Malam ini aku memutuskan untuk tidur di dalam kamar Dinda. Sudah kuputuskan jika aku hanya akan mengambil barang dagangan dari agen distributor sampai kontrak rumah ini selesai. Pemilik rumah yang kasihan padaku mengatakan jika aku bisa memperpanjang kontrak hanya tiga bulan saja. Setelah aku mengatakan rencana untuk pergi dari kota ini setelah kenaikan kelas Dinda.
“Daripada bayar untuk satu tahun terus kamu pergi dari rumah itu kan percuma. Lebih baik bayar untuk tiga bulan saja. Jangan lupa persiapkan uang untuk mengontrak rumah di kota lain juga.” Kata pemilk kontrakan yang bernama Mbak Rini kala itu.
Kutatap wajah Dinda yang sudah terlelap. Memikirkan langkah selanjutnya yang harus aku tempuh untuk ke depannya. Setelah masalah rumah kontrakan ini selesai, aku harus menagih kredit baju para pelanggan. Mungkin untuk para pelangganku yang berada di kawasan rumah Ibu mertua bisa mengerti jika aku mengatakan tidak bisa lagi menyetok baju. Tapi, bagaimana dengan pelangganku yang lain?
Aku belum bisa menemukan solusi hingga jatuh tertidur. Keesokan harinya aku mengantar Dinda ke sekolah seperti biasa. Karena hari ini aku jualan di pasar, aku pergi ke rumah agen tempat mengambil barang dagangan bernama Bu Sumi. Saat masuk ke dalam toko berisi banyak baju, aku di arahkan untuk masuk ke dalam ruang kerja Bu Sumi.
“Loh Arini. Bukannya kamu sudah bayar barang yang kamu ambil kemarin? Mau ambil barang dagangan lagi?” Aku menggelengkan kepala lalu duduk di hadapan Bu Sumi.
“Bukan Bude. Ada yang mau saya sampaikan.”
Aku mengatakan tentang rencana kepergianku tiga bulan lagi. Setelah Dinda selesai menjalani ujian akhir semester. Karena itulah aku tidak akan lagi mengambil barang dagangan dari Bu Sumi. Selain itu, aku juga akan tetap menagih kredit baju pada para pelanggan yang tersisa.
“Kamu nggak perlu khawatir Rin. Jika kredit baju belum lunas, salah satu staff disini yang akan mengurus. Sayang sekali kamu memutuskan untuk pindah. Namun, di sisi lain saya dapat memahami keadaan kamu.”
Bu Sumi menganggukan kepalanya mengerti. Aku hanya bisa terdiam. Banyaknya orang yang sudah mengetahui kondisi rumah tanggaku benar-benar membuat aku merasa malu. Karena memang Ibu mertua dan Yani sering menagih uang di depan umum. Baik di pasara atau saat berpapasan di jalan. Namun, di sisi lain dari mereka juga aku bisa mendapat banyak bantuan.
Mbak Rini sudah meringankan biaya kontrakan agar di bayar untuk tiga bulan saja. Kini Bu Sumi juga bersedia membantu dengan menyuruh staffnya untuk menggantikanku menagih kredit baju pada para pelanggan yang belum lunas. Benar-benar bantuan yang tidak terduga.
“Terima kasih banyak Bu Sumi.”
“Nggak masalah. Oh iya, saya beberapa kali lihat akunmu di beberapa marketplace. Ramai banget ya Rin.” Bu Sumi segera mengalihkan percakapan.dengan menanyakan hal lain.
“Alhamdulillah Bu. Cukup untuk mutar uang buat bayar barang dagangan sama kebutuhan sehari-hari.”
“Kalau begitu gimana kalau kamu juga mempromosikan barang dagangan saya sebagai dropshipper Rin. Kamu juga bisa dapat untung seperti berjualan barang lain.”
Ucapan terima kasih terus mengalir dari bibirku. Akhirnya aku bisa menemukan solusi untuk masalah ini. Setidaknya satu masalah sudah selesai. Di tambah lagi dengan tawaran Bu Sumi membuatku merasa sangat lega. Kini aku punya sedikit penghasilan saat memutuskan pergi bersama Dinda dari rumah kontrakan itu.
