Meski sangat lelah, sekejap pun Anya tak mampu terpejam. Tubuhnya membelakangi Arga, memeluk erat selimut dan meremasnya dengan tangis yang tak juga reda.
"Argh! Sial!" Pria yang bersamanya memukulkan keras tangan ke ranjang yang spreinya banyak terdapat bercak milik Anya. Hatinya puas, tapi ada sisi lain dari diri lelaki itu yang mengutuk perbuatannya.Arga bangun dari tempat tidur untuk mandi. Sembari berpakaian melirik pada wanita yang masih menangkupkan kepala di atas ranjang. Berpikir sebentar lagi Anya pasti akan melapor pada ibunya.Selesai berganti pakaian, Arga pergi tanpa sepatah kata pun diucapkan pada Anya. Pikiran yang berkecamuk membuatnya refleks membanting pintu saat ke luar. Anya tersentak kaget, pria itu membuatnya semakin takut.Begitu kamar yang luas itu sepi, dengan susah payah Anya bangkit, ada rasa nyeri yang menjalar dari perut hingga bagian sekitar.Kalau saja Arga bersikap dengan lembut. Tanpa dikasari akan dengan rela hati sebagai seorang istri melayani sang suami, walau ia melakukan tanpa cinta. Begitulah yang Rabbnya perintahkan.Wanita itu tahu posisinya. Telah lama ia menggenggam Islam dan syariatnya kuat-kuat.Ia tarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya, tertatih mencari air di kamar mandi. Air matanya masih juga luruh. Hatinya terus mempertanyakan, bagaimana bisa kemalangan ini menimpanya?Saat akan masuk ke pintu kamar mandi yang tak jauh dari tempatnya, tak sengaja matanya menangkap cahaya dari ponsel di atas nakas. Dari sebelum pergi ke tempat ini, ia memang sengaja mematikan suara yang menganggu acara.Ia mendekat, kontak dengan foto seorang pria tertera di atas layar. Bukannya menjawab, Anya justru makin menangis. Pedih berkali lipat yang ia rasa. Perempuan dengan rambut acak-acakan itu tak tahu harus bicara apa pada Irham?...Menjelang sore, Mira berdiri memeluk tubuhnya sendiri. Menatap ke luar jendela, hamparan hijau persawahan nun luas tampak asri. Hawa desa tetap saja sejuk meski matahari sedang terik-teriknya.Kepalanya menoleh begitu mendengar suara ponsel dari atas lemari kecil di dekatnya berdiri. Buru-buru ia mengangkat, barangkali Anya yang menelepon dan menceritakan apa yang terjadi agar beban berkurang di pundak anaknya.Namun, begitu melihat nomor baru dan diangkat matanya menyipit mengingat suara seseorang di ujung telepon."Mira apa yang terjadi? Kenapa bukan kamu yang hadir di resepsi? Bukankah kemarin kalian sudah melangsungkan akad nikah? Apa terjadi sesuatu dan ada kaitannya dengan kejadian empat bulan lalu?" Pria itu memberondongnya dengan banyak pertanyaan.Mata Mira memanas begitu tahu siapa pemilik suara di ujung telepon."BAJINGAN!"Bisa-bisanya pria keparat itu menghubungi.Peristiwa empat bulan lalu sontak terekam kembali di ingatannya. Jika saja hari itu benar-benar Arga yang menghubungi. Bukan sms tipuan dari seseorang yang memerkosanya di kamar hotel. Jika saja ia memilih jujur sedari awal, bisa jadi Arga bisa memahami posisinya, dan hari ini pasti ia tengah menikmati hari bahagia dengan sang kekasih. Anya juga tak perlu mengorbankan masa depan indah yang lama diimpikan bersama Irham.Mira menutup panggilan dengan kasar. Rasa sakit terus saja menghujamnya berkali-kali. Hingga tubuh wanita yang bersandar di dinding itu luruh ke lantai."Ya Rabb. Kapan ini akan berakhir?"***Anya mencoba berdamai dengan keadaan, walau bagaimana setiap hal yang terjadi di luar pilihan dan upayanya adalah takdir Allah yang harus dijalani."Bissmillah, hamba ikhlas ya Allah."Setelah melipat mukena dan meletakkan musaf di tempatnya. Perempuan berwajah ayu itu mengambil ponsel dan memeriksanya. Deretan panggilan dari Irham memenuhi layar. Juga beberapa pesan yang terlihat menumpuk dari Grup EO Wedding, Grup ODOJ, chat Irham dan ibunya.Tangan lentiknya terus bergerak, melewatkan banyaknya chat grup dan membuka pesan dari ibunya. Berharap satu pesan itu berisi penjelasan panjang tentang apa yang terjadi sebenarnya. Namun ia mendesah kecewa, tatkala hanya sederat kalimat pendek, permintaan maaf dan doa terbaik dari seorang ibu padanya.Ia lalu membuka pesan dari Irham.