"Papa!" teriakku. Aku menoleh pada orang yang telah menyelamatkanku. "A-Arum?" Aku terkejut saat ia malah membuat Papa tergeletak di bawah. "Rum, gimana ini? Aku cuma mau membantumu saja. Aku cuma menggeser badannya, tapi kenapa papamu malah begini?"Ngapain kamu ke sini?" tanyaku. "Itu bukan pertanyaan yang tepat untuk sekarang. Ini bagaimana?" tanya Arum. Aku hanya mengedikkan bahu. Aku sungguh tak peduli pada lelaki yang tengah pingsan itu. Bagus kalau dia mati sekalian. Tapi mana ada orang yang langsung mati dengan sekali dorong? "Aku cari bantuan dulu," ucap Arum. Aku hanya diam saja. Memandanginya yang keluar untuk mencari pertolongan, lalu kembali lagi beberapa saat kemudian. Aku sendiri hanya melihatnya tanpa mau membantu. Beberapa perawat lelaki masuk dan menggotong Papa serta meletakkannya di ranjang sebelahku. Tak lama kemudian, Dokter datang dan memeriksanya. Saat kuperhatikan, raut wajah lelaki itu justru sedikit terkejut. Mama kembali setelah membeli sesutu di l
Sampai di kamar, ternyata sudah ada Arum. Wanita itu, sejak aku masuk ke rumah sakit, tak pernah absen mendatangi kamarku. Meski sudah kularang untuk datang. "Sini, Rum. Kita makan bareng." "Nggak usah sok baik," ujarku sambil melengos, lalu memutar roda ke dekat ranjang, dan berusahan keras untuk pindah karena ranjang tinggi, sehingga menyusahknku untuk naik. "Siapa yang sok baik, sih? Aku cuma mau nemenin kamu makan siang. Tadi suster sudah datang bawakan makan siangmu. Aku juga sudah beli di bawah. Ayo, makan bareng," ucapnya. "Rum, ini aku Rumi, loh.""Loh, yang bilang kamu Rumono itu siapa? Sudah, ayo makan." Aku menerima sendok pemberiannya, sambil terus menatapinya. Ia tulus, atau ada niatan yang terselubung?"Enak juga makanan di kantin." "Rum," ucapku setelah menelan nasi. "Hem?" "Kamu, kenapa baik sama aku?" tanyaku."Maksudnya?""Aku ini sudah jahat sama kamu, loh. Kenapa kamu baik? Apa kamu punya niat terselubung sama aku?" tanyaku yang membuat Arum mendelik. "Aku
Aku terengah-engah. Seperti habis berjalan di padang pasir yang luas. Ingatan apa itu? Aku benar-benar lupa akan kejadian tiga tahun lalu. Yang kuingat hanyalah aku izin untuk tidur setelah capek membantu kakaknya Kinos. "Jadi, ingatan apa itu?" Tiba-tiba saja, sebuah kejadian melintas di otakku, bersamaan dengan rasa nyeri. Tanpa sadar, aku berteriak, hingga membuat Ibu dan Mas Haris terbangun. Rasa sakit ini, terus terasa menghimpit hingga aku kesusahan bernapas. Allahu Rabbi ... Kenapa ini? Lalu setelahnya, gelap! --Aku terbangun saat sudah berada di atas ranjang, sebelah Mas Haris. Lelaki itu menatapku cemas. Juga sudah ada Bunda dan Ayah yang menampilkan wajah serupa dengan Mas Haris. "Kenapa?" tanyaku pada Mas Haris. "Kamu sudah sadar? Alhamdulillah," ucap Mas Haris. Bunda mendekat, lalu menangis tersedu. Allah, kenapa Bunda berlebihan seperti ini? "Bun, Arum nggak kenapa-napa. Nggak usah berlebihan seperti ini." "Bunda takut, Nak." "Nggak papa, Bun." Kini, aku ingat
"Kinos. Dia membohongiku. Saat itu aku tidak sedang tertidur. Dia ... Dia hendak melecehkanku." Semua orang beristighfar. Aku sendiri memegangi kepala yang terasa berdenyut. Sungguh, ini seperti mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang menggumpal di hati. "Benar-benar kurang aj*r si Kinos itu. Bunda pikir, dia benar-benar baik dan tulus," ucap Bunda. "Bunda, tahu dari siapa kalau waktu itu aku terbangun dari tidur dan keluar dari mobil?" tanyaku. "Dari keluarganya Kinos. Pas itu, mereka bilang kalau rekaman kamera dashboard sudah mereka lihat." "Bunda nggak ikut melihat?" tanyaku. Bunda menggeleng. Aku menghela napas panjang. Namun, aku bersyukur. Karena sudah bisa mengingat semua dan mengetahui cerita aslinya. "Kamu sudah nggak apa-apa, Nak?" tanya Bunda. "Nggak papa, Bu." "Ya sudah, kalau gitu istirahat dulu. Ibu sudah izin sama perawat untuk memakai ranjang satu lagi." Aku mengangguk, kemudian merebahkan tubuh. Mas Haris sudah sudah kembali ke ranjangnya. Bunda mengambil