“Saya pamit dulu Bu Sumi. Sekali lagi terima kasih banyak. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Setelah itu aku kembali berkeliling untuk menjajakan barang dagangan. Sekaligus menagih kredit baju dari para pelangganku. Karena takut jika Ibu mertua dan Yani akan kembali mengambil uangku, aku segera pergi ke koperasi untuk menyimpan uang. Baru pergi ke komplek tempat tinggal Ibu mertua.
Baru saja aku memasuki komplek itu, aku dapat melihat Mas Eko yang pergi dengan seorang wanita sambil berboncengan motor. Jika di lihat dari penampilannya, wanita itu tampak beberapa tahun lebih tua dari Mas Eko. Sayangnya aku tidak dapat mengikuti mereka karena salah satu pelangganku sudah melambaikan tangan di depan rumah. Membuat aku membelokan motor ke rumah itu.
Satu jam berlalu dengan cepat. Aku hanya mendapat uang delapan puluh ribu saja dari para pelanggan di area komplek ini. Tidak lupa juga dengan beberapa baju yang sudah di bawa tapi di beli secara kredit. Karena haus, aku berhenti di depan salah satu warung yang terkenal murah. Lokasinya yang berada di pinggir jalan besar membuat warung ini sangat ramai.
Saat masuk ke dalam bangunan warung, aku dapat melihat Mas Eko bersama wanita itu. Tidak hanya mereka saja. Bahkan Ibu mertua dan Yani juga ada disana. Karena merasa lapar sekalian saja jika aku memata-matai mereka. Penasaran juga siapa wanita itu sebenarnya.
Setelah memesan makanan di kasir, aku duduk di meja yang berjarak dua meja dari mereka. Hanya saja aku masih bisa mendengar suara orang-orang yang duduk di meja lain. Suasana persawahan yang hijau sekaligus panas menjadi pemandangan tersendiri. Mudah-mudahan saja Mas Eko dan keluarganya tidak menyadari keberadaanku.
“Ngomong-ngomong siapa nama menantu Bu Lasmi itu? Keterlaluan sekali dia tidak mau memberikan uang pada mertuanya.” Kata wanita itu yang bisa aku dengar dengan sangat jelas.
“Namanya Arini. Akhir-akhir ini Arini selalu punya alasan untuk tidak memberiku uang. Padahal sebelumnya usaha Arini cukup ramai untuk membiayai kebutuhan keluarga besar kami.” Saat menolehkan kepala ke belakang, wanita itu tampak menganggukan kepalanya.
“Terus kenapa Mas Eko tidak menceraikannya saja? Lebih baik menikah denganku. Bisa aku jamin jika aku akan memenuhi kebutuhan hidup kalian.”
Apa wanita itu adalah selingkuhan Mas Eko? Jika benar begitu akan lebih mudah bagiku untuk lepas dari keluarga benalu itu.
“Kapan-kapanlah. Kami juga masih butuh uangnya. Kan Nak Sita belum pasti mau menikah dengan Eko. Nak Sita saja masih punya suami kan.” Ya ampun ternyata wanita itu masih punya suami.
“Benar juga sih Bu. Lama banget sih pelayannya. Saya pergi ke kasir dulu. Sekalian mau minta air mineral.”
Begitu wanita bernama Sita itu pergi, Yani langsung mencibir penampilannya yang terlihat sangat tua. Padahal Sita hanya terpaut usia tiga tahun lebih tua dari Mas Eko. Selain itu, Mas Eko mengatakan jika dia tidak mau menikah dengan Sita sebelum wanita itu berhasil merebut harta suaminya.
“Kamu benar Ko. Untuk sementara waktu kita manfaatkan saja Sita dulu. Lumayan agar bisa terus makan enak. Daripada makan ati minta sama Arini tapi tidak pernah di kasih lebih seperti dulu.” Kata Ibu mertua mendukung perkataan kedua anaknya.
