlambat mengantarkan Dinda ke sekolah.“Kamu benar-benar nggak punya simpanan uang kan Rin?” Itu pertanyaan Mas Eko tadi malam yang langsung aku jawab dengan gelengan kepala.“Sudah kamu lihat sendiri mas. Aku sama sekali tidak punya simpanan uang.” Bantahku berusaha untuk tenang.Aku menyapa tetangga yang juga sedang mengantri untuk membeli bubur ayam. Saat tiba giliranku, aku menyebut pesanan, penjual bubur ayam itu anehnya menatapku dengan sengit. Hal yang tidak pernah di lakukannya padaku selama ini.Apakah aku pernah melakukan kesalahan padanya? Jika di ingat-ingat kami jarang bertemu. Saat membeli aku juga tidak pernah berhutang padanya. Semua orang sudah pergi hanya menyisakan aku saja disana.“Maaf mbak. Apa aku punya salah sama
Kak Rania menarik tangan Dinda sambil menempelkan jari telunjuknya di bibir. Sebagai isyarat agar kami tidak mengatakan apapun. Masih bisa aku dengar Ibu mertua yang mengeluh tentang penghasilanku yang sering habis untuk kebutuhan rumah. Sehingga tidak bisa memberi Ibu mertua dan Yani banyak uang seperti dulu.“Apa Arini pernah cerita kalau dia di tegur sama bosnya Ko?” Tanya Ibu mertua yang memperhatikan jika barang daganganku tidak sebanyak dulu lagi.“Iya Bu. Bu Sumi membatasi barang dagangan yang di ambil Arini karena sering telat membayar.”“Itu sih tanggungannya Mbak Arini. Tapi, dia juga harus tetap mikirin kita lah.” Sahut Yani tidak mau tahu.Tentu saja Kak Rania juga ikut mendengar percakapan keluarga Mas Eko. Raut wajah Kak Rania sudah berubah menjadi keruh. Dengan isyarat tangan, Kak Rania mengajak kami diam-diam pergi dari sana. Hingga kami akhirnya duduk di kursi teras. Sudah ada banyak barang yang di letakan di atas meja.“Kakak nggak nyangka jika kelakukan suami kamu d
“Aku sama sekali tidak menceritakan apapun. Buat apa mengumbar aib rumah tangga sendiri. Aku dan Dinda juga yang akan malu. Lagian kamu nggak dengar sendiri kalau Kak Rania sudah mendengar semua percakapan kalian? Bahkan Kak Rania juga melihat Ibu yang tidak mengijinkanku makan malam bersama kalian. Bukan aku yang membuat sikap Kak Rania berubah pada kalian. Tapi, keluargamu sendiri yang sudah melakukan hal itu mas.”Mas Eko hanya terdiam. Sama sekali tidak bisa menjawab perkataanku lagi. Kakiku kembali melangkah masuk menuju kamar untuk berganti baju. Bagaimanapun juga hari ini aku harus pergi ke pasar. Apalagi setelah ini aku masih harus membersihkan rumah. Ibu hanya menyapu halaman depan untuk menarik perhatian Kak Rania. Tapi, kondisi di dapur masih seperti kapal pecah setelah mereka selesai makan tadi malam.Apa tadi yang Ibu katakana? Ibu mertua sudah memasak sarapan untuk menyambut kedatangan Kak Rania. Namun, semua itu bohong karena saat berjalan melewati dapur tadi aku tidak
Belum sempat aku selesai menjawab Bapak sudah mengatakan pada teman-temannya jika aku yang akan membayar. Diam-diam aku memberikan salah satu dompetku pada Dinda. Dengan isyarat mata, Dinda mengerti jika dia harus segera pergi ke toko. Aku mengeluarkan dompet yang satu lagi. Hanya ada uang tiga puluh ribu saja di dalam dompet.Aku berjalan menghampiri Bapak mertua yang hendak keluar bersama teman-temannya. “Maaf Pak. Uangku tinggal tiga puluh ribu aja. Tadi nggak dapat banyak setoran. Terus uangnya buat ngisi bensin sama sudah di ambil Mas Eko.”Bukannya menjawab perkataanku, Bapak mertua justru menarik tanganku menuju sudut warung, Mengabaikan tatapan pemilik warung dan teman-temannya yang mendengar perkataanku tadi. Wajahnya sudah berubah menjadi merah. Mungkin karena malu mendengar perkataanku di depan teman-temannya dan para pembeli yang makan disini.“Kalau ngomong jangan di depan teman-teman Bapak. Kalau kamu nggak ada uang, tunggu sampai Bapak pergi. Kamu kan bisa pinjam pada b