Raisi menatap mobil ayahnya yang baru saja keluar dari area rumah sakit, namun dia mengabaikannya dan langsung saja memasukkan mobilnya ke area parkir dan dia sendiri bergegas masuk ke dalam gedung rumah sakit, dan bertanya dimana Andira menginap. Dia membuka pintu kamarnya dan melihat Andira menatap keluar jendela. Dan Andira yang merasakan kehadiran seseorang langsung menoleh ke arahnya. Kelopak matanya membulat melihat Raisi. "Kau tidak usah takut." Raisi dan dengan pelan membuka pintu ruang kamar itu. Andira menganga dan hanya diam, dia mencengkeram selimut dan menatap Raisi dengan tatapan yang penuh dengan rasa tidak senang atau mungkin kebencian. "Aku meminta maaf sekali lagi Andira." Andira tidak menjawab, hanya diam dan kesal. Sementara Raisi dia semakin mendekat dan duduk di tempat Martin duduk tadi. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Raisi. "Kau yang melakukannya bukan?" tanya Andira membingungkan bagi Raisi. Raisi sendiri mengernyitkan keningnya dan bingung. "Ap
Setelah membawa ibu dan adik Andira ke rumah sakit, Martin bergegas ke kantornya dan memberitahu Fainah bahwa dia tidak akan berada di kantor sepanjang hari. Dia hanya menengok beberapa berkas penting dan menyapa beberapa karyawannya, setelah itu pergi dan bertemu Rami. Mereka berjanji akan bertemu saat jam makan siang, tentu mereka bertemu di restoran yang menampilkan kesederhanaan namun menyajikan makanan mewah. Mereka terlihat duduk berhadapan dengan meja yang memisahkan mereka. Mereka berdua memesan beberapa makanan yang bisa mengenyangkan perut mereka. "Baiklah katakan tentang media yang kau maksud." Martin, duduk dengan tegas menatap Rami yang terlihat begitu rapi. "Apa kau tidak mandi?" tanya Rami tiba-tiba membuat Martin seketika tersinggung lalu terlihat mengendus lengan juga kemejanya. "Kau tidak bau, hanya saja pakaian dan rambut mu terlihat begitu kusut," kata Rami lagi, membuat Martin berhenti mengendus. "Oh, ya..., Memang aku belum mandi," jawabnya sedikit ragu. "
Syarif terlihat bimbang karena tidak menemukan apa-apa di pantai itu, dia mungkin melihat seseorang yang mencurigakan dan bahkan berbicara dengan orang yang mencurigakan itu, namun dia sama sekali tidak mengejarnya atau juga memperdulikannya, oh sial! Itu yang selalu dikatakan Syarif terus menerus, dan saatnya bertemu Martin, namun dengan apa? Dia tidak tahu bagaimana dia menghubungi Martin. Atau mungkin dia datang saja ke perusahaan Martin Dailuna, tentu, dia akan ke perusahaan Dailuna bagaimana tidak. Semua orang tahu perusahaan itu. Dia bergegas dengan motornya dan langsung saja menuju ke perusahaan besar Dailuna. Dan betapa kecewanya dia saat dia tidak menemukan Martin di sana. "Apa? Dia tidak berada di sini?" Syarif saat dia sampai dan bertanya pada resepsionis, seorang wanita tinggi dengan wajah yang menawan. "Iya Pak, Tuan Dailuna akhir-akhir ini tengah disibukkan beberapa hal, sehingga dia tidak sempat untuk ke kantor sepanjang hari ini," jawab resepsionis cantik itu. "Oh,
Terlihat Syarif menunggu di kursi tunggu bersebrangan dengan kamar Andira yang pintunya tertutup. Kadang Syarif juga menatap masuk ke dalam kaca melihat-lihat gadis, ibu dan adiknya. Dia mondar-mandir di lorong rumah sakit, memainkan kadang ponselnya, mendengus kesal, dan terlihat kantuk. Di dalam sana, di dalam ruangan kamar rumah sakit dimana Andira dirawat, dia dan ibunya berbincang-bincang dan kadang menatap keluar, sebuah kaca yang menembus keluar ruangan itu. Andira dan ibunya bertanya-tanya siapa pria yang kadang menengok masuk ke dalam ruang kamar. "Kau mengenalnya?" tanya Bi Ana. "Tidak, aku belum pernah melihatnya." Andira, walau dia melihatnya sekilas saat di pantai, dia tidak bisa mengenalinya sekarang, karena penglihatannya saat di pantai buram dan samar-samar. "Apa benar kau terjatuh di tangga?" tanya ibunya, Martin telah berbohong dan Andira juga berbohong. Admiral mengangguk menatap sang ibu. "Itu tidak seperti jatuh di tangga, wajah Kakak seperti telah dipukuli
