Share

Bab 2

Tanganku gemetar hebat saat memegang kedua kertas kecil itu. Entah mengapa Aku makin penasaran, dengan apa yang sebenarnya terjadi.

Aku meraih ponsel yang ada di atas nakas. Tanganku semakin gemetar karena hampir tak pernah membuka ponsel suamiku. Aku merasa seperti seorang pencuri saat ini. Menengok ke arah kamar di mana suami dan anak-anak sedang istirahat, memastikan kalau kondisi aman untuk kulihat isi ponsel milik Mas Ari. Lega sekali mendapatkan ponsel dalam kondisi tanpa kata sandi. Menguatkan hati, aku mencari grup karyawan tempat suamiku bekerja.

Membaca obrolan demi obrolan di dalam grup, aku menemukan daftar gaji karyawan. Tertera jelas di sana nama karyawan beserta jumlah gaji. Kedua netra ini memindai nama demi nama, hingga kutemukan nama lengkap suamiku, Ari Kurniawan. Kolom sebelah kanan menunjukkan jumlah gajinya. Aku scroll lagi ke atas, hingga menemukan lagi daftar gaji karyawan, hasilnya tetap sama, tak ada potongan sama sekali.

Aku beranjak mengambil ponselku, kemudian mengambil foto kedua daftar gaji itu. Aku belum tau, mau menggunakan foto itu untuk apa. Hanya saja, aku merasa perlu menyimpan bukti kebohongan suamiku.

Aku mengembalikan ponsel Mas Ari ke tempat semula. Badanku masih gemetar dan berkeringat, ada yang terluka di dalam sini.

Aku beranjak ke dapur karena merasa haus. Tak sengaja mata ini melihat sampah baru di tempat sampah. Aku berada di rumah hampir dua puluh empat jam, jadi aku tau persis dengan isi rumah termasuk sampah. Merasa penasaran, aku meraih plastik putih itu, yang ternyata berisi kotak styrofoam. Mataku kembali membola melihat isi styrofoam itu.

Aku bahkan tidak melihat ia membeli sesuatu sepulang kerja sore tadi. Atau mungkin ia ke luar saat aku tertidur tadi? Hatiku kembali terluka melihat pemandangan ini. Pertama kali semenjak berumah tangga, tinggal seatap dengan ia yang kusebut suami, ia membeli makanan untuk dinikmati seorang diri, tanpa menyisakan barang sebiji untukku.

Melihat ini aku terkenang suatu ketika saat awal menikah, aku pernah bercerita pada Mas Ari kalau aku membeli dua ikat rambutan. Satu ikat aku berikan pada ibu kos, satu ikat lagi aku makan sendiri karena memang di kos itu hanya aku seorang yang tinggal. Lagi pula rambutan itu buah kesukaanku, mau berapa kilo juga habis kusantap sendiri.

"Mas nggak pernah lho, beli makanan terus dimakan sendiri gitu. Pasti nyari teman terus kita makan rame-rame. Rasanya itu seneng gitu, kalau bisa makan sama-sama."

"Baik sekali kamu Mas, pantas saja teman kamu banyak dan suka datang bawa makanan ke kontrakan kita," jawabku saat itu.

Tak jarang pula ia pulang kerja membawa tentengan, dari si A, katanya. Lain kali temannya datang beberapa orang membawa bahan, lalu rame-rame memasak di kontrakan.

Aduh, kenapa pikiranku jadi kemana-mana ya, mungkin saja semalam Mas Ari lapar kemudian mencari makan di luar karena bosan dengan masakanku. Sudahlah, lebih baik aku memeriksa anak-anak apakah ada yang mengompol atau tidak. Nampaknya aman karena tak ada bau pesing yang menyapa indera penciumanku.

Jarum jam menunjuk angka dua, tapi mata ini tak mau terpejam. Akhirnya aku memutuskan untuk membuka grup reseller yang baru kuikuti dua Minggu terakhir. Aku memposting beberapa foto. Anggap saja ini sebagai salah satu ikhtiar untuk memiliki penghasilan sendiri. Anak-anak semakin besar, kebutuhan juga semakin banyak. Terlebih lagi sebentar lagi si Kakak akan masuk TK.

Masih ada waktu untuk mengetuk pintu langit, kesempatan ini tentu tak akan kusiakan.

***

"Dek, bangun, Mas berangkat kerja dulu ya," pamit Mas Ari sambil mengulurkan tangannya.

Aku menyambut kemudian mencium punggung tangan yang dibalas dengan ia mencium puncak kepalaku. Betapa malunya, suami sudah siap hendak berangkat kerja, justru aku masih terbaring di tempat tidur.

Tapi tunggu, itu kenapa Mas Ari pakai baju kusut? Bukankah banyak bajunya yang sudah disetrika, kenapa ia malah memakai yang kusut sih?

"Mas, kenapa pakai baju yang itu? Sini dulu, biar kugosok sebentar," ucapku seraya bangkit berdiri.

"Nggak usah, udah siang ini."

Wajah Mas Ari ditekuk, apakah dia marah?

"Tapi Mas, ini tuh kusut banget, lho."

Aku masih berusaha membujuk supaya ia mau melepas bajunya sebentar.

"Sudah, yang penting kan, pakai baju."

Jleb.

Istri macam apa aku ini, baju kerja suami saja tak tersentuh setrika, apa kata teman-teman kerjanya nanti?

"Ya udah Mas, hati-hati, ya," balasku dengan lesu, merasa tak berguna kali ini.

Terdengar suara kedua buah hatiku mengantar kepergian sang ayah. Sementara aku, kembali berbaring, kecewa pada diri sendiri, juga kepalaku terasa berat sekali untuk dibawa bangun. Aku teringat setelah melaksanakan sholat Subuh kembali ke tempat tidur hingga aku ketiduran di sini. Semalaman aku tak dapat memejamkan mata hingga adzan Subuh berkumandang. Aku menyusul bungsuku yang memanggil minta ditemani yang akhirnya membuat aku tertidur hingga Mas Ari berangkat kerja.

Sepuluh menit kemudian aku baru bisa bangun, kemudian bergegas membersihkan diri. Kedua buah hatiku tengah menonton film kartun kesayangan sambil menikmati jajanan.

Hariku kembali disibukkan dengan kegiatan ibu rumah tangga pada umumnya. Pukul sembilan pagi semua telah rapi. Anak-anak masih asyik bermain di halaman bersama teman seumuran. Aku bisa santai sejenak setelah bergulat dengan pekerjaan rumah. Aku memeriksa sosmed guna mencari hiburan, juga memeriksa beberapa inbox yang berisi pertanyaan calon pembeli yang berminat dengan produk yang diposting.

Ada beberapa pesanan yang langsung ku teruskan kepada pemilik produk. Alhamdulillah bisa menambah pemasukan.

Lihat saja Mas, aku buktikan kalau aku bisa berpenghasilan.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status