Share

Hadirnya Orang yang Tersakiti

Anya sedang merasai kesedihan teramat, ia memiliki suami super jahat yang tak pernah sekali pun terbayang dalam hidupnya. Menikah memaksa dan bersikap sangat kasar. Pria itu juga melakukan tindak kekerasan seksual padanya.

"Aku ingin tahu, siapa yang kamu telepon, An?!" Arga mendekat dan hendak meraih ponsel di tangan istrinya.

Namun, dengan cepat Anya mengangkat benda pipih di tangan.

"Kenapa?" Pria itu kesal, Anya yang sejak semalam terintimidasi oleh sikapnya kini berani menghindar.

"Ini privasi." Anya menjawab pelan, perlahan ia menundukkan kepalanya. Tak ingin matanya beradu dengan mata elang milik Arga.

"Privasi? Heh!" Arga tersenyum sinis. "Kamu bahkan adalah milikku." Pria itu kini merebut paksa ponsel di tangan Anya. Sedang wanita itu mendesah. Benar yang Arga katakan, seorang istri adalah milik suaminya. Mungkin dengan cara menikahinya, Arga bisa berbuat semaunya.

Lelaki dengan manik mata kecokelatan itu membuka ponsel perlahan. Dibukanya riwayat panggilan, ada deretan kontak. Paling atas milik Bibi Ainun, sedang di bawahnya atas nama wanita yang sudah menghancurkan hidupnya -Mira- berlangsung 00 menit.

'Apa ini? Apa mereka tak saling bicara?' batin Arga, melirik pada Anya yang tampak diam dan pasrah.

Melihat wajah datar Anya, Arga makin penasaran kontak di bawah nama Mira. Barangkali perempuan itu punya orang lain untuk mengadu dan menyerangnya suatu hari nanti.

"Irham?" gumam Arga refleks begitu melihat banyaknya daftar panggilan dari nama itu. Dalam riwayat bahkan sampai lebih dari sepuluh menit.

"Kemarikan!" Anya ingin merebut ponselnya, tapi Arga mengangkatnya tinggi hingga posisi perempuan itu memeluk suaminya.

"Apa yang kamu sembunyikan sampai bereaksi seperti sekarang?" ia naikkan satu alis, tatapan dua insan itu beradu. Saat Arga memicing mata menyimpan curiga, justru Anya memiliki perasaan lain.

Ada perasaan aneh, Anya buru-buru mundur menjauh dari Arga. Mana ada wanita normal yang tidak terpesona jika sedekat sekarang dengan pria setampan Arga?

Sekeras ia bisa, hatinya memaki. Tidak mungkin dalam sekejap Anya jatuh cinta pada pria brengsek yang menghancurkan hidupnya.

"Aku, aku. Hanya ingin melindungi milikku sendiri."

"Hemh." Pria yang masih sibuk mengutak-atik ponselnya itu memiringkan senyum. "Tak ada panggilan setelah kejadian semalam. Kalian cukup dekat sepertinya, tapi aku tak peduli." Meski Anya saling jatuh cinta dengan pria lain, tak jadi masalah untuk Arga. Justru itu bagus, jika perempuan yang ia nikahi akan menderita ketika prianya membencinya lantaran pernikahan dadakan ini.

"Bagus, An. Sekali saja kamu bicara pada orang lain, aku bersumpah akan menyiksa ibumu," tekan Arga, sembari menyerahkan ponsel sang istri.

Anya tak mampu berbuat apa pun. Ia tahu persis bagaiamana posisi dirinya dan ibunya dibanding Arga.

"Setelah ini turunlah, ada banyak pekerjaan yang harus kamu kerjakan!" titahnya lagi sebelum beranjak dari hadapan Anya.

"Apa itu?"

"Aku sudah memecat semua pembantu. Jadi kamu harus membereskan semua sisa acara dan membuatkanku makan malam," jawab Arga santai sambil melepas jas yang melekat di tubuhnya.

"Tapi ... aku juga punya pekerjaan, aku harus pergi rapat malam ini dengan teman-teman."

"Apa? Ini hari pernikahanmu."

"Tidak ada satu pun dari mereka yang tau aku sudah menikah, bahkan Bibi Ainun."

"Kalau begitu bilang kamu sibuk!"

"Ini adalah kewajiban saya, Om. Kami sudah mengambil kontrak dan mempergunakan uangnya, jadi kami harus bekerja. Besok pagi acara resepsi customer kami. Jika Om, melarangku pergi, itu artinya Om minta istri Om bermaksiat karena melanggar perjanjian dan dzolim pada yang lain, dan dengan dalih itu aku berhak menolak."

"Heh. Sialan! Pandai sekali kamu bicara, An!" Arga tampak kesal dan berpikir sesuatu, ia tak akan rela Anya bersantai di luar rumah, sementara hatinya masih meledak-ledak karena marah. Melihat ucapan dan ekspresi pria tersebut Anya berharap, Arga akan mengizinkannya dengan senang hati. Tak ada alasan untuk tidak pergi bekerja.