Setelah Sita kembali ke meja mereka, Mas Eko meminta sejumlah uang. Sayangnya aku tidak bisa mengintai lebih lama karena makananku sudah habis. Aku sudah pergi ke kasir lebih dulu agar mereka tidak tahu jika aku sedang mengintai. Selain itu, aku juga membungkus beberapa lauk untuk makan siang dan makan malamku dengan Dinda.
Karena hari ini Mas Eko kembali masuk bekerja di sore hari, aku tidak mau dia tahu jumlah uang yang aku dapatkan hari ini. Jadilah uang yang aku bawa pulang hanya terissa lima puluh ribu saja. Aku yang sudah menjemput Dinda dari sekolah segera masuk ke dalam rumah. Seperti biasa aku akan pergi ke gudang untuk meletakan barang dagangan.
Di dalam gudang sangat berantakan. Aku melihat kotak tempat biasa aku menyimpan uang sudah tergeletak di lantai. Dengan beberapa uang logam yang berhamburan keluar. Untung saja sudah lama aku tidak menyimpan uang di kotak itu. Hingga menyiasakan uang logam saja. Tapi, siapa yang sudah menggeledah isi gudang rumahku? Sekarang tempat persembunyian uang sementara di rumah ini sudah di ketahui. Sedangkan aku masih harus bertahan di rumah ini kurang dari tiga bulan lagi.
Aku segera masuk ke dalam kamar lalu membuka lemari yang juga isinya sudah berantakan. Pakaianku yang bagus sudah tidak ada lagi di dalam lemari ini. “Ya Allah. Mereka bahkan juga mencuri bajuku.”
Tidak ada barang berharga di rumah ini selain TV, Kulkas dan sepeda motor. TV dan kulkas masih ada di tempatnya. Jadi, jelas bukan perampok atau pencuri yang masuk ke dalam rumah ini. Berarti pelakunya mungkin Mas Eko, Yani atau Ibu mertua.
Pagi harinya aku memutuskan untuk membeli bubur ayam di waurng terdekat. Mas Eko masih tidur setelah tadi malam melakukan shift di pabrik. Aku juga tidak tertarik untuk membahas kamar dan gudang yang berantakan. Bertengkar di pagi hari akan membuatku terlambat mengantarkan Dinda ke sekolah.“Kamu benar-benar nggak punya simpanan uang kan Rin?” Itu pertanyaan Mas Eko tadi malam yang langsung aku jawab dengan gelengan kepala.“Sudah kamu lihat sendiri mas. Aku sama sekali tidak punya simpanan uang.” Bantahku berusaha untuk tenang.Aku menyapa tetangga yang juga sedang mengantri untuk membeli bubur ayam. Saat tiba giliranku, aku menyebut pesanan, penjual bubur ayam itu anehnya menatapku dengan sengit. Hal yang tidak pernah di lakukannya padaku selama ini.Apakah aku pernah melakukan kesalahan padanya? Jika di ingat-ingat kami jarang bertemu. Saat membeli aku juga tidak pernah berhutang padanya. Semua orang sudah pergi hanya menyisakan aku saja disana.“Maaf mbak. Apa aku punya salah sama
Kak Rania menarik tangan Dinda sambil menempelkan jari telunjuknya di bibir. Sebagai isyarat agar kami tidak mengatakan apapun. Masih bisa aku dengar Ibu mertua yang mengeluh tentang penghasilanku yang sering habis untuk kebutuhan rumah. Sehingga tidak bisa memberi Ibu mertua dan Yani banyak uang seperti dulu.“Apa Arini pernah cerita kalau dia di tegur sama bosnya Ko?” Tanya Ibu mertua yang memperhatikan jika barang daganganku tidak sebanyak dulu lagi.“Iya Bu. Bu Sumi membatasi barang dagangan yang di ambil Arini karena sering telat membayar.”“Itu sih tanggungannya Mbak Arini. Tapi, dia juga harus tetap mikirin kita lah.” Sahut Yani tidak mau tahu.Tentu saja Kak Rania juga ikut mendengar percakapan keluarga Mas Eko. Raut wajah Kak Rania sudah berubah menjadi keruh. Dengan isyarat tangan, Kak Rania mengajak kami diam-diam pergi dari sana. Hingga kami akhirnya duduk di kursi teras. Sudah ada banyak barang yang di letakan di atas meja.“Kakak nggak nyangka jika kelakukan suami kamu d