[Salam, calon istriku. Apakah terjadi sesuatu. Sejak semalam tak ada pesan yang terbalas. Bahkan teleponku kamu abaikan. Karena khawatir, sepulang kerja aku dan Andi tadi mampir, sekalian ingin bersilaturahmi pada ibu dan ayah, tapi rumah kamu kosong. Segera hubungi aku begitu kamu membaca pesan ini, sholihah.?]Irham adalah pria yang pandai berkata-kata, ia bahkan bisa menunjukkan kerinduan teramat dari kalimat sopan itu.Rentetan ucapan lelaki yang sudah mengkhitbah Anya selalu manis dan membuat tersenyum. Senyum yang aneh karena berbarengan dengan jatuhnya air mata ke pipi."Maaf, Mas!"Wanita berkulit bening dan bersih itu tak tahu harus menjawab apa pada Irham. Hingga ia memilih mengabaikannya, dan beralih pada panggilan pada ibunya. Namun, beberapa kali memanggil nomor yang dituju tidak aktif. Tidak menyerah ia menekan nomor bibinya, Ainun.Hatinya lega. Panggilan tersambung dan diangkat tak lama setelahnya."Assalamualaikum," Anya mengucap salam."Waalaikumsalam. An, apa yang sebenarnya terjadi? Bukannya ibumu baru menikah kemarin, kenapa sekarang malah ke sini meninggalkan suaminya?""Apa ibu tidak bicara sesuatu, Bi?""Tidak, An. Sejak datang sampai sekarang ibumu belum keluar kamar, dia juga melewatkan makan siang. Tak ketuk-ketuk intinya gak dibuka. Katanya masih capek."Anya mendesah. Ia kecewa. Tadinya ia pikir ibunya mau berterus terang pada adiknya agar bisa membantu memikirkan jalan ke luar. Namun, mendengar jawaban sang bibi, ia sadar bahwa ibunya belum siap bercerita."Ada apa, An? Apa terjadi sesuatu?""Em, biar ibu saja nanti yang cerita ya, Bi. Tapi sekarang Anya baik-baik saja, tolong nanti kasih tau ibu." Anya berbohong, tak ingin ibunya semakin tertekan mendengar apa yang sebenarnya dialami. Mira bahkan belum bercerita apa yang sebenarnya terjadi."Oya, Bi. Apa sebenarnya aku bukan anaknya ibu? Maksudku, apa aku anak angkatnya?" Ia ingin memastikan kenapa ibunya tadi pagi bilang bahwa dirinya dan Arga halal menikah. Apakah karena Mira yang sebenarnya hamil atau ada alasan lain, bahwa dirinya bukan anak kandung Mira. Mengingat usia mereka hanya terpaut 14 tahun, yang membuat banyak orang tak percaya mereka adalah ibu dan anak."Kamu ini ngomong apa, An? Aku sendiri yang menggendongmu saat ibumu dulu melahirkanmu!" Bibi Ainun menjawab cepat. Mematahkan apa yang terlintas di pikiran ponakannya.Belum selesai mereka bicara seseorang datang membuka pintu."Bagus, kamu pasti sedang mengadu pada ibumu." Arga mengucap begitu melihat Anya sedang bicara di telepon dengan seseorang. "Asal kamu tahu, An. Neraka yang sebenarnya belum kita mulai," sambungnya lagi sembari tersenyum sinis.Mendengar Arga bicara, Anya buru-buru mematikan panggilannya dengan sang bibi. Namun, Ainun sudah sempat mendengar apa yang Arga katakan."Bukannya tadi itu suara Mas Arga? Kenapa dia bersama Anya? Kenapa dia bicara begitu? Apa yang sebenarnya terjadi antara mereka?"BERSAMBUNGAnya sedang merasai kesedihan teramat, ia memiliki suami super jahat yang tak pernah sekali pun terbayang dalam hidupnya. Menikah memaksa dan bersikap sangat kasar. Pria itu juga melakukan tindak kekerasan seksual padanya. "Aku ingin tahu, siapa yang kamu telepon, An?!" Arga mendekat dan hendak meraih ponsel di tangan istrinya. Namun, dengan cepat Anya mengangkat benda pipih di tangan. "Kenapa?" Pria itu kesal, Anya yang sejak semalam terintimidasi oleh sikapnya kini berani menghindar. "Ini privasi." Anya menjawab pelan, perlahan ia menundukkan kepalanya. Tak ingin matanya beradu dengan mata elang milik Arga. "Privasi? Heh!" Arga tersenyum sinis. "Kamu bahkan adalah milikku." Pria itu kini merebut paksa ponsel di tangan Anya. Sedang wanita itu mendesah. Benar yang Arga katakan, seorang istri adalah milik suaminya. Mungkin dengan cara menikahinya, Arga bisa berbuat semaunya. Lelaki dengan manik mata kecokelatan itu membuka ponsel perlahan. Dibukanya riwayat panggilan, ada deretan
