"Apa, Bu? Menikah?" "Iya. Kamu dan Rumi kan sudah lama menjalin hubungan. Sudah saling tahu satu sama lain," ucap Ibu yang membuat senyumku mengembang. "Haris pikirkan nanti, Bu." Saat mendengar suara langkah kaki dari dalam, aku segera memutar kursi rodaku menuju dapur dan berpura-pura mengambil minum. Saat menoleh, Mas Haris tengah memprerhatikanku. "Kenapa, Mas?" tanyaku. "Oh, nggak. Aku mau beli sarapan, kamu mau nitip?" tanyanya. "Boleh, apa aku boleh ikut, Mas?" tanyaku. Kami dulu sering sekali jalan-jalan bersama. "Nggak usah, Rum, biar aku saja." Aku mengangguk, meski kecewa. Sepertinya Mas Haris memang malu jalan denganku. Yah, siapa yang tak malu jika memiliki pasangan yang hanya punya sebelah kaki dan sebelah pergelangan tangan? Tak lama kemudian, Lina keluar sambil memakai jaket, ia tersenyum menatapku. "Mbak, mau ikut jalan-jalan pagi?" tawarnya. "Apa kamu nggak malu, Lin?" tanyaku. "Ngapain malu? Mau, nggak?" Aku mengangguk. Setelah beberapa hari tinggal di
"Ha-Hana?" "Lagi bikin apa, Mbak? Kenapa ga panggil Hana? Kan nanti dibantuin," ucapnya. "O-oh, ini mau bikin teh buat Mas Haris," jawabku. "Oh, dia ngelamun lagi, ya? Kayaknya memang cinta banget sama Mbak Arum, makanya sampe ngelamun terus," ucap Hana sambil berlalu ke kamarnya. Meski kesal karena dia membawa-bawa Arum, tapi setidaknya aku bisa bernapas lega karena dia tak curiga. Andai tadi ketahuan, bisa-bisa aku langsung diusir dari sini. "Membayangkannya saja aku udah merinding," ucapku sambil menatap botol kecil yang sempat kumasukan ke dalam saku. "Kamu harapanku satu-satunya. Semoga setelah ini Mas Haris akan berpaling dari Arum dan kembali padaku," Kupegang teh itu dengan tangan normalku, sementara untuk memutar roda, aku menggunakan lengan sebelah kiri. Meski terasa kaku, namun aku seperti sudah terbiasa sekarang. Aku mendekat pada Mas Haris, dan menyerahkan air minum itu di setelahnya. Setelahnya aku tersenyum, dan memanggil Mas Haris yang seperti tengah melamun.
"Bu, sepertinya memang Arum sudah bahagia." Terdengar suara Mas Haris di kamar ibunya."Iyakah? Sabar, Nak, mungkin kalian memang tak berjodoh." Mas Haris, sampai kapan kamu akan memikirkan Arum terus? Kenapa kamu tak bisa melihatku? --Pov Haris Kini setiap pulang kerja, kegiatanku bertambah dengan melihat Arum. Wanita itu, kini terlihat semakin bahagia. Setiap hari, selalu ada Kinos di setiap sorenya. Apakah mereka benar-benar akan bahagia? "Sepertinya Arum memang sudah bahagia, Bu," ucapku kala aku berada di kamar Ibu. Aku memang lebih dekat dengan Ibu dari pada Bapak. Dan lagi, Ibu lebih bisa diajak curhat. Bapak sedari awal memang menyayangkan kami yang bercerai, karena beliau memang sudah menyukai Arum. Bahkan dulu, beliau tak menyakai Rumi sebanyak menyukai Arum. Dari sini aku sadar, Arum juga telah banyak memberikan hal positif bagi keluargaku. Meski umur pernikahan kami hanya sampai di empat bulan. "Iyakah? Sabar, Nak, mungkin kalian memang tak berjodoh."Ucapan Ibu b
Arum dan Kinos menoleh. Wajah wanita yang sangat kucintai itu terkejut. Ah, padahal setiap hari aku melihatnya, namun kenapa aku seperti lama tak melihatnya? Kenapa ia bertambah cantik? "Mas Haris?""Ngapain kamu di sini?" tanya Kinos, sok ikut campur. "Lebih baik kamu diam, karena ini urusanku dengan Arumi." "Tak bisa begitu, lah. Arumi kan-""Calon istrimu?" "Eh?" Aku menoleh pada Arumi yang terlihat terkejut. "Waktu itu, kamu bukannya sudah ke mobil, Mas?" tanya Arum. Aku hanya diam saja. "Jadi kamu mendengar semuanya?" Aku berjalan mendekat padanya, terlihat mata Arumi berkaca-kaca. "Jadi kapan, kamu mau ngasih tahu sama aku kalau kamu hamil? Kalau ada anakku di dalam perutmu?" tanyaku, berusaha menahan tangis. "Rum, sebaiknya kita pulang," ajak Kinos."Sebaiknya kamu pulang, dan kalau kamu tahu diri, sebaiknya kamu pergi. Karena ini tak ada sangkut pautmya denganmu," ucapku. "Iya, Mas, aku hamil anakmu." Air mata itu lolos begitu saja. Bahagia, sedih, dan kecewa, bercam