Martin terlihat masuk ke ruang sekolah dan bertanya pada salah seorang guru yang bertugas di ruang tata usaha dimana ruangan itu adalah ruangan paling terbuka dan terdekat di area masuk ke dalam gerbang kedua. "Aku ingin bertemu dengan Nadira juga Randy, aku ayahnya," ucap Martin pada salah seorang guru muda yang saat itu tengah sibuk, dan karena dia mengenali pria yang sedang berbicara dengannya maka dia kesampingkan kesibukannya dan langsung melayani Martin dengan bantuannya. "Oh iya Pak, saya kenal dengan Anda, baiklah, Bapak tinggal tunggu di sini aku akan memanggil mereka," ucapnya dengan lembut. Martin mengangguk lalu berkata lagi, "Suruh mereka untuk membawa tas mereka, kami akan pulang lebih awal," ucap Martin lagi. Dan dibalas anggukan oleh guru muda itu. Martin lalu duduk di ruang tunggu, beberapa orang memandangnya dan beberapa orang bergunjing tenaganya. Namun saat melihat Martin mereka menyapa dengan sangat sopan dan ramah, dan Martin kadang mendengar gunjingan mereka
"Lalu? Bagaimana keadaan Andira?" tanya Nadira tiba-tiba."Dia sudah terbangun pagi ini," jawab Martin. Dalam hati kedua anak Martin, terbersit rasa kasihan dan membuat mereka ingin melihat gadis malang itu. Randy terlihat memandang ke arah Nadira lalu memandang ayahnya. Dalam hatinya kini merasa bahwa apakah ini memang salah Andira? Apa yang terjadi padanya bukan semuanya salah Andira, ibunya juga mungkin bisa dia salahkan, seandainya ibunya tidak melakukan perselingkuhan mungkin dia masih bisa mempertahankan pernikahannya, namun juga bukan salah ibunya sepenuhnya, ayahnya juga sangat-sangat bersalah. Namun apa yang terjadi pada Andira sangat tidak adil, kenapa dia yang kini harus terluka? Itu mungkin yang sedang dipikirkan oleh Randy. Lalu keluar dari mulutnya yang berkata, "Aku ingin melihat Andira? Apa boleh?" tanya Randy dan membuat Martin terlihat menaikkan kedua alisnya. Martin tersenyum dan menjawab, "tentu, kenapa tidak?" ucap Martin, "kau Nadira?" "Baiklah, tapi sebelu
"Apa yang kau bawa untukku?" tanya Martin seiring dengan duduk di samping Syarif. "Aku tidak membawa apa-apa," ucapnya, tentu Martin sontak membulatkan matanya dengan tatapan mengernyit pada Syarif. "Apa Maksudmu?" "Dengar, aku hanya membawa informasi padamu, hanya informasi bahwa seseorang datang padaku, dan menyuruhku untuk berhenti, tidak ikut campur denganmu," ucap Syarif. "Hanya itu?""Hanya itu? Bagaiman dengan ponsel ku?" "Aku tidak menemukannya," jawabnya yang hanya akan membuat Martin kesal. "Sial," kesalnya. Dia mendengus kesal dan menyadarkan tubuhnya pada punggung kursi. "Tapi dengar, aku baik dalam mendeskripsikan wajah seseorang, ya aku tidak sempat memotretnya, tapi kau bisa menyewa jasa seorang pelukis wajah untuk ini, mungkin kita bisa menemukannya," jelas Syarif tampak dengan wajah yang begitu serius. Martin sendiri terlihat menaikkan salah satu alisnya, dan terlihat ragu. "Tuan Dailuna, percayalah padaku, aku sangat baik menceritakan wajah...,""Ya kau sudah
Mata Syarif seketika takjub pada rumah yang begitu mewah bak istana, dengan gerbang besar, pos satpam seukuran rumah, seorang sopir pribadi, taman depan yang luas dan diisi dengan bunga-bunga dan tanaman yang terawat, sebuah bagasi mobil dengan lusa yang tidak biasa, namun kenapa hanya satu pembantu rumah? "Tunggu di sini," kata Martin. Dan duduklah Syarif di sofa ruang utama, sementara Martin berjalan naik ke atas ruang kerjanya. Syarif sendiri menatap betapa luas ruangan dengan lampu gantung yang besar, lantai mengkilat, dengan jendela kaca dan sebuah akuarium besar di sisi barat. Dengan sopan Syarif hanya menatap saja tanpa ingin melihat-lihat. Tentu dia tidak mau terlihat norak seperti tak pernah masuk ke dalam sebuah rumah mewah besar. Walaupun benar, bahwa dia tidak pernah memasuki rumah begitu besar dan mewah selayaknya rumah Martin Dialuna. Tak lama kemudian Martin datang dengan alay lukisnya, sebuah kertas, pensil dan sebagainya, apapun yang dibutuhkan untuk melukis. Dia