"Bersabarlah, An ... karena waktu akan menghapus semua kesedihanmu!"❤❤❤Air mata Mira luruh tak terbendung. Ia terus mengusap pundaknya, seolah tangan pria bejat itu masih berada di sana menodai setiap jengkal kehormatan dan harga dirinya. "Bagaimana aku akan hidup, Tuan?" tanya Mira pada Admatja tanpa melihat pada lawan bicaranya itu. "Tenang lah, Mir. Selama kamu tidak hamil bukan kah tidak jadi masalah?!" Admatja berusaha menghibur agar Mira tenang. "Tapi bagaimana jika saya hamil? Apa Mas Arga mau menerimaku? Tanggal pernikahan sudah ditetapkan." Wanita itu dipenuhi ketakutan yang besar. Ia begitu mencintai Arga. Apa jadinya jika ia kehilangan pria itu? "Tenang lah, Mir. Semua akan baik-baik saja. Kita tidak tahu selama itu belum terjadi."Tuan Admatja menghela napas beberapa kali. Semua sudah disusun dengan matang, kehadiran Mira akan semakin mengukuhkan kekuasaan lewat tangan Arga. Bukan hanya pekerja keras, Mira dikenal pandai melobi investor. Keberadaan wanita itu akan me
Lelaki mana yang tak marah saat wanita yang dicintainya berkhianat dan sudah tidur dengan pria lain. Itu yang Irham rasa. "Tapi kenapa?" Tangan Irham terkepal. Tatapan pria itu nyalang pada Arga yang masih juga tampak santai di situasi ini. Orang yang dianggapnya baik itu ternyata adalah pria jahat yang tak bisa ditebak. Arga menggedikkan bahu. Melihat Anya menangis dan pergi, harusnya ia puas. Namun, ada bagian dari dirinya yang justru merasa sakit. Dia merasa terlalu kejam. Hingga memaki diri sendiri dalam hati. Tidak suka dengan respon pria yang sudah membawanya ke rumah besar itu, Irham bangkit dan mendekat pada Arga. Tanpa memikirkan akibatnya, tangan kanan Irham mencengkeram kerah kemeja milik pria di depannya dengan kasar. "BERENGSEKK! Kau apa kan, Anya?!" Rahang Irham telah mengeras. Pipinya berkedut, membawa rasa sakit yang ingin dimuntahkan dari dalam dada. "Hem? Kenapa? Kamu merasa dikhianati?" tanya Arga tanpa melawan. "Rasanya tidak akan seberapa dibanding kamu tau wa
Anya memegangi ponsel dengan gemetar. Pikirannya berkecamuk antara ingin tetap bertahan demi sang ibu, dan teriakan sisi hati yang lain meronta, ingin kabur dari Arga. "Hanya air mata yang kudapat jika terus bertahan dengan monster sepertinya!" Lagi, Anya mengusap matanya kasar. Cairan yang keluar itu menghalangi pandangan. Kini, jari-jari lentik milik Anya terus bergerak mengetik pesan untuk Irham. Siapa lagi yang peduli padanya? Sang ibu bahkan tak juga bisa dihubungi dan tak bisa diajak bicara. Anya butuh seseorang untuk bersandar. Hanya calon suaminya yang tengah terluka yang punya ikatan emosi dengannya selain Mira ibunya. Ia juga sangat yakin, meski dirinya bukan gadis suci, Irham masih mau menerima. [ .... tolong aku! ] Pesan terakhir telah terkirim. Semenit, dua menit tak ada balasan. Sampai satu jam, dua jam ... Irham tak membalas. Anya menghela lelah. Barang kali Irham masih sibuk, atau dia terlalu percaya diri dan berani berharap hal mustahil? Mana ada pria yang sudi
