"Luis, tutupi dulu tubuhnya! Kau suka sekali melihat itu. Aku jijik. Ada kotoran dimana-mana." Clay memalingkan wajahnya dari wanita yang sekarang masih berontak itu.
"Kau saja, Clay!" timpal Luis.
"Big no, Luis! Aku tidak mau! Kau saja."
Luis geleng-geleng kepala lalu mengambil kain kotor di belakang mobil untuk menutupi tubuh wanita gila itu.
"Jangan menyentuhku!" Dinda memberontak.
Luis terkekeh. "Cih! Kau kira aku sudi menyentuhkan tangan bersihku pada tubuh kotor dan menjijikkan milikmu? Jelas saja tidak!"
"Kau gila, Luis! Lepaskan aku! Untuk apa kau menyeretku? Lalu mau kau bawa ke mana aku?" Dinda terus saja memekik tak jelas. Luis dan Clay geram.
"Kenapa kau bising sekali, Nona?" tanya Clay.
"Diam kau!" seru Dinda menyela ucapan Clay.
Wanita itu benar-benar keras kepala. Luis kesal karena dia tak mau juga diam. Ban mobil berdecit mendada
Kaca ruangan pecah berkeping-keping. Roy panik. Peluru itu mengarah ke Gera dan sedikit saja meleset, Gera bisa dipastikan tiada. Namun, bahu Luis yang terkena peluru itu. "Luis!" Gera histeris. Ia panik melihat darah yang mengalir deras dari bahu kiri temannya ini. "Roy, bantu aku!" seru Gera memanggil Roy. Dengan cepat Roy menghampiri Gera dan membantu memapah Luis. "Tahan, Luis." "Iya, Boss. Ini tak terasa. Hanya sedikit nyeri saja," ujar Luis menyembunyikan sakitnya. Roy tak membiarkan satu orang pun keluar dari pintu rumah. Untuk mengobati Luis, ia menelpon ambulance agar datang. Karena kondisi seperti ini berbahaya dan cukup mengancam bagi Roy, tanpa menunggu lama ia menelpon seseorang dan mengerahkan seluruh anak buahnya untuk mengepung sel
Gera pusing terus memikirkan apa yang akan terjadi pada Roy nanti. Ia berusaha mengalihkan pikirannya dan menghampiri Clay."Clay, bagaimana Luis?" tanya Gera. Alih-alih menjawab, Clay hanya melihat Gera dengan tatapan aneh dan senyum penuh misteri. Gera dengan wajah polosnya ikut menatap aneh pada Clay."Kau? Ada apa, Clay?" tanya Gera bingung."Aku masih syock!" jawab Clay berpura-pura dengan wajah pilu.Sontak Gera langsung panik. "Astaga, Clay! Apa yang terjadi? Apa orang-orangnya Devan melukaimu? Kau baik-baik saja kan?" Gera bertanya tanpa jeda. Clay hanya bisa tertawa geleng-geleng melihatnya."Aku syok karena kamu, Ge! Bukan karena Devan atau orang lain," ujar Clay. Ia tertawa terbahak-bahak. Membuat Gera semakin bingung.
Pelan namun pasti, jarak di antara mereka semakin terkikis. Gera bisa mencium aroma tubuh Roy yang membuatnya mabuk setiap kali mencium aroma itu. Bahkan deru napas Roy juga bisa ia rasakan. "Roy...." Namun Roy tidak peduli akan apa yang Gera katakan. Ia hanya ingin merasakan bibir berisi itu. "Kau tahu, kau sudah membuatku gila, sayang! Aku benar-benar tidak bisa tanpamu," gumam Roy membisikkan Gera. "Aku juga gila karena memikirkanmu! Kau menyebalkan, Roy!" balas Gera dengan senyum manisnya. Roy semakin mempererat dekapannya. Walaupun lukanya masih basah dan tentu saja akan terasa sangat perih. Namun Roy harus menahan itu demi rasa rindunya pada Gera. "Jangan, Roy. Kau masih sakit. Itu akan memperparah lukamu nanti. Kau bisa melakukannya saat lukanya sudah mengering nanti." Gera menghentikan tangan Roy yang bergerak untuk memeluknya. "Aku sudah sembuh. Bahkan rasa sakitnya tidak terasa. Kau sendiri tahu aku adalah
"Bicaralah, sayang," suruh Roy. Gera menghela napas pelan. Ia terlihat berpikir sebelum menyampaikan apa yang ingin ia katakan pada Roy. "Roy. Kau pasti ingat, beberapa jam yang lalu aku bilang, kalau kau sampai terluka lagi akibat permainan kita tadi, aku akan berhenti melakukan itu," lirih Gera gugup. Tetapi Roy masih bisa mendengarnya. Roy menatap Gera dalam. "Ge, kurasa itu tidak perlu. Untuk apa? Kau sangat childish!" Suara Roy meninggi membuat Gera menatap tajam. "Childish kamu bilang? Astaga, Roy! Karena itu kamu jadi semakin terluka bahkan tadi sampai pendarahan. Kamu santai, tapi aku gila melihat kondisi kamu yang semakin memburuk!" balas Gera tak kalah dengan suara tingginya. Roy terkekeh. "Sayang, apa yang kamu katakan tidak akan mudah untuk dilewati begitu saja. Aku akan sulit menyalurkan hasratku tanpa bantuan kamu," ujar Roy memelankan suaranya. "Roy, dewasal
