"Mil, Mila tunggu?!" Gadis itu menoleh sesaat tapi dia kemudian mengabaikannya dan pergi begitu saja.Kupikir Mas Kevin akan menyerah dan melanjutkan tujuannya tapi ternyata dia mengejarnya dan meraih tangan wanita itu, aku yang berdiri tak jauh dari mereka terkesiap dengan kejadian itu seolah-olah sedang menyaksikan adegan sinetron penuh drama."Mil!""Lepaskan aku, Mas! Aku sudah mendengar keputusanmu tadi malam dan aku tidak begitu bodoh untuk segera menyadari apa yang kau inginkan! Aku mengerti Maksudmu!""Mil, aku terpaksa Mil, keluarga dan keadaan tidak memberiku pilihan.""Sudah kubilang aku mengerti maksudmu!" ucap wanita itu sambil menyingkirkan tangan mas Kevin dari tangannya. "Sudah cukup petualangan di antara kita berdua sebaiknya aku dan kamu menyelesaikan sampai di sini.""Sebenarnya aku nggak mau kita begini!""Apa kau tidak sadar kita sedang berada di tengah keramaian dan rekan-rekan kita akan melihat ini? Tolong lepaskan aku dan bersikaplah dengan wajar!" Gadis itu
"Terima kasih jika kau mau sadar dan berubah.""Aku berjanji akan mengubah segalanya tentang diriku Fathia.""Iya, berubahlah untuk menjadi lelaki yang lebih baik," balasku sambil tersenyum. Dia memeluk diriku membiarkan aku tertidur di dadanya, sementara ia masih melanjutkan untuk menonton film tadi. *Esok pagi, Usai salat subuh, hatiku dipenuhi dengan bunga-bunga saat kudapati meja makan sudah disiapkan sarapan, ada setangkai mawar tergeletak cantik di sana, di atas piring makanku, dan rumah sudah dibersihkan.Tumben sekali mas Kevin mau melakukan itu untukku, padahal dia tidak menyukai tugas domestik dan malah menyuruhku untuk mengambil seorang asisten jika aku merasa kerepotan. "Apa kau melakukan semua ini untukku?" Aku menyapanya saat lelaki itu sedang sibuk mengaduk kopi di meja dapur. "Ya, aku menyapu dan mengepel lantai, lalu menyiapkan sarapan dan mencuci pakaian.""Apa kau lakukan itu untuk mengambil hati dan membuatku merasa bahagia?"Ia tak menjawab dengan ucapan, t
"Kasihan sekali kamu ya ... hanya bisa mencela dan menghujat orang tanpa melihat apa latar belakang dari peristiwa yang terjadi. Kau boleh menyebutku bodoh tapi ada yang lebih bodoh dari diriku...""Benarkah?""Mas Kevin mengejar dan terus minta maaf, ia meyakinkanku bahwa dia bisa meyakinkanmu untuk menerima hubungan kami. Sudah ya, kau hanya anjing baginya."Jangan lancang!""Itu mas Kevin sudah datang. Jangan menelpon lagi, karena aku akan mematikan ponselnya."Klik!Dia langsung mematikan ponsel suamiku dan Meski aku berusaha untuk mengulang panggilan dengan segala kemarahan dan kepanikan di hatiku, tapi nomornya sudah sudah tak aktif lagi. Aku lemas terduduk di kursi dekat meja makan. Aku ingin menangis, tapi air mata itu tidak keluar hingga menyisakan rasa sesak di hatiku. Aku ingin menyusul suamiku tapi jarak antara rumah ke bandara sama seperti pergi keluar kota, jauh sekali. Ah, hatiku sakit. Ya Allah, keterlaluan! Dengan segera aku menelpon ayah mertua. Begitu dia menga
Remuk redam hatiku mendengar teriakannya. Mungkin ini salahku, yang menunggunya pulang dengan langsung membuat drama ingin minggat ke rumah orang. Poin dari pembicaraan itu tidak sampai pada kesimpulannya jawabannya tidak kutemukan Apakah dia benar menjemput wanita itu atau tidak. Namun, aku tidak perlu pembuktian, dengan Mila yang menjawab ponsel Mas Kevin, dan berkata bahwa setiap hari mereka semua mobil dan berangkat bekerja bersama sepertinya aku tidak perlu harus bertanya lebih jauh lagi. "Selamat Mas, kau berhasil membohongiku mentah-mentah. Kau menipu, kau berpura-pura baik denganku, tapi ternyata kau mempermainkanku!" "Siapa yang bermain?""Kemarin di hadapan semua orang kau berjanji akan mempertahankan keluarga tapi paginya kau menjemput wanita itu dan semua mobil dengannya. Dan ya, tidak mungkin bila akan berbohong padaku dengan alasan dia ingin memisahkan kita! Lagi pula kau tidak sebodoh itu untuk mengenal jenis perempuan apa yang cocok denganmu."Dia terdiam mendengar
