Maria sudah siap untuk berkunjung ke rumah mertuanya. Tak ada yang bisa ia bawa sebagai buah tangan. Apa yang harus dibawa? Sementara ia tak punya apa apa. Uang juga tak ada untuk sekadar membeli gula atau minyak goreng.
"Ayo, buruan! Keburu siang!" kata Dani saat keluar dari kamar mandi dan melihat istrinya melamun di depan meja rias. "Mas, Ibu dibawakan apa? Apa nanti kita mampir dulu ke warung beli gula?" Maria menatap suaminya. Rasanya tak enak jika berkunjung ke rumah orang tua dengan tangan kosong. "Tak usah bawa apa- apa. Mas sudah memberikan mereka uang yang cukup semalam." Jawaban Dani barusan membuat hati Maria kembali berdenyut nyeri. "Sudah, ayo! Jangan melamun terus!" Maria menghela napas. Ia berdiri dan berjalan keluar kamar. Di ruang tamu, Bilqis sudah siap dengan pakaian terbaiknya. Pakaian yang dibelikan Dani setahun yang lalu. Entah kapan terakhir kali, putrinya itu membeli baju baru. Maria pun sudah lupa. *** "Sepertinya ada Mbak Dina," ujar Dani saat melihat mobil yang tak asing terparkir di halaman rumah ibunya. "Benarkah, Mas?" "Iya. Itu mobil Mbak Dina. Wah, kalau dia beneran datang, kebetulan sekali. Aku mau nunjukin kalau aku sekarang juga udah sukses," tukas Dani dengan tatapan penuh ambisi. "Mas, nggak perlu begitu. Mending ngobrol biasa saja. Sambung silaturahmi dengan baik. Jangan adu kesuksesan." Maria mencoba memberi nasehat. "Iya, iya. Udah, ayo turun!" Maria menurunkan Bilqis lebih dulu. Gadis kecilnya itu lebih memilih duduk di pangkuannya ketika bepergian. Katanya, jika bersama sang Ibu, Bilqis akan baik- baik saja dan merasa aman. "Assalamu'alaikum." Keluarga Dani mengucap salam bersamaan. "Wa' alaikum salam," sahut semua orang yang ada di rumah Bu Mayang. "Dani? Wah, udah punya mobil kamu?" Dina bertanya pada Dani, adiknya. Dina adalah anak sulung Bu Mayang. Ia tinggal di luar kota karena ikut dengan suaminya yang merupakan pegawai BUMN. "Iya. Kenapa? Mbak kaget kalau aku bisa sukses sekarang?" Maria memilih diam dan duduk di sudut usai menyalimi mertuanya. Ia merasa asing saat berkumpul dengan keluarga suaminya. Entah mengapa ia merasa bahwa saudara suaminya terlalu hedon. Melihat banyaknya perhiasan yang ada di pergelangan tangan Kakak ipar dan mertuanya, membuat Maria sedikit menciut. Apalagi saat melihat tangannya yang kosong karena tak ada satu pun perhiasan yang melekat. Dina mencebik. Ia menatap Maria yang duduk di sudut sofa ruangan dengan senyum sinis. "Kalau emang udah sukses, kenapa istri dan anak kamu penampilannya kayak gitu?" celetuknya sembari menunjuk Maria dan Bilqis dengn dagunya. Merasa disebut, Maria mendongak menatap kakak iparnya. "Maksud Mbak Dina apa?" tanyanya, sopan. Ia pikir dirinya sudah berusaha semaksimal mungkin dalam menjaga penampilannya dan penampilan Bilqis. "Maria, kamu itu jangan polos- polos kenapa, sih? Masa kamu sama anakmu nggak pernah beli baju baru? Baju kalian itu loh, nggak banget. Mana warnanya udah usang. Bulak gitu bahasa jawanya. Masih untung tapi, ya gak ada yang robek?" Dina menahan tawa saat melontarkan pertanyaan itu. Dani mendengkus. Sungguh, saat ini ia kesal kepada istrinya. 