Beranda / Rumah Tangga / Naik Ranjang CEO / Terpaksa Menikahi Ayah

Share

Terpaksa Menikahi Ayah

Penulis: Wafa Farha
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-10 10:10:20

"Pria itu menikahi Ibuku, tapi memaksa melewati malam di kamarku."

________

Saat membuka pintu kamar, Ibu yang tertidur dengan duduk di lantai meletakkan kepala di sofa menghambur ke arahku. Melihat pakaian yang kukenakan berantakan dan kerudung tak beraturan.

Tapi kenapa Ibu ada di sini? Apa semalaman dia berada di depan kamarku dan tak kembali ke kamarnya sendiri?

"An? Bagaimana?" tanya Ibu dengan mata berkaca-kaca. "Kamu gak papa kan?"

Aku diam, hanya menoleh kala suara gemericik air terdengar dari dalam. Apa maksud Om Arga, mandi di kamarku? Membuat Ibu cemburu?

Ibu melakukan hal sama, mencondongkan kepala seolah menajamkan pendengaran. wanita itu menghela napas kecewa. Dia pasti memikirkan malam pertama suaminya dengan puterinya ini.

"Sabar, ya. Ibu tak apa kamu menikah dengannya, An." Suara parau Ibu terdengar lemah.

"Bu, kalian sudah menikah! Carikan dalil untukku yang membolehkan seorang pria menikahi anak dari istrinya, sekalipun kalian bercerai?!" Suaraku meninggi.

Tak lama Om Arga keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai handuk dan mengelap rambut. Pria itu lalu melempar handuk kecil ke wajah Ibuku dengan kasar. Ya Tuhan, belum pernah kulihat lelaki sebengis dia.

Pria itu berjalan melewati kami.

"Maafkan ibu, An. Ibu janji akan menceritakan semuanya padamu, tapi tidak sekarang. Menikahlah dengan om Arga. Kalian halal menikah meski kami sudah menikah."

"Tapi kenapa? Apa aku bukan anak Ibu?!" teriakku karena terkejut sekaligus penasaran. Kenapa kami halal menikah?

"An, ibu mohon. Jangan bilang begitu, kamu tau ibu manyayangimu lebih dari siapa pun. Ibu akan jelaskan semua. Tapi tidak sekarang, ceritanya sangat panjang. Dan ... kamu lihat betapa hancur ibumu sekarang!?" Ya Tuhan, bagaimana aku menghadapi ini. Setiap air mata yang keluar dari mata Ibu membuatku merasai sakit.

"Sampai kapan kalian akan terus bicara? Aku kehilangan banyak waktu, siang ini orang tua dan kolegaku akan berkumpul!" Om Arga terlihat kesal, dia telah kembali dengan pakaian rapi berdiri menyilang tangan di dada, muak sepertinya mendengar pembicaraan kami.

"Bu, tolong! Kami tak melakukan apa pun semalam, Om Arga tak perlu bertanggung jawab untukku!" Aku terus bicara. Tak peduli pada hardikan pria yang tak suka kami berlama-lama. "Lagi pula bagaimana kita menghadapi Mas Irham dan keluarganya? Mereka akan ke sini." Pria itu telah meminta izin pada Ibu beberapa waktu lalu untuk ke rumah dan membawa orang tuanya, secara resmi akan mengkhitbahku setelah taaruf satu bulan.

"Ini bukan hanya tentang kita dan keluarga kita, An. Tapi juga tentang keluarga besar Om Arga. Ibu telah berbuat salah. Jadi Ibu mohon lakukan apa yang Ibu katakan. Biar soal Irham dan keluarganya, Ibu yang menjelaskan pada mereka."

"Ibu mau menebus kesalahan Ibu dengan mengorbankanku!? Tidak Bu, Anya tidak mau!"

teriakku yang membuat Ibu tersentak.

