Arya merasa lelah. Setelah menenggak air mineral lebih dari setengah botol ukuran 500 mililiter, langkahnya beranjak meninggalkan dapur yang sepi. Yah, sejak pindahnya Arga dan Anya ke rumah mereka yang baru, Arya memutuskan mengosongkan rumah tanpa siapapun termasuk pembantu. Mereka hanya diperkerjakan kala sang mama berada di rumah. Dan hari ini wanita tua yang tampak lebih muda dari usianya itu tenafh tengah mengadakan perjalaan ke luar negeri bersama dua saudaranya.Langkahnya terhenti kala mendengar bel pintu. Diurungkan membuka pintu kamar dan berbalik ke arah depan di mana tamu sudah menunggu.Mata Arya melebar kala seseorang berdiri di depannya."Assalamualaikum, Tuan Arya." Nara berdiri dengan senyum mengembang di wajahnya."Wa-alaikumsalam," jawab Arya kelu. "Kamu?"Dua alis tebal lelaki itu tertaut dengan mata menyipit. Seolah telah menyelidik, dan menduga-duga tujuan wanita itu datang ke rumahnya.Nara tersenyum tipis. Ia celingukan ke dalam seperti tengah mencari perhat
Begitu datang ke kamar yang Harry -manajernya- beritahu, ia melihat seseorang sedang terbujur kaku. Seorang pria yang biasa menyodorkan laporan saat di kantor, tak pernah sekalipun menentang selama bekerja. Patuh dan menjaga attitude sebagai seorang pegawai.CEO muda itu mendesah. Berat hidup yang dia jalani, rupanya belum ada apa-apanya dibanding orang lain yang kini terkapar tak berdaya itu, yang kini sedang berjuang melawan kematian. Entah, jika selain adiknya ada orang-orang yang mestinya ia lindungi.Arga lalu bertanya pada perawat mengenai kondisi lelaki itu. Dan semua penjelasan mereka sama dengan yang Dilla katakan. Persis."Kalau begitu tak ada alasan untuk tidak mempercayai wanita itu. Huft," desah Arga lega. Dari sini, ia akhirnya memercayai gadis itu. Namun, PR nya lebih berat pula sekarang, bahwa ia harus menjelaskan pada Anya secepatnya sebelum istrinya itu mengetahui semuanya. Mengingat bahwa Anya bakal cemburu, membuat Arga kembali merasa berada dalam masalahUsai den
Sampai di dalam, Arga melihat Dilla sudah duduk manis di mejanya. Sepertinya wanita itu tengah mempelajari laporan. Namun, ada sesuatu yang membuat Arga gagal fokus. Sepatu yang Dilla kenakan sama persis dengan wanita yang bersama Denward tadi di rumah sakit, begitu juga dengan jas berwarna marun yang ia kenakan."Jangan-jangan?" Mata CEO itu memicing.Dilla terus saja sibuk, seolah tak melihat apa yang Arga lakukan tak jauh dari tempatnya duduk. Ia merasa sudah pandai menghindar saat di rumah sakit tadi. Dan itu berhasil. Lalu, apa yang membuat Arga kini tampak memperhatikannya. 'Apa dia menyukaiku?' pikir Dilla kemudian. 'Laki-laki ternyata sama saja di dunia ini. Tidak bisa lihat wanita cantik sedikit. Apa perlu aku melancarkan sisiku sekarang? Tapi ini terlalu dini,' batinnya lagi. Dia bahkan masih berpenampilan polos. Belum lagi memoles make-up andalannya ketika hendak menaklukkan seorang pria. Dada Dilla berdesir, kala lelaki tampan itu datang mendekat. Suara yang timbul dari l
Semua orang bahagia, pun dua mempelai yang kini sedang duduk di atas pelaminan. Begitu pun aku, rasa lelah hari ini terbayarkan. Melihat senyum ibu, yang sudah sekian lama tak sebebas sekarang. Resepsi berjalan lancar. Tidak ada kendala berarti dalam acara ini. Aku yang mengajukan diri langsung ikut terjun membantu EO, merasa puas. Ini bukan resepsi yang kali pertama kuhandle. Karena memang adalah profesi sampingan sambil kuliah.Tamu telah beranjak pulang hanya tinggal beberapa keluarga besar dan timku yang membereskan sisa acara. Kami saling bicara, memberi dukungan pada ibu dan ayah tiriku. Sesekali dari mereka menggodaku."Anya kapan menyusul?" tanya Bibi Ainun sambil tertawa renyah. Usiaku memang sudah cukup untuk menikah, teman-temanku sesusiaku saja rata-rata sudah punya anak dua. Dan ibu, sejak ayah meninggal saat aku masih bayi, baru sekarang menikah. Katanya sekarang aku sudah cukup dewasa untuk bisa mandiri. Hingga malam, mereka semua pulang. Tinggal lah, aku dan dua se