"Berapa nilai kontraknya?" Arga menggulung lengan kemejanya, lalu mengeluarkan sesuatu dari saku celana.

"Bayar dengan ini!" serunya menyodorkan sebuah benda tipis berwarna gold.

"Kartu kredit?"

"Ambil!" Titah Arga. Melihat reaksi Anya yang diam saja dan tidak mengambilnya, pria itu melempar ke pangkuan perempuan di hadapannya. "Telepon fatner kerjamu dan segera turun lah! Aku benci tempat yang berantakan," sambung Arga melangkahkan kaki meninggalkan Anya.

"Hiss, kenapa aku bisa hidup dengan orang sekasar itu??" dengus perempuan yang mengenakan kaos pendek dan celana selutut itu. Kebiasaan Anya, ia memilih mengenakan pakaian santai agar lebih mudah bergerak, hingga tidak bermalas-malasan sementara ada pekerjaan rumah. Namun, melihat besarnya rumah yang ia tempati milik Arga sekarang, sepertinya pekerjaan berat sudah menunggunya.

Setelah mempertimbangkan, akhirnya Anya memilih menuruti kata Arga. Ia menelepon, Isma yang menjadi sahabat sekaligus salah satu rekan dalam timnya.

"Apa, An?! Kamu sudah menikah?! Kamu gila menikah tanpa ngabarin aku?! Bukannya lamaran belum terjadi?!" tanya Isma bertubi-tubi, begitu Anya mengatakan alasannya mundur dari proyek.

"Ceritanya panjang, Is. Em, dan aku tidak jadi menikah dengan Mas Irham."

"Lalu? Ya Allah, An. Kupikir kamu cinta mati sama dia?!"

"Nanti begitu ada waktu longgar ayo kita ketemu, aku akan ceritakan semua. Nanti aku kirim uang yang sudah masuk rekeningku ya, seperti dalam kontrak aku ganti 10 kali."

"Suamimu sangat kaya seprtinya, An. Siapa dia?" Isma penasaran. Melepas tanggung jawab bukanlah tabiat Anya. Lebih lagi, sahabatnya itu sangat menyukai Irham, tingg selangkah mereka akan menikah, tapi tiba-tiba mendengar dia menikah dengan pria lain.

"An!? Cepatlah!" Suara bariton Arga memanggilnya keras dari bawah, pria itu sudah tak sabar Anya bekerja membersihkan semuanya.

"Sudah dulu ya, Is. Salam buat teman-teman." Anya memutuskan panggilan sepihak. Hal yang tentu saja membuat Isma kecewa. Ia masih belum puas dengan jawaban Anya, tapi melihat sikap sahabatnya ia seolah tahu bahwa perempuan itu sedang dalam situasi yang tidak baik.

Anya bergegas bangkit, mengikat rambutnya yang masih sedikit basah. Mengenakan gamis dan kerudung sedadanya cepat. Walau Arga bilang sudah memecat semua pembantunya, bukan hal mustahil ada orang yang tiba-tiba datang dan memergokinya dengan aurat terbuka.

***

Anya hampir tak percaya melihat banyaknya tumpukan piring dan gelas kotor di atas meja panjang bekas pesta. Apa Arga bercanda? Pria itu sepertinya ingin membunuh Anya perlahan dengan membuatnya kelelahan mengerjakan banyak tugas.

"Cepatlah! Aku menikahimu bukan untuk bersantai!" Pria itu mengacak pinggang menyambut kehadiran Anya yang baru turun dari lantai atas.

"Apa ini semua harus kuselesaikan sendiri, Om?"

"Memangnya siapa lagi? Kamu mau minta bantuan ibumu? Silakan telepon dia!"

Anya mendesah. Kesal tapi juga tak bisa berbuat apapun setelah Arga menyebut ibunya. Hal yang membuatnya terpaksa tunduk pada perintah Arga.

"Terserah mau selesai jam berapa? Aku terlalu baik untuk mentarget pekerjaanmu harus selesai dengan cepat, hanya saja aku tak suka kamu terlalu bersantai!" Arga terus meninggikan suara. Anya bahkan terhenyak kaget berkali-kali mendengar ucapan Arga. Dia berlagak seperti raja yang sangat kejam. Jadi ini yang dimaksud nereka yang baru akan dimulai.

Padahal sejak ia diminta menikah, neraka itu sudah ia rasa siksanya.

***

Sudah dua jam, dan pekerjaan Anya belum juga selesai. Ia bahkan menyambungnya usai sholat magrib dan isya. Tanpa diminta, perempuan yang sudah sah menjadi istri Arga itu menyiapkan makan malam untuk suami di atas meja.

"Biarlah aku menjalankan tugasku sepenuhnya karena Rabbku. Tak peduli apa pun yang pria itu lakukan, aku tak akan dihisab karena itu." Anya menyemangati dirinya sendiri. Tidak ada hal yang membahagiakan di dunia selain keikhlasan menghadapi ketentuan sang Khalik.