Aku memang tak pernah membantahnya selama ini, apalagi membentak seperti sekarang. Tapi kejadian ini membuatku gila! Kami tergugu beberapa saat. Sampai Ibu mengatakan sesuatu.

"Baik, An. Maafkan ibu. Ini salah ibu jadi ibulah yang harus bertanggung jawab," ucap Ibu serak sembari menghirup cairan di hidung dengan keras. Ia berbalik menghadap Om Arga.

"Mas, tolong jangan libatkan dia. Hukum saja aku." Ibu mengiba pada pria yang tampak sangat marah itu.

Om Arga kini berdiri tegak. Tangannya meraih kerah piama Ibu dan menatapnya dengan kebencian.

"Kalau begitu bersiaplah! Aku bisa saja membatalkan semua rencana yang kubuat. Tapi aku bersumpah akan membuatmu sangat menderita, sampai kamu akan melupakan anakmu itu! Dan aku bersumpah akan membuatmu merasakan sakitnya kehilangan janin! Itu bahkan belum sepadan dengan harga diri yang kamu injak-injak serta rasa sakit karena pengkhianatan dan kebohonganmu, lacur!"

"Yah, lakukan itu," jawab Ibu pasrah.

"Hentikan! Lepaskan dia!" seruku yang tak tega membayangkan pria itu menyiksa Ibu. "Ayo kita menikah, aku akan bersiap sekarang!"

Om Arga melepas Ibu kasar. Ia menoleh padaku dengan tersenyum sinis.

"Itu bagus An! Sebagai anak kamu harus berbakti padanya."

"Ceraikan ibuku sekarang!"

"Untuk apa kami cerai? Kami akad dalam keadaan dia hamil!" Om Arga menunjuk pada Ibu.

"Aku melepaskanmu, Mir! Aku melepaskanmu! Dan bebaslah! Heh!" ucapnya dengan tawa jahat dan berlalu pergi. Belum pernah aku melihatnya begitu. Dalam sekejap Ibu telah mengubah seseorang yang di mataku bak malaikat menjadi monster keji.

Ibu menangis mendengar penuturannya. Hanya semalam ia melangsungkan akad, sekarang berpisah dengan cara yang sungguh menyakitkan.

Aku pun berbalik masuk kamar dan bersiap. Tak lagi memedulikan Ibu yang masih bungkam tak mau bercerita padaku.

Akad berlangsung cepat. Hanya ada aku, Ibu, Om Arga juga rombongan penghulu dan wali hakim serta saksi. Karena aku tak memiliki wali dari keluarga, maka pihak KUA mempersiapkannya.

'Maafkan aku Mas Irham, rupanya jatuh cinta dan saling mencintai tak cukup menjamin sepasang pria dan wanita bisa mengikat hubungannya dengan pernikahan.'

Siapa yang menyangka, seorang Anya yang mempersiapkan pernikahan banyak orang dengan konsep maksimal kini menikah tanpa konsep apa pun. Barangkali ini hukuman, karena ada customerku yang merasa terdzolimi dan berdoa jelek untuk pernikahanku.

Sebelum ikut Om Arga, aku meminta Ibu untuk pergi ke desa sementara. Memastikan ia lepas dari Om Arga. Tinggal bersama Bibi, saudara Ibu satu-satunya itu pasti akan mengerti kondisinya.

Untung saja Om Arga setuju. "Bagus, aku tidak perlu lagi harus merasakan amarah karena muak melihat wajahnya!" Begitu katanya.

Selesai dengan semua persiapan, kini aku dan Ibu kembali berpelukan dengan tangis sebelum benar-benar berpisah.

"Ibu harus janji, malam ini setelah aku selesai, kita bicara di telepon dan Ibu harus jelaskan semuanya."

"Yah," jawabnya di sela tangis.

***

Mobil terus melaju membelah jalanan menuju mension Om Arga di mana orang-orang akan berkumpul, pria di sampingku sedikit pun tak melihat padaku.