'Duh, Maria malu- maluin aja, masa pakai baju jelek begitu? Emang gak ada apa baju yang bagus?' ucapnya dalam hati. Sementara Maria sendiri hanya bungkam. Begitu pula dengan Bilqis yang merasa ingin menangis.Di belakang Maria ada wanita paruh baya dan pria yang sangat dikenal Dani. Arfan. Sebenarnya ada hubungan apa antara Maria dan Arfan? Melihat Maria malam ini, entah mengapa ada rasa tak terima jika melihat Maria bersama pria lain."Dia mantan istrimu, kan? Waw, dia terlihat sangat berbeda malam ini," celetuk Erlin.Dani bergeming. Ia masih terpaku dengan penampilan Maria yang jauh berbeda dari biasanya. Wajah yang terbiasa polos dan berminyak, kini tampak segar dan cantik karena polesan make up. Baju yang biasanya lusuh, kini tampak bagus dan anggun. Begitu pula dengan Bilqis. Ah, Bilqis sangat mirip dengannya. Apa iya Bilqis bukan darah dagingnya? Mendadak hatinya gundah."Mas?" Erlin melambaikan tangan di depan wajah Dani. "Kamu merhatiin Maria dari tadi?" semprotnya tak terima."Enggak. Aku cuma lagi nahan kebelet, Lin. Aku tinggal ke kamar mandi sebentar, ya.""Hem, ya pergilah!" ***"Maria, kamu boleh makan apa saja yang kamu suka. Bilqis juga. Kamu makan apa saja yang kamu mau,
"Ya ampun, kenapa dengan wajahmu? Kenapa babak belur begitu, Daniii?" Bu Mayang histeris melihat wajah anaknya terdapat luka lebam di beberapa titik.Dani melengos saat ibunya hendak menyentuhnya. Ia duduk di sofa dan membuang napas kasar. Hari ini ia dilanda sial bertubi- tubi. Dan hatinya mulai terusik dengan ucapan Arfan tentang Maria dan Bilqis. "Bu?""Eh, iya?" Bu Mayang yang masih syok lantas duduk di samping Dani."Tadi, Yusuf datang dan menghajarku di kantor. Dia sudah tau kalau aku menceraikan Maria."Bu Mayang melotot. "Oh, jadi yang memukulimu kakaknya Maria? Berani sekali dia. Dia pasti gak terima kan kalau adiknya dicerai? Dia pasti bingung sekarang adiknya mau hidup dengan cara apa. Toh, kamu udah gak kasih nafkah sama mereka," cibirnya."Iya. Tapi, aku ragu kalau Maria jual diri, Bu. Aku ragu sekali."Bu Mayang mendengkus. "Jangan termakan ucapan Yusuf. Dia tak akan terima adiknya dihina meski faktanya begitu. Ibu pastikan kalau Yusuf nanti akan dapat balasan karena su
"Revan Bagaskoro, Ferry Danco, dan Dani Aulia Akbar!"Dada Dani mendadak sesak mendengar namanya disebut."Untuk ketiga nama yang barusan saya sebut, segera temui personalia unruk menanyakan jabatan baru dan alasan pemindahan kalian. Terima kasih!Semua orang bertepuk tangan. Tak ada yang protes karena tahu bahwa selama dua bulan terakhir, ketiga nama itu memang bekerjanya kurang baik dan banyak kesalahan sehingga membuat perusahaan rugi.***"Apa? Saya jadi karyawan biasa? Apa salah saya? Padahal saya tidak membuat kesalahan besar. Saya juga cuma sekali saja membuat laporan salah!"Dani mencoba bernegosiasi. Bagaimana mungkin. Dirinya yang seorang manager tiba- tiba jadi karyawan biasa? Apa kata orang- orang nanti? Ditambah lagi satu bulan lagi ia akan melangsungkan pernikahan dengan Erlin."Ini perusahaan Atmaja, Pak Dani. Pimpinan tidak menolerir kesalahan besar meski cuma sekali. Anda adalah manager. Seharusnya Anda bisa lebih cerdas dalam mengerjakan sesuatu," tutur Pak Radit.Da