"Pria itu menikahi Ibuku, tapi memaksa melewati malam di kamarku."________Saat membuka pintu kamar, Ibu yang tertidur dengan duduk di lantai meletakkan kepala di sofa menghambur ke arahku. Melihat pakaian yang kukenakan berantakan dan kerudung tak beraturan. Tapi kenapa Ibu ada di sini? Apa semalaman dia berada di depan kamarku dan tak kembali ke kamarnya sendiri? "An? Bagaimana?" tanya Ibu dengan mata berkaca-kaca. "Kamu gak papa kan?"Aku diam, hanya menoleh kala suara gemericik air terdengar dari dalam. Apa maksud Om Arga, mandi di kamarku? Membuat Ibu cemburu?Ibu melakukan hal sama, mencondongkan kepala seolah menajamkan pendengaran. wanita itu menghela napas kecewa. Dia pasti memikirkan malam pertama suaminya dengan puterinya ini. "Sabar, ya. Ibu tak apa kamu menikah dengannya, An." Suara parau Ibu terdengar lemah. "Bu, kalian sudah menikah! Carikan dalil untukku yang membolehkan seorang pria menikahi anak dari istrinya, sekalipun kalian bercerai?!" Suaraku meninggi. T
Meski sangat lelah, sekejap pun Anya tak mampu terpejam. Tubuhnya membelakangi Arga, memeluk erat selimut dan meremasnya dengan tangis yang tak juga reda. "Argh! Sial!" Pria yang bersamanya memukulkan keras tangan ke ranjang yang spreinya banyak terdapat bercak milik Anya. Hatinya puas, tapi ada sisi lain dari diri lelaki itu yang mengutuk perbuatannya. Arga bangun dari tempat tidur untuk mandi. Sembari berpakaian melirik pada wanita yang masih menangkupkan kepala di atas ranjang. Berpikir sebentar lagi Anya pasti akan melapor pada ibunya. Selesai berganti pakaian, Arga pergi tanpa sepatah kata pun diucapkan pada Anya. Pikiran yang berkecamuk membuatnya refleks membanting pintu saat ke luar. Anya tersentak kaget, pria itu membuatnya semakin takut. Begitu kamar yang luas itu sepi, dengan susah payah Anya bangkit, ada rasa nyeri yang menjalar dari perut hingga bagian sekitar. Kalau saja Arga bersikap dengan lembut. Tanpa dikasari akan dengan rela hati sebagai seorang istri melayani
Anya sedang merasai kesedihan teramat, ia memiliki suami super jahat yang tak pernah sekali pun terbayang dalam hidupnya. Menikah memaksa dan bersikap sangat kasar. Pria itu juga melakukan tindak kekerasan seksual padanya. "Aku ingin tahu, siapa yang kamu telepon, An?!" Arga mendekat dan hendak meraih ponsel di tangan istrinya. Namun, dengan cepat Anya mengangkat benda pipih di tangan. "Kenapa?" Pria itu kesal, Anya yang sejak semalam terintimidasi oleh sikapnya kini berani menghindar. "Ini privasi." Anya menjawab pelan, perlahan ia menundukkan kepalanya. Tak ingin matanya beradu dengan mata elang milik Arga. "Privasi? Heh!" Arga tersenyum sinis. "Kamu bahkan adalah milikku." Pria itu kini merebut paksa ponsel di tangan Anya. Sedang wanita itu mendesah. Benar yang Arga katakan, seorang istri adalah milik suaminya. Mungkin dengan cara menikahinya, Arga bisa berbuat semaunya. Lelaki dengan manik mata kecokelatan itu membuka ponsel perlahan. Dibukanya riwayat panggilan, ada deretan
"Bersabarlah, An ... karena waktu akan menghapus semua kesedihanmu!"❤❤❤Air mata Mira luruh tak terbendung. Ia terus mengusap pundaknya, seolah tangan pria bejat itu masih berada di sana menodai setiap jengkal kehormatan dan harga dirinya. "Bagaimana aku akan hidup, Tuan?" tanya Mira pada Admatja tanpa melihat pada lawan bicaranya itu. "Tenang lah, Mir. Selama kamu tidak hamil bukan kah tidak jadi masalah?!" Admatja berusaha menghibur agar Mira tenang. "Tapi bagaimana jika saya hamil? Apa Mas Arga mau menerimaku? Tanggal pernikahan sudah ditetapkan." Wanita itu dipenuhi ketakutan yang besar. Ia begitu mencintai Arga. Apa jadinya jika ia kehilangan pria itu? "Tenang lah, Mir. Semua akan baik-baik saja. Kita tidak tahu selama itu belum terjadi."Tuan Admatja menghela napas beberapa kali. Semua sudah disusun dengan matang, kehadiran Mira akan semakin mengukuhkan kekuasaan lewat tangan Arga. Bukan hanya pekerja keras, Mira dikenal pandai melobi investor. Keberadaan wanita itu akan me