"Bersikap lah biasa di depan semua orang. Aku tak ingin ada yang curiga. Orang tuaku hanya melihat gambar Mira sekilas, jadi mereka tidak akan mempermasalahkan aku mengganti istriku," titahnya dengan kalimat datar. Lelaki dengan sejuta pesona yang dicintai Ibu itu sama sekali tak menatapku sepanjang perjalanan.

Sampai di sebuah bangunan besar dan mewah, yang belum pernah aku datangi, mobil berhenti. Sebagian orang sudah memadati tempat itu. Termasuk orang tua Om Arga.

"Wah, mantu kita lebih cantik dari fotonya," ucap seorang wanita dengan tampilan berkelas, yang dipanggil mami oleh Om Arga.

Namun tak lama aku dibuat terkejut oleh seorang pria paruh baya di sampingnya. "Kamu? Bukan Mira?" Tuan Admatja yang tak lain adalah papi Om Arga bertanya heran. Bagaimana dia tahu nama Ibu? Bukannya saat di mobil Om Arga bilang orang tuanya tidak tahu-menahu dengan calon istrinya?

"Nama saya Anya." Aku mengucap pelan. Wajahnya tak berubah, seolah bingung dengan kehadiranku hingga seorang datang menyapanya dan membawa pria itu pergi dari hadapanku.

"Sayang." Seseorang merangkul dari belakang. Aku terhenyak karenanya. Om Arga tersenyum pada kami.

Rasanya risih meski pria itu telah sah jadi suami. Tapi seperti ucapannya, kubuang rasa itu dan bersikap wajar di depan orang-orang.

Pria itu mengajak berkumpul dengan yang lain untuk menyelesaikan acara.

Setelah acara sambutan, EO menuntun aku dan Om Arga memotong kue pengantin besar. Tangannya menggenggam tanganku yang memegang pisau. Semua orang tepuk tangan begitu kue terpotong dan kami membaginya pada beberapa orang terdekat. Tak sampai di situ, tamu-tamu itu menyoraki kami untuk melakukan sesuatu.

"Cium! Cium! Cium!"

Ya Tuhan, apa yang mereka lakukan?

Tanpa pikir panjang, Om Arga mencium pipiku. Kurasakan sesuatu yang panas seolah menjalar ke wajah, aku sangat malu. 'Perasaan aneh macam apa ini?'

Akhirnya tamu satu per satu pergi, termasuk orang tua Om Arga yang memutuskan kembali ke hotel untuk menginap sementara selama di Indonesia. Orang kaya memang aneh, mereka punya rumah dan tempat untuk tinggal tapi memilih menghamburkan uang dengan tidur di hotel.

Usai membersihkan diri, aku duduk mematut diri di depan cermin. Tak lama seseorang memutar gagang pintu, dan muncul Om Arga dari sana. Ia mendekat setelah mengunci pintu. Pria itu berjalan ke arahku dengan tangan melonggarkan dasi yang melilit lehernya.

Tangannya menarik paksa lengan ini, hingga aku terpaksa bangkit dari duduk.

"Jangan harap aku akan bersikap baik padamu seperti saat ada di depan orang-orang!"

"Apa?" Aku menatap pria itu. Mata rasanya perih lagi seperti saat bersama ibu tadi.

"Kenapa kamu terkejut, hah! Bukannya sejak awal kamu tahu, keberadaanmu di sini menggantikan ibumu!" Pria itu mengucap keras, ia lalu melemparku kasar ke atas ranjang.

"Setelah aku menyiksamu segeralah telepon ibumu untuk memberi tahunya!" perintahnya lagi sembari terus bergerak, melepas jas dan kancing bajunya satu per satu, ia menggauliku secara paksa dan kasar. "Aku akan membuatnya menyesal."

Ya Tuhan, bukan ini pernikahan yang selama ini kuimpikan hadir dalam hidupku. Sampai kapan aku akan merasakan kemarahan Om Arga karena dendam pada Ibu?