Hanya terduduk sedih di balik pintu kamar anak-anak dan sepanjang malam menangisi perkataan suamiku. Aku tidak tergerak sedikitpun untuk merebahkan diri di tempat tidur dan melenakan mataku dalam mimpi yang indah, hatiku sakit, perasaanku tak tenang. Pemikiran akan kehidupan kami ke depannya yang membuatku tidak bisa memejamkan diri. Kelihatan dari percakapan tadi bahwa suamiku tidak peduli andai aku pergi atau tidak ada lagi dalam hidupnya. Jika aku menyerah dia akan segera menikah dengan Mila. Namun jika aku bertahan sedikit saja, mungkin aku bisa mengamankan kehidupan rumah tangga dan anak-anak kami. Tapi, kekuatan dari manakah yang akan kugunakan untuk bertahan dalam keadaan seperti ini. Sinar matahari yang masuk dari celah ventilasi jatuh tepat di wajahku dan menyadarkan diri ini jika pagi sudah datang, perlahan aku menggerakkan badan untuk bangkit dari posisiku, rasanya sendi-sendi dan tulangku nyeri dan ngilu, kepalaku sakit, pun dengan mata ini pedih karena tak henti-henti
Kubiarkan lelaki itu pergi, tanpa menyaksikan seperti kebiasaanku tiap pagi mengantarnya ke mobil, aku sudah enggan melakukan rutinitas konyol itu.Teringat betapa tulus dan berbaktinya aku, mendadak merasa bodoh begitu teringat percayanya aku padanya, sepenuh hati kubuat kotak makan tapi di belakangku ia mengolok diri ini dengan mencintai wanita lain lalu menistakan kotak bekal yang kuberikan, untuk dinikmati bersama jalang itu. Ah, aku ditipu mentah mentah olehnya.**"Apa rencanamu pada suamimu?" tanya ibuku saat aku menelpon."Entahlah, aku akan lihat bagaimana tersiksanya dia saat aku tak lagi memperdulikannya.""Jika kau memilih pergi, secepat kilat ia akan menikah.""Betul, dan aku tak akan biarkan dia semudah itu menjalani hidupnya. Enak saja mencampakkan istri lalu bulan madu dengan wanita lain. Kalau dia tak tahan lagi untuk berpisah, maka biarkan dia yang gugat cerainya," jawabku."Lalu untuk apa kau menunggu jika ujungnya berpisah.""Jika dia yang meninggalkan kami, mak
Tak lama dari sana pesannya sudah centang biru, Mas Kevin terlihat mengetik sementara aku sudah tidak sabar menunggu jawaban pembelaan dan kalimat pembenaran yang selalu terdengar klise di telingaku.Mengetik ...Dan terus mengetik, sampai akhirnya tidak ada balasan dari pria itu.Aku duduk di ruang tamu sambil menunggu waktu bergulir dari pukul 14.00 menjadi pukul 15.00 sore. Semakin berdetak jarum jam semakin panas dan terbakar rasanya perasaan, aku berada di puncak amarah dan kekesalanku.Pintu garasi terdengar terbuka lalu mobil itu masuk ke dalam halaman rumah, aku langsung berdiri dan sudah tidak sabar lagi untuk melayangkan segala caci maki dan kekesalanku.Dia tahu aku akan marah jadi mungkin dia sudah menyiapkan segala sesuatu untuk menjawabku."Assalamualaikum.""Walaikum salam!"Aku menjawab salamnya dengan wajah yang sudah tidak bisa kusetting untuk pura-pura tersenyum dan menyambut kedatangannya dengan sukacita."Aku minta maaf atas kejadian siang tadi.""Oh, bagus, rupan
Aku tak tertidur meski detak jam dinding berangsur membawa malam merangkak menuju jam 03.00 pagi. Aku terus berpikir tentang bagaimana cara memberi pelajaran pada suamiku yang sudah terlanjur arogan dan merasa bahwa dunia sedang berpihak padanya. Andai kuviralkan mereka dengan menuliskan story dan kisah-kisah di sosial media yang kini sedang trending, kemungkinan aku akan mendapatkan atensi sehingga kisah pengkhianatan Mas Kevin akan terungkap dan mempermalukan dia serta kekasihnya. Tapi di sisi lain cara itu hanya cara amatiran seolah aku cari perhatian, jika aku ingin mendapatkan kembali suamiku atau mungkin memberinya pelajaran, aku harus pintar mengatur rencana yang lebih elegan dari itu semua. Atau mungkin... kubiarkan saja mereka seperti itu sampai mereka puas. Kubiarkan suamiku tetap dzolim bergelimangan dosa sampai azab mendatanginya, sehingga dia sadar sendiri saat keadaan menjadi terbalik dan menyakitinya.Kalau ingat tentang percakapan kami, berulang kali hatiku tertusuk,