“Aku sama sekali tidak menceritakan apapun. Buat apa mengumbar aib rumah tangga sendiri. Aku dan Dinda juga yang akan malu. Lagian kamu nggak dengar sendiri kalau Kak Rania sudah mendengar semua percakapan kalian? Bahkan Kak Rania juga melihat Ibu yang tidak mengijinkanku makan malam bersama kalian. Bukan aku yang membuat sikap Kak Rania berubah pada kalian. Tapi, keluargamu sendiri yang sudah melakukan hal itu mas.”Mas Eko hanya terdiam. Sama sekali tidak bisa menjawab perkataanku lagi. Kakiku kembali melangkah masuk menuju kamar untuk berganti baju. Bagaimanapun juga hari ini aku harus pergi ke pasar. Apalagi setelah ini aku masih harus membersihkan rumah. Ibu hanya menyapu halaman depan untuk menarik perhatian Kak Rania. Tapi, kondisi di dapur masih seperti kapal pecah setelah mereka selesai makan tadi malam.Apa tadi yang Ibu katakana? Ibu mertua sudah memasak sarapan untuk menyambut kedatangan Kak Rania. Namun, semua itu bohong karena saat berjalan melewati dapur tadi aku tidak
Belum sempat aku selesai menjawab Bapak sudah mengatakan pada teman-temannya jika aku yang akan membayar. Diam-diam aku memberikan salah satu dompetku pada Dinda. Dengan isyarat mata, Dinda mengerti jika dia harus segera pergi ke toko. Aku mengeluarkan dompet yang satu lagi. Hanya ada uang tiga puluh ribu saja di dalam dompet.Aku berjalan menghampiri Bapak mertua yang hendak keluar bersama teman-temannya. “Maaf Pak. Uangku tinggal tiga puluh ribu aja. Tadi nggak dapat banyak setoran. Terus uangnya buat ngisi bensin sama sudah di ambil Mas Eko.”Bukannya menjawab perkataanku, Bapak mertua justru menarik tanganku menuju sudut warung, Mengabaikan tatapan pemilik warung dan teman-temannya yang mendengar perkataanku tadi. Wajahnya sudah berubah menjadi merah. Mungkin karena malu mendengar perkataanku di depan teman-temannya dan para pembeli yang makan disini.“Kalau ngomong jangan di depan teman-teman Bapak. Kalau kamu nggak ada uang, tunggu sampai Bapak pergi. Kamu kan bisa pinjam pada b
Kak Arif memberikan tanda jika ia akan mematikan sambungan telpon. Aku segera meletakan hp di atas meja belajar Dinda lalu membaringkan tubuh. Bagaimana bisa Mas Eko mendengar suaraku yang tidak keras? Apakah dia sengaja menguping sejak tadi? Biasanya jika aku menelpon tengah malam seperti ini, Mas Eko tidak pernah bangun.BRAK…. BRAAAKKK…. BRAAAKKKKKK…….Gedoran itu masih berlanjut hingga membuat Dinda terbangun. Aku meletakan jari di depan bibir sebagai tanda agar Dinda tidak bersuara. Wajah Dinda sudah takut karena mendengar suara seperti itu di tengah malam. Suara gedoran di pintu masih belum usai. Lima belas menit kemudian Mas Eko sudah menyerah. Kini aku bisa mendengar suaranya yang sedang bicara dengan Ibu dan Bapak mertua.“Mungkin si Arini lagi ngelindur kal Ko. Dia kalau tidur kan pulas banget. Sampai nggak tahu kalau uangnya sering Ibu ambil.”Hah. Aku baru tahu tentang fakta yang satu ini. Jadi, Ibu mertua sering masuk ke dalam kamar utama saat aku sedang tidur untuk menga