BERSAMBUNG

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Naik Ranjang CEO    Aku yang Akan Datang Padanya

    Sampai di dalam, Arga melihat Dilla sudah duduk manis di mejanya. Sepertinya wanita itu tengah mempelajari laporan. Namun, ada sesuatu yang membuat Arga gagal fokus. Sepatu yang Dilla kenakan sama persis dengan wanita yang bersama Denward tadi di rumah sakit, begitu juga dengan jas berwarna marun yang ia kenakan."Jangan-jangan?" Mata CEO itu memicing.Dilla terus saja sibuk, seolah tak melihat apa yang Arga lakukan tak jauh dari tempatnya duduk. Ia merasa sudah pandai menghindar saat di rumah sakit tadi. Dan itu berhasil. Lalu, apa yang membuat Arga kini tampak memperhatikannya. 'Apa dia menyukaiku?' pikir Dilla kemudian. 'Laki-laki ternyata sama saja di dunia ini. Tidak bisa lihat wanita cantik sedikit. Apa perlu aku melancarkan sisiku sekarang? Tapi ini terlalu dini,' batinnya lagi. Dia bahkan masih berpenampilan polos. Belum lagi memoles make-up andalannya ketika hendak menaklukkan seorang pria. Dada Dilla berdesir, kala lelaki tampan itu datang mendekat. Suara yang timbul dari l

  • Naik Ranjang CEO    Kebetulan

    Begitu datang ke kamar yang Harry -manajernya- beritahu, ia melihat seseorang sedang terbujur kaku. Seorang pria yang biasa menyodorkan laporan saat di kantor, tak pernah sekalipun menentang selama bekerja. Patuh dan menjaga attitude sebagai seorang pegawai.CEO muda itu mendesah. Berat hidup yang dia jalani, rupanya belum ada apa-apanya dibanding orang lain yang kini terkapar tak berdaya itu, yang kini sedang berjuang melawan kematian. Entah, jika selain adiknya ada orang-orang yang mestinya ia lindungi.Arga lalu bertanya pada perawat mengenai kondisi lelaki itu. Dan semua penjelasan mereka sama dengan yang Dilla katakan. Persis."Kalau begitu tak ada alasan untuk tidak mempercayai wanita itu. Huft," desah Arga lega. Dari sini, ia akhirnya memercayai gadis itu. Namun, PR nya lebih berat pula sekarang, bahwa ia harus menjelaskan pada Anya secepatnya sebelum istrinya itu mengetahui semuanya. Mengingat bahwa Anya bakal cemburu, membuat Arga kembali merasa berada dalam masalahUsai den

  • Naik Ranjang CEO    Percaya Diri

    Arya merasa lelah. Setelah menenggak air mineral lebih dari setengah botol ukuran 500 mililiter, langkahnya beranjak meninggalkan dapur yang sepi. Yah, sejak pindahnya Arga dan Anya ke rumah mereka yang baru, Arya memutuskan mengosongkan rumah tanpa siapapun termasuk pembantu. Mereka hanya diperkerjakan kala sang mama berada di rumah. Dan hari ini wanita tua yang tampak lebih muda dari usianya itu tenafh tengah mengadakan perjalaan ke luar negeri bersama dua saudaranya.Langkahnya terhenti kala mendengar bel pintu. Diurungkan membuka pintu kamar dan berbalik ke arah depan di mana tamu sudah menunggu.Mata Arya melebar kala seseorang berdiri di depannya."Assalamualaikum, Tuan Arya." Nara berdiri dengan senyum mengembang di wajahnya."Wa-alaikumsalam," jawab Arya kelu. "Kamu?"Dua alis tebal lelaki itu tertaut dengan mata menyipit. Seolah telah menyelidik, dan menduga-duga tujuan wanita itu datang ke rumahnya.Nara tersenyum tipis. Ia celingukan ke dalam seperti tengah mencari perhat

