Setelah Map tersebut terbuka, Ayah menarik isinya."Lihat ini, Arumi ... " ujarnya tersenyum.Sontak mataku membelalak, melihat apa yang Ayah keluarkan dari dalam Map itu."Ayah menyimpan ini semua bukan karena tidak ikhlas atau ingin diakui ..."Tatapan mata kami bertemu setelah Ayah menjeda kalimatnya."Ini semua hanya cara Ayah agar tidak merasa semakin bersalah."Aku mengambil bundelan kertas-kertas usang tersebut. Beragam bukti transfer sejumlah uang terlihat paling atas. Ada sebagian yang telah berwarna kekuningan bahkan tidak sedikit yang tulisannya sudah sulit terbaca.Aku mulai membongkar semuanya sampai pada surat-surat yang dapat dipastikan telah berusia puluhan tahun di bagian paling bawah dari bundelan."Ayah selalu mengirimkan untukmu sebagai kewajiban seorang Ayah." Penjelasan Ayah tidak kutanggapi karena aku mulai membaca surat-surat itu."Ayah berhenti mengirimkan biaya untukmu setelah kamu menikah ...""Jadi Wak Djalil tahu keberadaan Ayah?" tanyaku memotong penjelas
Tanpa menghiraukan kekagetan Rendra, ayah terus berbicara. Setiap masang mata di ruangan ini saling berpandangan tanpa suara. Setelahnya, sebelum meninggalkan ruangan ini, mereka semua menyalamiku satu persatu dan mengucapkan kata 'selamat datang'."Rendra, ajak Arumi berkeliling hotel dan jelaskan apa pun tentang hotel yang perlu Arumi tahu," ujar ayah setelah hanya tinggal kami bertiga di ruangan rapat.Tampak Rendra mengangguk saja, "Ayo, Rumi!" ajaknya datar.Aku mengikuti langkah Rendra."Rendra, setelah berkeliling antarkan kembali Arumi ke ruangannya, Papa tunggu di sana."Kemudian Ayah mendahului kami keluar dari ruangan ini.Sudah hampir lima belas menit berkeliling, tetapi sikap Rendra berbeda. Tidak seperti biasanya, ramah dan hangat."Mas, apa kamu sakit?" tanyaku menyela penjelasan demi penjelasan Rendra terkait hotel ini."Tidak, aku baik-baik saja, Rumi."Rendra melanjutkan langkahnya. Setiap kali berpapasan dengan beberapa orang yang berseragam hotel ia memperkenalkank
"Sayang, kamu pasti capek 'kan? Istirahat sana ke dalam!" Mama menghampiriku setelah melotot ke arah Karina."Tapi, Ma, Karina ...." aku menatap Karina yang pandangan matanya seperti akan mengulitiku hingga tak bersisa."Sudah, jangan pedulikan Karina. Adikmu sedang latihan itu, dia dapat kontrak FTV." Mama menjelaskan sembari mengusap pundakku pelan.Pengalaman pertama belajar banyak hal terkait tanggung jawab dan apa saja tupoksi pekerjaanku di hotel memang sangat menguras tenaga. Karenanya, tanpa membantah lagi aku berlalu ke kamar menyusul Delima.Setelah mengajarkan Delima mengaji seusai Maghrib, terdengar ketukan di pintu kamar."Arumi, maaf, bisa kita bicara sebentar?" Rendra sudah berdiri di depan pintu saat aku membukanya.Segera aku menutup pintu dan membiarkan Delima bersama ponsel sedang berbicara dengan ayahnya. Kuikuti langkah kaki Rendra ke arah gazebo taman belakang."Ada apa, Mas?" tanyaku cepat karena setelah ini aku hendak menyuapi Delima makan malam."Apa kamu yaki
Karina mendekat. "Ikut aku!" ia menarik tanganku paksa, memutuskan tautan tangan antara aku dan Delima."Kamu apa-apaan ini?!" Kusentak tanganku hingga cengkeramannya terlepas."Oh, sudah mulai berani membentak ya?" tanyanya dengan suara pelan namun tatapannya begitu tajam seakan hendak menelanku bulat-bulat."Maaf Karina, bisakah kita bicara setelah aku menyuapi Delima makan malamnya? tunggulah sebentar, tidak akan lama."Kembali kegandeng Delima yang tampaknya kebingungan dengan keadaan yang terjadi dan membawanya ke dapur."Mak, kita akan sampai kapan di sini? kita tidak akan pulang lagikah?""Delima, kalau sedang makan itu tidak boleh bicara. Masih ingatkan yang Mamak bilang?"Tanpa lagi bersuara, Delima mengangguk dan mulai kembali mengunyah. Beruntungnya aku memiliki Delima, ia laksana malaikat yang selalu menguatkan. Cukup hanya memandang wajahnya saja, baterai tubuhku seperti terisi full."Wah, anak pintar ini, pasti akan cepat besar," ucapku sambil mendorong kursi dan menurun