"Apa kamu tahu siapa perempuan itu, Rum?" tanya Lisa. "Sepertinya aku memang tahu." "Siapa?" "Rumi." "Maksudnya, Rumi mantan pacarnya Haris?" tanya Kalisa. Aku mengangguk, meski masih bingung dengan hubungan antara Kinos dan Rumi. Apakah Rumi baik-baik saja? Atau, mereka tengah merencanakan sesuatu?"Ya sudah lah, makan aja. Nggak usah pikirin itu lagi. Toh, kamu nggak ada hubungan lagi dengan mereka berdua, kan?" tanya Kalisa. "Iya." Kami pun melanjutkan makan, lalu Lisa mengantarkanku sampai rumah. Ah iya, aku lupa memberitahu kalau Lisa sekarang tinggal di dekat sini. Ia membeli rumah di sebelahku. Tepatnya, rumah bekas aku mengontrak dulu. Aku sempat menanyakan alasannya. Jawabannya, ia sudah bosan tinggal di kota, jadi ia kembali ke kampung. Suaminya pun tak keberatan. Sebenarnya, poin utamanya adalah, karena rumah ini dijual murah. Hihi. "Mau mampir?" tawarku. "Eleeh, kaya rumah jauh aja," jawab Lisa yang membuat kami tergelak. "Makasih, ya." Lisa mengangguk, lalu ak
"Kenapa gitu?""Dia kan pelakor.""Lalu, apa hubungannya dengan Kakak." "Ish! Bisa jadi Mas Haris nanti direbut sama dia." "Nad, Kakak dan Mas Haris itu sudah cerai. Sudah lah nggak usah bawa-bawa dia lagi. Kapan move on-nya kalau selalu bawa nama Mas Haris? Sudah enam bulan lebih kami berpisah.""Eleh. Aku berani taruhan, Kakak masih ada rasa kok sama dia." "Dih, nggak usah sok tahu!" jawabku sambil mengganti saluran televisi. "Dih, salting." "Apa, sih?" ucapku, kemudian berlalu menuju kamar. Tak ingin terus membahas Mas Haris. Hidup itu perlu berjalan maju, jadi kalau menengok ke belakang terus, kapan majunya? Iya, kan? --Esok hari. Aku menemani Nadia pergi ke sebuah mall untuk mencari buku. Sesuai keputusan bersama, demi kebaikan Nadia juga, kami menolak rencana pertukaran pelajar itu meski Nadia sangat menginginkannya. Meski dengan hati sedih, tapi anak itu tetap saja bangkit jiwa berbelanjanya. Apalagi, jika aku yang membayari, mantan lewat saja nggak lihat kayaknya. Se
Setelah kepulangan keluarga Haris, ayah dan Bunda menasehati. Berbagai macam wejangan beliau katakan seolah baru pertama kali aku akan menikah, hihi. "Kami meminta pernikahannya nanti supaya kamu fokus pada kelahiranmu saja, Nak. Bukan apa-apa, ya, tapi demi kebaikan juga." "Iya, Ayah, Arum ngerti kok. Lagi pula minggu depan sudah mau tujuh bulan, dua bulan lagi lahirannya. Arumi lagi ngumpulin mental dulu. Nanya-nanya ke orang yang sudah melahirkan, katanya sakit," ucapku sambil meringis kala mengingat ucapan teman-temanku. "Lagian ngapain nanya? Kalau sakit, mana mungkin orang mempunyai anak lebih dari dua. Bahkan eyangmu saja anaknya enam, kok." Iya juga, sih. Apa mereka hanya mencoba membuatku takut dan berakhir overthinking. Aku pun mengembuskan napas panjang. Mengusap perut yang semakin membesar. "Jika begini, maka nazab anakku nanti sama siapa, Yah?" tanyaku. "Ya sama papanya. Kan kamu hamil waktu masih sama Haris. Kamu cuma terlambat menyadari aja."Aku mengangguk. Samb
"Hehehe, sebenarnya aku datang, cuma telat jadi nunggu di luar. Pas aku baru balik dari mobil ngambil hp, kalian sudah keluar. Terus aku lihat adegan pelukan sambil nangis," ucap Kalisa. "Adegan pelukan itu, sebenernya dia yang narik. Setelah di mobil juga Nadia marahin karena kami bukan mahram lagi." "Bisa-bisanya kalah sama yang muda." "Ya maap." Kami pun melanjutkan obrolan. Dari masalah dia, masalah aku. Hingga wedding dream aku nanti. Tapi, emang masih cocok? Mengingat ini bukan lah pernikahan pertamaku. "Aku cuma mau akad nikah aja. Lagian malu." "Kamu mau nikah, Rum?" tanya Mpok Siti, tetangga Kalisa yang tiba-tiba saja keluar dari balik tembok. "Ya Allah, Mpok, ngagetin aja," ucapku. "Hehe, ya maaf. Kamu mau nikah lagi?" tanyanya yang membuatku malu. Aku pun mengangguk, lalu pertanyaan kedua pun meluncur dari mulutnya. "Sama siapa? Kan kamu hamil." "Sama bapaknya anak ini lah," ucapku. "Maksudnya, mau rujuk?" tanyanya. Aku mengangguk lagi, dia sempat terkejut, lal