  • Naik Ranjang CEO    Bukan Suami Takut Istri

    "Jadi keluhan Anda?" Nara meletakkan dua tangan di atas meja. Menatap lurus pada pasiennya yang berada di seberang meja."Aku tak bisa melupakanmu." Suara itu meluncur begitu saja. Seolah tak lagi ada sesuatu yang menahan Arya untuk bicara. Mungkin karena dia berhadapan dengan seorang psikiater. Bukan orang lain yang tidak ia mengerti motif mereka dekat dengannya."Apa?""Maksud saya, aku tak bisa melupakannya." Arya tersentak, meralat ucapan. Sadar pikirannya terlalu fokus pada Dara."Siapa?" "Namanya Dara." Arya masih menatap wanita tersebut. Hingga mereka saling tatap. "Dara? Nama itu tak asing." Nara tersenyum tipis. Ia kemudian ingat, cerita sang ibu kala kakak sepupunya di kota yang bernama Dara meninggal. Lalu, semua orang yang mengenal gadis itu, mengatakan wajah mereka sangat mirip. Ia sempat berpikir bahwa kedatangan Yahya ada hubungannya dengan pasien ini dan nama gadis yang ia sebut. Namun, itu terlalu jauh. Tidak layak baginya mencampur soal pribadi dengan masalah ya

  • Naik Ranjang CEO    Dokter Nara

    "Da-dara?" Suara Arya terdengar lirih. Namun, orang di sampingnya mampu mendengar dengan jelas. Yahya mengulum senyum, apa yang dipikirkan benar terjadi. Kali ini Arya pasti akan kembali terpikat oleh sosok berwajah sama. Barangkali ini juga bisa menjadi obat mujarab untuk trauma Arya yang tiba-tiba datang tanpa ada tanda-tanda lebih dulu.Lelaki tampan berusia 37 tahun itu menoleh pada Yahya, dengan tatapan penuh tanya. Garis lengkung di bibir pria yang lebih tua darinya itu memanjang. Arya menyelidik arti ekspresi tersebut. Apa yang direncanakan Yahya? Apa selama ini sebenarnya Dara masih hidup? Namun, melihat sosok wanita berjilbab itu, sepertinya usianya masih sekitar 25 tahun."Dia bukan Dara Mas Arya. Dia seorang Psikiater." Yahya mengucap enteng. "Mari!" ajak lelaki tersebut mendekat ke arah wanita yang membuat Arya terpana.Kaki-kaki mereka bergerak, Arya mengikuti Yahya dengan ragu. Ia sangat penasaran dengan wanita tersebut, tapi berusaha mengendalikan diri. Arya yakin, bah

  • Naik Ranjang CEO    Semua karena Dara

    "Apa Mas Arya sakit?" Yahya bingung melihat lelaki bersamanya tampak syok. Lelaki yang telah menjadi ayah tiri bagi Anya dengan menikahi Mira tersebut terlanjur percaya pada Arya. Pasti yang ditangkap dari ucapan Arya tak seperti dalam pikirannya. Mana mungkin Dara, gadis yang dulu selama bertahun-tahun dijaga pria tampan itu mati di tangannya. Tak mungkin.Lagi pula selama lebih sepuluh tahun, Yahya tak mendapati hal mencurigakan dari Arya. Semua prasangka buruk sudah terpatahkan sejak kali pertama Yahya mendapati kebaikan anak majikannya itu. Hal mustahil pula, jika ia pembunuhnya akan mengidap trauma karena kehilangan, yang menyiksa seluruh sisa hidupnya.Kakak Arga tersebut tersenyum samar mendengar pertanyaan yang Yahya lontarkan. Sebagai lelaki sakit itu aib baginya, apalagi sakitnya seperti seorang pengecut. Ia tak bisa menguasai diri kala trauma datang."Maaf, sebelumnya Mas. Jika saya lancang. Dulu tanpa sengaja saat keluar dari ruang kerja Tuan Admaja, saya mendengar perbin

