Share

Kehormatan yang Hilang

Meski sangat lelah, sekejap pun Anya tak mampu terpejam. Tubuhnya membelakangi Arga, memeluk erat selimut dan meremasnya dengan tangis yang tak juga reda.

"Argh! Sial!" Pria yang bersamanya memukulkan keras tangan ke ranjang yang spreinya banyak terdapat bercak milik Anya. Hatinya puas, tapi ada sisi lain dari diri lelaki itu yang mengutuk perbuatannya.

Arga bangun dari tempat tidur untuk mandi. Sembari berpakaian melirik pada wanita yang masih menangkupkan kepala di atas ranjang. Berpikir sebentar lagi Anya pasti akan melapor pada ibunya.

Selesai berganti pakaian, Arga pergi tanpa sepatah kata pun diucapkan pada Anya. Pikiran yang berkecamuk membuatnya refleks membanting pintu saat ke luar. Anya tersentak kaget, pria itu membuatnya semakin takut.

Begitu kamar yang luas itu sepi, dengan susah payah Anya bangkit, ada rasa nyeri yang menjalar dari perut hingga bagian sekitar.

Kalau saja Arga bersikap dengan lembut. Tanpa dikasari akan dengan rela hati sebagai seorang istri melayani sang suami, walau ia melakukan tanpa cinta. Begitulah yang Rabbnya perintahkan.

Wanita itu tahu posisinya. Telah lama ia menggenggam Islam dan syariatnya kuat-kuat.

Ia tarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya, tertatih mencari air di kamar mandi. Air matanya masih juga luruh. Hatinya terus mempertanyakan, bagaimana bisa kemalangan ini menimpanya?

Saat akan masuk ke pintu kamar mandi yang tak jauh dari tempatnya, tak sengaja matanya menangkap cahaya dari ponsel di atas nakas. Dari sebelum pergi ke tempat ini, ia memang sengaja mematikan suara yang menganggu acara.

Ia mendekat, kontak dengan foto seorang pria tertera di atas layar. Bukannya menjawab, Anya justru makin menangis. Pedih berkali lipat yang ia rasa. Perempuan dengan rambut acak-acakan itu tak tahu harus bicara apa pada Irham?

.

.

.

Menjelang sore, Mira berdiri memeluk tubuhnya sendiri. Menatap ke luar jendela, hamparan hijau persawahan nun luas tampak asri. Hawa desa tetap saja sejuk meski matahari sedang terik-teriknya.

Kepalanya menoleh begitu mendengar suara ponsel dari atas lemari kecil di dekatnya berdiri. Buru-buru ia mengangkat, barangkali Anya yang menelepon dan menceritakan apa yang terjadi agar beban berkurang di pundak anaknya.

Namun, begitu melihat nomor baru dan diangkat matanya menyipit mengingat suara seseorang di ujung telepon.

"Mira apa yang terjadi? Kenapa bukan kamu yang hadir di resepsi? Bukankah kemarin kalian sudah melangsungkan akad nikah? Apa terjadi sesuatu dan ada kaitannya dengan kejadian empat bulan lalu?" Pria itu memberondongnya dengan banyak pertanyaan.

Mata Mira memanas begitu tahu siapa pemilik suara di ujung telepon.

"BAJINGAN!"

Bisa-bisanya pria keparat itu menghubungi.

Peristiwa empat bulan lalu sontak terekam kembali di ingatannya. Jika saja hari itu benar-benar Arga yang menghubungi. Bukan sms tipuan dari seseorang yang memerkosanya di kamar hotel. Jika saja ia memilih jujur sedari awal, bisa jadi Arga bisa memahami posisinya, dan hari ini pasti ia tengah menikmati hari bahagia dengan sang kekasih. Anya juga tak perlu mengorbankan masa depan indah yang lama diimpikan bersama Irham.

Mira menutup panggilan dengan kasar. Rasa sakit terus saja menghujamnya berkali-kali. Hingga tubuh wanita yang bersandar di dinding itu luruh ke lantai.

"Ya Rabb. Kapan ini akan berakhir?"

***

Anya mencoba berdamai dengan keadaan, walau bagaimana setiap hal yang terjadi di luar pilihan dan upayanya adalah takdir Allah yang harus dijalani.

"Bissmillah, hamba ikhlas ya Allah."