Perlahan Anya memasukkan benda pipih ke kantongnya sembari mendesah berat. Tak lama ia menjatuhkan ransel kecil di tangan. Lalu tubuhnya dibiarkan jatuh, jongkok dengan menumpu kedua kaki.Dua mata Arga menyipit tatkala mendengar suara tangis. Yah, lagi-lagi tangis Anya. Kenapa bukan Mira yang banyak menangis di depannya? Agar ia puas melihat wanita lacur itu menderita. Kenapa harus Anya? Dalam sekejap Arga merasa semakin bodoh dan rasa bersalah yang semakin dalam. Tubuh kekar Arga berbalik menyandar sejenak punggung ke dinding. Mengatur deri dalam dadanya. Ia akan hargai apa pun keputusan Anya. Pergi atau bertahan. Tak ada gunanya melarang perempuan muda yang ia sahkan sebagai istri beberapa hari lalu, bukan puas mendapati Mira menderita justru rasa bersalah yang menghantam qolbu. Arga merebahkan tubuh ke kasur king size dengan motif sprei bunga yang Anya pasang tadi pagi. Harumnya masih menguar, membuat rileks bagian tubuhnya yang ikut remuk karena stres. Baru saja memutuskan untu
Wanita itu terlihat sangat buas ketika ibunya dihina lagi-lagi dan lagi. Keberaniannya justru muncul ketika tanpa rasa malu Arga membawa Irham ke rumahnya. Rasa berani yang kemudian datang dari kemarahan yang bertumpuk-tumpuk.❤❤❤Suara petir membuat Arga dan Anya menoleh ke jendela. Namun, pria itu tak memindahkan posisinya mengunci tubuh sang istri ke dinding. "A-apa yang Om, inginkan?" gagap Anya ketika matanya bersirobok dengan mata Arga. Satu-satunya tatapan elang pria yang pernah lawan. "Apa sebenarnya maumu?" tanya Arga yang membuat wanita di hadapannya bingung. "Ap-ap-apa?" Tak dipungkiri dadanya bergemuruh hebat. Belum pernah ia sedekat sekarang dengan pria mana pun. Bahkan dengan Irham yang notabene calonnya saja, Anya menjaga pandangan."Kenapa kamu tak pergi dengan Irham?" Arga menghunus dengan tatapannya. Dua bola matanya bergerak-gerak melihat bayangan dalam manik mata Anya. Wanita itu bergeming. Apa yang Arga inginkan sebenarnya? Jika ingin melihatnya pergi dengan I
"Menyiksa orang baik itu seperti melukai diri sendiri. Hanya meninggalkan sesal dan rasa bersalah di hati."❤❤❤Irham larut dalam pikirannya. Ia terlalu rindu pada Anya. Gadis yang sudah merebut perhatian dan impian.Suara petir menggelegar, Irham tersentak dari pikiran bodohnya menyetubuhi istri orang lain. Sadar semua hanya bayangan, ia lempar ponsel yang menampakkan sosok Anya di sana. Ponsel itu menghantup dinding hingga retak. "Argh! Arga BRENGSEKKK!"Kenapa setelah memintanya datang, Anya mengirim pesan agar Irham pergi?Jelas-jelas Anya menderita di rumah itu, kenapa ia tak mau ikut pergi dengannya? Kenapa cepat sekali pikirannnya berubah? Sudah ia buang harga diri dan rasa takut, tapi bukan mendapati Anya ada di sisinya, malah rasa sakit yang ia rasa berlipat-lipat. "Apa yang musti kulakukan sekarang, An? Meminta penjelasan dan ketegasanmu?"Mata pria itu menerobos kaca hingga tampak bayangan bunga yang tumbuh rapi di pagar halaman rumahnya._______Lelaki bernama Yahya meng
Pikirannya mengawang, berputar saat mendapati sang papa dengan liciknya mengatur rencana. Pria tua itu dengan ringan menyuap banyak pejabat demi meloloskan tender. Tentu hal tersebut sangat berimbas pada kehidupan masyarakat kecil yang tinggal di sekitar proyek. Belum lagi kebijakan-kebijakan pesanan yang, hanya menguntungkan pihak kapitalis dan mencekik rakyat.❤❤❤Melihat musuh bebuyutannya datang, tanpa basa-basi Arga menutup pintu kayu besar yang berukir bunga bunga lily. Namun, satu kaki Arya sudah mengganjal agar pintu tak tertutup."Apa maumu? Pergilah sebelum aku berbuat kasar," usir Arga dengan nada datar. Ia yakin kedatangan saudaranya akan menimbulkan banyak masalah di dekatnya."Anda lupa, ini juga rumahku." Arya mengucap sembari menarik sebuah kertas dari kantong. Pria itu sudah mempersiapkan segala kemungkinan yang akan Arga perbuat untuk menolaknya. Ia buka kertas tebal bertuliskan hak kepemilikan sebuah properti untuk menegaskan pernyataan."Heh!" Arga tersenyum muak.