  • Naik Ranjang CEO    Pembunuh Dara

    "Aku tutup ya, Om." Anya tersenyum sambil mengangkat tangan akan memencet icon merah di video callnya. "Ish, gak boleh gitu lah ... durhaka sama suami namanya." Arga mendecih. Entah, kenapa rasa rindunya makin sulit dikendalikan belakangan. "Hem. Senjata ya. Durhaka sama suami." Anya kembali menggosok rambutnya yang basah. Karena riweh dengan bayinya, ia menunda mandi hingga matahari mulai meninggi. Padahal subuh sudah mandi, tapi suaminya yang 'nakal' membuatnya terpaksa mandi lagi. "Eh, Sayang. Ada yang datang. Nanti lagi, ya.""Bukan cewek, kan. Kenapa dimatiin?" Mata Anya menyipit. Mendekat ke layar ponsel yang di letakkan di samping cermin. "Iya, sudah kupecat manajer dan sekretaris ceweknya ganti cowok semua. Ini klien pun aku pilih laki lho.""Duh, sadis.""Hem. Demi kamu. Itu pun masih dicemburui. Ya udah aku matiin.""Hem. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam." Arga mematikan ponselnya. Lalu merapikan pakaiannya agar tampak berwibawa di depan Mister Denward yang sudah

  • Naik Ranjang CEO    Pria Asing dan Tampan

    "Eum, ayolah. Jangan dilepas," protes Arga yang dagunya menempel di pundak Anya.Arga memeluk erat tubuh seorang wanita yang berada di depan cermin, kala mengeringkan rambutnya yang masih basah. Anya hanya tersenyum melihat suaminya berkelakuan gak sangat manja. Padahal mereka sudah melalui malam panas, ia bahkan mampu membuat Arga tumbang dalam puncak kesenangan berkali-kali."Masih kurang juga." Anya menahan tawanya. Ia pasrah dan tak mengadakan perlawanan ketika tubuh kekar ayah dari anaknya itu mendekap."Habisnya ... gak terus bisa gini. Apalagi kalau Rania bangun." Arga menenggelamkan kepala di leher Anya yang sebagian tertutup rambut panjang."Hem ... ya, tapi ... tadi malam 'kan ...." Ucapan wanita yang masih mengenakan handuk itu terpotong. Tatapan Anya mengarah pada cermin yang memantulkan bayangan sepasang kekasih dengan tubuh saling merapat.Cinta kadang sekonyol itu. Mereka yang dulu saling membenci dengan kebencian teramat, kini bisa saling dekat. Sangat dekat malah. Sa

  • Naik Ranjang CEO    Melebur Ego

    "Pasal apa yang Anda sebutkan?" Pengacara Arya mengangkat kertas yang dipegangnya. "Klien kami tidak pernah menyebut nama person." Diangkat pula benda di tangan satunya. Barang bukti yang disiapkan untuk membela Arya."Bagaimana dia disebut mencemarkan nama baik? Sejauh ini narasi yang ditulisnya berdasarkan fakta, dan sebagai koreksi sosial. Bagaimana kebijakan yang telah dibuat hanya berpihak pada pengusaha. Lihat tulisan ini ....." Pengacara tersebut menyodorkan barang bukti pada hakim untuk diperiksa, bahwa yang dikatakannya adalah benar. Psycho Man, tak pernah menuliskan sesuatu atau menamabah-nambah informasi yang berbeda dengan di lapangan.Hakim manggut-manggut. Namun, dengan cepat jaksa kembali memberatkan. Mereka bilang, "Membuat gaduh dan menggoyang stabilitas keamanan dan politik juga bagian dari tindakan kriminal."Diserahkan tumpukan kertas yang berisi track record Psycho Man pada hakim."Apa?" gumamnya nyaris tak terdengar. Arya melebarkan mata. Jadi dia sudah diseret-s

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status