Matahari telah condong ke arah barat. Melihat jam dinding telah menunjuk angka dua. Tiba-tiba terdengar suara kaki-kaki kecil yang bergerak mendekat."Ibu, ayo kita jalan-jalan," ajak si sulung. Nampak nafasnya naik turun, sepertinya ia baru saja berlarian."Jalan-jalan ke mana, Sayang?" tanyaku seraya menangkupkan kedua telapak tangan ke pipi gembulnya."Ke lapangan Bu, ayo.""Ke lapangan, ya? Baiklah, yuk. Tapi minum air putih dulu ya, Nak?"Satu gelas air putih kuulurkan pada mereka berdua. Bergantian mereka menghabiskan isi dalam gelas tersebut. Aku pun beranjak meraih jilbab serta masker kemudian mengunci pintu. Kami bertiga berjalan beriringan menuju lapangan dekat rumah.Rupanya lapangan sangat ramai dengan anak kecil maupun tanggung. Ada yang bermain bola, ada yang bersepeda, ada pula yang berkejaran. Kedua anakku segera bergabung dengan teman-teman satu gang yang sudah akrab. Sementara itu aku mengawasi mereka di pinggir lapangan.Aku kembali melihat sekeliling siapa tau ada t
Malam telah semakin tinggi. Semua penghuni rumah sudah terlelap. Giliran aku memeriksa sekali lagi catatan belanja, untuk menyiapkan pesanan Bu Karti tempo hari. Aku harus cepat supaya besok pagi tinggal mengambil di penjual sayur. Gegas kurebahkan badan, setelah merasa cukup dengan daftar yang aku buat.Pagi hari setelah Mas Ari berangkat, aku mengajak kedua anakku berbelanja ke depan gang, di mana penjual sayur berjualan. Bu Karti telah memberi uang tanda jadi setengahnya, uang itu yang kugunakan untuk membeli bahan yang akan kumasak.Catatan yang sudah disiapkan, tak lupa dibawa. Beberapa jajanan untuk kedua anakku juga kusiapkan, sebab aku tak mau mereka menangis saat aku sedang menyiapkan pesanan. Aku bergerak cepat, memasak nasi dan ayam bersamaan. Anak-anak mengerti kalau aku sedang repot menyiapkan pesanan, sehingga mereka mau bermain berdua. Sesekali ada drama rebutan mainan, tapi tak berlangsung lama.Pukul dua siang, semua telah selesai. Tiga puluh kotak nasi biru lengkap d
Mas Ari telah sampai terlebih dulu saat aku pulang bersama kedua buah hatiku. Ia telah berganti baju serta wajahnya terlihat segar, nampaknya ia telah membersihkan diri.Kami bertiga mencium punggung tangan sang ayah bergantian."Ayah … ayah … adik habis jajan es krim, Yah … sama Ibu, maem es krim," si bungsu bercerita dengan antusias tanpa ditanya."Oh, ya? Enak dong, ya, jajan terus kalian."Mas Ari berkata sambil melirikku.Entah kenapa aku merasa tatapan matanya tajam. Atau mungkin hanya perasaanku saja, ataukah tidak?"Iya, Yah, Ibu juga maem es krim tadi. Seneng lho, Yah … maem tiga, gini," si kakak menimpali dengan menunjukkan ketiga jari tangan kanannya."Wah, luar biasa. O iya, tumben ada ayam goreng, Bu. Biasanya cuma tahu tempe aja?" tanya Mas Ari dengan menautkan kedua alis.Tentu saja ada, Mas. Lihat saja, meski nafkah untukku kau potong, aku tetap bisa menghidangkan lauk yang bergizi untuk anak-anakku.***"Ayah … Ayah, Kakak mau sepeda, Yah … , itu seperti punya Kak Sint
Hari telah beranjak siang. Kedua buah hatiku masih asyik bermain, sementara aku, kini bergelut dengan jemuran yang telah kering. Satu persatu dilipat dan dimasukkan ke dalam lemari. Beberapa celana telah disisihkan karena menurutku sudah tak layak dipakai lagi. Biarlah disisihkan dulu untuk didaur ulang nanti. Urusan pakaian telah beres, kini aku memetik bunga cantik berwarna biru untuk dibuat sirup. Aku berencana membawa sirup ini untuk Ibu. Berharap semoga Ibu suka dengan sirup buatanku."Mbak Lisa, aku pesan sirupnya dong, ready, kan?"Bu Ida, tetangga di ujung gang komplek ini mengirim pesan lewat WA. Ya, aku baru saja memposting sirup buatanku di status WhatsApp milikku yang kebanyakan kontaknya berisi ibu-ibu komplek.Aku membaca pesan Bu Ida dengan senyum mengembang. Padahal aku hanya posting foto tiga botol sirup dengan caption 'sirup bunga telang yang kaya manfaat'. Tidak terpikir untuk menjual, tapi kalau ada yang berminat, kenapa enggak, iya kan? Sirup untuk Ibu, nanti ak