"Berhenti!"Aku berpaling dengan kembali menurunkan tangan yang hendak kudaratkan sekali lagi di pipi mulus Karina."Kamu apa-apaan Arumi?" Mas Rendra menatapku tajam seperti ingin membalas tamparanku terhadap Karina melalui tatapan matanya.Tanpa menghiraukan mereka berdua --Karina yang menatapku nyalang dengan sebelah telapak tangan memegang pipi dan Mas Rendra dengan tatapan membunuhnya-- aku kembali duduk ke tempat semula.Berulangkali aku menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Mencoba meredakan degupan jantung yang berdetak di luar kelaziman.Seorang Arumi Keumala menampar orang, dan seingatku, selama aku hidup, ini pertama kali. Bayangan Kakek terlintas, cepat-cepat kugelengkan kepala, menghalau sendu wajahnya yang mungkin kecewa atas sikapku.Seharusnya kau harus lebih mampu mengontrol emosi, Arumi! Hardik hati menggantikan bayangan Kakek.Kembali kubuka mata yang sesaat terpejam. Karina dan Mas Rendra masih ada di hadapan. Saling diam, entah apa yang sekarang mereka pikir
"Berhenti!"Aku berpaling dengan kembali menurunkan tangan yang hendak kudaratkan sekali lagi di pipi mulus Karina."Kamu apa-apaan Arumi?" Mas Rendra menatapku tajam seperti ingin membalas tamparanku terhadap Karina melalui tatapan matanya.Tanpa menghiraukan mereka berdua --Karina yang menatapku nyalang dengan sebelah telapak tangan memegang pipi dan Mas Rendra dengan tatapan membunuhnya-- aku kembali duduk ke tempat semula.Berulangkali aku menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Mencoba meredakan degupan jantung yang berdetak di luar kelaziman.Seorang Arumi Keumala menampar orang, dan seingatku, selama aku hidup, ini pertama kali. Bayangan Kakek terlintas, cepat-cepat kugelengkan kepala, menghalau sendu wajahnya yang mungkin kecewa atas sikapku.Seharusnya kau harus lebih mampu mengontrol emosi, Arumi! Hardik hati menggantikan bayangan Kakek.Kembali kubuka mata yang sesaat terpejam. Karina dan Mas Rendra masih ada di hadapan. Saling diam, entah apa yang sekarang mereka pikir
Sejak kejadian itu, ayah membelikan sebuah apartemen untukku yang kami tinggali berempat bersama Delima, aku, seorang Asisten Rumah Tangga dan seorang Pengasuh.Baru saja aku merasakan punya keluarga lengkap yang tinggal bersama dalam sebuah rumah, kini harus 'terpisah' lagi. Namun, inilah yang terbaik. Ayah kerap datang hampir setiap sore untuk bermain dengan Delima dan juga mengobrol serta mengajariku banyak hal terkait pengelolaan hotel dan minimarket.Hari ini tepat setahun aku berkecimpung di dunia bisnis yang sama sekali tak pernah terbayangkan sebelumnya. Jangan membayangkan, memimpikan sekadar halu saja aku tak berani. Qadarullah, kini hal tersebut terwujud nyata di hadapan.Arumi, kamu berubah banyak, bisik hatiku sendiri. Netraku menangkap bayangan sesosok perempuan dalam balutan rok kulot lebar hitam dengan blouse berwarna teh susu serta dilengkapi blazer senada rok. Aku yakin, jika pulang ke Aceh mungkin mereka tidak akan percaya jika ini adalah Arumi.ddrrt ... ddrrt ...
Hangatnya pelukan Mak Jannah yang kurindukan sangat kembali terasa, nyata menentramkan kembali hati yang sungguh tak baik-baik saja.Tujuanku pulang bukan hanya mengurus kafe yang baru saja rampung, tetapi lebih dari itu. Hampir dua tahun aku mengeja kata memiliki terhadap Adam, yang pada akhirnya setelah semua luka masa laluku sembuh baru kusadari ada cinta di sana.Jarak mampu menguak benih-benih rasa itu menemukan definisinya. Rasa yang mungkin saja telah bersarang lama namun tertutupi tirai semu bernama 'kebiasaan'. Ya, aku terlalu terbiasa dengan seluruh perhatian dan pengertiannya hingga tak menyadari jika itu semua adalah cinta.Sayangnya, saat tabir itu tersingkap, aku kembali harus sadar dalam sebuah kenyataan yang tak pernah kuduga sebelumnya."Dia teman sekantornya Adam, Rum. Baru setahunan ini menjadi pegawai di sana." Mak Jannah bercerita tentang calon istri Adam yang akan dinikahinya besok, dan sekarang di rumah Mak Jannah sedang melakukan beberapa persiapan.Bak bunga y