"Ge, kau sudah bangun?" Roy membuka matanya menyesuaikan cahaya yang masuk.Gera mengangguk. Ia tersenyum sembari memainkan rambut Roy. "Maafkan aku, sayang," ujar Roy untuk yang kesekian kalinya."Lupakanlah, Roy. Aku yang salah," timpal Gera."Roy, kau bisa terluka lagi nanti," lirih Gera saat Roy berusaha menggapai wajahnya."Aku janji, tidak akan kelepasan. Aku akan mengontrol diriku, Ge. Tapi tolong, jangan menjauhiku," pinta Roy lirih. Gera mengangguk."Aku mencintaimu, Gera." Mendengar itu, entah darimana datangnya perasaan Gera yang bergemuruh. Jantungnya berdegup kencang nan gaduh. Entah, air mata Gera menetes begitu saja. Ia terharu. Juga tak menyangka bagaimana bisa seorang Aroy mengatakan itu padanya."Jangan bercanda, Roy! Ini
"Gera?" Baik Roy ataupun Luis terkejut. Pasalnya, Gera sebelumnya tidak mengetahui dimana Dinda disekap. Dengan tubuh gemetar, Gera masuk ke ruangan itu dan mendekat ke arah dimana Dinda, Luis, dan Roy berada. Luis sendiri sedikit cemas kalau Gera akan membatalkan eksekusi Dinda. "Ge, aku mohon tolong aku! Bantu aku, Ge. Hanya kamu yang bisa melepaskan aku dari Roy." Dinda merengek dengan air mata yang sudah membasahi wajah pucatnya. Gera duduk berjongkok menyetarakan dirinya dengan wanita jahat yang sudah membuat janinnya pergi dari dunia. Ia melihat Dinda dengan wajah miris dan terlihat sangat sedih. "Pasti, Dinda. Aku pasti akan membantumu," ujar Gera. Roy dan Luis tak tahu harus bagaimana. Masalahnya adalah, mereka tidak berani membantah Gera. Terlebih sekarang dia dalam masa pemulihan. "Ge, jangan mendengarnya. Kau terlalu polos. Kau tidak bisa melihat senyuman liciknya di bali
Wajah Gera menegang ketika mengetahui Roy sudah berdiri di belakangnya. Ia kikuk dan terasa kaku untuk sekedar menjawab. Bahkan ia tak berani mengangkat kepalanya. "Ge, jawablah! Siapa yang meneleponmu?" desak Roy sembari menggoyang tubuh Gera agar menjawab rasa penasarannya. Gera menggeleng kikuk. "Bukan siapa-siapa, Roy. Hanya keluargaku. Mereka memberitahu bahwa Bibiku sedang sakit," jawab Gera canggung. Roy mengangguk-ngangguk. Tetapi itu tidak membuat Gera lega dan tenang. "Kau yakin?" tanya Roy lagi semakin mendekatkan wajahnya pada Gera. "Ten-tentu saja aku yakin, Roy," Gera menjawab dengan terbata-bata. "Dan aku mohon, tolong izinkan aku untuk pergi mengunjungi keluargaku besok." Gera tak berani berucap lantang. Namun Roy masih bisa mendengar walaupun wanita ini hanya lirihan saja. Pria itu nampak berpikir keras. "Oke. Akan ku antar beso
Luis tiba-tiba merasa kepalanya pening. Ia merasa seolah terantuk benda besar, namun tak ada apa-apa. Yang membantingnya adalah kenyataan bahwa temannya adalah anak kandung dari musuh bebuyutan Roy sejak lama. Luis tidak mengkhawatirkan hal lain, ia hanya memikirkan keselamatan Gera. "Ge, aku harus jujur pada Roy. Tapi aku sangat takut sesuatu terjadi padamu. Bagaimana aku harus memilih. Tidak mungkin aku berbohong. Roy akan tahu semuanya," gumam Luis seolah berbicara pada Gera. Ia benar-benar bingung harus bagaimana. Pria itu menggeleng keras lalu membanting kepalanya ke kemudi mobil.Jeritan Luis sangat memekikkan telinga. Untung saja sekarang ia berada di tengah hutan. Jadi tidak akan menganggu siapapun. "Ge, aku akan jujur pada Roy apapun yang terjadi. Karena aku melakukan ini untukmu. Demi kebaikanmu. Aku tidak mau Roy tahu semuanya setelah semua terlambat. Itu akan menjadi masalah yang jauh lebih