Share

Bab 3 Minta Lagi

Malam itu aku dan Dinda makan telur ceplok dengan tempe goreng. Jika aku bisa menyembunyikan uang di tempat aman, aku tidak bisa terus menyembunyikan makanan di suatu tempat. Bisa cepat basi.

“Besok kita sarapan bubur ayam aja Bu.” Seru Dinda melihatku yang masih melamun.

“Oke. Kita makannya diam-diam ya. Biar nggak ketahuan Bapak.”

“Sip.” Kami lalu tertawa bersama.

Setidaknya ada putri tunggalku yang bisa menjadi penghibur lara di saat seperti ini. Meskipun kadang aku menyesali pernikahanku dengan Mas Eko, rasa penyesalan itu kadang terkikis saat mengingat kehadiran Dinda dalam hidupku.

Dinda adalah anak yang dewasa sebelum waktunya, Itu semua karnea sejak kecil aku mengajarkan pada Dinda untuk hidup sederhana. Dinda juga melihat sendiri perjuanganku berjualan dari satu rumah ke rumah yang lain. Tidak hanya itu aku juga meminta Dinda untuk merahasiakan hal ini dari Omnya yang merupakan kakak kandungku.

Meskipun kakak iparku adalah orang baik, aku tidak ingin terus mengusik mereka dengan masalah rumah tanggaku. Tumbuh dengan didikan seperti itu di tambah dengan sikap Mas Eko yang sering semena-mena membuat Dinda sering menghiburku jika aku merasa sedih. Seperti yang baru saja Dinda lakukan.

Saat sudah merebahkan tubuh di atas tempat tidur aku melihat notifikasi dari sosial mediaku. Rupanya ada pelanggan yang ingin membeli jilbab lewat marketplace. Tidak hanya itu, ada juga yang memesan buku pelajaran dan buku novel padaku. Karena aku hanya mengambil sedikit keuntungan sebagai dropshipper.

“Alhamdulillah.” Ucapku bersyukur karena senang Allah memberiku tambahan rejeki setelah apa yang di lakukan Mas Eko padaku tadi.

Aku membalas pesan itu dan mengarahkan para pelanggan untuk membeli di marketplace. Setelah itu, aku jatuh tertidur. Kelopak mataku perlahan terbuka saat suara adzan subuh terdengar. Aku segera bangun lalu menunaikan sholat subuh berdua dengan Dinda.

Mas Eko tidak pulang semalaman. Pasti dia menginap di rumah orang tuanya. Biarkan saja. Jika butuh uang pasti Mas Eko akan pulang ke rumah ini lagi. Karena kebetulan Mas Eko sedang pergi, aku bisa langsung membeli bubur ayam pada tetangga.

Aku dan Dinda memakan bubur ayam itu di dalam kamar. Pagi ini juga aku harus menyetorkan uang yang aku dapat ke koperasi. Dua bungkus bubur ayam itu Dinda masukan ke dalam tasnya. “Biar aku yang buang di sekolah Bu. Agar Ayah tidak curiga.”

Hatiku terasa sakit saat mendengar hal itu dari mulut anakku. “Terima kasih sayang.” Ya sudah sekarang bantu Ibu membersihkan rumah yuk. Hari ini Ibu nggak jualan di pasar. Jadi, bisa mengantar Dinda ke sekolah lebih siang."

“Hore.”

Baru saja aku dan Dinda keluar dari kamar, Mas Eko rupanya sudah pulang ke rumah. Lebih cepat dari perkiraanku. Aku kira Mas Eko akan langsung pergi bekerja ke pabrik lalu baru akan pulang ke rumah ini nanti sore. Tapi, kenapa aku tidak mendengar suara deru mesin motornya memasuki halaman rumah kami?

“Aku minta uang untuk beli bensin Rin. Ibu sudah tidak punya uang lagi.” Aku hanya bisa mendengus kesal. Dinda sudah berlalu ke dapur untuk mengambil sapu guna menyapu halaman depan.

“Kamu kan masih punya uang dua puluh ribu. Tolong berikan padaku dulu.”

“Makanya mas. Tadi malam jangan mengambil ayam yang akan aku masak. Ini kan salah kamu sendiri. Sekarang jadi nggak punya uang untuk beli bensin kan?” Kataku tidak mau mengalah.

Mas Eko meraup wajahnya kesal. Emosinya mulai terpancing karena aku tidak memberinya uang. Justru melewan balik perkataan Mas Eko.

“Kamu kok malah balik nyalahin aku. Kan aku sudah bilang Ibu nggak punya uang lagi. Jadi, Ibu, Bapak dan adikku nggak bisa makan tadi malam. Kamu dan Dinda kan masih bisa makan telur dan mie. Bukannya masih ada stok banyak?”

Rasanya aku ingin menampar Mas Eko saat ini juga. Tapi, sebisa mungkin aku tahan dengan mengepalkan tangan.

“Stoknya sudah habis. Itu salah Ibu sendiri yang selalu mau tampil seperti orang kaya. Padahal kita ini orang miskin mas. Rumah ini saja masih ngontrak setiap bulan. Terus kalau uangnya habis, jadi kelabakan begini kan.”