Saat masuk ke dalam rumah, Ibu mertua sudah mengomel karena isi amplop itu bukan uang seperti yang ada di pikirannya. Kertas undangan untuk wali murid itu sudah berada di lantai. Di injak hingga kotor untuk melampiaskan rasa kesal Ibu mertua. Aku memutuskan untuk tidak pergi ke pasar hari ini. Dengan begitu Mas Eko dan keluarganya tidak akan curiga jika aku masih punya uang simpanan yang lain. Justru aku sibuk memasak bahan makanan tersisa di kulkas untuk lauk nanti siang dan nanti malam.“Kamu nggak pergi ke pasar Rin? Naik ojol kan bisa. Biayanya lebih murah dari ojek pengkolan.” Mas Eko sudah menyusulku ke dapur. Hari ini Mas Eko memang bekerja untuk shift sore. Jadi, dia tidak akan bekerja sejak pagi.“Aku nggak punya uang mas. Tadi udah wa teman pedagang di pasar buat pinjam uang. Tapi, dia bilang baru bisa ngasih setelah pulang dari pasar.” Tanganku dengan gesit memetik kangkung yang akan aku masak. Kangkung inipun aku dapat dari kebun tetangga yang kasihan karena Ibu mertua ter
Dinda terpaksa di rawat di rumah sakit karena tubuhnya masih panas. Aku berterima kasih pada wali kelas Dinda yang mau mengantar kami. Saat akan memberikan uang untuk memesan ojol, beliau menolak dengan mengatakan sudah jadi kewajibannya untuk menjaga Dinda. Aku berjalan menuju kamar rawat Dinda yang di huni bersama dengan tiga pasien anak yang lain.Menurut keterangan dokter ada banyak kemungkinan Dinda bisa demam. Tidak di temukan alergi makanan atau virus yang bersarang di tubuh putriku. Karena itulah dokter akan melakukan tes lab untuk mencari tahu penyebab lainnya lebih lanjut. “Bisa jadi Dinda tidak sengaja keracunan makanan.”DegPikiranku langsung tertuju pada Mas Eko. Meskipun aku sudah sangat hati-hati agar tidak terjebak dalam rencannaya, bisa jadi Mas Eko diam-diam sudah melakukan sesuatu. Segera aku keluarkan hp untuk memberi tahu Kak Arif dan Kak Rania lebih dulu jika Dinda masuk rumah sakit. Setelah itu, aku mencari di mesin pencarian tentang macam-macam racun.Ada sala
Entah apa yang di lakukan oleh Mas Eko, tapi dia baru datang tiga puluh menit kemudian bersama dengan semua keluarganya. Ada Bapak mertua, Ibu mertua, Yani dan Mbak Parti. Rupanya kakak iparku itu belum pulang ke rumah suaminya. Mas Eko tiba-tiba bertindak sebagai Ayah yang perhatian dengan memasang wajah khawatir.“Mana yang sakit sayang? Kepala kamu masih pusing?” Tanya Mas Eko dengan nada lembut pada Dinda. Tangan Mas Eko hendak menyentuh dahi Dinda. Tapi, putriku segera memalingkan wajah agar Mas Eko tidak menyentuh dahinya.“Kalau Ayah kamu nanya itu di jawab Din. Bukannya hanya diam saja.” Ujar Ibu mertua dengan wajah merengut kesal.“Sudahlah Bu. Mungkin Dinda masih nggak enak badan. Jangan di paksa.” Bela Mas Eko tegas. Hal yang tidak pernah di lakukannya selama ini.Sesekali Mas Eko akan melirik padaku. Mungkin untuk memeriksa ekspersi wajahku yang tetap datar. Mereka naif sekali. Bahkan jika aku tidak mendengar rencana Mas Eko saat itu, hatiku sudah terlalu hambar untuk mene