Dani mengusap wajahnya. Kepalanya terasa berdenyut saking kagetnya ia saat tidur dibangunkan secara paksa. "Iya. Ayo!" Dengan malas, Dani berjalan menuju aula sambil membawa laporan yang baru saja selesai ia buat."Pak, maaf, saya terlambat memberikannya pada Anda," ucap Dani pada Bima yang sudah duduk di kursinya.Bima berdeham, menatap Dani tajam. "Duduk di tempatmu! Sebentar lagi Pak Arfan akan datang!" titahnya."Baik, Pak." Dani menatap semua dewan direksi. Mereka semua tampak gugup. Apa ada hal besar yang akan terjadi sampai mereka bersikap seperti itu Bukankah rapat ini hanya rapat biasa di mana pemilik asli perusahaan Atmaja akan muncul untuk pertama kalinya? pikirnya."Do, kenapa semua terlihat tegang, ya? Aku heran." Dani berbisik pada Edo yang duduk di sisi kanannya. Ia bicara tanpa menoleh pada Edo agar tak menampilkan rasa curiga pada Bima yang tampak mengawasi."Bakalan ada pemindahan jabatan."Dani terkejut. "Kenapa mendadak?" sahutnya, hampir saja suaranya meninggi."
"Kamu kenapa, Dani?"Dani berpapasan dengan Edo. Teman dekatnya di kantor. Edo pula yang mengetahui segala sesuatu yang terjadi dalam hidup Dani. Termasuk perceraian Dani dengan Maria.Dani melengos. Hatinya masih dikuasai amarah karena tak terima dengan perlakuan Yusuf padanya."Kamu habis bertengkar, Dan?" Lagi, Edo melempar tanya pada Dani karena pria beralis tebal itu tak kunjung menjawab."Tak usah bertanya, Do! Pusing kepalaku! Mana kerjaan belum selesai!" Dani menjawab ketus. Edo berdecak. "Apa ada hubungannya sama Maria?" tebaknya.Dani menatap Edo dengan sinis. "Oke, oke. Aku tak akan lagi bertanya. Tanpa kau jawab pun aku sudah tahu," cetus Edo. "Oh, ya. Aku mau ngasih kamu kabar kalau hari ini pemilik perusahaan ini akan datang. Kita disuruh bersiap. Apalagi momen ini adalah kejadian langka," paparnya."Pemilik perusahaan? Bukankah pemilik perusahaan ini adalah Pak Subandi?" Dani mengangkat satu alisnya.Edo tergelak. "Banyak yang terkecoh. Pak Subandi itu cuma orang kepe
Yusuf bergeming. Ia bisa merasakan penyesalan yang mendalam di hati Ayahnya. Tangannya terkepal kuat, menahan emosi yang menggelegak dalam dada. "Ayah jangan menangis lagi. Ini sudah menjadi takdir Maria. Ayah juga tak salah. Yang salah adalah Dani karena dia sudah melanggar janji- janjinya pada kita." Yusuf merangkul pundak ayahnya. "Aku akan membuat perhitungan pada Dani besok!" tegasnya.Pak Yudi hanya diam. Ia tak bisa melarang Yusuf. Sebab, kehormatan mereka terletak pada Maria.***Maria kaget saat melihat kakaknya tiba- tiba tidur di sofanya. 'Kapan Mas Yusuf datang? Kenapa aku tidak tahu? Apa Ayah tahu?' batinnya."Mas? Mas Yusuf!" Maria menggoyangkan tubuh Yusuf."Hem, sudah pagi ternyata," racau Yusuf sembari mengumpulkan jiwanya usai bangun tidur. Ia lantas duduk dan menatap adiknya yang nampak sudah rapi."Mas Yusuf kapan datang? Kenapa tidak membangunkanku?""Tadi malam. Kenapa aku harus membangunkanmu? Aku tidak mau mengganggu tidurmu. Aku tau, hanya dalam tidur kamu bi