Setelah melipat mukena dan meletakkan musaf di tempatnya. Perempuan berwajah ayu itu mengambil ponsel dan memeriksanya. Deretan panggilan dari Irham memenuhi layar. Juga beberapa pesan yang terlihat menumpuk dari Grup EO Wedding, Grup ODOJ, chat Irham dan ibunya.

Tangan lentiknya terus bergerak, melewatkan banyaknya chat grup dan membuka pesan dari ibunya. Berharap satu pesan itu berisi penjelasan panjang tentang apa yang terjadi sebenarnya. Namun ia mendesah kecewa, tatkala hanya sederat kalimat pendek, permintaan maaf dan doa terbaik dari seorang ibu padanya.

Ia lalu membuka pesan dari Irham.

[Salam, calon istriku. Apakah terjadi sesuatu. Sejak semalam tak ada pesan yang terbalas. Bahkan teleponku kamu abaikan. Karena khawatir, sepulang kerja aku dan Andi tadi mampir, sekalian ingin bersilaturahmi pada ibu dan ayah, tapi rumah kamu kosong. Segera hubungi aku begitu kamu membaca pesan ini, sholihah.?]

Irham adalah pria yang pandai berkata-kata, ia bahkan bisa menunjukkan kerinduan teramat dari kalimat sopan itu.

Rentetan ucapan lelaki yang sudah mengkhitbah Anya selalu manis dan membuat tersenyum. Senyum yang aneh karena berbarengan dengan jatuhnya air mata ke pipi.

"Maaf, Mas!"

Wanita berkulit bening dan bersih itu tak tahu harus menjawab apa pada Irham. Hingga ia memilih mengabaikannya, dan beralih pada panggilan pada ibunya. Namun, beberapa kali memanggil nomor yang dituju tidak aktif. Tidak menyerah ia menekan nomor bibinya, Ainun.

Hatinya lega. Panggilan tersambung dan diangkat tak lama setelahnya.

"Assalamualaikum," Anya mengucap salam.

"Waalaikumsalam. An, apa yang sebenarnya terjadi? Bukannya ibumu baru menikah kemarin, kenapa sekarang malah ke sini meninggalkan suaminya?"

"Apa ibu tidak bicara sesuatu, Bi?"

"Tidak, An. Sejak datang sampai sekarang ibumu belum keluar kamar, dia juga melewatkan makan siang. Tak ketuk-ketuk intinya gak dibuka. Katanya masih capek."

Anya mendesah. Ia kecewa. Tadinya ia pikir ibunya mau berterus terang pada adiknya agar bisa membantu memikirkan jalan ke luar. Namun, mendengar jawaban sang bibi, ia sadar bahwa ibunya belum siap bercerita.

"Ada apa, An? Apa terjadi sesuatu?"

"Em, biar ibu saja nanti yang cerita ya, Bi. Tapi sekarang Anya baik-baik saja, tolong nanti kasih tau ibu." Anya berbohong, tak ingin ibunya semakin tertekan mendengar apa yang sebenarnya dialami. Mira bahkan belum bercerita apa yang sebenarnya terjadi.

"Oya, Bi. Apa sebenarnya aku bukan anaknya ibu? Maksudku, apa aku anak angkatnya?" Ia ingin memastikan kenapa ibunya tadi pagi bilang bahwa dirinya dan Arga halal menikah. Apakah karena Mira yang sebenarnya hamil atau ada alasan lain, bahwa dirinya bukan anak kandung Mira. Mengingat usia mereka hanya terpaut 14 tahun, yang membuat banyak orang tak percaya mereka adalah ibu dan anak.

"Kamu ini ngomong apa, An? Aku sendiri yang menggendongmu saat ibumu dulu melahirkanmu!" Bibi Ainun menjawab cepat. Mematahkan apa yang terlintas di pikiran ponakannya.

Belum selesai mereka bicara seseorang datang membuka pintu.

"Bagus, kamu pasti sedang mengadu pada ibumu." Arga mengucap begitu melihat Anya sedang bicara di telepon dengan seseorang. "Asal kamu tahu, An. Neraka yang sebenarnya belum kita mulai," sambungnya lagi sembari tersenyum sinis.

Mendengar Arga bicara, Anya buru-buru mematikan panggilannya dengan sang bibi. Namun, Ainun sudah sempat mendengar apa yang Arga katakan.

"Bukannya tadi itu suara Mas Arga? Kenapa dia bersama Anya? Kenapa dia bicara begitu? Apa yang sebenarnya terjadi antara mereka?"

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status