Arum hanya diam saja, tapi aku bisa melihat mendung di wajahnya. Ini semua gara-gara Rumi. Aku mendorong kursi rodanya sampai ke teras. Ia terlihat senang, mungkin mengira aku ingin berduaan dengannya. "Kenapa, Mas?" tanyanya dengan senyum lebar. "Kenapa kamu ngomong kaya gitu di depan Arum tadi?" tanyaku pada Rumi. "Memang kenapa, Mas? Aku hanya berusaha mengundangnya ke acara pernikahan kita nanti." "Nggak, ada niat lain pada dirimu. Iya, kan?" Rumi terlihat kegalagapan. Nah, panik kan dia? "Ngga kok, Mas. Kenapa kamu mikirnya jelek gitu ke aku, sih?" "Arum lagi hamil, anakku. Jadi, jangan sampai kamu mempengaruhi kehamilannya, Rum." "Ha-hamil?" tanyanya."Ya," jawabku sambil berlalu meninggalkannya. -Pov Rumi Aku terkejut melihat kedatangan Arum ke sini. Mau apa wanita itu? Kenapa ia bisa datang dengan Mas Haris? Apa mereka datang bersama? Jadi, Mas Haris habis dari rumahnya? Perlakuan Ibu dan adik-adik Mas Haris pada wanita itu sungguh berlebihan. Bahkan Hana, yang pad
"Apa-apaan ini?" tanya Bunda. Aku gemetar bukan main. Apalagi dihakimi oleh lima orang yang ada di sini. Bagaimana ini? Apa yang harus kulatakan? Ayo, Rumi! Berpikir, laah!"I-itu air biasa kok," ucapku, sambil mengalihkan pandangan. "Air apa, Rum?" tanya Mas Haris. Nada suaranya tegas, tak seperti Mas Haris biasanya. Namun, itu membuatku merinding. Ya Tuhan, bagaimana ini? Aku pun beralasan ingin ke kamar mandi, lalu menutup rapat pintunya. Di dalam kamar mandi, aku berusaha berpikir keras. Alasan apa yang bisa kukeluarkan? Lagi pula, kenapa Hana bisa mendapatkan itu semua? Apa ia merekamku kemarin? Saat aku membuatkan teh manis untuk Mas Haris dan hampir saja dipergokinya? Atau, jangan-jangan dia sudah tahu lebih awal? Dari saat pertama kali dia meminum teh buatanku itu.Setelah mendapatkan jawaban, aku keluar. Kepercayaan diriku yang kubangun di dalam kamar mandi tadi, tiba-tiba menurun begitu saja karena tatapan dari lima orang di hadapanku. Setelah berdehem, aku pun kembali
Aku segera menggeleng. "Nggak, aku gak pernah melakukan itu. Kamu jangan menuduhku sembarangan, Han." "Ya siapa tahu, kan? Mbak Rumi saja tega kok melakukan hal keji seperti memasukan air pelet dalam minuman Mas Haris. Itu sebabnya, tempo hari aku meminum teh yang dibuatnya untukmu, Mas. Karena menurut laki-laki itu, jika air itu diminum selain oleh Mas Haris, maka akan mental dan berbalik menjadi kebencian untuknya," jawab Hana. Mati sudah aku! "Itu sebabnya, makin hari aku makin enggan melihatmu, Rum." Semua orang meninggalkanku di meja makan. Apalagi Bapak, lelaki itu menatapku penuh dengan sorot kebencian. Tuhan, semoga saja mereka tak mengusirku. Aku mengetuk kamar Mas Haris. Memanggilmya sampai tengah malam, namun tak ada tanda-tandanya ia akan keluar dan menemuiku. "Maafkan aku, Mas. Aku janji, nggak akan melakukan hal begitu lagi. Di dunia ini, aku cuma punya kalian, Mas. Cuma kamu dan keluargamu yang mengerti aku. Tolong, Mas. Maafkan aku." Aku akhirnya masuk ke dalam k
Kurasakan tubuhku terantuk ke dashboard mobil. Aku meringis, terasa ada yang mengalir di dahi, saat melihat darah, aku sungguh terkejut. Kucoba menoleh pada Mas Haris, namun sulit. Kenapa dengan leherku? Ya Tuhan! Jangan sampai Kau tambah penderitaanku. Apa tak cukup dengan kehilangan tangan dan kaki?Kepalaku berdenyut, hingga terasa seperti otot ditarik lalu semuanya, gelap. --Pov Arum.Aku akhirnya memutuskan untuk jujur pada Mas Haris, bahwa aku memang hamil anaknya. Toh sampai kapan aku akan menyembunyikan semua ini darinya? Ibu dan adik-adik iparku pun pada senang, kalau Bapak belum tahu karena kemarin memang tak ada di rumah. Aku menghela napas, mengingat raut wajah Rumi yang sama sekali tak menyiratkan kesenangan. Tentu, siapa yang bakal senang dengan kabar kehamilan dari mantan istri calon suaminya? Seandainya bisa, mungkin ia akan mengatakan itu di hadapan Mas Haris atau Ibu. "Keputusan Arum sudah benar kan ya, Bun?" tanyaku pada Bunda saat tengah minum teh bersama di