Share

Nafkah yang Disunat Suamiku
Nafkah yang Disunat Suamiku
Penulis: Nisa Khair

Bab 1

Nafkah yang Disunat

"Dek, maaf ya, bulan ini gaji Mas dipotong, soalnya sering terlambat datang, jadi presensinya nggak masuk."

Mas Ari menyerahkan sejumlah uang yang kuterima dengan senyum manis. 

"Iya Mas, tidak apa-apa, makasih ya Mas," aku menerima uang tersebut dengan tetap tersenyum. Bagaimana pun juga, Mas Ari telah bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami.

"Anak-anak suka rewel sih kalau ayah mau kerja, jadi terlambat, gaji dipotong lagi." 

Kali ini Mas Ari berkata sambil duduk di bangku dapur. Aku yang sedang menyimpan uang di lemari kamar, tak urung mengernyitkan dahi. Kenapa seakan Mas Ari menyalahkan anak-anak?

"Yang bener Mas, kamu bilang nggak apa-apa kalau telat, yang penting kerjaan beres?"

Aku masih belum percaya, karena berkali-kali ia katakan kalau kesiangan berangkat kerja tidak apa-apa, asalkan pekerjaan selesai dengan baik. Gajinya juga tak pernah dipotong meski ia sering terlambat. 

"Lagian kan kamu sendiri yang nurutin anak-anak jalan-jalan pagi sebelum kamu kerja, kenapa nyalahin mereka?"

Kedua anakku memang sangat dekat dengan sang ayah, bahkan setiap pagi selalu meminta naik motor keliling komplek kemudian membeli jajanan. Jika sudah dipenuhi maka baru diijinkan untuk berangkat kerja. Namun jika tidak, maka mereka akan menangis.

Aku sudah sering mengingatkan Mas Ari, supaya tak terlalu memanjakan anak-anak dengan memenuhi semua keinginan mereka, tapi Mas Ari seakan tak peduli. Baginya, asal anak diam, maka minta apa pun tak masalah. Namun, kini justru seperti bumerang, karena mereka justru tantrum jika keinginannya tidak terpenuhi.

"Udahlah Dek, Mas males berdebat, kalau uangnya kurang, ya pakai dulu uangmu. Habis dapat orderan kemarin uangnya masih ada, kan?" 

Tak ada raut bersalah sama sekali dalam wajahnya saat berkata. Membuat aku tak habis pikir dengan jalan pikiran suamiku ini.

"Apa Mas? Nggak salah kamu? Orderan baru sekali masak uang belanja dipotong separo, tega kamu Mas!" ujarku dengan menahan gemuruh di dada.

Kenalkan, namaku Lisa, ibu dari dua anak berusia tiga dan empat tahun. Ini tahun kelima aku menjadi istri dari mas Ari. Ya, aku diberi kemudahan rejeki berupa anak, sehingga aku sudah memiliki bayi mungil di tahun pertama pernikahan. Usia bayiku enam bulan saat aku kembali hamil anak kedua.

Memiliki anak dengan jarak dekat, membuatku tidak bisa berkutik. Terlebih lagi kedua anakku tidak memakai popok sekali pakai. Tahun kelima inilah aku baru memiliki waktu agak longgar karena anak-anak sudah mau bermain berdua, atau bersama teman satu gang yang seumuran.

Semua berawal saat anakku ulang tahun. Aku membuat nasi biru, sesuai permintaan anakku. Nasi yang kumasak dengan bunga telang, kemudian kubagikan kepada tetangga sekitar. Aku tidak mengadakan pesta, hanya membuat syukuran kecil-kecilan.

Satu minggu kemudian, seorang tetangga memesan menu persis seperti yang ku buat untuk ulang tahun anakku. Itulah pesanan pertama semenjak aku menjadi ibu. Nilainya tak sampai lima ratus ribu, tapi entah kenapa justru uang belanja dapur dikurangi sampai setengah. 

"Terserah Mas dong, mau kasih berapa, uang Mas sendiri juga. Kalau mau punya uang, ya kerja dong!"

Mataku membola mendengar kalimat yang meluncur tanpa beban dari ia yang kusebut suami. Entah mengapa aku menangkap kesan bahwa ia tak ikhlas memberi nafkah. Selama ini aku memang mengandalkan uang gaji Mas Ari untuk kebutuhan sehari-hari. Aku berhenti bekerja juga atas permintaan suamiku. 

Ia menyanggupi memenuhi semua kebutuhan asal aku fokus di rumah mengurus suami. Tentu saja aku setuju, karena tujuanku menikah untuk beribadah, dan menuruti permintaan suami, sebagai bentuk taatku sebagai seorang istri. Selama ini, ia selalu memenuhi kebutuhan kami.

"Kok, kamu gitu sih Mas, kan kamu sendiri yang dulu minta aku berhenti kerja, supaya fokus sama keluarga. Kenapa sekarang tiba-tiba minta aku kerja supaya aku punya uang? Apa kamu nggak ikhlas memberi uang belanja Mas?"

Tanpa terasa air mataku mengalir begitu saja tanpa bisa kucegah. 

"Ini Mas, uang ini aku kembalikan kalau kamu nggak ikhlas."

Uang sepuluh lembar yang ia berikan, aku letakkan lagi di tangan kanannya. Hatiku terlanjur sakit mendengar kata-katanya. Biarlah aku menggunakan tabunganku yang tak ia ketahui untuk kebutuhanku dan anak-anak.

***

Hari-hari berikutnya, aku benar-benar memangkas pengeluaran, terutama untuk belanja sayur. Aku bersyukur tanaman sayur serta cabe di halaman rumah tumbuh subur, sehingga bisa digunakan untuk masak sehari-hari. Aku juga menggunakan ilmu meramban yang pernah ku pelajari.

Aku menggunakan uang tabungan dari sisa uang belanja yang disimpan tanpa sepengetahuan Mas Ari. Aku tak lagi pusing hendak menyediakan makan apa, karena Mas Ari jarang menikmati masakanku. Ya, mungkin ia bosan hanya disajikan tahu tempe serta sayur dari halaman rumah. Pun Mas Ari sering memasak lauk sendiri tanpa meminta bantuanku. Bukan tak mau melayani, hanya saja, jika menawarkan diri untuk memasak lauk, ia selalu menolak.

***

Aku terbangun pukul sebelas malam setelah menidurkan kedua buah hatiku. Aku bergegas mengerjakan sholat Isya yang belum dikerjakan. Saat sedang merapikan mukena, aku melihat sebuah kertas kecil tersembul dari dalam dompet Mas Ari yang tergeletak begitu saja di atas tas kerja. 

"Kertas apa ya, kok tumben Mas Ari naruh dompet di sini," aku bergumam sendiri sambil meraih kertas itu. Kedua netraku membola melihat tulisan dalam kertas itu.

"Ini kan, slip gaji bulan ini, jumlahnya sama seperti bulan kemarin, tapi kenapa Mas Ari bilang gajinya dipotong?"

Sebuah prasangka melintas begitu saja, tapi berusaha kutepis. Aku berharap prasangka ini tak benar.

***

Apa yang sebenarnya disembunyikan oleh Mas Ari, ya?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
1 selingkuh 2 nikah siri
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status