Kesibukannya di lantai bawah, membuat Anya melewatkan beberapa panggilan dan pesan dari Irham. Arga yang sedang duduk di kamarnya melihat dengan jelas pria yang menghubungi Anya.

"Lakukan itu. Dan buat lah Anya semakin menderita." Arga seolah tengah bicara pada Irham. Meski dari lubuk hatinya mempertanyakan sikap teganya pada Anya, ia terus maju mengingat hanya perempuan itu satu-satunya yang dekat dengan Mira. Berbulan-bulan menjalin kedekatan dengan Mira, cukup baginya mengukur seberapa besar wanita itu mencintai Anya.

***

Pukul 23.15. Anya belum juga kembali ke kamar. Dengan langkah ragu, Arga turun untuk melihat apa yag dilakukannya?

Dengan wajah berminyak, dan noda memenuhi pakaiannya Anya tertidur di kursi tamu yang belum selesai ia bereskan. Arga melihat betapa wanita itu tidur dengan wajah sangat kelelahan.

Ada bisikan untuk menendang meja di mana kepala Anya diletakkan, tapi ia tak tega. Hingga ia memilih pergi kembali ke kamar. "Biarkan saja. Dia tidak akan mati karena ini!"

Sebelum menaiki tangga, mata Arga menangkap pemandangan di atas meja makan yang tak biasa. Begitu didekati dan membuka tudung saji, sudah ada lauk pauk yang tersusun rapi. Anya bahkan mengupas buah dan memotongnya.

"Apa dia memasak untukku? Apa dia pikir aku akan luluh dan bisa makan ini? Heh!" Arga memutar bola mata malas. Menutup kembali tudung saji dengan melemparnya kasar.

***

Pagi hari saat terbangun, Anya sudah terlihat segar usai wirid subuh. Dengan malas Arga membuka selimut dan beranjak ke kamar mandi. Keduanya tak saling bertegur sapa hingga bertemu di meja makan.

"Tak usah repot memasak untukku. Aku bahkan tidak bisa menelan masakanmu karena mengingatkanku pada ibumu!?" ucap Arga -yang tengah mengoles selai- ketus.

"Apa Om sangat mencintai ibu?" Anya memberanikan diri bertanya. Tidak mungkin seseorang terluka dengan sangat jika sebelumnya perasaan yang ia miliki tidak begitu dalam.

Mendengar pestanyaan Anya, wajah Arga memerah padam. Ia lemparkan sendok untuk mengoles selai ke atas meja.

"Jangan menyebut lacur itu di hadapanku!"

Anya mendelik, hingga dua alisnya tertaut. Selain jahat, pria itu benar-benar aneh dia sendiri yang menyebut nama ibunya saat bicara.

"Aku tak suka ekspresimu itu." Ucapan Arga kini terdengar pelan. "Katakan di mana kamu tidur semalam?"

"Aku tertidur di depan. Begitu bangun dan sadar, aku segera bekerja lagi. Jadi aku tidak tidur selama yang Om pikirkan."

"Bagus. Kamu harus lapor itu pada ibumu!" Arga bangkit dari duduk dan mengunyah rotinya.

"Oya, siang ini aku akan pulang. Siapkan jamuan istimewa. Walau aku tak makan masakanmu, setidaknya aku perlu kamu memasak untuk tamu-tamuku. Satu lagi, jangan lupa mencuci semua taplak meja pesta dan selimut juga sprei di kamar!" perintah Arga sebelum pria itu mengambil tas dan keluar untuk pergi ke kantor.

"Tamu? Kenapa tamunya tidak habis-habis?" gumam Anya dengan nada lelah.

Mendengar Anya mendesah lelah, Arga tersenyum sinis. 'Lihatlah nanti, begitu kamu melihat tamu yang datang, kamu akan syok, An!'

***

"Apa ruginya dia tak makan masakanku, toh aku bisa menghabiskannya sendiri." Anya memanyunkan bibirnya. Tangannya meraih sendok dan menyuapkan nasi goreng terasi pete yang ia buat untuk sarapan bersama Arga.

"Dasar laki-laki sombong. Ingin sekali kuracun! Huft! Dia beruntung aku masih takut dosa!" Wanita terus mengomel. Melampiaskan apa yang hatinya rasa.

Setelah berjibaku dengan urusan rumahnya yang sangat banyak, tibalah waktu makan siang. Benar saja, Arga datang dengan seseorang. Untung semua makanan telah selesai dan Anya sempat menyusun di atas meja dengan rapi.

Wanita itu berlari ke depan untuk menyambut Arga dan tamunya. Namun, baru saja membuka pintu Anya sangat terkejut melihat seseorang yang bersama Arga, hingga matanya membulat sempurna.

"Mas Irham?"

BERSAMBUNG

Hai Kak, jangan lupa subcribe semua ceritaku ya. ?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status