Sabtu pagi, aku melihat Mas Ari masih santai, nampaknya hari ini ia libur. Ya, hari kerja Mas Ari terkadang hanya lima hari saja. Jika pekerjaan sedang banyak, barulah ia berangkat, itupun tak sampai sore. "Ke rumah Ibu? Mau ngapain?" tanya Mas Ari sambil menautkan kedua alisnya.Ah … akan alot soal perijinan ini kalau Mas Ari sudah bertanya mau ngapain. Aku nggak mau nyerah, ayok rayu lagi Lisa!"Silaturahmi Mas, aku kan juga kangen sama Ibu, Ibu juga kangen sama cucu-cucunya. Sudah lama lho, Mas, kita nggak ke sana. Padahal kan dekat, nggak sampai sejam naik motor," aku mulai mengerucutkan bibir."Hm … kangen, ya?" tanyanya, nampak berpikir."Iya, Mas, boleh, ya?" pintaku, dengan memasang wajah memelas."Ya, sudah, ayok siap-siap!" titahnya kemudian."Asyik, alhamdulillah, makasih ya, Mas. Aku siapkan anak-anak dulu," ujarku kegirangan."Siapkan apa? Udah, nggak usah mandi, nanti mandi di sana aja biar puas nyemplung sungai."Wah, ini sungguh kejutan. Tak biasanya begini. Ini seben
"Sa, hati-hati ya, kalau punya uang, disimpan, gunakan seperlunya, jangan dikasih tau itu, suami kamu."Aku mengernyitkan kening membaca pesan dari Mas Imam, kakakku satu-satunya. Apa dia tau kalau aku baru saja diberi hadiah oleh ibu? Kenapa Mas Ari tak boleh dikasih tau?"Iya Mas, makasih ya. Iya, Lisa akan hati-hati. Oiya, kenapa Mas Ari nggak boleh dikasih tau, Mas?"Pesanku langsung centang biru. Aku menunggu balasan, tapi tak kunjung dibalas. Kenapa lagi Mas Imam ini?Sedang bertanya-tanya dengan keanehan pesan Kakakku, tiba-tiba adikku sudah muncul di depan pintu. Ia membawa pucuk daun singkong dalam gendongan. Ada lagi satu ember hitam entah apa isinya."Nih, Mbak, masih suka daun singkong nggak?" tanyanya setelah mengucap salam.Daun singkong itulah penolong kami kala masih sama-sama bocah. Di sawah Ibu, banyak ditanami singkong sehingga kami bisa memetik dan menjualnya dalam bentuk buntil daun singkong. Itulah menu
Malam semakin pekat, namun kedua netra ini tak kunjung terpejam. Aku terbaring di antara kedua anak dan suami, lantas memandang wajah lelah mereka satu per satu dalam cahaya kamar yang remang-remang. Wajah mereka nampak manis sekali saat sedang terlelap seperti ini.Mengecup wajah mereka satu per satu, kemudian aku bangkit berdiri untuk melaksanakan sholat malam, mengadu pada Sang Pemilik Kehidupan. Ingin menumpahkan segala kesah dalam diri ini di atas sajadah, serta mohon petunjuk langkah apa yang harus diambil untuk hari esok.Aku masih shock setelah menerima tabungan yang jumlahnya tak sedikit dari Ibu. Seumur hidup, aku belum pernah memiliki tabungan sebanyak itu. Mau cerita sama Mas Ari, tapi ingat pesan Mas Imam, jadi urung. Juga sikap misterius yang ia tunjukkan kemarin membuat aku berpikir dua kali untuk blak-blakan seperti selama ini.Teringat tingkah aneh Mas Ari kemarin saat di rumah Ibu, aku mencari keberadaan ponsel hitam milikn
Apapun kesibukan di rumah, aku berusaha semua selesai sebelum Mas Ari pulang. Jam menunjuk pukul setengah empat sore, aku harus bergegas."Ayah … Ayah … ."Teriakan kedua anakku terdengar saat suara motor yang khas berhenti di depan rumah.Lah, belum juga selesai kok sudah pulang si Ayah?."Pakeett … ."Teriakan petugas pengirim paket membuat aku terlonjak, juga kedua anakku yang sedang asyik menonton film kartun kesayangan. Aku bergegas ke luar kamar untuk meraih amplop yang sudah kusiapkan. Di sana tertera keterangan jumlah uang dan keperluan, berjaga-jaga supaya uang sudah siap saat paket datang.Petugas paket segera pamit setelah serah terima barang dan uang. Anak-anak sudah mengekor di belakang dan berebut kotak besar yang ada di tanganku."Ini apa Bu?""Ayo kita lihat sama-sama ya. Kakak, tolong ambilkan gunting ya, sayang.""Oke Bu.""Wah, baju Bu, buat siapa?"Mereka terkagum-kagum melihat pakaian yang banyak di depan mereka."Ini buat kamu berdua, ini buat Ayah, ini buat Ibu