PLAK

Tangan Mas Eko yang menampar pipiku sudah meninggalkan jejak merah. Tubuhku yang sempat terhuyung sudah bsa berdiri dengan tegak. Tanganku hanya mengusap pipi yang perih. Tapi, tidak ada lagi air mata yang mengalir. Aku sudah terlalu terbiasa menghadapi situasi ini. Syukurlah Dinda tidak melihat kejadian barusan.

“Jangan pernah hina Ibuku seperti itu. Memang kenapa kalau Ibu menghabiskan uang dengan arisan atau membeli barang lain. Toh itu pakai uangku. Ingat ya Arini. Selamanya aku tetap wajib berbakti pada orang tuaku. Sedangkan kamu wajib berbakti padaku.”

“Lalu kenapa kamu dan Ibu meminta uang padaku jika uang Ibu sudah habis? Terus kenapa juga kamu mau menikahi aku mas? Mau kamu jadikan sebagai sapi perah untuk memenuhi gaya hidup Ibu dan adikmu yang hedon itu.” Jawabku tidak mau kalah.

“Bapak itu masih sehat. Masalah nafkah Ibu dan adik kamu itu masih tanggung jawab Bapak. Sedangkan tanggung jawabmu itu harusnya kamu lakukan padaku dan Dinda.  Kamu juga harus ingat mas. Kamu meminta secara baik-baik aku pada kakakku. Berjanji akan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupku. Tapi, kenyataannya jauh panggang dari api.”

“Halah nggak usah ceramah disini. Toh kamu juga tidak akan bisa lapor pada kakakmu. Karena yang kaya itu istirnya. Bukan kakakmu.” Aku tersenyum sinis mendengar penurutan Mas Eko. Padahal dia dulu bersikap sangat baik hingga memohon restu pada kakakku yang tidak sempat mengijinkan hubungan kami.

“Setidaknya kakakku bukan benalu untuk istrinya. Tidak seperti kamu dan keluargamu. Dasar benalu.” Tangan Mas Eko sudah terangkat hendak menamparku lagi. Untungnya aku berhasil menghindar.

Mas Eko sudah jatuh ke depan karena gagal menampar pipiki lagi. Suara erangannya terdengar sangat keras. Aku hanya berdiri di tempatku tanpa berniat untuk membantunya lagi. “Tentang uang dua puluh ribu yang kamu minta tadi sudah habis tadi malam. Buat beli telur, mie dan beras untuk makan tadi malam. Pagi ini saja aku dan Dinda tidak bisa sarapan. Jadi, kami memutuskan untuk puasa. Kamu juga harus puasa karena kita benar-benar tidak punya uang lagi.”

Terpaksa aku berbohong lagi pada Mas Eko. Setelah mengatakan hal itu, aku berjalan ke dapur lalu menyapu seisi rumah tanpa mempedulikan keberadaan Mas Eko lagi. Suamiku itu masih menggerutu sebal lalu masuk ke dalam kamar mandi. Rasakan. Biar saja dia meminjam uang pada temannya.

***

Pagi ini aku kembali berkeliling dari satu rumah ke rumah yang lain untuk menjual pakaian. Tentu saja setelah mengantarkan Dinda ke sekolahnya lalu menyetorkan uang tabungan ke koperasi langganan. Untung saja aku tidak bertemu dengan Ibu mertua disana.

Dari berjualan keliling aku sudah bisa dapat uang dua ratus ribu. Kali ini aku memasuki komplek perumahan yang baru di bangun. Dari bentuk bangunan yang terlihat bagus dengan beberapa mobil yang terparkir di halaman rumah, sepertinya orang-orang yang tinggal di komplek ini adalah orang kaya.

Bahkan tidak ada yang berhutang padaku. Rasanya sangat menyenangkan jika ada yang bisa membeli barang daganganku secara tunai. Komplek selanjutnya yang aku kunjungi adalah komplek tempat tinggal Ibu mertua. Dimana bangunan rumahnya jauh lebih sederhana. Uang yang aku dapat dari komplek sebelumnya sudah aku sembunyikan di tempat yang aman.

Sambil mengucap basmalah aku mulai berkeliling di komplek itu. Mampir ke rumah tetangga Ibu mertua yang ingin melihat bajuku. Beberapa tetangga berdatangan. Ada yang hanya membayar kredit baju. Ada juga yang sambil membawa baju lain. Semua ku catat satu per satu. Karena rumah ini hanya berjarak dua rumah dari rumah Ibu mertua, aku berkemas dengan cepat.

Belum sempat semua barang aku naikan ke motor dan menyembunyikan uang yang kudapat sebelumnya, Ibu mertua sudah menarikku menuju rumahnya. “Tunggu dulu Bu.”

“Ibu minta uang untuk beli makan Rin. Dari tadi pagi belum sarapan karena uang Ibu habis.” Sontak saja Ibu mertua mengambil tas selempangku.

“Tunggu dulu Bu. Aku juga kehabisan uang. Itu untuk makan siangku dengan Dinda.”

“Kamu kan bisa dapat uang lagi setelah berkeliling. Uang ini untuk Ibu dulu. Sudah sana pergi.” Tanpa mengijinkan aku masuk ke dalam rumahnya, Ibu mertua sudah menutup pintu lalu menguncinya. Hanya menyisakan aku yang dengan cepat menghapus air mata yang hendak jatuh.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Febriani Indrianto
koq bodoh seh hrsnya suami yg memberi nafkah ke istrinya, bkn istri yg memberi ke suami
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status